Isu-isu dalam buku ini sengaja dipilih karena memiliki dampak kepada orang banyak. Inilah mengapa ia disebut strategis.
Isu lapangan kerja, harga pangan, pajak, urbanisasi, globalisasi, utang pemerintah sampai dengan asuransi kesehatan dan imunisasi.
Tujuan buku ini adalah menyajikan fakta. Terkadang fakta-fakta ini bertentangan dengan intuisi kita. Namun fakta adalah fakta.
Fakta menyajikan keadaan dunia apa adanya. Ia mampu mengubah cara kita berpikir.
Seringkali perdebatan publik tidak mempertimbangkan fakta-fakta. Misalnya masalah impor beras.
Faktanya, impor beras membuat harga beras menjadi lebih murah dan lebih terjangkau bagi kaum miskin.
Faktanya lagi: 82% keluarga Indonesia adalah konsumen bersih beras, bahkan 65% petani adalah konsumen bersih beras, bukan produsen.
Fakta ini dapat mengubah pendapat kita tentang impor beras.
Ide-ide dalam buku ini seluruhnya, dalam istilah Karl Popper, dapat difalsifikasi, dalam arti punya peluang dibuktikan keliru. Mengapa? Sebab, seluruh pernyataan dalam buku ini tegas menjelaskan posisinya.
Misalnya, bahwa “sebagian besar pelaku urbanisasi menjadi lebih makmur dibandingkan sebelumnya.” Ini adalah suatu pernyataan yang tegas dan jelas namun mengandung risiko dibuktikan keliru.
Saya menghindari posisi ambigu.
Apakah contoh posisi ambigu itu? “Urbanisasi punya dampak positif dan negatif.” Kalimat bersayap ini tidak akan membawa kita kemana-mana, selain kepada kebingungan.
Untuk mendukung ide strategis yang saya ungkap, saya selalu menuturkan argumentasi yang berdasarkan pada penalaran yang runtut dan cermat serta bukti yang mendukung.
“Setiap orang bisa punya posisi apapun, tapi tidak semua orang mampu menghadirkan penalaran dan bukti yang mendukung posisinya.”
Penalaran adalah rangkaian pikiran sebab akibat yang saling bertaut untuk mendukung posisi penulis.
Sementara bukti pada intinya adalah kenyataan atau realitas itu sendiri. Bukti ini bisa berupa fakta sederhana. Sebab, fakta sederhana mampu untuk meruntuhkan penalaran yang terlihat hebat.
Misalnya, pernyataan “Diperlukan pajak yang tinggi agar negara menjadi makmur” adalah kalimat yang bisa didukung oleh suatu penalaran yang terlihat mengagumkan sebagai berikut:
Pajak tinggi → Anggaran negara besar → Pendidikan gratis → Pekerja terampil → Produktivitas meningkat → Pertumbuhan ekonomi meningkat → Negara menjadi makmur.
Sayangnya, penalaran yang dibangun susah payah dan sepintas mengagumkan ini cukup dibantah dengan satu fakta sederhana:
“Pajak yang dikenakan di Amerika Serikat, Swedia, Prancis, dan Inggris pada tahun 1880-1920 ketika mereka beranjak menjadi negara makmur, sekitar 5-10%, jelas bukan pajak yang tinggi.”
Negara-negara ini mulai menerapkan pajak yang tinggi ketika mereka telah makmur.
Jelas, tidak mungkin sesuatu di masa depan menjadi penyebab sesuatu yang terjadi di masa lalu. “Sebab terjadi sebelum akibat.”
Penalaran itu pasti cacat.
Jadi, untuk membuktikan sesuatu secara negatif (via negativa) sebenarnya mudah sekali. Cukup satu fakta bisa memporakporandakan seluruh bangunan teori. Cukup satu fakta, maka satu teori bisa ambruk berkeping-keping.
Lebih rumit untuk membuktikan sesuatu yang positif (via positiva).
Misalnya, bahwa “upah pekerja pada sektor manufaktur lebih tinggi jika terpapar globalisasi.”
Tidak cukup satu fakta membuktikan posisi tersebut.
Perlu pengamatan terhadap ribuan fakta yang dikompilasi secara cermat menjadi data, yang perlu diuji lagi secara statistik, apakah data itu cukup mewakili, cukup tegar (robust)?
Apakah penalarannya tidak mengandung sesat pikir (fallacy logic)?
Apakah analisis terhadap data menghasilkan kesimpulan yang secara nyata (signifikan) berbeda?
Bukti-bukti seperti ini hanya bisa didapat melalui penelitian yang cermat dan sungguh-sungguh.
Biasanya penelitian ini terdapat dalam jurnal ilmiah yang terbit secara berkala, disunting secara serius dan yang paling penting telah mengalami penelaahan oleh rekan sejawat (peer-reviewed) yang sama-sama memahami apa yang peneliti bicarakan.
Penelitian-penelitian ini memiliki beberapa derajat pembuktian, ada yang berderajat tinggi (buktinya sangat berkualitas), ada yang berderajat sedang, dan ada yang berderajat rendah.
Untuk menentukan derajat kualitas penelitian, salah satu cara cepatnya adalah The Law of Large Numbers (Hukum Bilangan Besar).
Apa maksudnya? Semakin banyak unit sampel dalam suatu penelitian, misalnya ratusan, ribuan, puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu responden yang disurvei, tentu semakin bagus karena semakin acak, semakin mewakili populasi, dan semakin sedikit potensi perilaku unit menyimpang (outliers) yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Lawan dari hukum ini adalah data anekdotal, suatu kejadian individual yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena bisa jadi sangat bias (tidak mewakili sifat-sifat populasi yang diteliti).
Penelitian yang membawa bukti tertinggi ada beberapa jenis:
Meta-analisis atau systematic review, yaitu penelitian yang menggabungkan puluhan penelitian dalam topik yang sama, kemudian mendeduksi kesimpulan dari puluhan penelitian tersebut ke kesimpulan umum.
Randomized control trials (percobaan acak terkendali), yaitu penelitian yang mengamati dua kelompok yang profilnya secara umum sangat mirip, namun hanya dibedakan oleh program yang hendak diujikan: satu kelompok diintervensi oleh program yang diujikan, sedangkan satu kelompok lagi sebagai kelompok kontrol yang tidak dikenai program tersebut.
Penelitian longitudinal atau data panel, yaitu penelitian yang tidak hanya mengamati sampel dalam satu waktu saja, tetapi satu sampel yang sama diamati beberapa kali dalam rentang waktu yang cukup panjang, sehingga mampu mendokumentasikan perubahan atau dampak yang terjadi pada sampel. Jangka waktu penelitian data panel bisa 20-30 tahun untuk topik yang sama sehingga penelitian jenis ini sangat mahal, langka dan berharga.
Tidak semua penelitian mampu menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat), misalnya Kaidah Sebab Akibat yang diperkenalkan John Stuart Mill.
Banyak dari mereka yang hanya menunjukkan “kaitan” atau “korelasi”.
Mereka hanya berhasil menunjukkan jika x naik sekian persen, maka y juga teramati juga naik sekian persen.
Tapi apakah benar-benar perubahan x yang menyebabkan y berubah?
Kita dapat menilai adanya hubungan sebab akibat dari penalaran yang dikembangkan peneliti dalam pokok-pokok pemikirannya di bagian lain dari artikelnya atau kita dapat mencari hubungan sebab akibat itu sendiri.
Di sini diperlukan kecermatan tersendiri karena korelasi tidak berarti sebab akibat (correlation does not imply causation).
Di atas segala kesulitan tersebut, penulis telah berupaya menghadirkan bukti-bukti paling kuat yang tersedia.
Pembaca dapat memeriksa setiap bukti yang diajukan dengan melakukan uji silang (cross-reference) karena bukti-bukti tersebut tersedia secara cuma-cuma di internet.
Mayoritas isu yang dibahas dalam buku ini adalah tentang ekonomi.
Beberapa ekonom mungkin tidak selalu sepakat, namun ada konsensus tertentu dalam bidang ini. Misalnya, para ekonom umumnya bersepakat bahwa kebijakan Upah Minimum akan menurunkan kesempatan kerja.
Mayoritas isu yang dibahas dalam buku ini adalah tentang ekonomi. Kalangan yang sinis terhadap ilmu ekonomi menyatakan bahwa “para ekonom selalu tidak pernah sepakat pada semua hal.” Pernyataan ini sangat keliru dan sama sekali tidak berdasar.
Para ekonom, sebagaimana sebagian besar ilmuwan di bidang lain, telah dilatih untuk bekerja dengan sistem pembuktian tertentu sehingga (mudah ditebak) mereka cenderung akan menemukan hal yang sama.
Sehingga, sebagaimana di antara para ahli dalam bidang ilmu lainnya, terdapat sebagian besar hal yang disepakati oleh para ekonom, walaupun perlu diakui, kesepakatan itu tidak selalu bersifat mutlak (unanimous). Misalnya, para ekonom bersepakat bahwa:
(1) kebijakan Upah Minimum akan menurunkan kesempatan kerja,
(2) manfaat perdagangan internasional lebih tinggi daripada biayanya,
(3) terlalu banyak regulasi akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Sebagai buktinya, terdapat beberapa riset yang mengadakan survei di kalangan ekonom tentang pendapat mereka di banyak topik. Riset-riset tersebut, misalnya sebagai berikut:
Consensus and Dissension among Economists: An Empirical Inquiry oleh Bruno S. Frey, Werner W. Pommerehne, Friedrich Schneider, dan Guy Gilbert. Terbit pada The American Economic Review, Vol. 74, No. 5 (Desember 1984), hlm. 986-994.
Terhadap 936 ekonom yang berdomisili Amerika Serikat, Swiss, Prancis, Jerman dan Austria ditanyakan 27 pertanyaan. Kesimpulan: Ditemukan konsensus yang sangat kuat bahwa sistem ekonomi pasar berbasis harga adalah sistem ekonomi yang efektif untuk mengatur mekanisme sosial
Is There A Consensus Among Economist in the 1990’s? oleh Richard M. Alston, J.R. Kearl, dan Michael B. Vaughan. Terbit pada American Economic Review, 1992, Vol. 82, Issue 2, hlm. 203-09.
Terhadap 464 ekonom yang berdomisili Amerika Serikat ditanyakan 40 pertanyaan. Kesimpulannya ditemukan konsensus di antara para ekonom tentang isu-isu strategis.
The Policy Views of American Economic Association Members: The Results of a New Survey oleh Robert Whaples. Terbit pada Econ Journal Watch Volume 6, Nomor 3, September 2009, hlm. 337-348.
Terhadap 136 ekonom yang berdomisili Amerika Serikat ditanyakan 23 pertanyaan. Kesimpulannya ditemukan konsensus di antara para ekonom bahwa mereka secara umum cenderung mendukung kebebasan ekonomi.
Consensus Among Economist – An Update oleh Dan Fuller dan Doris-Geide Stevenson. Terbit pada The Journal of Economic Education 45 (2), 2014, hlm. 131-146.
Terhadap 568 ekonom yang berdomisili Amerika Serikat ditanyakan 44 pertanyaan. Kesimpulannya ditemukan konsensus yang lebih kuat di antara para ekonom dibanding dengan survey yang diadakan di waktu-waktu sebelumnya.
Sayang sekali, di Indonesia, survei semacam ini di kalangan ekonom atau ilmuwan sosial lainnya belum dilakukan. Jika ada semacam buku yang mengumpulkan tulisan para ekonom, mereka biasanya menulis hal-hal berbeda sehingga sukar ditarik kesimpulan yang memadai dan presisi di kalangan ekonom di Indonesia.
Namun demikian, sebagaimana sains lainnya, ilmu ekonomi bersifat universal. Sebab, sebagian besar manusia di mana-mana sama.
Mereka tertarik pada uang dan kebahagiaan.
Mereka hemat.
Mereka harus menghadapi sumber daya yang terbatas.
Mereka berpikir dengan mempertimbangkan konsekuensi biaya atas manfaat, dan seterusnya.
Atas dasar premis-premis mendasar inilah ilmu ekonomi dibangun.
Riset demi riset, fakta demi fakta menunjukkan kemampuan ilmu ekonomi untuk membuat prediksi yang cukup baik, kalau tidak dibilang sering kali akurat.
Biasanya, prediksi ini disampaikan oleh ekonom yang berhati-hati dan jujur, sambil mengakui keterbatasan metode ilmiah.
Jika disederhanakan, keunggulan-keunggulan buku ini adalah sebagai berikut:
Ringkas
Setiap isu hanya dibahas dalam dua halaman namun tetap mendalam. Hal ini supaya pembaca tidak perlu berlama-lama untuk segera memahami suatu masalah dan mengetahui jalan keluarnya.
Tanpa jargon
Buku ini tidak menggunakan istilah/jargon yang rumit. Sasaran pembaca buku ini adalah orang awam yang tertarik dengan isu-isu strategis bangsa ini.
Berorientasi kebijakan
Buku yang menarik tidak hanya asyik menggumuli teori atau riset, tapi bingung ketika menjelaskan jalan keluar atau kebijakan apa yang harus ditempuh. Buku ini menyajikan apa saja hal-hal yang harus dilakukan secara lugas di halaman “Apa yang Seharusnya Dilakukan.”
Struktur berpikir yang tertib
Dalam menyajikan setiap isu, argumentasi buku ini selalu menggunakan pola:
(a) Asersi (assertion),
(b) Penalaran (reasoning),
(c) Bukti (evidence).
Dengan demikian, pembaca dapat menilai ketegasan posisi penulis, koherensi dan konsistensi penalaran yang mendukung posisi penulis, serta bukti-bukti yang meyakinkan pembaca dalam mendukung posisi dan argumentasi penulis secara jelas.
Karena, Indonesia Emas 2045 intinya adalah tentang kemakmuran dan ilmu ekonomi adalah ilmu tentang kemakmuran, maka tak ada jalan lain mencapai Indonesia Emas itu selain dengan ilmu yang ekonomi yang benar.
Ilmu ekonomi yang berbasis bukti.
Saya tidak terlalu tertarik pada pengkotak-kotakan ideologi ekonomi. Ilmu ekonomi yang benar dan berguna adalah jika ia didukung oleh bukti yang relevan.
Hal ini dikenal dengan istilah evidence-based economics (ilmu ekonomi berbasis bukti). Ilmu pada dasarnya adalah upaya mencari kebenaran, dengan cara membuktikan satu per satu kekeliruan anggapan, sesat pikir, kenaifan, dugaan, dan intuisi kita.
Sementara kekeliruan kita terus menerus terungkap dan tersingkap, kita sebenarnya hidup dengan semacam hipotesis-kerja yang belum terbukti keliru. Sementara di luar sana, pencarian kebenaran berlari terus.
Selamat menikmati.
Chandra Natadipurba
Bandung, ditulis pertama kali 11 September 2018 (direvisi 23 September 2024)