Salah satu makna globalisasi adalah arus modal yang mengalir bebas dari satu negara ke negara lainnya. Arus modal yang melakukan investasi dalam bentuk pendirian usaha pertambangan, pabrik-pabrik, perkebunan dan kantor-kantor penyedia jasa dikenal dengan istilah Foreign Direct Invesment (investasi asing langsung).
Efek dari investasi langsung ini adalah kompetisi para investor memperebutkan tenaga kerja yang tersedia di Indonesia.
Persaingan ini menyebabkan investor asing menawarkan upah yang relatif lebih tinggi daripada investor domestik. Hal ini direspon oleh investor domestik dengan menaikkan tawaran upahnya juga. Jadi, adanya investasi asing langsung tidak hanya menawarkan upah lebih tinggi bagi para pekerja Indonesia, namun sekaligus mendorong kenaikan upah secara umum.
Bukti:
Menggunakan data dari 19.911 pabrik yang bergerak di berbagai sub-sektor manufaktur (makanan, tekstil, kayu, kertas, kimia, mineral non logam, logam dasar industri, perkakas logam dan lainnya), penelitian berjudul “Foreign Direct Investment and Wages in Indonesia Manufacturing” oleh Robert Lipsey dan Fredrick Sjoholm (2001) menunjukkan bahwa upah dari pabrik investasi asing bagi pekerja kerah biru lebih tinggi 12% dan upah bagi pekerja kerah putih 20% lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik yang dimiliki oleh investor domestik.
Pertanyaan:
Perusahaan asing di Indonesia yang melakukan investasi langsung berupaya menekan biaya serendah-rendahnya termasuk fasilitas pabrik yang tidak layak bagi buruh (sweatshop). Bukankah ini kondisi yang buruk bagi buruh Indonesia?
Jawaban:
Tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa investasi asing langsung di Indonesia mayoritas adalah sweatshop. Namun, jikapun terjadi hal demikian di Indonesia, pada dasarnya kontrak antara majikan dan buruh pada sweatshop juga merupakan kontrak yang saling menguntungkan.
Bekerja di sweatshop adalah pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan pilihan lain yang tersedia bagi buruh tersebut. Jika menjadi kuli bangunan, buruh panen di desa atau pekerja informal menawarkan pilihan yang lebih baik, tentu sejak awal kontrak tersebut tidak akan terjadi.
Di sisi lain, sweatshop adalah batu loncatan (stepping stone) bagi buruh untuk mendapat pengalaman, keterampilan dan rekam jejak yang ia perlukan untuk melamar pekerjaan di tempat lainnya yang lebih baik atau bahkan untuk memulai usaha sendiri. Bekal keterampilan, pengalaman dan rekam jejak ini, walau didapat dari sweatshop, tentu lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Bukti:
Negara seperti Bangladesh dan Kamboja, tempat upah buruh tekstil termurah di dunia (US$ 0,22/jam dan US$ 0,33/jam) menemukan jalan keluar dari kemiskinan dari pabrik-pabrik yang dianggap sebagai sweatshop.
Walaupun kondisi sweatshop tidak ideal, namun laporan berjudul Bangladesh Poverty Assessment: Assessing a Decade of Progress in Reducing Poverty, 2000-2010. World Bank (Juni, 2013), menunjukkan sebanyak 16 juta orang di Bangladesh pada dekade 2000-2010 berhasil mengentaskan diri mereka dari kemiskinan. Hal ini juga terjadi di Kamboja, angka kemiskinan turun 34,3% pada periode 2007-2014.