Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Esai-esai Nobel Ekonomi.
Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.
Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.
Selamat membaca.
Chandra Natadipurba
===
Esai-esai Nobel Ekonomi
Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia Oleh Penerbit Buku Kompas, November 2007
(hlm. ix)
Kata Pengantar Bagaimana “Selatan” Menyikapi Pemikiran Pakar Pemenang Hadiah Nobel Bidang Ekonomi Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Landasan teoritis yang pertama adalah yang diprakarsai oleh Hegel—seorang filosof dan sejarahwan Jerman yang terkemuka pada abad ke-19—yakni tentang proses dialektika yang menjadi penggerak dari perubahan-perubahan pemikiran yang terjadi di berbagai bidang kehidupan di masyarakat.
(hlm. x)
Proses dialektika ini akan terus berlangsung, selama para pemikir bergelut tentang mana pemikiran yang paling mampu menjelaskan perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi di satu bidang kehidupan masyarakat, ke kemajuan ataupun krisis dan keterbelakangan; bahkan kehancuran.
Landasan teoritis yang kedua adalah yang dibangun oleh Thomas Kuhn, pada periode 1960-an, yaitu tentang paradigma yang merupakan himpunan dari segala hal yang hadir di dalam kehidupan masyarakat di suatu waktu tertentu, dan yang turut menentukan wujud ilmu pengetahuan (science) dan pengetahuan (knowledge) yang ada pada periode tersebut.
Untuk mempertajam pemanfaatan kedua landasan teoritis di atas bagi upaya pemahaman pemikiran-pemikiran ekonomi bertaraf Hadiah Nobel, saya kira ada keharusan kepada kita untuk juga mengikuti perdebatan yang terus berlangsung hingga kini, yakni tentang permasalahan mendasar tentang: apakah pemikiran-pemikiran yang menggerakkan proses-proses perubahan nyata di masyarakat ataukah kebalikannya, yaitu perubahan-perubahan nyatalah yang mendesak dibangunnya pemikiran-pemikiran baru?
(hlm. xi)
Tampak, sampai seberapa jauh, paham “dialektika materialisme” (dialectic materialism) dari Marx ini digunakan oleh Kuhn. Namun, Kuhn membatasi kenyataan kehidupan materialisme itu sejauh tataran iptek saja – tidak keseluruhan struktur kehidupan masyarakat, seperti yang dijumpai pada analisis Marx.
Oleh karena sebagian terbesar pemenang Hadiah Nobel buat pemikiran-pemikiran ekonomi berasal dari Kelompok Negara-negara Utara (North); yang notabene datang dari kelompok negara-negara G-7 yang merupakan negara-negara dengan perekonomian Pasca-Industrial (Post-Industrial) dengan tingkat Pendapatan Per Kapita tertinggi di dunia, mari kita lihat apakah metode analisis Hegel ataukah Marx, ataukah Kuhn, yang paling cocok digunakan untuk memahami pemikiran-pemikiran Hadiah Nobel tersebut? Selanjutnya, boleh kita permasalahkan apakah pemikiran-pemikiran para ekonom Hadiah Nobel tersebut dapat kita manfaatkan untuk menangani masalah-masalah yang dijumpai di Kelompok Negara-negara Selatan (South)?
(hlm. xii)
Mari kita mulai ulasan analitis tentang pemikiran-pemikiran para pemenang Nobel ini dari Tinbergen, Samuelson, Leontief, Richard Stone, dan Allais, yang masuk pada bagian awal himpunan yang dibukukan ini. Menarik, bagaimana salah satu ciri yang mempersatukan pemikir-pemikir ini adalah kepeloporan mereka di dalam menggunakan model-model ekonomi yang matematis, pada tingkatan abstraksi yang sudah jauh lebih tinggi daripada yang dijumpai pada generasi ekonom abad ke-19 ataupun periode sebelum PD II. Model-model ekonomi yang digunakan oleh Keynes, misalnya, relatif sangat sederhana dibandingkan dengan yang ditampilkan oleh Generasi Tinbergen-Samuelson ini.
(hlm. xiii)
Meskipun metode ini awalnya dikembangkan untuk membantu menganalisis sistem ekonomi modern yang sudah rumit strukturnya, yakni pada tataran ekonomi makro, tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama metode ini juga menyebar ke tataran ekonomi mikro.
Kalau kita korek lebih dalam untuk menemu-kenali apa yang sebenarnya menggerakkan munculnya “mathematical economics” dengan “quantitative analysis”-nya yang sangat abstrak itu, maka akan terlihat bahwa hal ini muncul sebagai akibat dari semakin merebaknya upaya penyusunan statistik dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat modern.
Dengan perkataan lain: perkembangan iptek-lah yang mendorong ilmu ekonomi semakin bergerak ke arah metode yang berasal dari ilmu fisika (!).
(hlm. xiv)
Kepeloporan kelompok “Mathematical Economics” tampak diakui juri Hadiah Nobel sebagai terobosan yang memungkinkan dilakukannya intervensi kebijakan terhadap sistem pasar, demi kestabilan ekonomi secara keseluruhan.
Himpunan ulasan ini juga memberikan deskripsi tentang pemikiran-pemikiran pemenang sejumlah Hadiah Nobel di dalam memahami perilaku para investor di pasar uang dan modal. Silakan lihat ulasan tentang tokoh-tokoh pemikir seperti Lucas, Merton, Scholes, dan Kahneman, yang merupakan pemikir yang bergelut di garis depan “financial capitalism” ini—atau: “finanz-kapitalismus” menurut para pakar Marxian—yang jelas mengikuti perkembangan global dewasa ini yang semakin menuju ke arah percepatan arus likuiditas, yang melibatkan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan yang makin bervariasi di dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
Semakin banyak yang bersetuju pada saat ini bahwa lonjakan arus likuiditas itu telah semakin tidak terkait dengan arus kegiatan-kegiatan sektor riil pada skala global.
(hlm. xv)
Maklum, seperti yang dikemukakan Alan Greenspan pada saat ia menjabat Fed Chairman (Gubernur Bank Sentral AS): pasar uang dan modal sering memperlihatkan gejala-gejala “irrational exuberance”, dan kebalikannya “irrational gloom”. Para pemain di situ ternyata sering tidak rasional, dan kejangkitan panik atau harapan berlebih.
Terlihat di dalam himpunan ulasan para pakar Hadiah Nobel ini, berapa cukup banyak ekonom yang masih memperhatikan aspek kelembagaan ekonomi (economic institution) di dalam kehidupan perekonomian berbagai bangsa-negara. Mari kita perhatikan pakar Nobel seperti Fogel dan North, Becker, dan Sen. Berlainan dengan para pakar ekonomi makro dan ekonomi mikro yang ada di dalam himpunan ulasan ini, para pakar kelembagaan ekonomi melihat perkembangan sebuah ekonomi sebagai suatu proses sejarah yang rumit yang berjangka panjang; bahkan sangat panjang.
Di dalam hal ini mereka tidak berbeda dengan para pakar dari Mazhab Sejarah, yang karena banyak yang berasal dari Austria dan Jerman dari periode abad ke-19 sampai dengan periode sebelum PD I disebut sebagai Mazhab Austria atau “German Historical School”. Kesemua mereka berpandangan bahwa siklus bisnis adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan suatu perekonomian modern, dan karena itu tidak mudah untuk diutak-atik lewat kebijakan intervensi pasar.
(hlm. xvi)
Proses pertumbuhan lembaga-lembaga tersebut bukanlah suatu proses yang mudah direkayasa, karena menyangkut seluruh perangkat kehidupan masyarakat—politik, birokrasi, hukum, tahap perkembangan, dan sebagainya.
Sesudah kita menyimak ulasan-ulasan singkat tentang pemikiran-pemikiran para pemenang Hadiah Nobel ini tentu timbul pertanyaan: apakah pemikiran-pemikiran itu dapat digunakan di kelompok negara-negara yang sedang berkembang, dari kelompok GNB – dari kelompok “Selatan”?
(hlm. xvii)
Kemiskinan kelembagaan ekonomi—bahkan politik dan sosial—di negara-negara tersebut memperlihatkan, bagaimana masalah-masalah ekonomi di situ adalah masalah-masalah berjangka panjang atau sangat panjang.
Saya kira kita pun mengetahui betul fakta bahwa hanya ada beberapa PTN di Indonesia yang memberikan Program S-2 dan S-3 di bidang ilmu ekonomi murni; di mana perkembangan pemikiran-pemikiran ekonomi kelas pakar Nobel ini dibahas secara intens.
(hlm. xviii)
Di dalam paket kebijakan yang diajukan para konsultan itu pasti pula masalah reformasi dan pembangunan kelembagaan (institution building) merupakan hal yang disyaratkan secara mengikat.
Untuk waktu yang lama ke depan, dominasi Utara di dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi akan merupakan kenyataan yang terpaksa kita di Selatan menerimanya.
(hlm. xviii)
Di dalam paket kebijakan yang diajukan para konsultan itu pasti pula masalah reformasi dan pembangunan kelembagaan (institution building) merupakan hal yang disyaratkan secara mengikat.
Untuk waktu yang lama ke depan, dominasi Utara di dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi akan merupakan kenyataan yang terpaksa kita di Selatan menerimanya.
(hlm. 1)
Esai dari Pemenang Nobel
(hlm. 3-4)
Prof. Jan Tinbergen 90 Tahun
PROFESOR DR. Jan Tinbergen pada tanggal 12 April 1993 genap berusia 90 tahun. Pakar ekonomi, pemenang Hadiah Nobel dari Negeri Belanda itu terkenal sebagai ahli ekonomi yang mampu menyediakan pemecahan-pemecahan yang sederhana untuk masalah-masalah ekonomi yang pelik lagi rumit. Bagaimana negara-negara Barat harus mempertahankan kemakmuran? Dengan mengurangi jumlah penduduk.
Bagaimana masalah pengangguran yang terus saja meningkat harus ditanggulangi? Orang harus mempelajari satu kejuruan yang memang diperlukan. Bagaimana kesenjangan yang semakin lebar di antara negara-negara Barat yang kaya dan negara-negara Selatan yang miskin dapat diperkecil? Menggandakan sampai enam kali bantuan pembangunan.
(hlm. 5)
DI dalam buku-bukunya yang demikian banyak jumlahnya, semangat sosialis Tinbergen selalu menonjol, seperti bahaya dan kesia-siaan perlombaan senjata internasional, ketakutan yang tidak beralasan negara-negara kaya terhadap konkurensi dari Dunia Ketiga, penolakan terhadap proteksionisme dan seruannya supaya negara-negara Barat bertindak sebagai pihak penabung di dalam dunia dan menginvestasikan sebagian modal/uang di negara-negara miskin.
Menurut Tinbergen, sudah merupakan awal kebijaksanaan apabila orang menjadi sadar akan banyak unsur nonmaterial kebahagiaan manusia.
(hlm. 6)
DALAM tahun 1969, Jan Tinbergen sebagai pakar ekonomi Belanda yang pertama, bersama ahli ekonomi Norwegia Ragnar Frisch, memenangkan Hadiah Nobel untuk karya terobosannya di bidang ekonometri, yaitu ilmu pengetahuan yang dengan bantuan model-model ilmu pasti mencoba menganalisis dan meramalkan proses-proses ekonomi.
(hlm. 7)
Nikolaas bekerja sama dengan Konrad Lorenz dan dalam tahun 1936 diakui sebagai peletak dasar cabang disiplin ilmu yang dikenal sebagai etologi. Melalui penelitiannya yang tekun, Nikolaas melihat bahwa suatu pengertian yang memiliki dasar kokoh tentang kelakuan hewan memiliki arti penting untuk pemahaman latar belakang biologis kelakuan manusia.
Pada tahun 1973, Nikolaas bersama K. von Frisch dan K. Lorenz, memperoleh Hadiah Nobel bidang fisiologi dan kedokteran untuk “penemuan tentang organisasi dan eksistensi kelakuan individual dan sosial”.
(hlm. 8)
“Stabilitas lebih besar di dalam konjungtur, yang berarti kurang depresi yang mendalam; stabilitas lebih besar di dalam hubungan di antara orang-orang di dalam suatu negara dengan menghapuskan rintangan-rintangan sosial buatan; stabilitas lebih besar di dalam hubungan di antara negara-negara melalui integrasi dan melalui pembangunan negara-negara yang terbelakang.”
(hlm. 9)
Tinbergen menganjurkan apa yang disebut teori konvergensi ekonomi, yaitu proses menuju suatu tata ekonomi optimal semua tata ekonomi yang ada sekarang, guna mencapai kemakmuran dan kesejahteraan yang optimal.
(hlm. 11)
Paul A. Samuelson Pemenang Hadiah Nobel untuk Ekonomi 1970
(hlm. 12)
Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia memutuskan untuk memberi Hadiah Peringatan Alfred Nobel dalam ilmu ekonomi untuk tahun 1970 kepada Prof. Paul A. Samuelson, dari Institut Teknologi Massachusetts, Cambridge, karena karya ilmiahnya yang dilakukannya untuk mengembangkan teori ekonomi dan dengan giat memberikan sumbangannya untuk mempertinggi tingkat analisis ilmu ekonomi.
(hlm. 13)
Hasil karya yang luas Prof. Samuelson, meliputi hampir segenap bidang teori ekonomi itu, ditandai oleh kemampuan yang luar biasa untuk menarik teorema-teorema baru yang penting dan menemukan penerapan-penerapan baru bagi teorema-teorema yang sudah ada.
Berkat sumbangannya itu, Samuelson telah berbuat lebih banyak daripada ahli-ahli ekonomi lainnya yang ada sekarang, untuk mempertinggi tingkat analisis ilmiah di bidang teori ekonomi.
Dalam tahun 1947, ketika berusia 32 tahun, Paul Samuelson menerbitkan Foundations of Economics Analysis (Dasar-dasar Analisis Ekonomi). Buku tersebut dalam waktu yang singkat sekali menjagokan reputasinya sebagai seorang ahli ekonomi matematik yang brilian dan orisinil. Dalam buku itu, ia menguraikan secara sistematik teori ekonomi statis, suatu teori penentuan setara simulasi perubahan-perubahan yang menandai keadaan ekonomi yang ada. Selanjutnya, dan ini penting sekali, buku itu juga menguraikan suatu analisis sistematis teori dinamis, yaitu proses penyesuaian keadaan suatu sistem tertentu pada sistem yang lain, dan menghubungkan kedua-duanya dengan apa yang sangat terkenal sebagai prinsip “korespondensi”.
(hlm. 14)
Ekonomi AS dalam Bahaya
Banyak sumbangan Paul Samuelson yang paling penting bagi ilmu ekonomi berbentuk karangan-karangan di dalam majalah-majalah profesional. Tulisan-tulisan ini dikumpulkan dan diterbitkan kembali beberapa tahun yang lampau dalam dua jilid buku yang meliputi hampir 3.000 halaman berjudul Collected Scientific Papers of Paul Samuelson (Kumpulan Karangan-karangan Ilmiah Paul Samuelson).
(hlm. 15)
Kepada para wartawan, Prof. Paul Samuelson mengatakan dia tidak mengharapkan dapat memperoleh Hadiah Nobel itu, tetapi kemudian menambahkan, “Memang baik sekali bila kerja keras dihargai orang.”
(hlm. 16)
Prof. Dr. Leontief Dampak Polusi terhadap Ekonomi Bisa Diperhitungkan Secara Dini
KONSEKUENSI dampak polusi atau kerusakan lingkungan terhadap kegiatan ekonomi di masa datang sudah bisa diperhitungkan secara dini. Demikian sebaliknya, dampak kegiatan ekonomi terhadap polusi juga bisa diperhitungkan dan sudah diterapkan di banyak negara.
Demikian antara lain isi dari serangkaian ceramah yang disampaikan pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi tahun 1973, Prof. Dr. Wassily Leontief, di Aula LPEM (Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat).
(hlm. 17)
Mantan warga Uni Soviet yang kini menetap di negara Paman Sam itu, mendapatkan Hadiah Nobel atas jasanya menemukan sebuah model ekonomi, tabel analisis input output, yang kini sangat bermanfaat dan digunakan di banyak negara.
Dampak Ekonomi
Keunggulan model tersebut, bisa memprediksi pertumbuhan ekonomi—yang relatif akurat—dengan memperhitungkan ketersediaan bahan baku dari berbagai sektor ekonomi.
“Kini, model itu juga sudah bisa digunakan untuk menganalisis dampak kegiatan ekonomi terhadap polusi atau kerusakan lingkungan, dan sebaliknya juga bisa digunakan untuk memperkirakan dampak polusi terhadap kegiatan ekonomi,” ujarnya.
(hlm. 18)
Selain menghitung dampak kegiatan ekonomi terhadap polusi dan sebaliknya, model Leontief, ternyata juga dengan mudah memperkirakan dampak dari kegiatan ekonomi terhadap distribusi pendapatan, tentunya dengan memperhitungkan penyebaran pemilikan sektor-sektor produksi.
(hlm. 19)
Informasi yang rinci, memang menjadi suatu keharusan dalam menerapkan model analisis tabel input-output Leontief. Selain menggugat ketersediaan informasi, Leontief sekali lagi menekankan pentingnya perencanaan ekonomi nasional yang melibatkan semua disiplin ilmu.
Banyak digunakan
Namun, Iwan mengatakan kekhawatirannya bahwa informasi yang tersedia di Indonesia relatif tidak lengkap. Menurut pengalaman saya sebagai seorang peneliti, kata Iwan, sebenarnya data-data yang diinginkan model Leontief relatif tersedia di bank-bank data di berbagai instansi.
“Tetapi masalahnya, data itu tersebar tidak menyatu, tetapi itu bukan terjadi di Indonesia saja tetapi juga di negara berkembang lainnya,” katanya.
(hlm. 20)
Dipakai Jepang
Pada kesempatan itu, disebutkan negara yang paling banyak mendapat hikmah dari model Leontief adalah Jepang. Menurut Leontief sendiri yang juga didukung Iwan Jawa Aziz, kini setiap tahun Jepang menghasilkan tabel analisis input output.
(hlm. 22)
Hadiah Nobel Bidang Ekonomi 1982
AKADEMI Ilmu Pengetahuan Swedia mengumumkan bahwa Hadiah Nobel bidang Ekonomi untuk tahun 1982 diberikan kepada Profesor George J. Stigler dari Universitas Chicago.
(hlm. 23)
STIGLER mendapatkan Hadiah Nobel antara lain atas karya-karya ilmiahnya dalam menganalisis fungsi pasar serta pengaruh peraturan-peraturan umum dalam perekonomian.
(hlm. 24)
Analisis tentang fungsi pasar ini telah mendasari analisis modern tentang terjadinya “ketidakseimbangan umum” (general disequilibrium) yang berbeda dengan teori Klasik. Informasi di pasar itu tidak sempurna dan untuk memperolehnya harus dikeluarkan biaya, dan ini mempengaruhi pembentukan harga di pasar.
(hlm. 25)
Karya Stigler dalam hal ini adalah memperbaiki dan mempertajam teori sebelumnya, terutama dari ahli-ahli ekonom Klasik dari Leon Walras sampai Marshall dan J.B. Clark.
Meskipun salah satu karyanya menunjukkan adanya masalah informasi pasar, Stigler merupakan seorang yang sangat percaya pada bekerjanya mekanisme pasar dan ketangguhan dari sektor swasta dalam perekonomian.
Pemerintah yang paling baik adalah yang melakukan pengaturan seminimal mungkin, dengan doktrin yang berasal dari Adam Smith, yang masih dipegang teguh oleh mereka yang mengikuti tradisi aliran Chicago.
(hlm. 26)
Pilihan untuk tahun ini rupanya memang tepat. Yang mungkin agak merisaukan adalah bahwa keputusan mengenai terpilihnya Stigler sebagai pemenang Hadiah Nobel dapat ditafsirkan sebagai memberikan pengukuran terhadap pandangan Stigler atau lebih jauh lagi aliran Chicago yang memegang teguh pendirian bahwa campur tangan pemerintah yang minimal dalam perekonomian adalah paling baik. Banyak ahli yang makin yakin bahwa campur tangan pemerintah (Federal) telah terlalu banyak dan perlu dikurangi.
(hlm. 27)
Pandangan atau doktrin tersebut sesuai dengan salah satu pokok pandangan dari apa yang dikenal dengan supply side economics.
Pendekatan segi penawaran antara lain merupakan suatu reaksi terhadap tidak berhasilnya ajaran lama menerangkan masalah yang melanda negara-negara industri seperti adanya resesi yang berjalan dengan inflasi. Ajaran Keynes yang mendasari pendekatan dan kebijaksanaan ekonomi di dunia semenjak depresi tahun tiga puluhan tidak mampu menerangkan permasalahan yang ada, apalagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.
(hlm. 28)
Mungkin suatu kebetulan bahwa pada waktu banyak negara industri mempunyai pemerintahan yang cenderung untuk merubah pandangan ke arah pengurangan peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi masyarakat dan mengurangi pengaturan pemerintah pada umumnya, Hadiah Nobel bidang ekonomi jatuh ke tangan Prof. Stigler yang yakin pada pendekatan tersebut.
(hlm. 29-30)
Makna Hadiah Nobel Bidang Ekonomi 1984
PROFESOR John Richard Nicholas Stone dari Universitas Cambridge, Inggris, terpilih sebagai pemenang Hadiah Nobel bidang ekonomi untuk tahun 1984.
Sir Richard terpilih sebagai pemenang hadiah ini atas sumbangannya yang sangat besar dalam penyusunan model-model ekonomi, terutama dalam penciptaan sistem neraca pendapatan nasional, yang memungkinkan pengukuran serta secara lebih tepat menunjukkan hubungan fungsional antara berbagai besaran ekonomi makro, seperti pengeluaran masyarakat untuk konsumsi, investasi, serta tabungan masyarakat dan berbagai indikator yang lain.
Sumbangan Richard Stone
Sistem neraca pendapatan nasional merupakan basis perhitungan pendapatan nasional suatu bangsa.
(hlm. 32)
Keynes dalam bukunya The General Theory meletakkan dasar-dasar teorinya, akan tetapi perkembangan selanjutnya sangat ditentukan oleh pengukuran berbagai besaran makro yang sangat dipengaruhi oleh sistem neraca pendapatan nasionalnya Richard Stone. Oleh sebab itu penemuan-penemuan Prof. Stone sering disebut sebagai kelanjutan dan pelengkap dari teori-teori Keynes yang mendasari teori ekonomi makro.
Pengukuran pendapatan nasional di kebanyakan negara dewasa ini mendasarkan diri atas cara-cara yang diterangkan dalam A System of National Account, yang disusun Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1968. Penyusunan ini pertama kali dilakukan oleh PBB pada tahun 1963 dan sejak itu penghitungan pendapatan nasional di kebanyakan negara mendasarkan atas cara-cara tersebut, dengan penyesuaian di sana-sini mengikuti keadaan setempat.
(hlm. 33)
Berbagai pendekatan atau teori dalam ekonomi pembangunan yang berkembang sejak permulaan tahun lima puluhan juga sangat dibantu penyusunan neraca nasional tersebut. Teori Harrod-Domar, big push, balance growth dan berbagai teori lain, demikian pula penghitungan incremental capital output ratio (ICOR), serta penyusunan tabel input-output, semuanya mendapat manfaat dari sistem penyusunan neraca nasional tersebut.
(hlm. 33)
Berbagai pendekatan atau teori dalam ekonomi pembangunan yang berkembang sejak permulaan tahun lima puluhan juga sangat dibantu penyusunan neraca nasional tersebut. Teori Harrod-Domar, big push, balance growth dan berbagai teori lain, demikian pula penghitungan incremental capital output ratio (ICOR), serta penyusunan tabel input-output, semuanya mendapat manfaat dari sistem penyusunan neraca nasional tersebut.
Dalam bidang mikro dia dikenal sebagai ahli yang mulai mengembangkan konsep yang sekarang kita kenal dengan elastisitas harga, atau bagaimana kita mengukur perubahan yang terjadi pada jumlah barang atau jasa yang diminta di dalam pasar setiap terjadi perubahan harga.
Demikian pula Richard Stone dikenal sebagai ahli yang mungkin karena obsesinya untuk dapat menerapkan teori, dapat mengukur besarnya variabel yang teliti, menemukan fungsi permintaan linier (linear expenditure system). Teori permintaan dengan menggunakan fungsi pengeluaran yang linier ini lebih mudah untuk diukur dengan menggunakan data yang nyata.
(hlm. 34)
Berbagai perkiraan yang disusun oleh lembaga-lembaga kenamaan seperti Wharton School, Chase Econometrics, Data Resource Inc. (DRI) ataupun oleh lembaga yang lebih besar seperti OECD dan Congressional Budget Office (AS), mengenai berbagai indikator makro ekonomi, juga menunjukkan kemelesetan yang cukup besar.
(hlm. 35)
Teori yang mengatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara laju inflasi dengan tingkat pengangguran, telah kehilangan daya analisisnya pada waktu terjadi keadaan inflasi yang berjalan bersamaan dengan stagnasi (stagflasi), bahkan resesi. Akhir-akhir ini di AS terdapat keadaan yang sebaliknya dari stagflasi, yaitu terjadinya penurunan inflasi yang bersamaan dengan menurunnya pengangguran. Hubungan yang dijadikan teori dan dikenal sebagai “Philips Curve” tadi menjadi berantakan.
Teori Keynesian mengatakan bahwa suku bunga yang tinggi akan menimbulkan kelesuan pada perekonomian. Untuk sebagian hal ini benar, tetapi akhir-akhir ini tidak demikian di AS. Kaum Monetaris mengatakan bahwa pemulihan ekonomi di AS akhir-akhir ini disebabkan oleh kebijaksanaan moneter yang longgar. Ini mungkin benar, akan tetapi mengapa tidak terdapat tekanan inflasi yang menguat? Supply side economics menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi di AS merupakan hasil dari pemotongan pajak beberapa waktu yang lalu. Ini mungkin benar, akan tetapi bagaimana dengan defisit anggaran negara yang tidak nampak mengecil? Atau mungkin timbul pertanyaan lain, tidakkah pemulihan ekonomi disebabkan oleh menguatnya permintaan masyarakat dan bukan dari segi penawaran?
(hlm. 36)
Mungkin ahli ekonomi tidak boleh bosan mengingatkan bahwa prediksi sesuatu teori tidak lain merupakan pernyataan yang bersyarat. Perkiraan kuantitatif selalu dalam arti kurang lebih, dalam batas kesalahan (margin of error) tertentu. Dalam positive economics-nya Friedman, teori ekonomi harus dikaji dengan ketepatan prediksinya. Kalau kita gunakan ukuran ini, teori ekonomi memang perlu diragukan.
(hlm. 37)
Permasalahan yang dihadapi masyarakat terus-menerus mengalami perkembangan, sehingga seolah-olah terdapat pacuan antara dinamisme permasalahan dengan perkembangan teori yang mendasari analisis serta upaya pemecahan terhadap permasalahan tersebut.
Perkembangan ekonomi dunia yang cepat telah terjadi sejak permulaan dekade tujuh puluhan dengan timbulnya berbagai krisis moneter, perdagangan, minyak, suku bunga, dan sebagainya.
(hlm. 38)
Terpilihnya Prof. Richard Stone sebagai pemegang Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1984 mungkin perlu kita artikan sebagai tantangan yang harus dijawab oleh para ahli untuk menyusun teori yang mampu menerangkan serta menjawab permasalahan ekonomi yang hidup dalam masyarakat dengan prediksi yang ketepatannya dapat diandalkan.
(hlm. 39)
Peraih Nobel Ekonomi dari Perancis Maurice Allais Anak Seorang Penjaga Kedai
PROSES cukup panjang dilakukan Komite Nobel Swedia untuk sampai menentukan Maurice Allais, putra seorang penjaga kedai keju Perancis, pantas sebagai pemenang Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1988.
Semua ini karena karya Allais yang luar biasa panjangnya dan sangat kompleks. Ini menyangkut tulisannya In Search of An Economic Discipline setebal 900 halaman yang diterbitkan 1943, dan Economy and Interest yang diterbitkan tahun 1947 setebal 800 halaman.
(hlm. 40)
KOMITE Nobel menyebutkan Allais pantas atas “kepeloporan memperkaya teori pasar dan efisiensi penggunaan sumber-sumber”.
Teori yang dikembangkan ini menjelaskan bagaimana sistem harga dapat bekerja untuk menjaga keseimbangan ekonomi. Teori Allais ini dapat menerangkan mengenai ekonomi pasar bebas. Suatu keadaan seimbang dapat dicapai dengan redistribusi sumber-sumber tertentu, suatu teori yang penting bagi perencanaan sektor umum melalui kontrol harga.
(hlm. 41)
Penulisan dalam bahasa Perancis termasuk yang membuat karya Allais ini tak dikenal luas. Paul Samuelson, seorang ahli ekonomi dunia yang meraih Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1970 pernah berkata, jika Allais menulis dalam bahasa Inggris maka “suatu generasi teori ekonomi yang ada muncul melalui jalan yang berlainan”.
“Motivasi saya sejak muda yakni bagaimana menciptakan kondisi hidup manusia yang lebih baik. Itu makanya saya selalu berupaya menghimpun sebanyak mungkin persoalan yang dihadapi dunia,” ujarnya kepada wartawan.
Dan teori-teorinya kemudian bermunculan. Rakyat umum pun tertolong, karena teorinya dapat digunakan berbagai pemerintahan melakukan perencanaan sektor-sektor yang menyangkut kepentingan umum. “Saya akan terus berupaya untuk membantu manusia,” tambahnya.
(hlm. 42)
Hadiah Nobel untuk Ronald H. Coase dan BUMN Kita
RONALD H. Coase (81), guru besar emeritus di Universitas Chicago, Selasa lalu diumumkan memperoleh Hadiah Nobel bidang ilmu ekonomi untuk tahun 1991.
(hlm. 43)
Bagi kalangan ekonom pada umumnya, Ronald Coase tokoh yang nyaris terlupakan. Hal ini tercermin dari kaburnya keterangan media massa tentang terobosan ilmiah yang dilakukan tokoh ini. Yang ditangkap wartawan dari keterangan anggota juri hanyalah jasanya memasukkan konsep-konsep hak pemilikan kekayaan (property rights) dan biaya transaksional (transactional cost). Tak jelas apa yang dimaksud dengan itu. Konon, teorinya dapat menjelaskan mengapa perekonomian Uni Soviet runtuh.
SEBENARNYA 15 tahun terakhir ini, terobosan teoritis Prof. Coase telah dikembangkan, anehnya, bukan oleh akademisi, tetapi oleh ekonom di perusahaan-perusahaan umum yang vital, seperti pos, telepon, dan tenaga listrik, misalnya AT&T di Amerika Serikat.
Sebagai perusahaan, terlebih kalau diserahkan pada swasta, BUMN mesti memperoleh untung; tapi sebagai perusahaan umum, ia harus mengabdi pada kesejahteraan pelanggannya. Persoalan yang dihadapi di sini ialah bagaimana membuat salah satu pihak beruntung tetapi tanpa merugikan yang lain, kalaupun tidak menguntungkan keduanya.
Persoalan ini dikenal di kalangan ilmu ekonomi sebagai dalil optimalisasi Pareto; hal yang tak mungkin berdamai dengan kaidah-kaidah ekonomi pasar.
(hlm. 44)
Namun, demikian inilah yang diterobos oleh Prof. Coase. Tahun 1946 ia memaparkan teorinya yang kini biasa disebut sebagai “tarif tak seragam” (nonuniform tariffs). Ia menjadi bagian satu disiplin ilmu ekonomi baru, yang semula dirintis oleh Dupuit di Perancis, hampir 150 tahun lalu. Kini ia dikenal sebagai ilmu ekonomi BUMN, atau ilmu ekonomi kesejahteraan (Regulated Firm Economics, Welfare Economics).
Disederhanakan langkah-langkahnya begini: perkiraan kesediaan konsumen untuk membayar harga bagi tambahan konsumsi tertentu (marginal price); buat perkiraan ini menyamai biaya yang dibutuhkan untuk peningkatan jumlah tertentu produk (marginal cost); dan kenakan harga dasar yang cukup menutup seluruh biaya perusahaan seandainya semua konsumen membayarnya (entry fee).
Akibat perhitungan yang rumit dan hati-hati ini adalah bahwa BUMN dapat bertahan menyejahterakan masyarakat hanya kalau seluruh perangkatnya diatur sedemikian rupa sehingga biayanya tidak melebihi harga yang ditawarkan oleh pasar umum.
Runtuhnya perekonomian Uni Soviet, dan mendesaknya pembaharuan menyeluruh, pastilah memerlukan landasan teoritis yang sesuai.
(hlm. 47)
Mengenal Beberapa Pemikiran Coase
Adakah komite itu dipaksa oleh situasi internasional, seperti keruntuhan sistem komunis serta faktor lain?
Globalisasi ekonomi
Di dalam konteks yang demikian itu, perusahaan transnasional (TNC) menjadi satu fenomena yang hampir merusak tatanan dunia, bila dilihat dari kacamata tradisional, batas kedaulatan setiap negara.
Globalisasi ekonomi ternyata memunculkan dampak global lain yang bersifat negatif berupa dampak eksternal, ialah polusi lingkungan.
Tokoh lama seperti Pigou memberikan solusi perpajakan, yang memberlakukannya sama dengan publik lain pada umumnya.
(hlm. 48)
Analisis kemudian menunjukkan, bahwa kenaikan harga minyak pada tahun 1973 hanyalah bersifat trigger bagi kemelut yang telah melekat dalam ekonomi. Pada saat itulah orang teringat akan karya Von Hayek, Price and Production, yang dapat memberi penjelasan pada situasi tersebut.
Beberapa pemikiran Coase
Bagi tokoh ini, hak pemilikan pribadi yang pasti, adalah salah satu syarat bagi berfungsinya ekonomi pasar, di mana terdapat dampak eksternal. Tokoh ini mengemukakan teori yang menyatakan, bahwa bila aspek hukum hak pemilikan awal adalah pasti (well-defined) serta bila biaya transaksi perdagangan adalah nol, maka hasil akhir dalam situasi pasar seimbang adalah efisien (dalam pengertian Pareto optimum), tanpa dipengaruhi oleh pola (konfigurasi) pemilikan sebelumnya.
(hlm. 49)
Contoh yang dikemukakan ialah satu pabrik pulp dan kertas yang mencemari sungai.
Sekarang telah ada peristilahan jual-beli emisi (emission trading), Emission Reduction Credit (ERC), pembentukan pasar pencemaran (Market Creation), dan sebagainya, yang sebelumnya tidak terpikirkan. Yang dimaksud dengan emission trading ialah adanya satu perusahaan, di mana tingkat pencemaran limbahnya berada di bawah harga ambang yang telah ditentukan, dapat menjual selisih itu pada perusahaan lain, yang tingkat pencemarannya berada di atas ambang tersebut. Tentu saja rata-rata keduanya masih harus di bawah ambang batas yang diizinkan. Artinya, perusahaan yang mampu beroperasi lebih bersih, akan dihargai dalam nilai moneter dalam pasar pencemaran. Jadi, ada hak pada prestasi proses produksi yang bersih (clean process).
(hlm. 50)
Sebagai usulan konkret ialah, bahwa negara maju atau negara industri harus membeli hak mengeluarkan gas-gas tersebut dari negara berkembang, karena mereka ini tidak mengotorinya.
Pemikiran Coase dalam teori perusahaan telah begitu tua, tahun 1937, yaitu dalam artikelnya yang berjudul “The Nature of the Firm” dalam Revue Economica, berarti sebelum penerbitan karya J.M. Keynes tentang The General Theory.
(hlm. 51)
Akan tetapi, lain halnya dengan pasar intern, di mana mekanisme itu akan banyak tergantung dari pengambil keputusan produksi perusahaan. Teori ini sebenarnya mengingkari teori klasik sebelumnya, bahwa dalam ekonomi pasar, alokasi sumber daya akan berlangsung melalui mekanisme pasar. Atau, dengan kata lain, sebenarnya teori Coase hendak mengatakan, bahwa kerangka operasi ekonomi pasar harus menambahkan “organisasi” atau “lembaga”, selain pelaku individual (individu atau keluarga) dan pasar (pasar ekstern menurut kerangka pikir baru ini).
(hlm. 51)
Akan tetapi, lain halnya dengan pasar intern, di mana mekanisme itu akan banyak tergantung dari pengambil keputusan produksi perusahaan. Teori ini sebenarnya mengingkari teori klasik sebelumnya, bahwa dalam ekonomi pasar, alokasi sumber daya akan berlangsung melalui mekanisme pasar. Atau, dengan kata lain, sebenarnya teori Coase hendak mengatakan, bahwa kerangka operasi ekonomi pasar harus menambahkan “organisasi” atau “lembaga”, selain pelaku individual (individu atau keluarga) dan pasar (pasar ekstern menurut kerangka pikir baru ini).
(hlm. 52)
Apa relevansi teori Coase pada masalah perusahaan di negara komunis? Hal ini kembali akan menyangkut masalah pemilikan perusahaan yang publik anonim. Pemilikan akan berkaitan dengan pengawasan operasi perusahaan. Pemilik privat akan sangat jeli pada setiap usaha peningkatan efisiensi dan keefektifan, serta pencapaian sasaran keuntungan.
Pelajaran yang dapat ditarik ialah bila harga komoditi akan sangat tinggi pada masa mendatang, maka perlu diperlambat eksploitasinya. Menurut dia, teori ini dapat juga digunakan pada analisis harga barang durabel.
(hlm. 53)
Kritik untuk Neoklasik dan Sosialisme
Memang harus diakui, untuk mengemukakan kontribusi Ronald Coase dalam ilmu ekonomi secara menyeluruh tidaklah mudah. Dia mengemukakan teori tentang hak pemilikan (property rights), teori tentang perusahaan dan biaya-biaya transaksi, dan teori tentang eksternalitas, khususnya tentang polusi.
(hlm. 54)
Dalam tulisan ini, penulis membatasi uraian dengan hanya mengemukakan kontribusi Coase dalam teori tentang perusahaan (theory of the firm) yang amat legendaris, yang merobohkan sendi-sendi teori mikro kaum Neoklasik, yang sampai saat ini masih mendominasi buku-buku teks ilmu ekonomi mikro di negara kita.
Organisasi sebagai alternatif pasar
Teori tentang perusahaan dianggap identik dengan teori mengenai struktur pasar. Alhasil, bentuk-bentuk kelembagaan (organisasi), dinamika internal organisasi dan fenomena konflik di dalam organisasi, diabaikan.
Dalam artikel berjudul “The Nature of The Firm” tahun 1937, Coase menawarkan cara pandang yang lain. Menurut Coase, jika masyarakat dipandang sebagai suatu jaringan transaksi (network of transaction), maka perusahaan juga merupakan suatu jaringan transaksi tersendiri. Itu sebabnya mempelajari perusahaan secara benar harus bertitik tolak dari transaksi sebagai unit analisis dan biaya-biaya transaksi sebagai faktor penjelas berbagai alternatif kelembagaan yang muncul.
(hlm. 55)
Dengan demikian, dalam pandangan Coase, perusahaan atau organisasi merupakan alternatif lain untuk melakukan transaksi di luar mekanisme pasar yang sudah kita kenal.
Pasar dan organisasi dapat dibedakan dalam tiga dimensi, yaitu dimensi kepemilikan, sifat imbalan, dan dimensi supervisi (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Perbedaan antara Pasar dan Organisasi
Dimensi | Pasar | Organisasi |
Kepemilikan | Terbuka | Tertutup |
Imbalan | Harga (harga pasar) | Gaji, bonus |
Supervisi | Tidak ada | Pengawasan ketat |
Pertanyaan yang muncul adalah, kapan suatu transaksi dilakukan melalui pasar dan kapan melalui organisasi? Coase menjawab, tergantung mana yang paling efisien untuk melakukan transaksi. Lalu, muncul dalil bahwa bentuk-bentuk kelembagaan dalam sistem ekonomi selalu digerakkan oleh dorongan untuk meningkatkan efisiensi.
(hlm. 56)
Mana yang lebih efisien antara pasar dan organisasi? Hal tersebut tergantung dari biaya-biaya transaksi. Williamson (1985) mendefinisikan biaya-biaya transaksi sebagai costs of planning, adapting, and monitoring task completion under alternative governance structures. Sedangkan dimensi transaksi ada tiga, yaitu frekuensi transaksi, keunikan transaksi (spesifisitas transaksi), dan derajat ketidakpastian transaksi.
Teori ini kemudian dikembangkan untuk menganalisis, mengapa suatu perusahaan melakukan strategi integrasi vertikal, yaitu mengambil alih kegiatan yang semula dilakukan melalui mekanisme pasar. Studi tentang hubungan subcontracting sekarang juga mengandalkan pada teori Coase, karena subcontracting pada dasarnya merupakan bentuk transaksi di antara pasar dan organisasi.
(hlm. 57)
Koreksi sosialisme menyusul
Jika kita menggunakan teori Coase, maka kita bisa mengatakan, sistem ekonomi sosialisme adalah sistem ekonomi yang berpretensi, bahwa segala jenis transaksi akan lebih efisien, bila dilakukan melalui organisasi. Sebaliknya, sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi yang beranggapan, bahwa segala sesuatu yang dilakukan melalui mekanisme pasar akan lebih efisien.
Dalam konteks mikro, tumbuhnya perusahaan-perusahaan skala besar dapat dipandang sebagai upaya inovatif, untuk melakukan koreksi terhadap ketidaksempurnaan pasar, sekaligus memanfaatkan keunggulan mekanisme organisasi. Dalam konteks makro, kelemahan mekanisme pasar dikoreksi oleh kekuatan pemerintah. John Keynes, yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi modern, memberi legitimasi teoritis terhadap intervensi pemerintah, karena dia menemukan bukti, bahwa sektor swasta ternyata tidak memiliki self-correcting mechanism yang memadai. Menurut Keynes, kompetisi pasar dan regulasi pasar harus berjalan bersama-sama dan satu sama lain berperan sebagai countervailing power (kekuatan pengimbang).
(hlm. 58)
Bagaimana dengan sistem ekonomi sosialisme? Gorbachev dan Deng Xiao Ping, sekitar lima puluh tahun sesudah Keynes, menyadari bahwa ekonomi sosialisme ternyata menciptakan banyak inefisiensi, dan karena itu harus belajar memanfaatkan keunggulan yang dimiliki oleh mekanisme pasar.
Bila batas optimal tersebut telah sama-sama dicapai, baik oleh sistem ekonomi kapitalisme (yang prosesnya berlangsung lebih awal) maupun sosialisme (yang prosesnya berlangsung lebih lambat), maka tidaklah relevan lagi kita berpikir secara polaristik kapitalisme versus sosialisme.
(hlm. 59)
Hadiah Nobel untuk Ekonomi: Bagi Pertumbuhan Ekonomi Pranata Sosial Itu Lebih Menentukan
SEBUAH tradisi telah dilanggar oleh komite Hadiah Nobel untuk ekonomi, yang berpusat di Stockholm (Swedia). Douglass C. North (72) dari Washington University, St. Louis (Missouri) dan Robert W. Fogel (67) dari University of Chicago (Illinois) dinyatakan sebagai pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 1993. Penghargaan itu diberikan atas karya mereka dalam bidang penelitian tentang kaitan antara proses pertumbuhan ekonomi dengan perubahan pranata sosial.
Tradisi memang telah dilanggar karena baru kali ini sebuah Hadiah Nobel Ekonomi diberikan untuk sebuah karya di bidang sejarah ekonomi. Selama ini penghargaan tersebut hanya diberikan kepada mereka yang berkecimpung dalam bidang ilmu ekonomi “murni”.
(hlm. 60)
Bagi Prof. North, seorang Ph.D dari Berkeley (California) tahun 1952, pelanggaran tradisi itu bahkan dinilai “sangat mengejutkan”. “Penghargaan itu memang merupakan sesuatu yang paling menyenangkan bagi seorang ilmuwan,” demikian komentar North dari St. Louis.
Melalui teori dan teknik statistik yang teliti, Fogel dan North berhasil mengubah sejarah ekonomi menjadi salah satu perangkat penting guna memahami sebuah proses pertumbuhan perekonomian, yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Di kalangan para ekonom, pendekatan yang dilakukan oleh North dan Fogel disebut cliometrics atau “sejarah ekonomi baru”.
(hlm. 61)
Kita telah menyaksikan bagaimana banyak negara kurang berkembang tidak memiliki sistem pranata sosial dan kelembagaan yang baik. Kita juga menyaksikan apa yang terjadi pada perekonomian negara-negara bekas blok Timur,” demikian tambahnya.
KELANGKAAN pranata sosial yang baik—khususnya pranata hukum—di negara berkembang serta perubahan perekonomian negara-negara bekas Blok Timur, merupakan latar belakang pelanggaran tradisi dari komite ekonomi Hadiah Nobel 1993.
Sebagai seorang sejarahwan ekonomi mereka mencoba untuk menjelaskan peran dari ide serta pranata sosial bagi tindakan dan pilihan yang dilakukan oleh manusia. Yang menjadi perhatian utama penelitian North dan Fogel adalah cara-cara yang dipergunakan oleh pranata sosial beserta aturan-aturan yang menyertainya dalam menumbuhkan atau menghalangi kemajuan. Individu memang merupakan penentu penting dalam upaya kesejahteraan masyarakat. Namun—demikian hasil penelitian North dan Fogel—yang lebih penting adalah bagaimana aturan main dalam ekonomi itu bekerja.
“Penemuan Prof. North dan Prof. Fogel menunjukkan bahwa tidaklah menjadi soal apakah para perencana ekonomi itu pintar atau berkehendak baik. Yang paling menentukan bagi sebuah pertumbuhan ekonomi adalah pranata sosial dan hukum yang ada di masyarakat yang bersangkutan,” demikian misalnya komentar dari David Henderson, editor Fortune Encyclopedia of Economics.
(hlm. 62)
Sejak lama ada anggapan bahwa perubahan teknologi serta inovasi merupakan faktor utama bagi kemajuan ekonomi masyarakat.
Melalui sebuah penelitian mengenai produktivitas dalam pelayaran laut (1968), North membuktikan bahwa perubahan organisasi dan pranata sosial ternyata lebih berpengaruh bagi sebuah pertumbuhan ekonomi ketimbang perubahan teknologi. Secara lebih khusus, North bahkan membuktikan—melalui penelitian sejarah ekonomi—bahwa beberapa pranata sosial macam hak milik dan aturan kontrak merupakan unsur utama guna menciptakan insentif yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat.
North misalnya membandingkan ekonomi perdagangan Inggris dan Belanda, yang tumbuh subur pada abad XVII, dengan perekonomian Spanyol, yang pada periode yang sama justru mandeg. Spanyol mengalami kemunduran yang berkepanjangan karena kekuasaan ekonomi hanya ada pada tangan kelompok elite. Di negeri itu, kepastian hukum mengenai hak milik juga tidak ada. Sebaliknya, merosotnya peranan gilda (perserikatan produsen) di Inggris dan Belanda—yang masa itu dianggap sebagai monopolis—dan berkembangnya rule of law di dua negeri itu merupakan pendukung utama bagi pasar hingga mampu berfungsi secara benar.
(hlm. 63)
Menurut Prof. John Nye dari Washington University, makna penting dari karya North adalah kemampuannya untuk memperlihatkan kepada para ekonom bahwa pranata-pranata sosial ternyata merupakan unsur utama dalam sebuah pertumbuhan ekonomi, sama halnya seperti juga nilai tukar dan alokasi sumber-sumber ekonomi.
Peraih Nobel Ekonomi keempat asal Chicago University itu—sebelumnya adalah Merton Miller, Ronald Coase, dan Gary Becker—telah memperbarui metode sejarah ekonomi. Melalui aplikasi teknik statistik yang teliti, Fogel berhasil membuktikan ketidaktepatan beberapa asumsi umum mengenai pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Penelitian dan pengujian mengenai peranan kereta api di AS pada abad XIX, yang diterbitkan oleh Fogel tahun 1964, misalnya, memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidaklah disebabkan oleh adanya penemuan-penemuan khusus. Penentu sebuah perkembangan ekonomi adalah banyaknya perubahan teknik, yang khusus dilakukan dalam organisasi ekonomi itu sendiri.
(hlm. 64-65)
Fogel memang kemudian mengejutkan kalangan para sejarahwan ekonomi melalui penelitiannya mengenai dampak ekonomi dari perbudakan di AS. Dalam karyanya bersama Stanley Engerman, yang berjudul Time on the Cross: The Economics of American Slavery (1974), Fogel menolak pandangan umum yang menyatakan bahwa perbudakan di AS adalah sebuah sistem ekonomi yang tidak efisien. Dengan analisis yang sangat teliti, Fogel membuktikan bahwa secara ekonomis perbudakan itu bernilai. Ia hanya dihapuskan karena alasan politik bukan karena alasan ekonomi.
“Saya hanya ingin menunjukkan melalui sejarah ekonomi bahwa dari sudut kesejahteraan dan kesatuan keluarga, kehidupan para budak di zaman itu tidak lebih jelek dibandingkan dengan zaman pekerja bebas,” demikian pernah dikatakan Fogel mengenai kontroversi Time on the Cross.
Kini ia sedang mengembangkan sebuah cabang sejarah ekonomi, di mana data biomedis tentang tinggi manusia, berat badan, jumlah makanan yang disantap, serta tingkat kematian, dijadikan alat ukur untuk menilai kesejahteraan ekonomi.
Sejarah ternyata memperlihatkan bahwa Zeitgeist (= roh zaman) perekonomian dunia adalah pentingnya pranata sosial—bagi Indonesia bentuknya lebih sebagai pranata hukum—dalam menumbuhkan kesejahteraan masyarakat.
(hlm. 66)
Ekonomi Pancasila Versi Penerima Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi 1993
Keduanya suma sejarawan ekonomi, yang tak dipandang biarpun dengan sebelah mata oleh masyarakat umum, apalagi oleh para ekonom mapan di mana-mana.
(hlm. 67)
Di atas dalil-dalil ilmu ekonomi neoklasik, mereka itu cenderung asyik-masyuk dengan model-model matematik yang rumit, seolah-olah proses ekonomi berjalan tanpa tradisi budaya dan sosial, tanpa sejarah.
Sudah sejak 1992
Kendati tetap dengan model-model matematik yang rumit, berbeda dari kebanyakan ekonom neoklasik, Becker dianggap berhasil menggunakannya untuk menjelaskan gejala-gejala sosial non-ekonomi yang ikut menentukan proses perekonomian.
Jika perubahan tersebut mengejutkan dipandang dari sudut ilmu ekonomi yang sedang dominan (neoklasik), maka untuk kita di Indonesia mestinya lebih daripada itu. Rasa terkejut mungkin patut disertai dengan rasa gembira. Gembira, tentunya karena hal itu dapat mendorong semangat segelintir ekonom kita yang selama ini coba mendalami sejarah perekonomian Indonesia, seperti Thee Kian-Wie dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Pada dasarnya, apa yang hendak dirumuskan sebagai ekonomi Pancasila adalah semacam gagasan jalan tengah antara model persaingan bebas dan model etatisme (perencanaan terpusat di bawah kekuasaan negara).
(hlm. 68)
Namun, persaingan, paling tidak, bukanlah konsekuensi satu-satunya dari kelangkaan itu. Kerja sama (cooperation) justru dipandang sebagai konsekuensi kelangkaan juga. Bahkan, persaingan mustahil tanpa kerja sama itu.
Keselamatan bersama (altruism) tak kurang pentingnya, yang dalam bahasa biologi sosial disebut survival maximization.
(hlm. 69)
Oleh karena itu, transformasi (pengolahan produk) dan transaksi ekonomi menuntut biaya besar. Untuk menguranginya, peranan lembaga atau pranata (institution) menjadi sangat penting.
Bermula dari sejarah
Gagasan-gagasan pokok North dan Fogel seperti diringkaskan di atas merupakan batu sendi teori perubahan sosial-ekonomi, yang kini dikenal sebagai a theory of institutional change. Artinya, gagasan-gagasan pokok yang sepintas terasa biasa-biasa itu, bukanlah terutama hasil perenungan atau spekulasi, tapi lebih merupakan hasil pemeriksaan sejarah dan pergulatan teoritik yang dijalin dalam kerangka analisis yang baru.
Arah dan bentuk perubahan sosial-ekonomi sepanjang sejarah serba ragam bahkan terpisah oleh jurang perbedaan.
Lebih aneh lagi, sejarah penuh dengan sistem sosial-ekonomi yang sama sekali tak efisien, macet, bahkan memerosotkan kesejahteraan umum, tetapi tetap bertahan dengan kokohnya. Aneh, sebab bukankah teori neoklasik menyiratkan bahwa sistem-sistem seperti itu mesti lenyap akibat persaingan?
Pada dasarnya jawaban itu memberikan pranata (institutions) sebagai penentu kinerja ekonomi, dan pergeseran harga-harga secara nisbi sebagai sumber perubahan pranata.
(hlm. 70)
Apa yang pernah lama diderita Spanyol misalnya, termasuk dalam sistem seperti itu. Sistem itu timbul dan bertahan karena kebutuhan fiskal penguasa Spanyol.
Pranata sebagai penentu kinerja perekonomian tetap dipertahankan, tetapi kini tanpa orientasi efisiensi. Artinya, kendati menentukan, pranata merupakan “a mixed bag” berisi rangsangan yang menurunkan (efisiensi) maupun meningkatkan biaya (inefisiensi) transformasi dan transaksi sosial ekonomi.
Pranata dan kinerja ekonomi
Namun demikian, baik teori ekonomi maupun sejarah yang ada selama ini tampaknya belum menyadari pentingnya peranan pranata itu, seperti tercermin pada belum masuknya faktor pranata dalam kerangka analisis teori-teori tersebut.
(hlm. 70)
Apa yang pernah lama diderita Spanyol misalnya, termasuk dalam sistem seperti itu. Sistem itu timbul dan bertahan karena kebutuhan fiskal penguasa Spanyol.
Pranata sebagai penentu kinerja perekonomian tetap dipertahankan, tetapi kini tanpa orientasi efisiensi. Artinya, kendati menentukan, pranata merupakan “a mixed bag” berisi rangsangan yang menurunkan (efisiensi) maupun meningkatkan biaya (inefisiensi) transformasi dan transaksi sosial ekonomi.
Pranata dan kinerja ekonomi
Namun demikian, baik teori ekonomi maupun sejarah yang ada selama ini tampaknya belum menyadari pentingnya peranan pranata itu, seperti tercermin pada belum masuknya faktor pranata dalam kerangka analisis teori-teori tersebut.
Bagi North dan Fogel, lembaga atau pranata mencakup tradisi budaya, sosial, dan politik; perangkat hukum dan peraturan; bahkan ideologi umum dan kelompok (cara memandang dan menjelaskan dunia).
(hlm. 71)
Kalau saling hubungan antarmanusia diibaratkan pertandingan olahraga, begitu North, maka aturan permainan (formal dan informal) adalah pranata, sedangkan para pemain adalah organisasi.
Dalam bahasa ekonomi, pranata adalah garis kendala (constraint line) yang membatasi kinerja itu.
(hlm. 72)
Namun demikian, betapa rumit pun struktur itu, semuanya dapat digolongkan dalam tiga model biaya transaksi.
Pertama, dengan personalisasi kegiatan ekonomi (produsen kecil, perdagangan lokal) maka biaya transaksi rendah, tetapi biaya transformasi tinggi karena spesialisasi rendah.
Kedua, impersonalisasi kegiatan ekonomi lewat norma-norma kesukuan dan keagamaan ketika kegiatan ekonomi itu makin luas dan terspesialisasi. Harga transaksi tinggi karena lemahnya jaminan pelaksanaan norma itu.
Ketiga, impersonalisasi kegiatan ekonomi dengan jaminan pihak ketiga, yakni negara. Dalam keadaan ini, kegiatan ekonomi bisa sangat luas dan sangat terspesialisasi, biaya transformasi dan transaksi bisa rendah, tapi tergantung dari mutu jaminan pihak ketiga tadi.
Inilah yang oleh North disebut a transaction cost theory of exchange, yang sama sekali tidak ada dalam ilmu ekonomi neoklasik.
Dalam penelitiannya atas perekonomian AS, North menemukan bahwa biaya transaksi itu pada 1986 mencakup 45 persen dari pendapatan nasional, meningkat dari 25 persen seabad yang lalu. North juga merujuk penelitian Hernando de Soto di Peru, yang mencatat 80 persen dari modal pelaku ekonomi informal habis untuk biaya yang serupa.
Perubahan institusional
Perbedaan antara pranata dan badan (organisasi) merupakan kunci penjelas North mengenai perubahan sosial ekonomi. Itulah yang disebutnya a theory of institutional change.
(hlm. 73)
Peluang-peluang ini direbut dengan mendirikan organisasi sosial ekonomi, perseroan misalnya.
(hlm. 74)
“Teori ekonomi neoklasik sama sekali tidak memadai mengkaji dan merumuskan kebijakan yang menggerakkan pembangunan. Teori tersebut hanya menyangkut cara bekerja pasar, bukan perkembangannya. Mana mungkin merumuskan kebijakan pembangunan jika orang tak mengerti bagaimana ekonomi berkembang?”
(hlm. 75)
Ekonom dan Sosiolog, Bersatulah
DALAM mata kuliah Ekonomi Indonesia mempunyai bahan kuliah yang teramat bagus, yaitu peristiwa penganugerahan Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi 1992 kepada Prof. Gary S. Becker. Inilah kesempatan paling tepat untuk “mengejar” mahasiswa Indonesia betapa amat penting hubungan erat antara para ekonom dan sosiolog di Indonesia, yang selanjutnya bisa dan harus diperluas dengan para ahli ilmu-ilmu antropologi, politik, dan bahkan ilmu agama. Inilah pendekatan transdisiplin yang kami perjuangkan sejak tahun 1980 dengan penerbitan buku, Ilmu Ekonomi Sosial dan Keadilan: Analisis Trans-Disiplin dalam Rangka Mendalami Sistem Ekonomi Pancasila, YAE, 1980.
(hlm. 76)
Gary Becker adalah seorang “pahlawan”, kalau boleh disebut demikian. Yaitu pahlawan, perintis, atau bahkan ekonom pemberontak, yang berjuang keras melawan arus ekonomi “arus utama” (mainstream), yaitu ilmu ekonomi Neoklasik. Arus yang ditentangnya adalah arus pemikiran sempit yang menganggap faktor-faktor “non-ekonomi” dalam kehidupan masyarakat sebagai “tidak penting”, sehingga bisa dianggap “konstan”. Dalam kenyataan, menganggap faktor-faktor non-ekonomi sebagai “data” yang konstan bisa benar-benar menyesatkan, dan bisa berakibat analisis ekonomi menjadi “tak ada gunanya”.
Namun sayangnya “raja” ilmu sosiologi di Amerika Serikat yaitu Talcott Parsons dianggapnya “terlalu sulit” sehingga karena itu ia kembali pada ilmu ekonomi.
Milton Friedman adalah seorang ekonom kawakan dari Chicago yang “membuka jalan” bagi Becker dan meyakinkan bahwa masalah-masalah sosial dapat dipecahkan dengan peralatan ilmu ekonomi.
Masalah pertama yang menantang Gary Becker adalah masalah diskriminasi (rasial) yang selanjutnya dijadikan topik disertasi doktornya pada tahun 1955 di Universitas Chicago.
Imperialisme ekonomi
“Agresivitas” Gary Becker untuk menerapkan ilmu ekonomi neoklasik pada masalah perilaku manusia di berbagai bidang yang biasanya di luar perhatian ekonom, cukup “menyakitkan” sementara sosiolog, yang kemudian menuduh adanya “imperialisme ekonomi” terhadap bidang-bidang di luar ilmu ekonomi.
(hlm. 77)
Bagi Gary Becker, ilmu sosiologi menghasilkan ahli-ahli yang mampu “berpikir besar” dan keprihatinannya terhadap konflik-konflik sosial justru lebih tajam ketimbang para ekonom.
Selama ini sosiolog lebih kreatif dalam survei-survei lapangan; sedangkan ekonom hampir selalu menggantungkan pada data-data sekunder yang “buatan” badan-badan pemerintah, yang sering ketelitiannya diragukan bahkan oleh yang mengumpulkan sendiri.
Rasional dan nonrasional
Ilmu ekonomi sering dikenal sebagai ilmu tentang pilihan-pilihan “rasional” (yaitu maksimisasi keuntungan atau minimisasi biaya).
Inilah yang kemudian berkembang menjadi perbedaan tajam antara ekonomi neoklasik dan ekonomi kelembagaan (institutional economics).
(hlm. 78)
Ilmu ekonomi kelembagaan menentang asumsi kaum neoklasik yang menganggap lembaga (institution) sebagai konstanta (ceteris paribus).
Cara atau pendekatan yang demikian bisa menjurus ke arah sikap “pengecut, dan ilmu ekonomi menjadi ilmu “abstrak” tanpa pijakan di dunia nyata. Lalu untuk apa?
Maka dalam bukunya History of Economic Analysis memang disebutnya 4 bidang garapan ilmu ekonomi yaitu: teori, sejarah ekonomi, statistik, dan sosiologi ekonomi (atau ekonomi sosiologi).
Di Amerika Serikat yang mulai menjadi pusat ilmu pengetahuan, tahun-tahun 1930-1950 merupakan periode “perpisahan total” antara ilmu ekonomi dan ilmu sosiologi.
(hlm. 79)
Di antaranya yang terpenting adalah antara Frank Knight, yang ekonom, dan Talcott Parsons, yang sosiolog, karena mereka berdua bersimpati pada pikiran-pikiran jernih Max Weber.
Dan kegagalan pendekatan ini digambarkan dengan cara sindir-menyindir ilmiah yang cukup bermutu, misalnya lelucon oleh Frank Knight yang (barangkali) ditujukan terhadap Talcott Parsons yang dianggapnya banyak bicara tetapi isinya terlalu ringan, terutama dalam buku “babon” sosiologi Economy and Society (1956): Sociology is the science of talk, and there is only one law in sociology. Bad talk drives out good talk.
Penutup
Kita di Indonesia harus mengakui belum memasuki dunia perdebatan ilmiah yang serius seperti yang dilukiskan di atas. Memang benar ada tulisan-tulisan yang sekadar “sindir-menyindir” antara para ekonom, sosiolog, dan ahli-ahli ilmu politik, menyangkut pelaksanaan pembangunan nasional kita dan peranan ilmu-ilmu sosial di dalamnya, yang nyata-nyata didominasi oleh pembangunan ekonomi, dan secara logis, ilmu ekonomi.
(hlm. 80)
Pemikiran tentang ekonomi Pancasila tahun 1981 di saat-saat memuncaknya pertumbuhan ekonomi nasional, sesungguhnya merupakan upaya “mengoreksi” ajaran ekonomi neoklasik yang cukup cocok untuk mengajarkan pertumbuhan, tetapi disangsikan sebagai ajaran pemerataan.
Ajaran ekonomi Pancasila adalah ajaran ekonomi “kelembagaan” atau ajaran ekonomi “moralistik” yang tidak memandang lembaga-lembaga ekonomi dan sosial yang ada tidak berperanan (atau diasumsikan sebagai konstan).
Demikian memang jika ingin bermanfaat, ilmu ekonomi di Indonesia harus dikembangkan bersama-sama ilmu sosial lain. Dan bahkan dengan ilmu-ilmu agama yang moralistik. Masalahnya adalah bagaimana caranya. Hal ini memang masih amat sulit dijabarkan dalam analisis yang logis dan rasional, dan barangkali memang tidak akan mungkin.
(hlm. 82)
Permainan dalam Pasar Persaingan Tak Sempurna
TIGA nama muncul sebagai pemenang Hadiah Nobel Ekonomi untuk tahun 1994. Mereka adalah John Nash (Universitas Princeton, AS), John Harsanyi (Universitas Bonn, Jerman), dan Reinhard Selten (Universitas Bonn, Jerman). Ketiganya dinilai memberi sumbangan besar dalam mengembangkan game theory (selanjutnya disingkat GT) untuk menjelaskan berbagai perilaku ekonomi.
Pada tahun 1990, Harry Markowitz, Merton Miller, dan William Sharpe, ketiganya dari Amerika Serikat, juga mendapat kehormatan yang sama.
(hlm. 83)
Trio Markowitz-Miller-Sharpe (1990) berjasa dalam mengembangkan Teori Portofolio Investasi dan meletakkan dasar-dasar teori pasar modal modern. Ronald Coase (1991) dinilai sebagai perintis pendekatan baru dalam teori ekonomi yang sekarang dikenal sebagai new institutional economics. Gary Becker (1992) berhasil menerapkan teori ekonomi mikro untuk mengkaji fenomena-fenomena non-ekonomi. Douglas North dan Robert Fogel (1993) dianggap berjasa luar biasa dalam mengembangkan cliometrics, yaitu aplikasi gabungan teori ekonomi mikro, sejarah, dan ekonometri.
Hipotesis Milton Friedman (pemenang Nobel Ekonomi 1976) kali ini sedikit meleset. Dengan setengah bergurau, setelah mempelajari riwayat para pemenang Nobel Ekonomi, Friedman pernah menulis bahwa untuk menduga siapa pemenang Nobel Ekonomi tidaklah sulit.
Ada tiga syarat untuk itu, yaitu pria, warga Amerika Serikat, dan pernah belajar atau mengajar di Chicago. Untuk tahun ini, kubu Chicago harus bersabar, karena tidak menambah nama baru dalam daftar panjang dominasi mereka.
Colin Camerer (1991) mendefinisikan GT sebagai the analysis of rational behavior in situations involving interdependence of outcome—when my payoff depends on what you do. Kalimat kunci dalam memahami GT adalah hubungan-hubungan interaktif yang melibatkan interdependensi (kesalingtergantungan).
(hlm. 84)
Pasar dalam realitas sehari-hari adalah pasar yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Salah satu sumber ketidaksempurnaan tersebut adalah jumlah pelaku pasar yang terbatas. Dalam pasar demikian, tindakan satu pelaku memengaruhi pelaku lainnya. Rantai aksi-reaksi inilah yang berusaha dikaji oleh GT.
GT memiliki latar belakang yang panjang. Pada abad ke-19, dua ahli ekonomi, yaitu Cournot (1838) dan Bertrand (1883), telah merintis dasar-dasar GT. Cournot dan Bertrand mengembangkan model aksi-reaksi dalam pasar duopoli (pasar dengan dua orang penjual). Model tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Edgeworth (1952).
GT semakin kukuh sebagai teori melalui karya John von Neumann dan Oskar Morgenstern dalam buku mereka yang monumental Theory of Games and Economic Behavior (1944). Von Neumann dan Morgenstern sampai pada kesimpulan bahwa semua pertanyaan dalam teori ekonomi seyogianya dianalisis dalam konteks GT. Alasannya, dalam setiap hubungan interaktif selalu ada unsur interdependensi.
(hlm. 85)
John Nash (1950) mengembangkan dasar-dasar GT untuk menganalisis situasi apabila kepentingan para pelaku ekonomi (dalam GT disebut sebagai para pemain) tidak selalu berlawanan. Situasi demikian adalah non-zero-sum-games.
Dari pekerjaan itulah kemudian muncul terminologi yang sangat terkenal, yaitu “kesetimbangan Nash” (Nash equilibrium). Kesetimbangan Nash, jika disederhanakan, adalah situasi di mana para pemain tidak memiliki hasrat untuk mengubah lagi tindakannya, karena harapan masing-masing pemain tentang dan terhadap lawannya ternyata benar.
Jika Nash bekerja dalam konteks informasi yang simetris, yaitu para pemain memiliki informasi yang sama, maka Harsanyi (1967) memperluas permainan dengan memperkenalkan situasi jika informasi bersifat asimetris (tidak sama).
Selten (1965) melakukan hal yang hampir sama. Selten berpendapat, tindakan seorang pemain akan berubah bukan saja apabila ada peluang untuk memperbaiki posisinya, melainkan juga apabila ia tahu apakah permainan tersebut akan terus berlangsung atau tidak.
(hlm. 86-87)
Pertama, GT termasuk bidang yang sulit untuk dipelajari, karena mensyaratkan penguasaan matematika yang cukup tinggi. Selain itu, GT hanya bisa diuji dalam konteks observasi yang longitudinal (antarwaktu).
Kedua, GT sering dianggap kotak Pandora, sehingga segala sesuatu bisa dijelaskan oleh teori ini.
Ketiga, dan ini yang nampaknya paling menentukan, adalah sulitnya diperoleh generalisasi dalam GT.
Para praktisi bisnis biasanya lebih menyukai penyelesaian atau jalan keluar yang sifatnya “tinggal telan” (quick fix).
Lepas dari jalan panjang yang masih harus ditempuh oleh GT, potensi aplikasi GT sebenarnya sangatlah luas. Secara terbatas, James Buchanan, pemenang Nobel Ekonomi 1986, telah menerapkan GT dalam percaturan politik. Saat ini, GT secara luas sudah mulai digunakan untuk penelitian-penelitian tentang—untuk menyebut beberapa di antaranya—arti penting komitmen dan reputasi dalam strategi pemasaran, evolusi aliansi strategik, praktik-praktik diskriminasi harga, dan efek pemberian isyarat pasar (market signaling).
(hlm. 88)
Mengapa “Harapan Rasional” Penting?
Tulisan ini dalam rangka menyambut baik pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 1995 Robert Lucas (58), pakar ekonomi dari Universitas Chicago. Teori “rational expectation” mula-mula dikembangkan oleh John Muth yang menjelaskan teori harapan yang bukan berasal dari “adaptive expectation” sebagaimana yang telah dikenal sebelumnya.
(hlm. 89)
Per definisi, masa depan itu tidak diketahui. Studi tentang pengambilan keputusan berkenan dengan bagaimana orang memperkirakan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, beberapa teori diciptakan untuk mencoba meramalkan perilaku orang “mengharapkan” sesuatu di masa depan.
Jika harapan konsumen adalah bahwa mereka akan menjadi kaya di masa depan, maka sekarang mereka akan lebih banyak membelanjakan uangnya, sehingga mengakibatkan output agregatif akan naik.
Teori Harapan Rasional
Sejak tahun 1950-an, ahli ekonomi secara teratur menganggap bahwa harapan itu muncul hanya berasal dari pengalaman masa lampau. Sebagai contoh, harapan akan tingkat inflasi sekarang adalah merupakan rata-rata dari tingkat inflasi masa lalu.
“Adaptive expectation” dapat salah, apabila orang hanya menggunakan data masa lampau dan tidak menggunakan lebih banyak informasi yang ada sekarang. Orang sering dengan cepat berubah harapannya apabila ada informasi baru.
(hlm. 90)
“Rational expectation” ialah ramalan optimal mengenai masa depan dengan menggunakan semua informasi yang ada.
Oleh karena itu, ada dua alasan mengapa suatu expectation gagal untuk menjadi rasional:
- Orang mungkin sadar akan semua informasi yang ada, tetapi ia terlalu malas membuat harapan agar ramalannya baik.
- Orang mungkin tidak sadar akan suatu informasi yang relevan, sehingga ramalannya untuk masa depan menjadi tidak benar.
Mengapa Teori Harapan Rasional Penting?
Mengapa orang mencoba untuk membuat harapan (expectation), yang artinya sama dengan melihat kemungkinan terjadinya sesuatu di masa depan dengan cara memanfaatkan semua informasi yang tersedia?
Jawabannya mudah saja, yakni apabila tidak berbuat demikian, dia akan rugi. Cobalah perhatikan, misalnya ada sebuah perusahaan pengolahan, mengetahui bahwa tingkat bergeraknya bunga penting bagi penjualan komoditi pengolahan tersebut.
(hlm. 91)
Hanya saja, ahli pasar finansial tidak menamakannya “rational expectation” tetapi dikenal dengan “efficient markets theory” (teori pasar finansial yang efisien).
Teori Pasar Finansial yang Efisien
Teori pasar finansial yang efisien (efficient markets theory) berdasarkan atas asumsi bahwa harga-harga saham di pasar finansial sepenuhnya merupakan refleksi dari informasi yang ada. Keuntungan yang didapat dari memegang saham sama dengan jumlah capital gain dari saham itu (beda harga) ditambah dividen dibagi harga semula.
(hlm. 92)
Setelah Perang Dunia II, ahli ekonomi memanfaatkan model Keynes (misalnya model IS-LM) untuk menggambarkan bagaimana kebijaksanaan pemerintah dapat digunakan untuk menanggulangi pengangguran dan output nasional.
Lucas mengkritik evaluasi kebijaksanaan melalui ekonometri (econometric policy evaluation). Model ekonometri memuat persamaan-persamaan matematik yang menggambarkan hubungan di antara ratusan variabel. Hubungan-hubungan ini diasumsikan konstan dan diestimasi berdasarkan data sebelumnya (past data). Kemudian, seandainya kita ingin mengevaluasi apa pengaruh suatu kebijaksanaan terhadap suatu output, maka dengan menganggap variabel kebijaksanaan itu sebagai variabel eksogen, dengan menggunakan koefisien-koefisien ekonometri itu, dapat dipilih output yang dikehendaki.
(hlm. 93)
Jadi, ramalan ekonometri yang menganggap koefisien persamaan itu diasumsikan tetap akan meleset.
Kritik Lucas tidak hanya menunjukkan bahwa model ekonometri konvensional tidak dapat digunakan untuk “policy evaluation,” tetapi juga menunjukkan bahwa harapan orang tentang suatu kebijakan akan mempengaruhi kebijakan itu sendiri.
Dampak Revolusi Harapan Rasional
Teori harapan rasional telah menyebabkan suatu revolusi bagi pola pikir ahli ekonomi tentang hubungan kebijaksanaan moneter dan fiskal dengan pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi.
a. Formasi harapan akan berubah jika perilaku variabel ramalan berubah.
(hlm. 94)
b. Harapan yang rasional juga merupakan highlight atas pentingnya kredibilitas kesuksesan suatu kebijaksanaan. c. Revolusi harapan rasional telah menyebabkan pemikiran kembali mengenai cara kebijaksanaan ekonomi harus dilakukan, dan telah memaksa ahli ekonomi untuk menyadari bahwa peranan suatu kebijaksanaan bagi kita tidaklah terlalu besar. Janganlah hanya membuat perekonomian itu dikendalikan dengan suatu kebijaksanaan, kemudian semua fluktuasi akan dapat dieliminasi. Kita harus membuat kebijaksanaan yang memuat ketidakpastian menjadi berkurang, dan dari situ diciptakan lingkungan ekonomi yang lebih stabil.
(hlm. 95)
Robert E. Lucas, Ekonom AS Ke-24 Peraih Nobel Bidang Ekonomi
Ekonom Amerika Serikat, Robert E. Lucas (58), memperoleh penghargaan Nobel Ekonomi 1995 setelah teori ekonomi makronya tentang “Harapan Rasional” dinilai mampu mengubah pengertian mengenai bagaimana kebijakan ekonomi mempengaruhi harapan masyarakat.
Lima orang profesor ekonomi yang menjadi juri pemberian Hadiah Nobel memberikan penghargaan kepada Lucas karena dianggap, “Telah melakukan pengembangan dan penerapan hipotesis ‘Pengharapan Rasional’. Dengan demikian, mampu mengubah analisis makroekonomi dan memperdalam pengertian tentang kebijakan ekonomi.”
(hlm. 96)
Satu dari sekian banyak contoh tentang hal ini adalah formasi tingkat upah, di mana harapan tentang tingkat inflasi dan tingkat permintaan tenaga kerja di masa datang yang akan sangat memengaruhi kontraksi tingkat upah.
Sungguh benar bahwa harapan rasional adalah sebuah konsep pandangan ke depan. Formulasi konsep ini mula-mula diajukan John Muth tahun 1961, namun kurang mendapat tanggapan berarti sampai tahun 1970, sehingga kemudian Lucas memperluasnya menjadi sebuah model ekonomi agregat.
(hlm. 97)
“Pengalaman sepanjang tahun 1970-1980 memperlihatkan bahwa inflasi yang tinggi ternyata tidak membawa pengaruh permanen terhadap peningkatan tenaga kerja,” kata Lucas.
Pada tahun 1978 Lucas tercatat memberikan kontribusi berharga pada pemikiran asset pricing. Lucas menunjukkan model awal bagaimana menghitung aset pada keseimbangan umum dengan pendekatan harapan rasional.
(hlm. 99)
Robert E. Lucas dan Teori Dugaan yang Rasional
Robert E. Lucas dari Universitas Chicago, AS, meraih penghargaan Nobel untuk ilmu ekonomi. Penghargaan ini diberikan kepadanya setelah dia dianggap berhasil mengemukakan eksposisi teoretis mengenai dugaan yang rasional (rational expectation) secara lebih meyakinkan, sehingga dianggap merupakan kontribusi yang memperkaya khazanah teori ekonomi makro.
(hlm. 100)
Teori expectation menyatakan bahwa pada umumnya para individu atau pihak-pihak di dalam ekonomi adalah rasional dalam pengertian berupaya mengumpulkan informasi yang ada sekarang sebanyak-banyaknya dan menggunakan informasi ini seefisien mungkin untuk tujuan menghindarkan kesalahan dalam gerak tindaknya. Atas dasar informasi yang dikumpulkan, para individu atau unit-unit ekonomi dalam masyarakat akan memformulasikan dugaan-dugaan mereka mengenai perkembangan pada masa yang akan datang, sehingga mempengaruhi gerak tindak mereka. Akibatnya, seluruh kebijaksanaan ekonomi makro yang didasarkan atas hubungan-hubungan tertentu antar variabel-variabel ekonomi dapat tidak efektif dalam mempengaruhi perilaku pelaku ekonomi, sehingga tujuan makro yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kebijaksanaan ini tidak tercapai. Bukti-bukti empiris telah menunjukkan situasi ini.
(hlm. 101)
Kebijaksanaan di tingkat mikro ini hendaklah dalam bentuk-bentuk yang efektif agar dapat mempengaruhi motivasi pelaku ekonomi yang terkait, misalnya dalam bentuk rangsangan pajak.
Adanya trade-off antara inflasi dengan pengangguran yang telah diformulasikan oleh Phillips dan ditunjukkan dalam kurva Phillips, telah juga mendapat kritik dari teori rational expectation.
(hlm. 102)
Pertama, dalam konteks ekonomi yang sangat kompleks, interdependensi dan terus berubah dengan cepat, adalah diragukan mengenai kesanggupan pelaku ekonomi untuk membuat dugaan yang rasional.
Kedua, tidak semua pelaku ekonomi mempunyai formulasi atau model yang sama mengenai bagaimana ekonomi sebetulnya bergerak, sehingga dugaan yang rasional atau pembentukan dugaan yang rasional menjadi tidak seragam dalam ekonomi.
Ketiga, tidak selamanya pelaku ekonomi bersifat rasional. Misalnya, money illusion masih tetap menggambarkan perilaku banyak kalangan buruh.
(hlm. 103)
Keempat, karena sukarnya memformulasikan atau menspesifikasikan dugaan yang rasional, maka dugaan yang rasional tidak dapat secara konkret diterjemahkan dalam model-model ekonomi makro untuk mengakomodasikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam parameter-parameter model-model ini.
Dalam negara-negara ini, kemungkinan terdapatnya apa yang disebut market-clearing prices pada ketiga jenis pasar ekonomi ini sangat tipis atau tidak pernah terjadi sama sekali.
(hlm. 104)
Hadiah Nobel Ekonomi 1996: Kebangkitan Kembali “Game Theory” Dalam Analisis Ekonomi
Delapan Oktober 1996, The Royal Swedish Academy of Sciences mengumumkan pemenang Hadiah Nobel untuk bidang ekonomi, yaitu Profesor James A. Mirrlees (Inggris) dan Profesor William Vickrey (Kanada). Mereka dianggap berjasa besar dalam mengembangkan ilmu ekonomi, khususnya dalam analisis tentang informasi asimetrik.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah argumentasi bahwa penganugerahan Hadiah Nobel untuk kedua ahli ekonomi itu menandai kebangkitan kembali peranan metode deduktif (matematika, khususnya teori permainan) dalam analisis ekonomi.
(hlm. 105)
Teori Permainan sebagai Alat Analisis Ekonomi
Karya Mirrlees yang banyak dikutip dalam khazanah ilmu ekonomi antara lain “An Exploration in Theory of Income Taxation” (dalam Review of Economic Studies tahun 1971), dan “Notes on Welfare Economics, Information and Uncertainty” (dalam Essays in Economic Behavior in Uncertainty tahun 1974). Sedangkan karya Vickrey antara lain adalah “Counterspeculation, Auctions, and Competitive Sealed Tenders” (dalam Journal of Finance tahun 1961).
“Berapa harga yang memberikan laba terbesar?” Harga yang terlalu tinggi menyebabkan konsumen lari ke produsen lain, harga yang terlalu rendah membuat bangkrut juga.
(hlm. 106)
Aspek penting lain dalam teori permainan adalah dinamika dan struktur informasi. Yang dimaksud dengan aspek dinamika adalah soal kerangka waktu, apakah permainan kita ini satu periode saja (sekali main terus bubar), ataukah terus-menerus berkelanjutan (terdiri dari beberapa ronde)? Kalau hanya terdiri dari satu periode, maka permainan disebut bersifat statik, sebaliknya disebut dinamik.
Struktur informasi sangat menentukan solusi suatu permainan. Struktur informasi menentukan bagaimana tiap pemain mengetahui “rahasia” lawannya.
(hlm. 107)
Sumbangan Mirrlees dan Vickrey terutama dalam analisis model permainan dengan struktur informasi asimetrik. Permainan yang mereka analisis tergolong dalam kelas permainan dengan informasi tak lengkap yang dikenal sebagai games of mechanism design. Contoh permainan dalam kelas ini antara lain model diskriminasi harga monopolistik, penetapan pajak optimal, perancangan lelang, dan mekanisme penyediaan barang publik (public goods).
Principal dapat meminta informasi itu dari para agents, tetapi mereka tidak akan mau memberikan informasi kecuali kalau principal memberikan insentif tertentu baik berupa uang tunai ataupun instrumen lain yang dikontrol oleh si principal.
(hlm. 108)
Dalam studi penetapan pajak optimal, yang bertindak sebagai principal adalah pemerintah, sedangkan para konsumen bertindak sebagai agents.
(hlm. 109)
Metode Deduktif Bangkit Kembali
Batang tubuh ilmu dibangun secara sinergis dengan metode deduktif dan metode induktif.
Dalam ilmu ekonomi, metode induktif didominasi oleh ekonometrika.
Sekali lagi, batang tubuh suatu ilmu hanya dapat secara kokoh ditegakkan dengan pendekatan yang lengkap, yakni pendekatan deduktif dan induktif.
(hlm. 110)
Penganugerahan Hadiah Nobel tahun 1996 boleh jadi merupakan peringatan bagi para peminat studi ekonomi bahwa pembangunan teori ekonomi perlu secara seimbang menggunakan pendekatan deduktif dan induktif.
(hlm. 111)
Jurus Mengurangi Risiko Fluktuasi
Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1997 diraih dua pakar ekonomi asal Amerika Serikat (AS), Robert C. Merton (53) dari Universitas Harvard, dan Myron S. Scholes (56) dari Universitas Stanford, California. Kedua pakar ekonomi ini meletakkan dasar dalam opsi-opsi saham dan derivatifnya, suatu yang menjadi pemicu bursa semakin bergairah dalam satu dekade terakhir.
Temuan yang bagi kalangan di luar pasar uang dan modal dianggap rumit dan misteri itu, mulai diperkenalkan di Journal of Political Economy tahun 1973. Meski rumit, hasil temuan ini kini digunakan ribuan pialang dan investor di semua bursa saham dan uang di seluruh dunia.
(hlm. 112)
Pada mulanya, kedua pakar bersama seorang pakar lainnya, Fischer Black, mengembangkan teori call option (hak opsi), di mana investor diberikan hak dan bukan janji untuk membeli atau menjual sesuatu (saham, uang, komoditi) dalam suatu periode tertentu dan pada harga tertentu.
Teori Black-Scholes digunakan untuk menilai dan memperhitungkan strategi melindungi investor saham dari perubahan harga pasar yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
(hlm. 113)
Merton dan Scholes, Nobel Formula Derivatif
Lagi-lagi, seakan-akan mau mengikuti “jejak” prestasi rekan senegaranya, Dr. William Vickrey dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, tahun 1996 lalu, Hadiah Nobel Ekonomi 1997 juga jatuh ke tangan para ekonom AS. Warga AS yang memperoleh penghargaan bergengsi dari Akademi Sains Kerajaan Norwegia (ASKN) itu adalah Prof. Dr. Robert C. Merton (53), dosen business administration di Universitas Harvard, Cambridge, Massachusetts, dan Prof. Dr. Myron S. Scholes (56), pengajar finance di Universitas Stanford, Palo Alto, California.
ASKN berpendapat bahwa kedua ekonom AS itu telah berjasa karena berhasil mengembangkan formula-formula praktis dalam transaksi derivatif, satu kiat guna mengurangi risiko kerugian finansial akibat tak menentunya fluktuasi harga.
(hlm. 114)
Naslund menyebutkan bahwa salah satu alasan paling mendasar dan terkuat yang melatarbelakangi keputusan ASKN adalah fakta bahwa banyak traders dan para ekonom di seluruh dunia telah mempraktikkan rumus-rumus formula hasil kreasi kedua ekonom AS itu.
(hlm. 115)
Secara sederhana, formula derivatif yang dikembangkan oleh duet Merton-Scholes (dan mendiang Black) itu bertujuan “mulia”: berfungsi sebagai “alat” guna memberikan perlindungan atau proteksi (hedging) terhadap kemungkinan sebuah perusahaan besar mengalami kerugian dalam satu investasi tertentu.
Namun, dalam perkembangannya, justru faktor ketidakpastian akan kemungkinan timbul-tidaknya risiko kerugian itulah yang selanjutnya justru dipakai menjadi “sumber” menarik keuntungan. Dan itulah yang terjadi ketika transaksi-transaksi derivatif lantas berkembang menjadi sarana spekulasi pasar.
(hlm. 117)
Merton, Scholes, dan mendiang Fischer, itu sudah lama kenal dan selanjutnya bersahabat akrab, ketika ketiganya masih menjadi mahasiswa MIT tahun 1960-an.
(hlm. 118)
Penghargaan bagi Pelopor Penggunaan Matematika di Pasar Modal
Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan hasil karya Robert C. Merton dan Myron Scholes (bekerja sama dengan Fischer Black, yang meninggal pada bulan Desember 1995) tentang penentuan harga opsi (option pricing), atau lebih populer dengan nama financial derivatives, yang memperoleh Hadiah Nobel Bidang Ekonomi tahun 1997.
Yang menjadi titik awal hingar-bingar penelitian di bidang teori opsi adalah publikasi artikel Fischer Black dan Myron Scholes di Journal of Political Economy tahun 1973, dengan judul “The Pricing of Options and Corporate Liabilities,” dan artikel Robert C. Merton di Bell Journal of Economics and Management Science tahun 1973, dengan judul “Theory of Rational Option Pricing.”
(hlm. 119)
Opsi pada suatu aset adalah suatu kontrak antara dua pihak yang memberikan hak (bukan kewajiban) bagi pihak yang satu untuk membeli/menjual aset dari/kepada pihak lainnya (pihak lainnya ini wajib menjual/membeli aset), dengan harga yang sudah disepakati (disebut strike/exercise price) dan untuk jangka waktu yang sudah ditetapkan (disebut expiry date).
Opsi tipe Amerika boleh dieksekusi kapan saja dalam rentang expiry date, sedangkan opsi tipe Eropa hanya dapat dieksekusi pada expiry date.
(hlm. 120)
Sebagai kompensasi bagi A, sewaktu membuat kontrak, B harus membayar premi kepada A. Formula Black-Scholes digunakan untuk menentukan berapa besarnya premi ini.
Berikut ini kita sajikan perumusan Fischer Black dan Myron Scholes tentang formula Black-Scholes: Ada beberapa asumsi mendasar yang diberikan, yaitu:
- Pasar dianggap tanpa friksi, artinya tidak ada ongkos transaksi dan tidak ada pajak yang dikenakan terhadap transaksi.
- Suku bunga yang berlaku diketahui dan konstan.
- Opsi adalah opsi beli tipe Eropa, yaitu hanya dapat dieksekusi pada expiry date.
- Saham tidak membayarkan dividen selama berlakunya kontrak opsi.
- Harga saham yang bersangkutan mempunyai distribusi lognormal, artinya jika S menyatakan harga saham, maka berlaku persamaan diferensial yang bersifat stokastik:
(hlm. 121)
dS=αSdt+σSdBdS = \alpha S dt + \sigma S dBdS=αSdt+σSdB
dengan α\alphaα dan σ\sigmaσ berturut-turut menyatakan rataan dan volatilitas dari keuntungan/kerugian saham, dan dBdBdB menyatakan perubahan faktor ketaktentuan harga saham.
Dengan menggunakan manipulasi matematika, Fischer Black dan Myron Scholes memformulasikan masalah di atas menjadi masalah matematika yang tidak dapat dikatakan sederhana, yaitu berbentuk persamaan diferensial. Yang lebih penting adalah bahwa mereka berhasil memperoleh solusi dari persamaan tersebut.
C0=S0N(d1)−Xe−rTN(d2)C_0 = S_0 N(d_1) – X e^{-rT} N(d_2)C0=S0N(d1)−Xe−rTN(d2)
d1=ln(S0/X)+(r+σ2/2)TσTd_1 = \frac{\ln(S_0 / X) + (r + \sigma^2 / 2)T}{\sigma \sqrt{T}}d1=σTln(S0/X)+(r+σ2/2)T
d2=d1−σTd_2 = d_1 – \sigma \sqrt{T}d2=d1−σT
(hlm. 122)
- C0C_0C0 = premi opsi jual
- S0S_0S0 = harga saham pada saat kontrak dibuat
- N(d)N(d)N(d) = peluang suatu penarikan acak dari distribusi normal standar kurang dari d
- XXX = exercise price
- eee = 2,71828 bilangan dasar logaritma
- rrr = suku bunga per tahun
- TTT = expiry date opsi beli, dihitung dalam tahun
- ln\lnln = fungsi logaritma natural
- σ\sigmaσ = volatilitas keuntungan/kerugian saham
Input terakhir dari formula, yaitu volatilitas dari keuntungan saham, tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi haruslah ditakar dari data historis.
Robert Merton memperluas formula Black-Scholes ini dengan membuang beberapa asumsi yang digunakan oleh Fischer Black dan Myron Scholes. Merton merumuskan opsi beli untuk saham yang membayarkan dividen dalam kurun waktu berlakunya kontrak dan opsi jual tipe Amerika. Dia berhasil menunjukkan bahwa nilai opsi jual tipe Amerika lebih besar dari nilai opsi jual tipe Eropa.
(hlm. 123)
Tahun 1998, Hadiah Nobel untuk bidang ekonomi diraih oleh Dr. Amartya Sen (64) dari India. Dalam siaran pers, Royal Swedish Academy of Sciences (RSAS) menyebutkan, karya-karya Dr. Sen mengenai hak-hak asasi manusia (HAM), kemiskinan, dan ketimpangan sosial, dinilai telah mengubah cara pemerintah dalam menangani bencana kelaparan.
“Karya Dr. Sen telah mengembalikan dimensi etis dalam diskusi mengenai masalah-masalah ekonomi yang vital,” demikian keterangan lembaga penyelenggara hadiah tahunan itu.
(hlm. 124)
Ia terlalu banyak memasukkan masalah-masalah nilai dalam karya dan penelitian ekonominya. Tak ada satu pun teori ekonomi murni yang disumbangkan oleh Dr. Sen.
Namun, zaman telah berubah. Sejak tiga tahun terakhir ini, komite ekonomi Hadiah Nobel tidak lagi menekankan syarat teori yang bebas nilai sebagai acuan utama. Cakrawala kriteria Hadiah Nobel bidang ekonomi mulai diperluas ke bidang-bidang yang menjangkau ilmu politik, psikologi, dan ilmu sosial.
Sumbangan paling utama dari karya-karya Dr. Amartya Sen adalah penelitiannya di bidang ekonomi kesejahteraan, sebuah teori dasar mengenai bagaimana masyarakat melakukan pilihan yang adil dan sekaligus efisien.
(hlm. 125)
Hasil penelitian Dr. Sen mengenai penyebab kelaparan, ketimpangan sosial, serta ukuran kemiskinan misalnya—semuanya terangkum dalam Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation (Oxford University Press, 1981) —begitu memengaruhi banyak organisasi internasional dan pemerintahan negara dalam menangani krisis pangan. Dr. Sen membuktikan, bencana kelaparan bukan cuma sebuah malapetaka alam, tetapi lebih merupakan hasil keruntuhan ekonomi dan politik.
Melalui penelitian terhadap bencana kelaparan di Bengali tahun 1943 yang menewaskan tiga juta jiwa, ia menunjukkan bahwa sesungguhnya pada saat itu persediaan pangan di India tidaklah kurang. Bencana itu terjadi karena para penguasa kolonial, yang menolak tekanan demokratis, begitu saja mengabaikan masalah tersebut. Sebuah pemerintahan yang otoriter-diktatorial cenderung tidak terbiasa mempertimbangkan nilai-nilai individual di luar lingkup kekuasaannya, begitu kesimpulannya.
(hlm. 126)
Ahli ekonomi India ini berhasil menciptakan sebuah indeks kemiskinan dan sekaligus indikator kesejahteraan, yang kemudian menjadi salah satu acuan utama bagi kegiatan pembangunan dan kemanusiaan PBB.
Kini, perhatian tidak lagi hanya terpusat dalam upaya mendistribusikan pangan, tetapi lebih dalam usaha bagaimana mengganti kerugian yang diderita kelompok miskin, misalnya melalui proyek-proyek prasarana umum.
Masalah-masalah yang diteliti dan digeluti oleh Dr. Sen memiliki jangkauan yang lebih luas dan penting bagi masyarakat biasa daripada misalnya formula perdagangan derivatif, yang membuat Robert Merton dan Myron Scholes meraih Hadiah Nobel Ekonomi 1997. Yang ironis, kedua ekonom AS itu kemudian bergabung dengan Longterm Capital Management, sebuah lembaga investasi AS, yang bulan lalu pailit dan membuat pasar keuangan global kacau. Ternyata, teori yang canggih tidak selalu bisa diterapkan.
(hlm. 127)
Dr. Sen, kebetulan seorang Asia, sungguh merupakan pengakuan terhadap pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam membangun sebuah perekonomian bangsa. Orientasi kemanusiaan—dengan syarat-syarat utama menghargai keragaman—memang tak akan pernah habis tertindas meski oleh berpuluh dasawarsa. Amartya—dalam bahasa Bengali berarti “yang pantas hidup kekal”—Sen, sudah membuktikannya.
(hlm. 129)
Amartya Sen dan Nobel bagi Kaum Papa
“Ilmu ekonomi tidak hanya semata peduli pada pendapatan dan kekayaan, namun juga menyangkut pemanfaatan sumber daya ini sebagai sarana untuk tujuan yang nyata, mencakup peningkatan dan dinikmatinya kehidupan yang panjang dan layak. Jika saja sukses ekonomi suatu bangsa hanya ditentukan oleh pendapatan dan indikator-indikator kemewahan tradisional lainnya serta kesehatan finansial, tujuan utama bagi tercapainya kesejahteraan telah meleset.”
Amat tak lazim jurnal sains memuat tulisan seorang ahli ekonomi. Namun Amartya Sen memang bukan ekonom sembarangan, karena ia adalah ahli ekonomi pembangunan yang bisa memadukan ilmu ekonomi dengan masalah kesehatan, angka harapan hidup, kualitas hidup, kemiskinan, bencana kelaparan, hingga ketimpangan gender.
(hlm. 130)
Amartya Kumar Sen dianggap berjasa memberi “wajah manusia” pada ilmu ekonomi, sehingga keberhasilan pembangunan suatu negara tidak hanya diukur dari besarnya pendapatan per kapita penduduknya, tetapi juga memasukkan parameter-parameter kesejahteraan. Human Development Index UNDP (Program Pembangunan PBB) mengadopsi teori kapabilitas Sen, antara lain memasukkan indikator seperti tingkat melek huruf, angka kematian bayi, berat dan tinggi bayi. Laporan-laporan ekonomi PBB sering memperoleh sumbangan pemikiran Sen, yang juga menjadi penasihat mantan Sekjen PBB Boutros-Ghali.
(hlm. 131)
Santiniketan adalah pusat kesenian yang dibangun oleh Rabindranath Tagore, penyair dan warga India pertama yang memenangkan Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1913. Sen, menurut Reuters, adalah warga keenam India yang memperoleh Hadiah Nobel.
Tak kurang dari Presiden India, K.R. Narayanan, menyatakan bahwa karya-karya Sen senada dengan tradisi intelektual India. Kepada Sen, Narayanan mengirim pesan, “Anda telah menghadirkan ilmu ekonomi dengan compassion bagi orang kebanyakan dan visi tentang suatu masyarakat dunia yang egaliter.”
(hlm. 132)
Menurut Prof. Felton Earls, guru besar ilmu perkembangan anak di Harvard, kepekaan pada kerentanan anak ini yang membuat Sen mengembangkan teori kapabilitas. Intinya, setiap masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan program bagi setiap warganya, khususnya anak-anak, sehingga mereka dapat mencapai pemenuhan maksimal dan berkembang menjadi manusia yang capable.
Menurut Scott Brown, ekonom kepala di sebuah firma investasi di Florida, penghargaan kepada Sen justru mengangkat citra bidang studi yang selama ini kurang memperoleh apresiasi. “Ekonomi pembangunan tak pernah memperoleh perhatian yang besar dari dunia akademis, padahal besarnya masalah dan jenis-jenis isunya amat signifikan,” katanya.
(hlm. 133)
Nobel dan Mundell yang Kapabel
Apa yang membedakan Robert A. Mundell—penyabet penghargaan Nobel bidang ekonomi tahun 1999—dengan ekonom-ekonom lain yang memenangi penghargaan bergengsi itu?
Seperti peraih Nobel bidang ekonomi sebelumnya, Mundell dinilai telah memberikan sumbangan sangat besar dalam pengembangan ilmu ekonomi. Namun lebih dari itu, ekonom radikal ini dinilai telah meletakkan dasar bagi teori yang mendasari kebijakan praktis dalam perekonomian yang terbuka.
Bagaimana sebenarnya efek kebijakan moneter dan fiskal dikaitkan dengan integrasi pasar modal internasional? Bagaimana efek tersebut jika suatu negara mematok nilai tukar mata uangnya pada nilai yang sudah tetap (fixed) terhadap mata uang kuat? Dan bagaimana jika negara tersebut mengambangkan secara bebas nilai tukar mata uangnya? Apakah suatu negara harus memiliki mata uangnya sendiri?
(hlm. 134)
Dengan menjawab semua pertanyaan ini, Mundell bisa dikatakan telah mengasah kembali teori ekonomi makro, dari yang semula hanya berlaku untuk perekonomian tertutup (yang dalam praktiknya tidak ada), menjadi berlaku untuk perekonomian terbuka.
Hasil riset Mundell juga dinilai orisinil, memiliki jangkauan luas, prediksinya memiliki akurasi mengagumkan, dan memiliki dampak panjang, karena sifatnya mengombinasikan analisis-analisis formal, interpretasi intuitif, dan pengalaman penerapan kebijakan di berbagai negara selama ini.
Lahir di Kanada tahun 1932, Mundell mengecap jenjang pendidikan undergraduate di University of British Columbia dan University of Washington, postgraduate di London School of Economics, dan akhirnya gelar PhD dari Massachusetts Institute Technology (MIT) tahun 1956 dengan tesis mengenai pergerakan modal internasional.
(hlm. 135)
Salah satu kontribusi terpentingnya bagi ilmu ekonomi adalah analisisnya mengenai dampak jangka pendek kebijakan stabilitas (moneter dan fiskal) bagi perekonomian terbuka, yang dipublikasikan tahun 1963 dan kemudian dicetak kembali tahun 1968 dalam buku berjudul International Economics.
Dalam suatu sistem nilai tukar mengambang, kebijakan moneter menjadi kuat, sebaliknya kebijakan fiskal menjadi lemah (powerless). Sedangkan jika diterapkan kebijakan nilai tukar tetap (fixed), kondisi sebaliknya yang akan muncul.
Teori Mundell ini tentu saja dinilai nyeleneh waktu itu, karena pada era awal 1960-an tersebut, hampir semua negara di dunia terkait satu sama lain oleh sistem nilai tukar tetap yang disebut Sistem Bretton Woods. Namun waktu kemudian menunjukkan, teori Mundell benar. Kaitan kuat nilai tukar mengambang dengan tingginya mobilitas modal misalnya, bisa kita saksikan di banyak negara sekarang ini.
(hlm. 136)
Teori lainnya adalah mengenai dinamika moneter (Monetary Dynamics). Berlawanan dengan para koleganya pada waktu itu, riset Mundell tidak hanya berhenti pada analisis jangka pendek. Dalam teori ini, Mundell menyoroti adanya perbedaan dalam kecepatan penyesuaian yang terjadi pada barang dengan pasar aset.
Kontribusi lainnya adalah teori Kawasan Mata Uang Optimum (Optimum Currency Areas) tahun 1961, yang mengilhami peluncuran mata uang bersama, euro, dan pembentukan bank sentral Eropa oleh Uni Eropa. Dalam teori ini, Mundell mengungkapkan, dampak positif pemberlakuan mata uang tidak berbeda dengan jika diberlakukan kawasan perdagangan bebas. Manfaat yang bisa dipetik dari mata uang bersama ini antara lain adalah rendahnya biaya transaksi dalam perdagangan dan bisa ditekannya ketidakpastian berkaitan dengan harga relatif.
(hlm. 137)
Kontribusi-kontribusi Mundell lainnya bisa disebut antara lain, teori bahwa meningkatnya inflasi akan merangsang investor untuk menekan cash balance mereka, dengan cara menaikkan formasi modal riil. Teori inilah yang kemudian dikenal sebagai Mundell-Tobin Effect.
Selain itu, Mundell juga memberikan kontribusi penting dalam teori perdagangan internasional. Di sini, ia mengungkapkan bagaimana mobilitas tenaga kerja dan modal internasional cenderung semakin mendekatkan harga-harga komoditas di berbagai negara, meskipun ada hambatan-hambatan perdagangan. Mundell dinilai juga sebagai penemu teori “ekonomi sisi suplai” (supply-side economics), yang berhasil membawa AS keluar dari stagflasi (kombinasi stagnasi ekonomi dan inflasi) tahun 1970-an dan mengantarkan perekonomian negara ini ke boom akhir-akhir ini.
(hlm. 138)
Seperti diketahui, dekade 1970-an merupakan dekade bencana ekonomi yang sangat membingungkan dunia. Stagflasi yang terjadi waktu itu dinilai sebagai suatu fenomena yang tak mampu dijelaskan dan dipecahkan oleh doktrin-doktrin ekonomi Keynesian yang berlaku hingga saat itu. Berdasarkan doktrin Keynesian, resesi dan inflasi sifatnya trade-off, dan tidak mungkin muncul bersamaan. Mundell merupakan salah satu dari segelintir ekonom waktu itu, yang memahami bahwa fenomena tersebut sebenarnya merupakan suatu isu ekonomi internasional, dengan biang keladinya adalah ambruknya sistem Bretton Woods tahun 1971.
Apa yang disarankan Mundell? Solusinya, menurut dia, mengombinasikan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, yakni kebijakan uang ketat untuk membendung inflasi dan pengurangan pajak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang stagnan.
(hlm. 139)
Pemenang Nobel Ekonomi Tahun 2002
Daniel Kahneman (66) dan Vernon L. Smith (75) bersama-sama memenangi Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2002.
Mereka berdua dinilai berjasa mengembangkan teori ekonomi sehingga lebih mampu menjelaskan fenomena kehidupan masyarakat modern.
Dua ekonom tersebut mengatakan perilaku seseorang tidak melulu didasari kepentingan pribadi.
(hlm. 140)
“Dia telah mengintegrasikan pemikiran-pemikiran dari teori ilmu psikologi untuk menjelaskan perilaku masyarakat di bidang ekonomi. Dengan demikian, dia memberikan landasan pada penelitian bidang baru, yakni teori ekonomi baru yang didukung salah satu aset di dalam pemikiran ilmu psikologi,” ujar akademi tentang Kahneman.
Kahneman menemukan bagaimana seseorang bisa mengambil keputusan jalan pintas yang melenceng dari prinsip-prinsip dasar ekonomi. Dia juga menemukan fenomena di mana seseorang mengambil keputusan berdasarkan rule of thumb.
Itu sebutan bagi pengambilan sebuah keputusan yang tidak didasarkan pada pemikiran mendalam atau matang, tetapi atas dasar perhitungan kasar atau sekilas saja, terutama di saat panik.
(hlm. 141)
Kahneman menggunakan psikologi kognitif untuk mempelajari keputusan manusia dan pembuatan keputusan yang terkesan emosional atau tidak logis berdasarkan pemikiran teori ekonomi, tetapi nyata.
Vernon L. Smith, yang lahir 1 Januari 1927 di Wichita, Kansas, adalah profesor ekonomi dan hukum di George Mason University, Virginia, AS. “Dia telah mengembangkan serangkaian metode eksperimen. Dia juga menetapkan standar untuk memastikan faktor-faktor apa saja yang diperlukan untuk mendukung eksperimen terpercaya di laboratorium,” demikian kata akademi.
Di dalam laboratorium itu, dia melakukan simulasi soal bagaimana harusnya perusahaan pembangkit tenaga listrik dideregulasikan, yang sebelumnya didominasi perusahaan negara. Dia merancang berbagai pola-pola deregulasi dan kemudian mencari pola deregulasi mana yang paling efisien.
(hlm. 142-143)
“Teori sering kali kesulitan untuk menemukan mekanisme deregulasi, atau mekanisme lelang seperti apa yang paling pas untuk diterapkan. Kesulitan tersebut bisa diatasi lewat percobaan-percobaan laboratorium itu,” ujar akademi soal karya Smith.
Smith juga telah mengevaluasi berbagai mekanisme di dalam mengalokasikan slot-slot waktu di bandara dengan menggunakan simulasi pasar, yang dibantu komputer.
Juri mengatakan, ilmu-ilmu ekonomi telah lama dinilai sebagai ilmu yang non-eksperimental, di mana para peneliti ekonomi lebih mendasarkan diri pada data-data atau observasi atas dunia nyata. Akan tetapi, eksperimen laboratorium yang terkontrol telah muncul sebagai bagian vital penelitian ekonomi.
Dia telah menerbitkan lebih dari 200 artikel dan buku-buku tentang teori modal, keuangan, ekonomi sumber daya alam, serta ekonomi eksperimental.
(hlm. 144)
Kahneman lahir di Tel Aviv tahun 1934, meraih gelar sarjana muda dari Universitas Hebrew, Jerusalem, bidang psikologi dan matematika, serta doktor bidang psikologi dari University of California.
Kahneman memegang paspor AS dan Israel. Dia adalah profesor ekonomi dan public affairs di Princeton University, dan orang Israel pertama yang mendapatkan Hadiah Nobel Ekonomi.
(hlm. 145)
Pandangan Ekonom Joseph E. Stiglitz: Serangan Atas Irak Merusak Ekonomi Dunia
Ekonom penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001, Joseph E. Stiglitz, memberikan peringatan bahwa serangan AS atas Irak akan berdampak sangat negatif pada perekonomian global.
(hlm. 146)
Depresi adalah sebutan bagi gejala ekonomi yang sarat dengan fenomena deflasi, atau kemerosotan harga-harga karena tidak ada daya beli.
Dampak negatif itu, misalnya, adalah ketidakpastian dalam investasi, konsumsi, dan kemungkinan dampak negatif akibat kenaikan harga-harga minyak.
Stiglitz mengatakan bahwa dia dan ekonom lainnya telah mengingatkan arah perekonomian AS yang mengarah pada kelesuan, yang tidak akan berbalik jika tidak ada stimulus.
(hlm. 147)
“Akan tetapi, pemerintahan Bush menolak mengeluarkan paket stimulus. Mereka malah memilih pengurangan pajak, yang sebenarnya bukan merupakan stimulus, dan tidak cukup mampu untuk menggerakkan perekonomian,” kata Stiglitz.
(hlm. 148)
Joseph E. Stiglitz Berontak pada IMF
Serangan 11 September 2001 memberikan kita sebuah pesan: kita adalah warga dunia yang harus saling berbagi. Kita adalah komunitas global, dan harus mengikuti sejumlah aturan yang adil dan jujur sehingga kita bisa hidup bersama dalam damai.
Itulah sekelumit kutipan dari buku berjudul Globalization and Its Discontents karangan Joseph E. Stiglitz, yang diterbitkan tahun 2002. Raja spekulan mata uang dunia, George Soros, mengatakan, “Terlalu sayang jika buku itu diabaikan.”
(hlm. 149)
“Saya terkaget-kaget melihat cara Dana Moneter Internasional (IMF) dan Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menangani perekonomian negara-negara yang terpukul krisis ekonomi,” kata Stiglitz dalam tulisannya berjudul “What I Learned at The World Economic Crisis. The Insider”.
Dia bersama Martin Feldstein, mantan Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Ronald Reagan, mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS George Shultz, Menlu AS, serta Jeff Sachs dan Paul Krugman, menyerang kebijakan-kebijakan IMF.
Ketika akademisi terlibat dalam pembuatan atau penyusunan rekomendasi, mereka sering terkontaminasi, rela membengkokkan bukti-bukti, dan mengeluarkan kebijakan agar sesuai keinginan penguasa, demikian kutipan lain dari buku tersebut.
(hlm. 150)
Kepada atasannya, Presiden Bank Dunia, James Wolfensohn, dia menyampaikan pandangannya itu. Ujarnya, “Akan tetapi, saya tahu Wolfensohn tidak setuju kalau saya berkoar-koar kepada publik.”
Kebijakan Washington—sebutan bagi lembaga seperti Bank Dunia, IMF, dan Departemen Keuangan AS, yang bermarkas di Washington—sangat terkontaminasi berbagai kepentingan. Wolfensohn berkata, “Saya mendukung IMF. Akan tetapi, Anda juga tidak bisa menyumpal mulut seseorang sekaliber Joseph Stiglitz, meski dia terkadang membuat saya berang.”
(hlm. 151)
Stiglitz adalah ketua dewan penasihat ekonomi AS dalam pemerintahan Bill Clinton periode 1993-1997, dan ekonom senior di Bank Dunia periode 1997-2000.
Dia sangat dihormati dan sangat disegani, serta menelusuri kebijakan yang disebut third way (pemerintah tak perlu campur tangan terlalu jauh dalam ekonomi) selama pemerintahan Clinton, dan juga pemikir di balik sukses ekonomi selama pemerintahan Clinton.
Menurut Columbia University (New York)—tempat dia mengajar sekarang—lewat situsnya, ia menggondol penghargaan berprestise tinggi, bernama John Bates Clark Medal, yang dianugerahkan kepada ekonom AS yang berusia di bawah 40 tahun.
(hlm. 152)
Stiglitz memberikan kontribusi mendasar pada pengembangan teori ekonomi mikro, makro, organisasi industri, ekonomi internasional, ekonomi ketenagakerjaan, ekonomi keuangan, dan ekonomi pembangunan.
Tahun 2001 lalu, Stiglitz mendapatkan Hadiah Nobel Ekonomi, atas jasanya menemukan “Pasar dengan Informasi yang Asimetris,” bersama George A. Michael Spence (Stanford University, AS).
Pada saat berumur 27 tahun, pria berdarah Yahudi ini telah ditunjuk sebagai pengajar di Yale University, kemudian di Princeton, Oxford (Inggris), dan Stanford University.
(hlm. 153)
Dari sisi akademis, Stiglitz dekat dan pernah diajari oleh berbagai tokoh yang kemudian meraih Nobel Ekonomi, seperti Paul Samuelson, Robert Solow, dan Kenneth Arrow.
Selama 25 tahun, ia terlibat dalam proyek-proyek di negara berkembang. Kenya adalah negara berkembang pertama yang dikunjunginya.
(hlm. 154)
Membuka Topeng “Konsensus Washington”
Stiglitz tampaknya terlalu maju bagi kebanyakan ekonom Indonesia. Pemikiran-pemikiran Stiglitz yang diperbincangkan secara hangat di banyak negara, ternyata kurang bergema di Indonesia. Bahkan, keberhasilan Stiglitz meraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 tidak mampu mendongkrak kehadiran nama Stiglitz dalam khazanah perbincangan ekonomi di Indonesia. Alih-alih memperbincangkan pemikiran Stiglitz, kebanyakan ekonom Indonesia justru bersikukuh menjadi pembela Dana Moneter Internasional (IMF), yang menjadi sasaran utama kritik Stiglitz dalam banyak tulisannya.
(hlm. 155)
Padahal, selain berhasil meraih Hadiah Nobel, yang menandai puncak keberhasilan seseorang dalam bidang yang digelutinya, Stiglitz juga tergolong seorang ekonom yang praktis.
Pertama, sebagai seorang ekonom yang menaruh perhatian terhadap aspek kelembagaan—meneruskan tradisi penerima Hadiah Nobel ekonomi dari Swedia, Gunnar Myrdal—Stiglitz berulang kali menekankan pentingnya sebuah proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam perumusan kebijakan ekonomi.
Stiglitz, yang jelas-jelas tidak antipasar, sangat menyadari keterbatasan pasar dan pemerintah dalam penyelenggaraan perekonomian.
(hlm. 156)
Ketimpangan, pengangguran, dan polusi adalah isu-isu pokok di mana pemerintah harus memainkan peranan penting.
Di sisi lain, Stiglitz menandaskan, “di tengah-tengah berlangsungnya perdebatan hangat di AS dan banyak tempat lain mengenai peranan pemerintah yang semestinya, terdapat suatu kesepakatan umum bahwa pemerintah memiliki peranan dalam penyelenggaraan sebuah masyarakat, sebuah perekonomian, yang berfungsi secara efisien dan secara manusiawi.”
Sebab itu, dalam pandangan Stiglitz, sikap para ekonom yang menganut fundamentalisme pasar, yang memojokkan pemerintah sebagai bagian dari masalah, bukan sebagai bagian dari solusi, hanya mengungkapkan sebuah fanatisme ideologis, bukan sebuah rasionalitas ekonomi.
(hlm. 157)
Artinya, bagi IMF dan Bank Dunia, suatu perubahan dalam hak suara (hlm. 226)
Perlu diketahui, proses pengambilan keputusan pada hampir semua lembaga ekonomi internasional saat ini didasarkan atas sumbangan modal yang diberikan oleh masing-masing negara terhadap setiap lembaga ekonomi internasional tersebut.
Sesuai dengan anggaran dasar IMF, setiap keputusan yang diambil lembaga ini harus didasarkan atas dukungan sekurang-kurangnya 85 persen suara. Dengan dimilikinya hak suara oleh AS sebesar 18 persen, praktis tidak ada satu keputusan pun yang dapat diambil IMF tanpa persetujuan AS.
(hlm. 158)
Kedua, seperti telah disinggung sebelumnya, sebagian besar kritik Stiglitz ditunjukkannya kepada IMF.
Sebagaimana diketahui, IMF dan Bank Dunia adalah anak kembar Konferensi Moneter dan Keuangan yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, New Hampshire, pada Juli 1944. Sebagai anak kandung Perang Dunia II, pendirian IMF dan Bank Dunia semula dimaksudkan sebagai instrumen untuk membiayai dan membangun kembali Eropa dari kehancuran Perang Dunia II, dan untuk mengamankan dunia dari ancaman depresi ekonomi sebagaimana berlangsung sepanjang tahun 1930-an.
(hlm. 159)
Sesuai dengan nama aslinya, Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), Bank Dunia bertugas melakukan pembiayaan dan pembangunan, sedangkan IMF bertugas menciptakan stabilitas ekonomi global. Karena kehadiran kedua lembaga ini berangkat dari preposisi John Maynard Keynes, salah seorang peserta kunci Konferensi Bretton Woods, yang mengatakan bahwa kemerosotan ekonomi disebabkan oleh ketidakcukupan permintaan agregat, dan bahwa kebijakan pemerintah dapat membantu memicu permintaan agregat, maka kehadiran Bank Dunia dan IMF mustahil dapat dipisahkan dari pengakuan terhadap keterbatasan pasar.
Tetapi sebagaimana ditengarai Stiglitz, misi awal itulah yang kini cenderung dikhianati oleh IMF.
(hlm. 160)
Konsensus Washington kepada seluruh negara di dunia.
Sebagaimana dikemukakannya, kebijakan Konsensus Washington, yang disusun oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS, semula dinyatakan sebagai suatu paket kebijakan untuk menanggulangi persoalan defisit anggaran dan hiperinflasi yang dihadapi oleh negara-negara Amerika Latin. Tetapi di tangan IMF, kebijakan tersebut berubah menjadi model baku yang harus diikuti oleh seluruh negara di dunia.
Bagi Stiglitz, sikap ngotot IMF dalam memaksakan pelaksanaan kebijakan Konsensus Washington itu, yang meliputi kebijakan pengetatan ikat pinggang, privatisasi Badan Usaha Milik Negara, dan liberalisasi, selain bertentangan dengan prinsip pengambilan keputusan yang demokratis, serta melecehkan kedaulatan suatu negara, juga banyak yang salah kaprah dan mengandung bahaya secara ekonomi.
(hlm. 161)
Selain “memaksakan” pelaksanaan kebijakan Konsensus Washington, yang dikenal pula sebagai kebijakan ekonomi neoliberal itu, IMF juga menekan pemerintah untuk mengaudit yayasan-yayasan yang terdapat dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI), membatalkan sejumlah peraturan daerah, dan “mendidik” anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendukung privatisasi.
Sebagaimana dikemukakan Stiglitz pada banyak halaman buku ini, menjadikan Konsensus Washington sebagai berhala baru pembangunan ekonomi tidak hanya dapat memperparah kondisi perekonomian, tetapi dapat menjerumuskan negeri ini ke tubir Balkanisasi. Sebagian besar ekonom Indonesia, di dalam dan di luar pemerintahan, tampaknya lebih suka menjadi kaki tangan sebuah lembaga kolonial baru yang bernama IMF dengan agenda ekonomi neoliberalnya.
(hlm. 162)
Bagaimana Layaknya Seorang Mantan Kepala Dewan Penasihat Ekonomi Presiden AS?
Sebagai seorang mantan Wakil Presiden Bank Dunia, Stiglitz juga menaruh kepedulian terhadap perekonomian negara-negara sedang berkembang.
Dalam buku yang terbit pertama kali pada tahun 2002 ini, Stiglitz sekurang-kurangnya mengalokasikan 23 halaman untuk mengungkapkan berbagai “malapraktik” IMF. Tiga hal berikut layak disimak.
Pertama, soal watak kolonial IMF. “Sebuah foto dapat bermakna ribuan kata, dan sebuah foto yang diambil pada 1998, yang dipertontonkan ke seluruh penjuru dunia, telah merasukkan pesannya ke benak jutaan orang, khususnya kepada mereka yang hidup di sebuah negara bekas jajahan.” (hlm. 40)
(hlm. 163)
Kedua, soal kedangkalan pemahaman IMF mengenai bekerjanya pasar uang. Krisis berkepanjangan yang dialami Indonesia tidak dapat dipisahkan dari malapetaka yang diciptakan IMF ketika memerintahkan penutupan sejumlah bank. Penutupan 16 bank pertama yang disertai dengan catatan bahwa masih akan disusul oleh beberapa bank lainnya, ternyata dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap perilaku para deposan.
Ketiga, soal kegagalan IMF dalam memahami arti penting transformasi sosial sebagai bagian integral dari proses pembangunan.
Sayangnya, bahkan setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merekomendasikan pengakhiran kontrak IMF, sebagian besar ekonom Indonesia tetap bersikukuh untuk mempertahankan keberadaan “sang mandor” di sini.
(hlm. 164)
Sama seperti pandangannya mengenai peranan pasar dan pemerintah, Stiglitz memandang globalisasi hanya sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Artinya, walaupun Stiglitz sangat menyadari potensi globalisasi, ia cenderung memandang globalisasi secara netral. Sebagaimana dikatakannya, “Globalisasi itu sendiri tidak baik atau buruk. Ia memiliki kekuatan untuk melakukan sejumlah kebaikan… tetapi di banyak bagian dunia, globalisasi gagal menghadirkan manfaat yang setara. Bahkan, di banyak bagian dunia lainnya, globalisasi tampak seperti kehancuran yang tidak tertanggungkan.” (hlm. 20)
(hlm. 165)
Dengan posisi demikian, mudah dimengerti bila solusi pamungkas yang ditawarkan Stiglitz dalam mentransformasikan globalisasi cenderung bersifat elitis. Sebagai seorang pengikut jejak Keynes, kritik Stiglitz terhadap globalisasi terutama dialamatkan kepada negara-negara maju. Sebagaimana dikemukakannya ketika mengakhiri buku ini, “Negara-negara maju sepatutnya ambil bagian dalam mereformasi lembaga-lembaga internasional yang memandu globalisasi. Kita membentuk lembaga-lembaga tersebut, dan kita patut bekerja untuk membenahinya.” (hlm. 252)
Hal sebaliknya dikemukakan oleh Smith, Petras, dan Veltmeyer. Bagi para penganjur demokrasi ekonomi dan sosialisme baru ini, perubahan tidak dapat hanya dipasrahkan kepada mereka yang berada di atas, tetapi harus diperjuangkan pula oleh mereka yang berada di bawah, yang menjadi korban imperialisme globalisasi. Saya memilih untuk mendukung keduanya.
(hlm. 166)
Untung Ada Engle dan Granger
Beruntung ada Robert F. Engle dan Clive W.J. Granger. Jika tidak, boleh jadi semakin banyak perusahaan yang bangkrut atau merugi karena keliru atau tidak tepat memperkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi, membaca kecenderungan suku bunga, dan perubahan naik turunnya harga saham.
“Mereka berhasil memperbaiki perangkat dalam melakukan analisis statistik pada suatu periode tertentu,” ujar komite Nobel. Dikatakan juga, Engle dan Granger pantas meraih Nobel Ekonomi 2003, termasuk uang 1,3 juta dolar AS, karena mencipta metode kerja yang sangat membantu dalam menganalisis perkembangan selama suatu periode waktu tertentu.
(hlm. 167)
Temuan Granger telah mentransformasi cara bagi ekonom dalam membaca dan memahami data dalam periode waktu tertentu (time-series data). Adapun Engle telah mengembangkan “metode yang lebih baik” dalam melakukan evaluasi risiko.
Temuan mereka ini acap disebut dengan economic time series.
Apa yang dilakukan Engle dan Granger ini sebenarnya suatu bukti ketekunan, dedikasi, komitmen, dan konsistensi pada disiplin ilmu yang mereka miliki.
(hlm. 169)
Penghargaan Nobel Ekonomi 2003 bagi Engle dan Granger merupakan ungkapan penghargaan bagi orang-orang yang meluangkan waktunya bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, untuk menemukan berbagai metode, cara, atau rumus yang bisa mempermudah manusia meningkatkan kesejahteraan.
Nobel Ekonomi yang dibentuk tahun 1968 oleh Bank Sentral Swedia—Nobel Kedokteran, Fisika, Kimia, Kesusastraan, dan Perdamaian diberikan sejak tahun 1901—bertujuan memberikan penghargaan kepada mereka yang meringankan hidup manusia, seperti dalam mengatasi kemiskinan, kelaparan, dan menciptakan lapangan kerja.
(hlm. 170)
Ekonofisika dan Nobel Ekonomi 2003
Sekarang sudah bukan zamannya lagi setiap bidang ilmu berdiri sendiri-sendiri. Kalau saling bantu, maka akan menghasilkan temuan yang luar biasa. Bagaimana kalau Fisika ketemu dengan Ekonomi? Paling tidak, hasilnya Nobel.
Ekonofisika bagaimanapun memang menuntut adanya perubahan diskursus ekonomi, baik epistemologis maupun metodologis.
(hlm. 171)
Robert F. Engle memperoleh Hadiah Nobel untuk metode analisis data deret waktu ekonomi dengan variasi yang berubah menurut waktu (dikenal dengan analisis ARCH). Adapun Clive W.J. Granger mendapatkannya karena penemuannya atas tren umum (kointegrasi) data deret waktu ekonomi keuangan.
Profesor Granger dikenal sebagai seorang ahli ekonometrika deret waktu dengan latar belakang matematika dan statistika yang sarat dengan data-data ekonomi keuangan dan demografi. Sebagaimana kita ketahui, data-data deret waktu ekonomi keuangan seperti pergerakan harga saham, kurs valuta asing, termasuk data-data agregatif seperti GDP/GNP, inflasi, dan sebagainya, merupakan data-data statistika yang muncul sebagai proses stokastik nonstasioner. Sebelum Granger, analis ekonomi menggunakan model-model regresi linier untuk estimasi nilai pada data deret waktu.
(hlm. 172)
Untuk mengatasi masalah tersebut, Granger yang bekerja sama dengan rekannya Paul Newbold menggunakan model yang biasa digunakan dalam fisika statistika, yakni analisis dengan jalan acak (random walk)-generator deret data yang independen dan nonstasioner. Terjadilah perubahan dalam analisis data ekonomi: jika teoretisi ekonomi klasik biasanya memformulasikan data ekonomi dalam level variabel, Granger menawarkan analisis dalam level perbedaan nilai deret data. Misalnya, teori konsumsi mempostulatkan hubungan antara level konsumsi dengan pendapatan, kekayaan, dan variabel ekonomi lain, maka Granger lebih menekankan analisisnya pada nilai pertumbuhan data konsumsi itu sendiri (growth rate). Secara kualitatif ia menyebut metode ini sebagai bentuk kointegrasi.
(hlm. 173)
Konsep ini tentu tak akan banyak berbunyi secara praktis tanpa diuji dengan teori statistika tentang konsep kointegrasi itu sendiri. Lebih jauh, bersama Profesor Engle, Granger membangun teknik statistika yang diperlukan untuk membuktikan hal ini sehingga dikenallah teorema representasi Granger dalam makalah klasik mereka yang berjudul “Cointegration and Error-Correction: Representation, Estimation, and Testing” yang diterbitkan dalam jurnal Econometrica pada tahun 1987. Perkembangan lanjutan dari riset ini adalah yang dikenal dengan istilah vektor autoregresi (VAR) dengan kointegrasi.
Dalam analisis data-data keuangan, berbagai model matematika maupun fisika telah menunjukkan pengelompokan data-data tersebut—hal ini dengan menyebut bapak fraktal dunia, Benoit Mandelbrot, yang menemukan distribusi power-law Paretian untuk melihat distribusi data-data keuangan. Engle lebih jauh mengkonstruksi analisis ARCH, yang digunakan untuk memodelkan volatilitas data keuangan atau saham.
(hlm. 174)
Secara umum, volatilitas justru memiliki distribusi power-law—sebuah distribusi non-Gaussian yang dinyatakan dalam persamaan sederhana P(x)∼xaP(x) \sim x^aP(x)∼xa, dengan aaa sebagai nilai konstanta tertentu. Distribusi power-law ini dalam fisika, terutama dalam teori fenomena kritis, sudah sangat dikenal.
Secara umum, volatilitas mengukur rata-rata fluktuasi dari data waktu. Namun, hal ini dikembangkan lebih jauh dengan menekankan pada nilai variansi (variabel statistika yang menggambarkan seberapa jauh perubahan dan persebaran nilai fluktuasi terhadap nilai rata-rata) dari data keuangan. Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa nilai volatilitas sebagai nilai variansi dari data fluktuasi (data return).
Analisis konvensional memodelkan pendapat pertama (variansi konstan) dalam model yang disebut autoregressive (AR), moving-average (MA), dan kombinasi keduanya, ARMA. Jasa Engle yang menjadi alasan penganugerahan Nobel padanya adalah risetnya yang mengkonstruksi model autoregresi pendapat kedua (variansi berubah)—hal ini dilakukan dengan membuat model baru untuk autokorelasi, yaitu ARCH (autoregressive conditional heteroskedasticity).
(hlm. 175)
Pada tahun 1986, seorang mahasiswa bimbingan Engle, Tim Bollerslev, bahkan lebih jauh mengembangkan ARCH menjadi GARCH (generalized autoregressive conditional heteroskedasticity) yang jelas lebih baik daripada ARCH. Secara sederhana, volatilitas berdasarkan model GARCH (p,q) mengasumsikan bahwa variansi data fluktuasi dipengaruhi oleh sejumlah ppp data fluktuasi sebelumnya dan sejumlah qqq data volatilitas sebelumnya.
(hlm. 176)
Tuntutan Ilmu Ekonomi Baru
Menilik Hadiah Nobel 2003 ini, dan Nobel-Nobel sebelumnya, pada dasarnya terasa adanya tuntutan akan perlunya ekonomi yang baru, ekonomi yang tidak bersandar pada sistem yang linier, namun menerima sistem ekonomi sebagai sistem yang dinamis, kompleks, dan evolutif. Hadiah Nobel untuk Kahneman dan Smith (2002) adalah analisis terhadap individu pelaku ekonomi yang mengkaji secara mendalam aspek psikologis pelaku ekonomi pada dasar.
Ekonomi merupakan sebuah ilmu yang akhir-akhir ini dibantu analisanya dengan berbagai bidang termasuk fisika (ekonofisika).
Sebagaimana diungkapkan oleh ekonom ternama Steve Keen dalam bukunya Debunking Economics (2001), ekonomi harus rujuk dengan ilmu-ilmu sosial lain, bahkan dengan disiplin ilmu di luar sosial.
(hlm. 177)
Namun, tentu saja harus diingat bahwa bentuk ekonomi baru ini bukan menjadi sekadar penggunaan model fisika, biologi, dan matematika pada ekonomi semata. Ekonomi baru yang diperkaya dalam bentuk ekonofisika ini tentu jauh lebih sulit daripada fisika. Mengutip Nobelis Fisika Murray Gell-Mann dalam bukunya The Quark and The Jaguar (1994), “fisika yang berbicara tentang partikel mati (tak memiliki kehendak) saja sudah sulit, maka dapat dibayangkan kerumitan yang terkandung dalam ekonomi tatkala harus berbicara soal manusia dan agen-agen ekonomi yang memiliki kehendak, harapan, dan sistem kognitif.”
(hlm. 178)
Finn Kydland dan Edward Prescott Raih Hadiah Nobel Ekonomi 2004
“Untuk kontribusi mereka terhadap dinamika ilmu ekonomi makro: Konsistensi waktu pada kebijakan ekonomi dan faktor-faktor di balik siklus bisnis,” demikian juri The Bank of Sweden Prize in Economic Science 2004 memberikan alasan untuk memenangkan Finn E. Kydland (Norwegia) dan Edward Prescott (AS).
Pengumuman pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tersebut berlangsung di Stockholm, Swedia. “Pekerjaan mereka telah menjadi dasar untuk sebuah riset tentang penyusunan kebijakan ekonomi yang kredibel dan secara politik layak,” ujar juri.
(hlm. 179)
Ingat era di penghujung dekade 1990-an? Kebijakan moneter di pemerintahan sejumlah negara Asia tak mampu meredam spekulasi mata uang. Yang muncul adalah volatilitas kurs, kekacauan harga-harga, dan bisa berujung pada berakhirnya sebuah pemerintahan. Resep-resep ekonomi IMF dan Bank Dunia pun lumpuh total.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Ada kekuatan atau faktor lain yang luput ditangkap oleh para pembuat kebijakan. Ada faktor-faktor yang tidak dikenali dan ada dinamika dari perubahan sikap rumah tangga dan perusahaan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.
Kydland dan Prescott mencoba memberi jawaban, faktor apa yang kira-kira luput itu.
(hlm. 180)
Kedua ekonom itu juga melakukan riset tentang berbagai kekuatan (forces) di balik terjadinya sebuah siklus bisnis.
Jika rumah tangga memperkirakan bahwa pajak atas modal akan semakin tinggi di masa datang, maka rumah tangga akan mengurangi tabungan sekarang ini dan menggenjot pengeluaran modal.
Soalnya, jika dana ditabung sekarang dan baru digunakan sebagai modal di masa datang, maka rumah tangga akan kena beban pajak yang lebih tinggi. Karena itu, rumah tangga lebih suka memanfaatkan tabungan sekarang ini sebagai modal untuk menghindari beban pajak modal yang lebih tinggi.
(hlm. 181)
Demikian pula jika perusahaan memperkirakan bahwa di masa datang pemerintah akan melakukan kebijakan moneter yang lebih ekspansif, maka perusahaan akan menetapkan harga-harga dan upah yang lebih tinggi sekarang ini. Mengapa? Jika harga-harga tidak dinaikkan sekarang, maka di masa datang keuntungan akan lebih kecil karena tergerogoti oleh inflasi, yang merupakan dampak ekspansi kebijakan moneter.
Atas dasar itu, penerima Nobel tersebut secara implisit mengingatkan agar dalam meluncurkan kebijakan, ekspektasi rumah tangga dan perusahaan tentang sesuatu di masa datang harus menjadi pertimbangan. Jika tidak, kebijakan ekonomi berpotensi untuk menghadapi kegagalan.
(hlm. 182)
Padahal, persoalannya bukanlah pada timing dari peluncuran kebijakan, tetapi pada pengetahuan atas faktor-faktor yang membuat kebijakan menjadi sukses atau gagal.
Area kedua riset mereka adalah tentang berbagai kekuatan di balik siklus bisnis.
“Dulu pemikiran Prescott ditolak, kini kita sadar bagaimana ekonomi bekerja,”
(hlm. 183)
Nobel Ekonomi “Game Theory” dari Aumann-Schelling
Pihak Royal Swedish Academy of Sciences memberikan penghargaan Nobel Ekonomi 2005 kepada Robert J. Aumann dan Thomas C. Schelling. Keduanya dinilai telah mengembangkan apa yang dikenal sebagai Game Theory yang digunakan dalam penyelesaian konflik, seperti konflik dagang atau bisnis. Bahkan, juga bisa dikembangkan dalam penyelesaian perang.
Aumann (75), warga Amerika Serikat keturunan Yahudi yang kini dosen di Universitas Hebrew, Jerusalem (Israel), dan Schelling (84), dosen di Universitas Maryland, Amerika Serikat, melalui teori yang mereka kembangkan telah sangat membantu memahami berbagai bentuk konflik dan kerja sama. Dengan demikian, keputusan politik atau perundingan bisa diambil guna menyelesaikan sebuah konflik apakah itu konflik bisnis, dagang, ataupun perang.
(hlm. 184)
Game Theory (teori permainan) ini merupakan sebuah sains atau analisis strategi yang mencoba untuk menentukan apa aksi yang dilakukan para “pemain” yang berbeda, guna menjamin hasil terbaik bagi masing-masing.
Aumann menerapkan pendekatan analisis matematika guna menekankan alternatif-alternatif yang ada dalam sebuah konflik.
Seperti dijelaskan panitia Nobel, dari pengembangan ini, Aumann sampai pada kesimpulan bahwa lebih baik menjalin kerja sama dibandingkan konflik (perang).
(hlm. 185)
Panitia Nobel melihat bahwa Game Theory ini memang bisa diterapkan melampaui masalah atau konflik ekonomi.
Pemecah Konflik ala Schelling dan Aumann
“Teori ini membantu menjelaskan dan menyelesaikan konflik bisnis dan dagang. Bahkan teori ini bisa memainkan peran dalam menghindari pecahnya perang,” ujar Akademi Sains Kerajaan Swedia di Stockholm.
Game Theory memunculkan ide yang diperlukan dalam pemecahan dan pendekatan konflik secara umum,” ujar Aumann, warga AS yang kini mengajar di Hebrew University, Jerusalem, ketika dikontak soal Nobel Ekonomi 2005 ini. Aumann bahkan berharap suatu waktu teori ini bisa digunakan dalam penyelesaian konflik Palestina.
(hlm. 186)
Panitia Nobel juga berpendapat, “Hasil karya mereka telah mentransformasikan ilmu sosial jauh melampaui batas-batas ekonomi.”
Salah satu bukunya, The Strategy of Conflict tahun 1960, yang menjadi dasar dari pandangannya soal Game Theory, Schelling menjelaskan jalan keluar strategis seperti melakukan konsesi jalan pintas guna meraih keuntungan jangka panjang. Tak ubahnya, mengalah mundur satu langkah untuk dapat menerobos maju lima atau enam langkah.
“Saya hanya mempelajari kerja sama dan konflik. Saya tidak mendalami soal Game Theory. Saya tidak serius menekuninya sebagaimana yang saya lakukan pada ekonomi,” ujar Schelling merendah. Meski demikian, dia mengaku gembira karena pekerjaannya diakui.
(hlm. 187)
Lantas muncullah analisis yang dikenal dengan infinitely repeated games, permainan yang terus berulang-ulang yang membantu memahami mengapa sejumlah orang atau masyarakat lebih senang bekerja sama di antara mereka, sekalipun pada awal ada saling curiga di antara mereka.
Aumann, kelahiran Frankfurt, Jerman, 8 Juni 1930, mungkin merasa perlu mendorong suatu kerja sama damai karena masa lalunya yang kelam. Dia dan keluarganya lari ke AS tahun 1938 menghindari kekejaman Nazi Jerman. Persinggungan dengan Game Theory membuatnya ngotot bahwa sebuah konflik tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
(hlm. 188)
Game Theory pertama kali dikembangkan oleh John von Neumann dan Oscar Morgenstern pada tahun 1944 sebagai aplikasi teori matematika guna menganalisis interaksi antara individu, perusahaan, bahkan negara.
Game Theory bisa diaplikasikan dalam banyak bidang. Penerapan di bidang ilmu alam, misalnya, dalam memprediksi persaingan menemukan pasangan di antara hewan, bahkan manusia.
(hlm. 189)
Di bidang ekonomi makro, Game Theory juga digunakan sebagai metode untuk menilai apakah pemerintah cukup kredibel dalam mengambil kebijakan. Contohnya, ketika pemerintah mengatakan akan memberikan jaminan bagi investasi, investor akan menghitung seberapa besar insentif bagi pemerintah untuk memegang ucapannya sebelum memutuskan untuk menanam modal (Rodrik, 1989).
(hlm. 190)
Analisis Schelling tidak terbatas pada isu-isu ekonomi “tradisional”. Ia menggunakan game theory untuk menerangkan, misalnya mengapa mahasiswa yang datang pertama di kelas cenderung memilih tempat duduk bukan di depan.
Sumbangan Schelling yang paling berpengaruh adalah konsep “ancaman yang kredibel” dan “focal point”. Menurut Schelling, dalam sebuah interaksi, ancaman yang tidak pasti tetapi kredibel lebih efektif dibandingkan dengan kekuatan yang sudah jelas. Sekarang ini pemikiran itu digunakan untuk menjelaskan bagaimana pelaku terorisme makin besar posisi tawarnya dengan menebarkan ketidakpastian dan ketakutan. Atau bagaimana negara besar, seperti AS, makin gentar pada China. Bukan karena China terbukti kuat, tetapi justru karena tidak jelasnya kekuatan China yang sesungguhnya.
(hlm. 191)
Sedangkan yang dimaksud dengan focal point adalah sebuah kondisi keseimbangan yang bisa dicapai oleh kedua belah pihak tanpa adanya interaksi dan komunikasi langsung. Contoh sederhana dari focal point adalah jika kita berjanji untuk bertemu seseorang di mal pada jam tertentu, tanpa perlu spesifik menyebutkan titik pertemuan, masing-masing cenderung menuju titik yang sama. Jika yang berjanji adalah dua dosen, tempat itu sangat mungkin di depan toko buku. Jika yang berjanji adalah ibu dan anak remajanya, focal point mungkin di depan pasar swalayan.
Game theory juga menjembatani analisis antara perilaku individu dan kelompok atau masyarakat. Teori ekonomi standar mengasumsikan bahwa perilaku masyarakat bisa dianalisis melalui individu karena masyarakat adalah kumpulan individu.
(hlm. 192)
Game theory juga menerangkan betapa kompleks dan rumitnya interaksi di antara individu dalam kegiatan ekonomi.
Betul bahwa pasar tidak selalu berjalan baik. Betul bahwa koordinasi yang dilakukan oleh mekanisme pasar tidak menghasilkan distribusi yang dianggap adil. Namun, upaya untuk memperbaikinya tidak bisa dilakukan dengan memberikan insentif yang salah.
(hlm. 193)
Nobel Ekonomi 2006
Hati-hati Menurunkan Suku Bunga dan Pajak
Edmund Phelps (73), ekonom asal Amerika Serikat, meraih Hadiah Nobel Ekonomi 2006. Ia mendapatkan Hadiah Nobel itu berkat hasil analisisnya mengenai pertentangan antara kebijakan ekonomi jangka pendek dan jangka panjang.
Sebagai contoh, dalam jangka pendek pemerintah sering menurunkan pajak dan suku bunga. Hasilnya adalah pertumbuhan untuk sementara, tetapi dalam jangka panjang menimbulkan tekanan inflasi. Karena itu, ia menyarankan agar pengambilan kebijakan seperti itu dilakukan secara hati-hati.
(hlm. 194)
Xavier Timbaud, kepala analisis yang bertugas memprediksi ekonomi di OFCE, lembaga riset ekonomi Perancis, mengatakan, Phelps adalah pembaru terbesar pemikiran Keynesian, merujuk pada nama John Maynard Keynes, ekonom besar Inggris.
“Ia membantu memberi basis teori pada pemikiran Keynes soal kebijakan ekonomi dan menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi memainkan peran penting dalam pasar,” kata Timbaud.
Akademi Sains Kerajaan Swedia mengatakan, Phelps memenangi hadiah karena menantang asumsi yang sangat santer pada dekade 1960-an bahwa pembuat kebijakan bisa mengurangi pengangguran dengan mendorong pertumbuhan.
“Dengan melakukan itu, yang akan didapatkan adalah pertumbuhan tinggi dalam jangka pendek, tetapi di dalam jangka panjang muncul masalah inflasi,” kata Philip Shaw, ekonom dari London, mendukung analisis Phelps. Shaw menambahkan, pekerjaan Phelps masih menjadi basis kebijakan yang dipegang berbagai bank sentral di dunia sekarang ini.
(hlm. 195)
Nobel Ekonomi untuk Perbaikan Pasar
Pernahkah pemerintah berpikir bagaimana seharusnya kekayaan minyak, gas, emas, dan lain-lain dikelola hingga memberi kemakmuran maksimal bagi rakyat?
Mungkin ada yang salah dengan mekanisme pengelolaan kekayaan alam itu. Jika demikian, sebaiknya elite kita belajar kepada tiga ekonom Amerika Serikat peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2007, yakni Leonid Hurwicz, Eric S. Maskin, dan Roger B. Myerson.
(hlm. 196)
Mengembangkan fondasi bagi teori desain mekanisme.
Apa itu teori desain mekanisme? Menurut Fakultas Teknik Elektro dan Sains Komputer Harvard University, teori desain mekanisme adalah bagian dari teori ekonomi mikro dan teori permainan. Desain mekanisme memikirkan bagaimana cara mengimplementasikan sebuah sistem yang paling baik untuk mengatasi masalah yang melibatkan banyak agen, di mana masing-masing agen memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Teori ini sarat dengan unsur matematis.
Hurwicz mengatakan, kegunaan dari karya mereka sulit dicerna oleh awam, bahkan oleh pakar ekonomi non-matematika. Konkretnya, teori ini adalah soal perancangan sebuah mekanisme yang bertujuan menghasilkan output terbaik, dari segi harga dan efisiensi. Misalnya, jika sebuah negara memiliki perusahaan monopoli dan oligopoli, lalu dipikirkan bagaimana agar pemegang monopoli dan oligopoli tidak mengenakan harga terlalu tinggi. Hal ini misalnya bisa diatasi dengan mengenakan pajak tambahan pada perusahaan. Dana itu kemudian dialokasikan sebagai kompensasi kepada konsumen yang merasa dirugikan.
Perilaku buruk oligopoli dan monopoli juga bisa diatasi dengan membuat sistem yang menghilangkan struktur pasar monopoli dan oligopoli, seperti membabat barrier to entry (hambatan masuk pasar bagi pelaku lain).
(hlm. 197)
Adam Smith, bapak ekonomi, dalam buku The Wealth of Nations mengatakan, semua hal akan relatif beres dengan peran tangan tersembunyi (invisible hand), yang bekerja di sebuah sistem yang disebut mekanisme pasar. Pasar menentukan segalanya.
Akan tetapi, mekanisme pasar akan bekerja baik jika semua agen ekonomi, katakanlah manusia, mendapatkan kesempatan yang sama, informasi yang sama, dan kemampuan yang sama.
Lagi, mekanisme pasar tidak selalu otomatis menghasilkan produk dan jasa paling efisien, dengan harga paling terjangkau oleh masyarakat. Pelayanan kesehatan, air minum, dan barang-barang publik lain tak selalu bisa diadakan dengan mengandalkan mekanisme pasar.
Temuan trio ini menentukan kapan mekanisme pasar tidak bisa bekerja efektif dan kapan campur tangan pemerintah diperlukan. “Jangan bersandar pada kekuatan pasar untuk kelestarian lingkungan, pengadaan pelayanan kesehatan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat,” kata Maskin, kini tinggal di rumah almarhum Albert Einstein.
(hlm. 198)
Guru
Maskin dan Myerson terinspirasi oleh Hurwicz. Pada tahun 1972, Hurwicz mulai mendiskusikan tentang pentingnya para ekonom menganalisis masalah insentif dan komunikasi, yang diperlukan untuk memperbaiki rancangan mekanisme pasar.
Ini bertujuan membuat perekonomian bekerja efektif. Atas dasar itu, Maskin dan Myerson melakukan riset pada dekade 1970-an, melanjutkan karya Hurwicz tahun 1960-an.
Hurwicz, acuan mereka, sempat pasrah tidak akan pernah mendapatkan Hadiah Nobel walau Kenneth Arrow sudah meraih hadiah serupa tahun 1972, padahal dasarnya adalah temuan Hurwicz. “Saya kira era saya sudah berakhir. Ini adalah kejutan menyenangkan dan hadiah uang itu akan menolong seorang pensiunan,” kata Hurwicz.
(hlm. 199)
Hurwicz berada di Swiss ketika PD II pecah. Ia memilih pindah ke AS dan menjadi asisten untuk ekonom Paul Samuelson, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 1970. “Jika saya masih di Warsawa saat itu, mungkin saya juga termasuk salah satu korban Auschwitz,” kata ekonom keturunan Yahudi ini.
Ia menjadi profesor tamu di berbagai universitas di AS, termasuk Harvard dan Stanford, sebelum menetap di Minnesota tahun 1951. Ia melanjutkan riset ekonomi. “Satu hal terpenting dari teori desain mekanisme… termasuk soal sejarah kelembagaan ekonomi dan kebijakan pemerintah,” kata Hurwicz.
(hlm. 200)
Pasar, Informasi, dan Regulasi
Mekanisme pasar menjadi salah satu isu dalam ilmu ekonomi yang tidak habis dikupas hingga kini.
(hlm. 201)
Kelangkaan insentif
Ilmu ekonomi eksis dalam ranah ilmu pengetahuan karena dipandang sebagai cabang ilmu sosial yang bisa menerangkan problem manusia: ketersediaan sumber daya ekonomi yang terbatas.
Keterbatasan sumber daya berimplikasi pada dua hal. Pertama, bagaimana mengalokasi sumber daya yang terbatas itu secara efisien sehingga menghasilkan output optimal. Kedua, menyusun formulasi kerja sama secara rinci sehingga tidak terjadi konflik.
Pada dua hal itu, semua teori ilmu ekonomi mencari berbagai penemuan baru. Teori desain mekanisme (mechanism-design theory) yang diusung tiga ekonom tersebut untuk mencapai dua tujuan itu.
Bagi mereka, problem serius perekonomian tak hanya resource constraints, tetapi insentif. Seperti dikatakan Myerson (2007), “we realized that not just resource constraints are important, but incentive constraints.” Jika A hendak menjual suatu barang dan B sebagai pembeli, mereka bisa bertransaksi, dengan asumsi semua memiliki informasi sempurna. Masalahnya, bagaimana jika salah satu pihak (misal B), tidak mempunyai informasi lengkap?
(hlm. 202-203)
Regulasi (berbagi) informasi
Keterbatasan peran pasar akibat informasi yang tidak lengkap diharapkan bisa diatasi dengan regulasi. Namun, regulasi yang dikembangkan teori desain mekanisme lebih luas daripada “teori ekonomi regulasi” yang diinisiasi Stigler, yang memusatkan perhatian untuk menerangkan siapa yang mendapat manfaat dan menanggung beban atas suatu regulasi.
Dengan regulasi itu—yang sudah dikembangkan teori ekonomi kelembagaan—tindakan dan keputusan ekonomi diambil dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak sehingga kemungkinan kerugian yang bakal diderita salah satu partisipan, dieliminasi.
(hlm. 205)
Gagasan dari Kandidat Nobel
(hlm. 207)
Jari yang Menunjuk Bulan…
Di tengah-tengah maraknya kemelut moneter, yang dianggap oleh orang banyak sebagai masalah ekonomi, secara mencolok diketengahkan pendapat matinya ilmu ekonomi atau ekonomika (economics). Pendapat ini datang dari Paul Ormerod, seorang ekonom Inggris. Sebenarnya yang divonis mati bukanlah ekonomika as such, tetapi cabang tertentu dari ilmu sosial ini, yaitu yang disebutnya sebagai ekonomika ortodoks.
Ekonomika ortodoks menurut dia adalah penalaran ekonomi yang masih terus meniru-niru penalaran ilmu fisika yang dikembangkan oleh Newton dan Descartes di Abad XVII. Padahal asumsi metafisika yang dipegang oleh fisika klasik itu telah dikoreksi dan ditinggalkan oleh fisika modern. Dengan demikian, ekonomika ortodoks seperti tidak mau peduli bahwa teorinya yang berkemauan eksak dan positif-obyektif, dengan model-model yang serba matematis, reduksionis dan mekanistis, sudah semakin jauh dari realitas ekonomi yang ingin diperhatikannya, sudah tidak mampu lagi merumuskan hukum-hukum ekonomi yang workable dan, berkaitan dengan itu, sudah tidak bisa lagi dipakai, sudah tidak berdaya, untuk memprakirakan kejadian dan masalah ekonomi yang bakal timbul.
(hlm. 208)
Sebagaimana kita ketahui, sejak awalnya (1901) Hadiah Nobel tidak meliputi ilmu-ilmu sosial. Baru di paruh kedua Abad XX ini Bank Sentral Swedia menganggap ekonomika pantas diberi penghargaan Nobel dengan dana yang berasal dari bank tersebut.
MAKA ketika untuk pertama kalinya diadakan Hadiah Nobel Ekonomi di tahun 1970, semua penerimanya praktis terdiri dari para pengembang ekonomika ortodoks yang dianggap “mati” oleh Ormerod, di antaranya Paul Samuelson, Milton Friedmann dan Jan Tinbergen. Waktu di tahun 50-an beredar buku teks The Foundations of Economics karya Samuelson, di mana matematika dipakai dengan sadar, sengaja, dan sistematis sebagai tools of analysis, ada yang mengomentarinya sebagai “the last words on economics”.
(hlm. 209)
Semua ilmuwan ekonomi yang sampai sekarang mendapat penghargaan bergengsi itu merupakan dosen di perguruan tinggi dan karya ilmiah mereka masing-masing banyak sedikitnya berwajah ekonomika ortodoks.
Tidak berdaya sebagai alat bekerja bagi lulusannya (sarjana, pakar, ilmuwan ekonomi). Jadi yang harus kita renungi tidak hanya (kelemahan/kekurangan) pengetahuan ilmiah itu sendiri tetapi sekaligus (kelemahan/kekurangan) orang-orang yang ingin mengamalkannya di kehidupan riil.
Di jalur pendidikan formal, terutama di tingkat universitas, setiap ilmu pengetahuan berdaulat penuh di bidangnya masing-masing. Ia bebas mengembangkan metode keilmuannya sendiri yang unik dan pada umumnya bebas emosi (bukan bebas nilai).
(hlm. 210)
Dengan metode seperti ini setiap ilmu pengetahuan berkembang menjadi satu disiplin, yaitu sekumpulan teori dan teknikalitas yang harus dipelajari dan dikuasai, untuk ekonomika, termasuk jenis-jenis tertentu matematika.
Disiplin ini menuntut setiap pelajarnya untuk taat mengikuti ketentuan-ketentuannya, seakan-akan menjadikannya tawanan (prisoner) kalaupun bukan “budaknya” yang patuh.
MAKA yang diperoleh selama pendidikan ini bukanlah keahlian membuat panacea tetapi suatu pemahaman dengan bantuan model-model, termasuk model yang serba matematis tadi dan, dari sini, suatu pengetahuan “bersyarat” berupa teori. Ungkapan bersyarat ini berarti bahwa pengetahuan teoretis tersebut bisa saja betul (correct) tetapi tidak dapat diterapkan (unapplicable).
(hlm. 211)
Dengan begini, bila proses belajar-mengajar disiplin ilmiah dilakukan dengan baik, pelajar memperoleh suatu kebajikan tambahan, pengetahuan (teoretis) bersyarat tadi, yaitu suatu semangat ilmiah berupa kebiasaan mempraktikkan keterbukaan reflektif. Keterbukaan ini adalah ketersediaan yang tulus dan jujur untuk menguji ketepatan penalaran serta asumsinya sendiri. Sedangkan keterbukaan seperti ini pasti diperlukan pula di bidang politik, yaitu menegakkan demokrasi.
Di pihak lain, bisa juga, dan ini sering terjadi, pelajar begitu terpukau dengan “keindahan” model-model matematis yang reduksionis dan abstrak itu sehingga di dalam benaknya tumbuh tanpa disadari suatu “model mental”, yaitu citra, gambaran, cerita, teori. Model mental ini bisa begitu kukuh hingga menentukan apa yang dilakukan. Ia menentukan apa yang dilakukan karena ia mempengaruhi apa yang dilihat.
Para filosof telah membahas hal ini sejak cerita perumpamaan Plato tentang pengalaman hidup di gua. Cerita klasik dari pendongeng didaktif Hans Christian Andersen tentang The Emperor’s New Clothes adalah contoh lain tentang keberadaan model mental yang, betapa pun sederhananya, bisa menyesatkan. Ini bukanlah cerita tentang rakyat yang dungu tetapi rakyat yang terbelenggu oleh model mental. Citra atau gambaran (model mental) mereka telah membutakan mereka begitu rupa hingga tidak mau mengakui realitas bahwa sang raja sebenarnya telanjang dan bukan berbaju baru.
(hlm. 212)
Kelemahan/kekurangan lain dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ekonomika, adalah akibat pengembangan pengetahuan ilmiah yang semakin lama semakin spesialistis.
Tapi bagaimana bila masalah yang timbul itu adalah akibat interaksi antara berbagai faset kehidupan seperti masalah moneter yang kita hadapi sekarang?
Hanya lensa analisis (teori) yang kita paksakan yang membuat masalah-masalah hidup/alam seolah-olah dapat dipilah-pilah, diisolasi, lalu dipecahkan.
(hlm. 213)
Lembaga-lembaga pembelajaran kiranya tahu benar betapa kerja mereka akhirnya melepas orang-orang buta ke arah gajah.
(hlm. 214)
Sebab biar bagaimanapun kita harus sadar bahwa ekonomika bukanlah realitas kehidupan ekonomi itu sendiri. Paling jauh ia berfungsi sebagai penunjuk ke arah realitas tersebut dan kita tetap memerlukan adanya penunjuk.
Sama halnya dengan jari yang menunjuk ke bulan. Setepat-tepat tunjukkannya itu, jari ini tetap bukan bulan itu sendiri. Maka kalaupun tunjukkannya itu tidak tepat atau melenceng, kiranya ia tidak perlu “dilibas” habis.
(hlm. 215)
Para Penguasa dan Penasihat Ahli, Bacalah ini!
(Wawancara Imajiner dengan Hernando de Soto)
Parakitri T Simbolon *
Kami memfokuskan pada pembahasan pemikiran salah satu pemikir penting dunia saat ini, Hernando de Soto, utamanya yang berkaitan dengan buku terbarunya, The Mystery of Capital (2000). Buku itu berusaha menjawab teka-teki mengenai persoalan kemiskinan di negara dunia ketiga dan eks-sosialis, dengan asumsi dasar, bahwa di sektor marginal masyarakat miskin tadi sebetulnya tersimpan “berlian”—sebuah kapital yang tak pernah terdeteksi oleh pemerintah dan para perencana pembangunan.
(hlm. 216)
Soal terakhir itu, adalah sikap para pemimpin dan elite negeri ini, yang dalam bahasa kepenyairan, hendaknya “tidak berpesta di kapal pesiar” sementara “rakyat makan akar”. “Tidak mengungsi pintu” sementara “rakyat terlantar di jalan”. Kalau itu yang terjadi, maka kami akan “bilang tidak kepadamu!”
DS: Begini. Saya dan seratusan rekan saya periset menyampaikan jalan keluar itu kepada umum dalam bentuk buku, The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else (London: Bantam Press/Black Swan, 2000/2001). Jadi pembaca-lah yang pantas menilai apakah tawaran tersebut meyakinkan atau tidak.
(hlm. 217)
Ia menawarkan kepada para politisi suatu proyek yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan sekaligus melambungkan wibawa politik mereka, suatu kombinasi yang mengagumkan.
Hampir semua negara di dunia memilih jalan kapitalisme, dan termasuk yang paling bersemangat adalah negara-negara Dunia Ketiga serta bekas komunis (seterusnya disebut D3BK).
T: Anda menjawab, mungkin! Dan kemungkinan itulah jalan keluar yang Anda tawarkan. Sudikah Anda secara singkat mengutarakan kemungkinan itu?
DS: Baik. Saya harus mulai dari saran dan nasihat yang selalu diberikan oleh negara Barat dan sangat dituruti oleh D3BK, tetapi selalu juga gagal: swastanisasi, pasar bebas, strukturisasi perbankan, stabilisasi moneter, penghapusan subsidi, dan investasi asing.
(hlm. 218)
T: Sangat jelas untuk menegaskan negasi. Bagaimana dengan afirmasi?
DS: Sebentar dulu. Kegagalan itu membuat banyak negara D3BK mulai kapok dengan jalan kapitalisme, tetapi tidak tahu jalan keluar lain. Hal ini mengakibatkan malapetaka lebih parah, karena negara Barat bukan memeriksa apa yang salah dengan saran-saran mereka melainkan bertubi-tubi menyudutkan D3BK sebagai belum siap secara budaya untuk menjalankan kapitalisme.
T: Baik, tetapi secara singkat dulu mengenai jalan keluar itu.
DS: OK, tetapi secara singkat saja dulu, jadi jangan diharapkan langsung jelas. Jalan keluar itu adalah mengubah seluruh kekayaan rakyat D3BK itu menjadi kapital, modal. Pendeknya menjadikan seluruh rakyat D3BK menjadi produsen modal!!
DS: Memang mengherankan! Malah kami berani menganggapnya misteri, rahasia, paradoks.
(hlm. 219)
DS: Buku tersebut lebih dulu harus mengungkapkan lima rahasia, dan rahasia modal hanya salah satu. Empat rahasia lain: informasi tentang harta kekayaan (accumulating assets) rakyat miskin di D3BK yang kebanyakan merupakan modal mati (dead capital); kesadaran politik tentang perubahan mendasar dalam kehidupan rakyat D3BK setengah abad terakhir ini; pelajaran penting dari sejarah negeri kapitalis, terutama Amerika Serikat (AS); dan kegagalan hukum di D3BK.
DS: Saya harap Anda jangan percaya jika orang bilang bahwa kemiskinan dan gagalnya perbaikan ekonomi rakyat D3BK karena mereka tidak punya kebudayaan yang sesuai, seperti cara berpikir, reformasi agama, kebiasaan kerja, warisan penjajah, dan bahkan inteligensi jongkok. Apa sih yang sama dalam kebudayaan beberapa negara kapitalis seperti Jepang, Swis, Australia?
(hlm. 220)
T: Baiklah, jangan terjebak dengan alasan-alasan kultural! Kultur, budaya, bukan hanya pendorong perubahan, tetapi sekaligus juga hasil perubahan. Ada lagi?
DS: Camkan kenyataan berikut: rakyat negeri yang belum berhasil melewati jalan kapitalisme bukan peminta-minta, yang terpuruk dalam kebiasaan buruk, dan yang mendewakan kebudayaan lapuk. Jadi, mereka belum berhasil, atau bahkan sudah gagal, karena alasan lain yang tak terduga sederhananya, yaitu ketakmampuan menghasilkan modal (inability to produce capital).
T: Ini menegaskan kembali jalan keluar yang sudah dikemukakan.
DS: Betul, tetapi pernyataan terakhir ini saya tempatkan dalam konteks peranan modal yang menentukan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan menciptakan kekayaan negeri. Modal (capital) benar-benar merupakan nyawa (the lifeblood) kapitalisme. Riset kami di sudut-sudut kota dan pelosok desa-desa di Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa mayoritas rakyat miskin sesungguhnya sudah memiliki harta kekayaan (assets) yang perlu demi sukses kapitalisme. Sekali pun di negeri paling miskin, rakyat miskin terus menabung. Nilai tabungan si miskin itu besar sekali: 40 kali seluruh bantuan luar negeri yang ada di dunia ini sejak 1945. Di Mesir, nilainya 55 kali seluruh investasi asing langsung yang pernah diterima negeri itu, termasuk Terusan Suez dan Bendungan Aswan. Di Haiti, yang termiskin di Amerika Latin, nilainya 150 kali lebih besar daripada seluruh investasi asing yang diterimanya sejak merdeka dari Perancis, tahun 1804. Sekiranya AS mematuhi patokan PBB mengenai bantuan luar negeri sebesar 0,7 persen dari pendapatan nasional, maka negeri itu, yang terkaya di dunia, akan memerlukan lebih daripada 150 tahun untuk menyamai nilai tabungan si miskin itu.
(hlm. 221)
T: Kalau begitu apa yang terjadi dengan tabungan si miskin yang begitu banyak?
DS: Terbelenggu dalam bentuk-bentuk yang cacat: rumah di tanah yang tak jelas pemiliknya; perusahaan yang tidak merupakan badan hukum; industri tersebar di tempat yang tidak terlihat oleh investor. Karena hak-hak atas semuanya tidak tercatat, maka kekayaan seperti itu (assets) tidak siap dialihkan jadi modal (capital); tidak bisa diperjual-belikan di pasar yang lebih luas daripada lingkungan si miskin; tidak mungkin diagunkan; dan mustahil jadi saham dalam suatu investasi. Di Barat benar-benar sebaliknya. Setiap penggal tanah, setiap unit bangunan, setiap keping inventaris, semua ditampilkan berupa dokumen hak-milik. Dokumen ini merupakan pertanda proses sosial yang luas dan tak kasatmata yang menghubungkan semua kekayaan tadi dengan dunia perekonomian. Berdampingan dengan nilai fisik kekayaan itu, dokumen kekayaan ini menciptakan nilai lain yang jauh lebih besar, seperti agunan kredit. Dana paling besar untuk bisnis baru di AS berasal dari rumah tinggal sebagai borg (mortgage). Perwujudan berupa dokumen itulah yang tidak berhasil dilaksanakan di D3BK, sehingga tanpa itu, harta kekayaan rakyat mereka tetap tinggal dead capital. Inilah sekadar pengantar untuk memahami rahasia modal.
T: Betul-betul mencengangkan bahwa D3BK tidak mampu melihat kenyataan itu.
DS: Bisa dimengerti, karena salah satu tantangan terbesar bagi akal-budi manusia adalah memahami dan memberi wujud sesuatu yang tidak kasatmata. Waktu, misalnya, meski nyata, tidak dapat dilihat, diraba. Agar bisa mengelolanya, waktu harus lebih dulu diwujudkan dalam hitungan, dalam kalender, dalam arloji. Demikian juga halnya dengan notasi, tulisan, teknik, teori; semua itu merupakan sistem penampilan (representational system).
(hlm. 222)
T: Tetapi hanya Barat yang berhasil mewujudkan representational systems yang memberi wujud pada hal-hal yang tak-kasatmata?
DS: Pada umumnya demikian; tetapi mereka, entah itu Jepang, AS, Eropa, Australia, sudah tidak lagi menyadari kenyataan itu. Perwujudan itu sedemikian dalam tersirat di sekujur sistem kepemilikan (property systems) mereka, sehingga hak-milik (ownership) hanya merupakan puncak gunung es. Semua sistem itu lenyap di bawah sadar pemikiran ekonomi negeri kapitalis itu, mirip dengan seorang pengendara mobil yang mahir tidak lagi tahu apa-apa, dan tidak peduli dengan mekanisme pembakaran mesin mobilnya. Sejarah perkembangan sistem perwujudan itu pun tidak pernah diungkap. Mengungkap sejarah itu merupakan satu langkah untuk keluar dari kegagalan ekonomi negeri miskin.
(hlm. 223)
T: Sepertinya the past is many nations’ present, ya.
DS: Betul sekali. Negeri Barat begitu berhasil mengintegrasikan si miskin ke dalam perekonomian, sehingga mereka sama sekali lupa bagaimana integrasi itu dicapai. Sejarawan AS, Gordon Wood, mengatakan, waktu itu, “sesuatu yang menentukan terjadi dalam masyarakat yang membuat aspirasi dan energi rakyat biasa AS lepas-bebas, sesuatu yang belum pernah terjadi.” Itulah terwujudnya susunan undang-undang kepemilikan (formal property law), lengkap dengan prosedur pengalihan (conversion process) di dalamnya agar harta kekayaan (assets) bisa jadi modal (capital). Inilah garis pembatas antara kapitalisme yang berhasil dan yang gagal.
T: Mari kita masuk ke rahasia yang paling menarik bagi pembaca kita di Indonesia.
DS: Ah, ya, pasti mengenai informasi tentang harta kekayaan (accumulating assets) rakyat miskin di D3BK yang kebanyakan merupakan modal mati (dead capital) itu.
(hlm. 224)
T: Betul. Bisakah mulai dengan fakta yang menggembirakan? Rakyat di sini sudah terlalu lama apatis. Hanya penguasa yang girang terus.
DS: Baik, dengar yang ini: Mayoritas rakyat D3BK memang miskin, tetapi sesungguhnya tidak miskin-miskin amat! Di Haiti, nilai seluruh rumah “liar” itu 5,2 miliar dollar AS atau empat kali nilai seluruh kekayaan perusahaan resmi di sana; sembilan kali kekayaan pemerintah; dan 158 kali nilai kekayaan investor langsung yang tercatat sampai tahun 1995.
T: Bukan main. Bagaimana dengan Peru, Filipina, dan Mesir?
DS: Nilai perumahan yang bersifat ekstra-legal seperti itu di Peru mencapai 74 miliar dollar AS. Jumlah ini lima kali total kapitalisasi Bursa Saham Lima sebelum krisis 1998; sebelas kali BUMN Peru yang dinilai layak diswastakan; 14 kali seluruh investasi asing langsung. Di Filipina, 133 miliar dollar AS. Ini berarti empat kali nilai kapitalisasi 216 perusahaan domestik yang tercatat di Bursa Saham negeri itu; tujuh kali jumlah seluruh tabungan di bank; sembilan kali seluruh modal BUMN Filipina; dan 14 kali nilai investasi asing langsung. Di Mesir, nilai perumahan yang demikian mencapai 240 miliar dollar AS. Ini 30 kali nilai seluruh saham di Bursa Saham Cairo; 54 kali nilai investasi asing langsung.
(hlm. 225)
T: Adakah proyeksi nilai perumahan sejenis untuk seluruh D3BK?
DS: Ada. Sekitar 85 persen perumahan di kota, dan antara 40 persen dan 50 persen di pedesaan, berstatus ekstra-legal. Nilai keseluruhannya diperkirakan mencapai 9.300 miliar atau 9,3 triliun dollar AS. Jumlah ini sekitar dua kali nilai uang beredar di AS; sama banyaknya dengan nilai seluruh kekayaan perusahaan yang tercatat di bursa saham 20 negeri terkaya di dunia; lebih daripada 20 kali nilai investasi asing langsung di D3BK sejak tahun 1989; 46 kali jumlah pinjaman Bank Dunia selama tiga dekade terakhir ini; dan 93 kali nilai seluruh bantuan pembangunan ke D3 dalam periode yang sama.
T: Jadi, rakyat miskin di D3BK sebenarnya kaya?
DS: Tepat sekali. Itulah sebabnya saya mengecam keras pendapat umum yang mencap jutaan pengusaha gurem itu sebagai biang keladi kemiskinan global. They are not the problem. They are the solution.
Setelah Revolusi AS, seorang dosen, Russell Conwell, menjajahi seluruh AS untuk menyampaikan pesan yang menggemparkan. Ceritanya tentang seorang pedagang Indian yang menurut dukun akan kaya raya asalkan pedagang itu menemukan harta karunnya. Pedagang itu menjelajahi seluruh dunia, tetapi akhirnya pulang sudah tua, gagal, dan pedih. Tiba di rumahnya yang hampir runtuh, ia ingin minum, tetapi sumur sudah tertutup. Ia terpaksa ambil tembilang lalu menggali sumur baru. Eh, tiba-tiba tembilangnya menyentuh Golconda, tambang intan terbesar di dunia.
(hlm. 226)
T: Apakah dengan cerita itu Anda hendak menegaskan bahwa pemimpin sejati di D3BK tidak perlu melanglang buana minta bantuan asing; karena di tengah lingkungan miskin dan kota yang sesak di negeri sendiri sesungguhnya terdapat, kalau bukan tambang intan, ya triliunan dollar yang siap digunakan seandainya saja mereka dapat menyingkap rahasia bagaimana harta kekayaan itu dialihkan dari modal mati ke modal hidup?
DS: Betul sekali. Kesimpulan Anda sama dengan yang saya tegaskan dalam buku itu.
T: Lantas mengapa harta karun itu tidak diintegrasikan saja ke dalam sistem hukum kepemilikan?
DS: Seluruh birokrasi D3BK tidak hanya tidak mendukung tetapi menghambat. Ingat birokrasi bukan milik rakyat banyak tetapi milik para penguasa dan penasihat mereka. Di Peru, meminta izin perusahaan garmen kecil makan waktu 289 hari, setiap hari menghabiskan enam jam di kantor pemerintah. Belum lagi harus membayar 1.231 dollar AS, 31 kali gaji minimum pekerja. Untuk memperoleh IMB makan waktu tujuh tahun, melewati 207 meja di 52 instansi pemerintah. Begitu kira-kira yang terjadi di seluruh negeri D3BK.
T: Amat menyedihkan. Maaf, masih ada pertanyaan, tetapi ini yang terakhir, khusus tentang Indonesia. Pertengahan 1991 Anda diundang ke Indonesia, dan buku Anda yang tidak kalah terkenal, The Other Path: The Invisible Revolution in the Third World (1989) waktu itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Masih Ada Jalan Lain: Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991/1992). Sesudah itu reputasi dan prestasi Anda terus mendunia. Anda pendiri dan Presiden Institute of Liberty and Democracy (ILD) di Lima. Majalah The Economist menilai lembaga Anda salah satu lembaga “think-tank” paling penting di dunia.
(hlm. 227)
Mengapa baru sekarang ini Anda dan orang lain sadar akan harta karun si miskin di D3BK, dan bagaimana mengenali potensi itu di Indonesia?
DS: Seperti yang Anda sebut, 40 tahun terakhir ini terjadilah revolusi ekonomi dan sosial di D3BK yang sama dengan yang dihadapi Barat pada tahun 1800. Ratusan juta penduduk dari pedesaan bergerak melalui jalan raya yang baru dibangun menuju kota-kota. Kota menjadi kewalahan, sementara para urbanis itu berjuang dengan kekuatan sendiri mempertahankan hidup, tanpa perlindungan hukum sama sekali. Mereka dituduh melanggar hukum, tetapi sebenarnya hukum yang melanggar hak dan hidup mereka. Revolusi ini membangkitkan kesadaran di pihak beberapa orang seperti Anda dan saya.
(hlm. 228)
DS: Saya sebenarnya ingin menguraikan rahasia modal, bagaimana kekayaan (assets) diubah jadi modal (capital), tetapi saya khawatir akan terlalu teknis dan membosankan. Lalu saya dapat ilham. Saya cerita, di Indonesia, seperti di negeri lain, memang sulit memastikan batas-batas harta-kekayaan yang ekstra-legal itu. Tetapi saya kebetulan diajak ke Bali. Di sana saya jalan di tengah persawahan dan perumahan, dan anjing menyalak menyambut kehadiran saya. Setiap lewat batas tertentu, salak anjing berbeda. Nah, saya simpulkan, salak anjing yang berbeda-beda itu agaknya menunjukkan kepemilikan sawah dan rumah yang berbeda pula. Lalu saya menjawab pertanyaan tadi begini: “Anjing di Bali tahu betul perbedaan kepemilikan tuan masing-masing. Mungkin Anda bisa memanfaatkan anjing-anjing itu.”
(hlm. 229)
Soto dari Peru
DALAM kurun waktu tahun 1959-1964, di New Delhi, India, terjadi ledakan pemukiman liar (squatter settlements) yang sangat signifikan. Hal ini dipicu oleh rencana Delhi Development Authority (DDA) yang akan mengakuisisi sekitar 30.000 hektar lahan dari cengkeraman tuan tanah.
Usaha melegalkan kepemilikan lahan di pemukiman liar juga diadaptasi oleh Pemerintah Kota Guayaquil, Ekuador. Sejak tahun 1992, Kantor Pertanahan yang cuma mempekerjakan 70 orang itu, setiap tahunnya mampu memproses lebih dari 15.000 sertifikat hak milik dari berbagai kasus lahan di permukiman liar. Hal yang sama juga sudah dipraktikkan secara luas di negara-negara seperti: Pakistan, Bangladesh, Thailand, Turki, Meksiko, Nikaragua, Trinidad-Tobago, Chili, dan Peru.
Berbagai wacana serta inovasi-inovasi strategis yang berkaitan dengan tema di atas sudah dibicarakan para pakar secara luas dan mendalam. Shlomo Angel, dalam bukunya Land Tenure for the Urban Poor (1983) menunjukkan berbagai keberhasilan sekaligus kegagalan penerapan asas legal dalam proses pemberdayaan kaum marjinal di perkotaan. Begitu juga dengan Carol Rose (Property and Persuasion, 1994) yang sudah berusaha menelusuri secara mendalam tentang sejarah, teori, serta retorika-retorika asas legal yang sering dijadikan alat politik bagi kepentingan penguasa. Dan yang masih “hangat”, Hernando de Soto melalui The Mystery of Capital (September, 2000), kembali mengundang perhatian berbagai kalangan, sepanjang tahun lalu.
(hlm. 230)
MISTERI Kapital yang memaparkan kembali usaha pemberdayaan kaum marjinal ini mencoba mengajukan sebuah gagasan yang bertema sentral: peranan extralegal property system dalam pembentukan modal produktif. Dari sudut teoritis, gagasan ini mengacu pada pemikiran Adam Smith tentang kapital (The Wealth of Nations, 1779), yang mengatakan bahwa aset bisa dijadikan modal (capital) produktif untuk menggerakkan sistem pasar, dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan masyarakat. Sistem pasar inilah yang kemudian dikenal sebagai kapitalisme. Sebuah paham yang menurut pendapat De Soto, bisa “berhasil” di “Barat”, tapi “gagal” di belahan dunia lainnya (Why capitalism triumphs in the west and fails everywhere else?). Lebih lanjut, De Soto beranggapan bahwa kegagalan ini disebabkan karena adanya faktor yang menghambat proses transformasi aset menjadi modal produktif, yaitu kelangkaan extralegal property system yang berfungsi melindungi kepentingan pemilik aset dan memberikan kemampuan kepada pemilik aset untuk mempergunakan asetnya dalam aktivitas produksi.
(hlm. 231)
Dengan meminjam pisau analisis Fernand Braudel (The Wheels of Commerce, 1982) tentang “bell jar” (di mana “elite” diasumsikan di dalam “jar” dan orang miskin di luar “jar”), De Soto menunjukkan bahwa kaum marginal di negara-negara dunia ketiga dan eks-sosialis, ternyata tidaklah semiskin seperti yang digambarkan oleh World Bank atau IMF. Mereka sebenarnya termarjinalkan secara politis oleh birokrasi dan elite-elite lokal yang telah mengambil keuntungan dari keajaiban kapitalisme.
De Soto kemudian mengemukakan hasil risetnya, tentang akumulasi aset-aset kaum marjinal di beberapa negara dunia ketiga dan eks-sosialis, yang diperkirakannya mencapai 9,3 triliun dollar AS.
(hlm. 232)
Persoalannya sekarang, birokrasi dan elite politik di sebagian besar negara dunia ketiga masih melihat keberadaan kaum marjinal beserta habitatnya sebagai fenomena ilegal (squatter).
Pertama, informasi standar kemiskinan yang kita pahami selama ini, ternyata bias.
Semua itu menunjukkan transaksi dan perputaran dana yang tak terjamah dalam sistem penghitungan pendapatan nasional. Hal inilah yang disebut De Soto sebagai the mystery of missing information. Lebih lanjut, ia beranggapan bahwa kelangkaan informasi tentang potensi kemampuan kaum marjinal untuk mengakumulasi aset, menyebabkan fokus kebijakan pengentasan kemiskinan selalu terpaku pada kondisi kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka. Hal ini menyesatkan, karena telah membentuk persepsi umum, bahwa kaum marjinal itu sama sekali tidak punya potensi.
Kedua, mari kita lihat lagi contoh di atas, bagaimana si Engkong begitu gigih berusaha menjual tanah (yang “surat-menyurat” pun tak jelas), untuk memodali si Atun membuka usaha salon kecantikan, agar Atun cepat mandiri. Potret inilah yang dimaksud De Soto sebagai the mystery of capital. Yang mana aset yang sebenarnya bisa dijadikan modal usaha, namun karena tiadanya surat-menyurat yang sah, besar kemungkinan hanya akan menjadi dead capital saja dan sulit bersinergi dengan sistem pasar. Di sisi lain, De Soto ingin menunjukkan bahwa persepsi kita tentang kapitalisme itu keliru, karena sering terjebak untuk mengkonotasikannya dengan uang atau aset-aset fisik (physical assets).
(hlm. 233)
Ketiga, De Soto kembali menyoroti kegagalan pemerintah (di negara-negara dunia ketiga dan eks-sosialis) dalam melakukan reformasi ekonomi.
Keempat, perilaku “salah urus” tadi menurut De Soto terjadi juga dalam sejarah Amerika (the missing lesson of US history). Presiden George Washington (1783) menunjukkan ketidaksukaannya pada orang kecil (buruh tambang) yang menduduki lahan secara ilegal. Washington dengan sinis, menyebut mereka sebagai banditti. Setelah hampir seratus tahun lebih, perjuangan banditti untuk mendapatkan pengakuan legal atas tanahnya, akhirnya diakui oleh pengadilan tinggi. Lebih jauh, Amerika justru menjalankan praktik land reform bergaya Mao selama masa pendudukannya di Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan (pasca-Perang Dunia II). Mereka melegalkan aset kaum marjinal dalam bentuk hak milik, yang berkekuatan hukum. Hal yang sama, mereka terapkan juga selama di Vietnam Selatan melalui program agrarian reform (wawancara Darion Fernandez-Morera di Reason, 09/2001).
(hlm. 234)
Kelima, sehingga menurut De Soto, advokasi untuk melegalkan aset-aset kaum marjinal di negara Dunia Ketiga dengan mengadopsi extralegal property system (the mystery of legal failure), adalah bertujuan untuk merekapitalisasikan dead capital tadi. Dengan cara “merontokkan” tembok ilegalitas terlebih dahulu (legal barriers), kemudian kaum marjinal diharapkan bisa bersinergi dengan sistem formal (capitalism), untuk meningkatkan kesejahteraannya.
DARI analisis dan evaluasi terhadap kelima pokok pikiran di atas, penulis berpandangan bahwa Hernando de Soto tampaknya ingin menarik batas tegas antara pengertian land reform sebagai retorika “kiri” dengan apa yang disebutnya sebagai extralegal property system. Yang mana, political will untuk melegalkan aset-aset tersebut secara simultan langsung dikaitkannya dengan sistem pasar. Sehingga, misalnya, akumulasi aset bisa dijadikan sebagai jaminan/agunan pinjaman untuk modal usaha (collateral). Artinya, segaris dengan apa yang disampaikan oleh Adam Smith (bahkan Karl Marx pun “mengamininya”), bahwa akumulasi aset haruslah dijadikan active capital agar bisa bersinergi dengan perputaran produksi.
(hlm. 235)
Sehingga, bisa jadi extralegal property system bukan cuma sekadar retorika populisme belaka, tetapi ingin menjawab quo vadis land reform yang sekaligus tamparan buat kelompok new-leftist yang cenderung miskin solusi. Namun, mungkin juga lebih dari sekadar itu, De Soto memiliki agenda terselubung untuk melakukan re-advokasi kapitalisme “baru” pada Dunia Ketiga, dengan memakai land reform sebagai kuda Troya-nya? Oleh karena itu, menurut penulis, gagasan De Soto tentang ekstra legal tersebut, menarik untuk dikaji lebih jauh.
Pemenang Nobel di bidang Ekonomi, Ronald Coase (The Problem of Social Cost, Journal of Law and Economics, 1960), jauh sebelum De Soto dikenal, sudah mengulas pentingnya peranan ekstra legal di atas secara lugas dan mendalam, walaupun tidak dalam skala makro seperti De Soto.
(hlm. 236)
Menurut Coase, solusi yang tepat (socially desired) adalah mengalokasikan ekstra legal ke pihak yang lebih “mampu” untuk menciptakan value added. Jadi, seandainya sang dokter dalam contoh di atas mampu menghasilkan Rp 2 juta, sementara sang tetangga mampu menghasilkan Rp 4 juta, maka property right seharusnya diberikan ke sang tetangga, dan sang tetangga kemudian bisa memberikan kompensasi bagi sang dokter atas kebisingan yang ditimbulkannya.
Disebutkan bahwa kelangkaan aset (lacking asset) merupakan penyebab dan sekaligus akibat dari kemiskinan.
Kontradiksi dasar acuan analisis seperti ini selayaknya perlu diluruskan dulu melalui metode penelusuran ilmiah.
(hlm. 237)
Maka, sebenarnya konsep ekstra legal yang dipaparkan De Soto masih sangat general dan “dangkal”. Padahal konsep ini mengandung permasalahan yang sifatnya multifacets dan apakah benar pengalokasian ini harus diprioritaskan ke kaum marjinal, terus apakah property right ini harus dialokasikan ke perorangan atau komunal? Yang tidak kalah pentingnya adalah masalah pemberdayaan. Apakah kepemilikan aset secara otomatis memberikan empowerment kepada mereka untuk mendayagunakan aset ini secara optimal? Merujuk apa yang disampaikan Ronald Coase, seharusnya kita tidak semata-mata tergiur untuk merekapitalisasikan aset-aset kaum marjinal per se. Sebelum melangkah ke sana, harus dicermati dulu komponen nilai tambah (value added), sistem kompensasi, dan retribusi dari si pemegang property right ke pihak terkait, dan juga keberdayaan (empowerment) mereka. Keberdayaan ini tergantung juga pada taraf pendidikan masyarakat.
Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah yang berkaitan dengan pilihan antara alokasi ekstra legal ke individu (privat) atau ke komunitas (publik).
(hlm. 238)
Masalah seperti ini sudah diantisipasi oleh filsuf dan ekonom David Hume (The Tragedy of Commons), jauh sebelum De Soto memaparkan konsepnya. Bayangkan saja semua individu akan terdorong untuk menambah jumlah sapinya di lahan, akibatnya lahan itu akan menjadi terlalu sumpek dan merugikan seluruh anggota komunitas. Jadi, ada unsur eksternalitas dari alokasi property right ke komunitas secara keseluruhan, untuk itu desain alokasi extralegal property system ini perlu dicermati dengan seksama.
Masih berkaitan dengan konsepsi privat-publik dalam perspektif pemukiman, De Soto dengan optimisnya menyatakan bahwa implementasi ekstra legal akan memberikan peluang pada kaum marjinal untuk memiliki rumah dengan harga terjangkau. Melalui program pengadaan rumah murah secara “masif” (hlm. 191). Dalam hal ini, penulis menjadi ragu apakah benar De Soto telah mempertimbangkan sejarah kegagalan program perumahan sosial di negara maju, yang disebabkan karena begitu masifnya intervensi tersebut? Yang mana advokasi sosialisme menjadi sedemikian monolitnya dalam gerakan arsitektur modern, lalu akhirnya terjebak dalam doktrin international-style, yang akibatnya malah menyebabkan kebangkrutan sendiri. Karena itu, gerakan yang dipelopori oleh Le Corbusier ini, dipandang gagal mengemban misi kemanusiaannya!
(hlm. 239)
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ekstra legal itu penting peranannya sebagai katalisator proses transformasi aset menjadi modal produktif. Namun, untuk menonjolkannya sebagai kunci utama transformasi rasanya masih harus kita perdebatkan. Kalau kita kembali ke contoh si Engkong yang bermaksud membantu si Atun dengan menjual lahannya, bukan berarti secara otomatis si Atun akan meraih sukses. Tergantung juga pada kepintaran si Atun dalam tata rias rambut, banyaknya langganan yang bisa ditangani si Atun (produktivitas si Atun), keberadaan pesaing di sekitar salon si Atun, dan yang lebih lagi adalah insentif si Atun untuk bekerja keras. Hal mana ternyata, dipengaruhi oleh banyak faktor seperti produktivitas dari aset, kemampuan dan insentif dari pemilik aset, dan kondisi lingkungan. Hak kepemilikan atas aset (extralegal property system) hanya merupakan sarana pendukung yang mempengaruhi insentif pemilik aset.
Mungkin lebih tepat bagi kita untuk mengangkat insentif ini sebagai tema sentral, dan menempatkan extralegal property system sebagai salah satu syarat penting (necessary condition). Jadi kuncinya, lebih ke bagaimana aset dan ekstra legal ini bisa dikombinasikan dan dipergunakan secara produktif. Dalam hal ini, mungkin kita perlu menyimak pendapat William Easterly (The Elusive Quest for Growth, 2001), yang menekankan perlunya kondisi yang kondusif bagi mekanisme produksi.
(hlm. 240)
LALU, sejauh manakah ekstra legal ini bisa diadaptasi dalam konteks praksis di Indonesia? Tidak banyak. Meski sekilas, konsep ini “seksi”, namun bukan berarti mudah untuk diterapkan. Karena legal mengandung persoalan multifacets.
Penyelesaian strategis jangka panjang untuk menghasilkan instrumen hukum (setingkat undang-undang) selalu terlewatkan.
(hlm. 241)
Adakah political will dalam konteks tadi, bisa terkait dengan trauma land reform, yang sudah terlanjur identik sebagai pakem “kiri” (Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah, 2001)?
Dalam konteks aktual, upaya merekapitalisasi aset-aset kaum marjinal agar bisa bersinergi dengan sistem perekonomian formal, membutuhkan kondisi pasar yang sehat. Dalam kondisi ekonomi yang sempoyongan, di mana perbankan malah “adu-cepat” tersungkur, maka sinergi yang diharapkan De Soto akan sangat sulit terjadi. Bahkan dalam kondisi “sehat” sekali pun, penulis tetap ragu, apakah lembaga keuangan memiliki niat baik untuk mengucurkan kredit berbekal jaminan aset “eks-ilegal” tersebut?
(hlm. 242)
Bayangkan jika demam menggadaikan aset properti muncul kembali secara masif (collateral).
MELALUI pokok-pokok pikiran tadi, penulis hanya membuka “prolog”, dengan harapan agar The Mystery of Capital akan mendorong lahirnya wacana-wacana yang lebih kritis. Supaya dia tetap terbuka, dan bukan sebaliknya meninggalkan “misteri” atau melahirkan “berhala-berhala” baru, sehingga bias dalam memahaminya. Dan, wacana ini, memang bukanlah secarik “resep”, bagaimana menyajikan De Soto dalam “selera Nusantara”, atau solusi derivatif dari “ekstra legal”-nya Hernando. Sebab penulis tidak berhasrat memberikan “solusi” yang cuma meng-copy-paste saja, dan kemudian meninggalkan “misteri” lain. Tanpa pernah memikirkan konsekuensi, risiko, serta dampak dehumanisasi, yang mungkin ditimbulkannya (Foucault, Les Mots et Les Choses, 1966).
Jika itu yang terjadi, maka kita cuma memelihara hobi lama yang sedang sekarat, mempergunakan pengetahuan hanya untuk mencari pembenaran belaka (structuralism). Yang mana dalam banyak hal, baik itu sengaja maupun tidak, “pengetahuan” memang sering (maaf) “memperkosa” humanitas (humanitas adalah kata kunci untuk menjelaskan apa yang dimaksud Jurgen Habermas dengan “Unfinished project of modernity”).
(hlm. 244)
Louis Bachelier,
Pakar yang Hampir Terlupakan
Roy Sembel PhD* dan Agung Baruno MM**
TEORI yang canggih belum tentu menjadi resep untuk membuat kita sukses. Contohnya Louis Bachelier, seorang ahli matematika yang berguru pada para profesor terkenal, dan mempelajari secara mendalam ilmu peluang dan Theory of Heat.
Di Paris pada tahun 1900, Bachelier menuliskan tesis yang berjudul Theorie de la Speculation, berdasar pada pengalamannya bekerja di Bursa Saham Paris. Tesis ini adalah hasil kerja dari pengamatannya terhadap perilaku instrumen keuangan, khususnya saham yang diperdagangkan di bursa Paris pada awal abad XX ini. Dalam tesisnya, Bachelier menerapkan suatu teori yang dinamakan dengan Trajectories of Brownian Motion.
(hlm. 245)
Trajectories of Brownian Motion adalah teori yang juga diperkenalkan oleh Albert Einstein untuk menurunkan beberapa teori besarnya. Salah satunya adalah teori abadi Relativitas.
Brownian Motion diambil dari nama seorang ahli botani asal Skotlandia, Robert Brown, yang pada tahun 1827 mengamati pergerakan bubuk gandum yang mengendap ke dasar tabung ujinya. Dia menemukan adanya suatu gerakan yang dinamakan rapid oscillatory motion.
Riset selanjutnya dilakukan Ludwig Bolzmann, dengan merumuskan sebuah teori bernama The Kinetic Theory of Matter. Pergerakan acak berkesinambungan (continuous random motion) ini terjadi karena bubuk gandum dalam perjalanan menuju dasar tabung uji dibombardir oleh atom dan molekul lainnya. Bachelier mengasumsikan bahwa bubuk gandum sebagai saham dan atom serta molekul lainnya sebagai parameter pembentuk pergerakan harga saham.
Namun, disertasi Bachelier tersebut tidak mendapat sambutan dari para profesornya, bahkan diberi predikat adjourn. Adjourn adalah predikat yang diberikan untuk sebuah hasil karya yang tidak mempunyai nilai ilmiah dan tidak berguna.
(hlm. 246)
Sebagai contoh, penurunan teori besar Black-Scholes Option Pricing Model (BSOPM) yang memenangkan Hadiah Nobel juga diawali dengan penurunan Brownian motion dan Wiener process. Teori untuk menghitung opsi ini juga didasari atas perhatian penemunya terhadap pergerakan instrumen investasi dan keuangan dengan efek perambatan panas dalam ilmu termodinamika. Jadi, sebetulnya aplikasi matematika dan fisika memang berpotensi besar dipergunakan untuk memodelkan instrumen keuangan dan dapat juga digunakan untuk mengantisipasi pergerakan yang mengikutinya.
Pekerjaannya menggiring Bachelier untuk memasuki dunia akademis di Universitas Sorbonne Paris, di mana pada tahun 1900 dia menemukan aplikasi Trajectories of Brownian Motion dalam karya ilmiahnya yang berjudul Theorie de la Speculation.
(hlm. 247)
Bachelier meraih gelar matematika tahun 1895 di bawah arahan Profesor Paul Appele, Emilie Picard, dan Joseph Boussinesq. Mereka adalah physicist-mathematician. Kemudian Bachelier memperdalam ilmu dengan berguru pada Profesor Henry Poincare, pakar matematika di bidang probabilitas dan celeste mathematics.
Pasar saham Paris tempat Bachelier bekerja dan mengadakan riset, pada saat itu, merupakan tempat terpandang yang memperdagangkan perpetual government bond, yaitu obligasi pemerintah tanpa masa jatuh tempo (mirip perpetual promissory note antara BI dan Pemerintah RI yang saat ini sedang menjadi isu kontroversial).
(hlm. 248)
Orang awam yang memegang obligasi saat itu berpikir bahwa lebih baik investasi itu dipegang sepanjang masa karena akan terus menerima kupon dan tidak pernah ditarik oleh pemerintah.
Model penghitungan perubahan relatif harga instrumen keuangan dipopulerkan oleh Paul Samuelson—pemenang Nobel Ekonomi terkenal—dalam beberapa jurnal ilmiahnya.
(hlm. 249)
Maksudnya, perubahan harga saham saat ini tidak ada hubungannya dengan perubahan harga saham di masa mendatang atau harganya di masa lalu. Kondisi ini disebut juga dengan random walk.
Menyambut konferensi
Berguru pada pengalaman Louis Bachelier, hasil kerja kita tidak pernah nihil sejauh hasil kerja tersebut dilakukan dengan cara yang tepat dan benar.
(hlm. 250)
Energi yang telah dikeluarkan oleh Bachelier akhirnya membuahkan hasil, tidak terbuang sia-sia, walau terjadi setelah dirinya meninggal.
(hlm. 251)
Lebih Jauh dengan
Constantino Tsallis
SEORANG kawan, wartawan ekonomi, terkecoh. Dia pikir, orang yang siang itu memperkenalkan teori bagaimana lolos dari risiko pada setiap transaksi adalah seorang guru besar ekonomi. Begitu diyakinkan bahwa ilmuwan Brasil pemakalah kunci dalam seminar publik mengenai ekonofisika di Jakarta, 27 Agustus 2002 itu adalah fisikawan, barulah kawan tadi teringat Constantino Tsallis, sang pembicara, mendahului uraiannya dengan daftar sejumlah persamaan dan perbedaan antara sistem ekonomi dan sistem fisika, sebelum menerapkan teori entropinya untuk menghindari risiko dalam transaksi di pasar uang dan bursa saham.
Tsallis adalah pembicara yang enak didengar. Enunsiasinya, pernyataan terang. Uraiannya jelas, runtut, ketat, disampaikan dengan bersahabat pula. Khas seorang guru, khas pendidik tulen. Ramah dan terkesan “gaul.”
Guru besar fisika dan peneliti pada Centro Brasileiro de Pesquisas Fisicas (CBPF), Rio de Janeiro itu adalah tonggak penting dalam kajian entropi, yaitu entitas termodinamika yang berperan dalam transformasi energi, juga menjadi instrumen analitis untuk melihat akhir proses perubahan fisika, kimia, biologi: akan tertib atau malah kacau.
Namanya disitat sekitar 350 makalah tentang entropi di jurnal-jurnal fisika Eropa dan Amerika Serikat sepanjang 12 tahun terakhir. Reformulasi entropi yang ia sembulkan tahun 1988, dengan memperkenalkan indeks entropi, mengangkat nama fisikawan berdarah Yunani kelahiran Athena 5 November 1943 itu, ke jajaran fisikawan top dunia. H. Eugene Stanley dari Universitas Boston, AS sering menyebut-nyebut Tsallis sebagai kandidat peraih Nobel Fisika.
Generalisasi atas konsep entropi Bolzmann yang sudah berusia 120 tahun, ketika itu, dianggap sebagai tonggak dalam pemahaman baru termodinamika. Dengan itu, konsep entropi meleluasa digunakan membongkar interaksi jangka panjang pada sistem fisika, biologi, kedokteran, psikologi, linguistik, bahkan ekonomi.
(hlm. 253)
Belajar dan mengajar di Paris, sebentar meneliti di Santa Fe Institute, AS yang termasyhur itu, kemudian menetap di Rio de Janeiro, memberi kesempatan padanya mahir berbicara dalam bahasa Yunani, Spanyol, Portugis, Perancis, dan Inggris. Dari perkawinan pertamanya dengan Maria Cristina Frascaroli (Argentina), dia dikaruniai dua anak—Alexandra Cleopatre dan Adrian—yang sudah dewasa. Dari pernikahan keduanya dengan Maria Aparecida de Oliveira Padua (Brasil) yang ikut bersamanya berkunjung ke Jakarta dan Bali, ia dianugerahi bocah berusia enam tahun, Emmanuel Lucas.
Tsallis yang gemar bermain piano, tenis, dan dansa, ini adalah ilmuwan konvensional, dalam arti, telah menerbitkan 250 artikel di jurnal dan buku kelas dunia dalam bidang fisika.
Berikut percakapan Kompas dengan Tsallis seusai menyajikan makalahnya “Risk Aversion in Economic Transactions.”
(hlm. 254)
ANDA disebut-sebut sebagai orang pertama di dunia yang mengembangkan konsep entropi sampai pada ekspresi umum yang memungkinkannya digunakan dalam banyak bidang di luar termodinamika, bahkan di luar fisika. Bagaimana sebetulnya gagasan itu?
Konsep entropi yang digunakan dalam fisika sejak 130 tahun lalu diperkenalkan oleh Boltzmann dari Austria. Salah satu sifat khusus entropi adalah ekstensivitas. Kadang-kadang disebut sebagai additivitas.
Entropi dari keseluruhan sistem sama dengan jumlah entropi tiap-tiap sistem. Jadi, bila seseorang menyantap 300 gram es krim, tubuhnya mendapat kalori yang setara dengan jumlah kalori dari 100 gram ditambah dengan jumlah kalori dari 200 gram es dari jenis yang sama. Jadi hanya dijumlahkan. Ini yang disebut sifat ekstensivitas entropi.
Pada sistem dengan interaksi yang makan waktu lama, seperti sistem gravitasi, sifat ekstensivitas ini tidak lagi berlaku. Entropi keseluruhan sistem akan berbeda dengan jumlah entropi tiap-tiap sistem. Sistem seperti itu dinamakan sistem non-ekstensif.
Jadi entropi keseluruhan sistem non-ekstensif bisa lebih kecil, bisa lebih besar dari jumlah entropi dari tiap-tiap sistem?
Persis.
Gagasan yang merupakan generalisasi entropi versi Boltzmann ini saya kemukakan tahun 1988 dengan mengatakan bahwa entropi yang lebih umum bergantung pada parameter q, yang kadang-kadang dinamakan sebagai indeks entropi q. Jadi, bila q sama dengan satu, kita akan kembali kepada entropi versi Boltzmann. Bila q tidak sama dengan satu, kita akan mendapatkan ekspresi entropi yang lebih umum, yang mampu menggeneralisasi keseluruhan mekanika statistik untuk membahas berbagai sistem yang entropinya ekstensif dan non-ekstensif dengan berbagai harga q. Begitulah idenya.
(hlm. 255)
Brezin. Jawabannya waktu itu berkaitan dengan multifraktal, suatu struktur geometri yang ekspresinya lebih umum ketimbang fraktal. Begitu mendengarkan penjelasan itu, saya langsung berpikir ide ini bisa saya gunakan dalam mekanika statistik yang merupakan keahlian saya. Itulah asal-usul gagasan indeks entropi q, diilhami oleh multifraktal.
Lalu Anda melakukan riset?
Ya.
Dipublikasikan kemudian?
Betul, dalam Journal of Statistical Physics volume 52 tahun 1988. (Judulnya Possible Generalization of Gibbs Statistics).
(hlm. 256)
Apakah saat ini riset Anda hanya mencakup mekanika statistik dan entropi?
Tidak. Riset saya mencakup bidang-bidang lain juga: transisi fasa dan fenomena kritis, chaos, dan cellular automata, biogenesis, imunologi dan genetika populasi, jaringan saraf dan psikologi kognitif, bahkan mikroekonomi. Tentu riset mekanika statistik dan termodinamika masih terus berlanjut.
Ada yang menyebut Anda kandidat Hadiah Nobel. Apa tanggapan Anda?
Ini sungguh-sungguh pertanyaan yang sulit dijawab, sebab nominasi Hadiah Nobel biasanya sangat dirahasiakan. Tak ada yang tahu. Beberapa orang bilang karya yang ini merupakan karya penting, karya yang itu tak kalah pentingnya dan pantas dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel. Tapi, apa yang dibicarakan Panitia Nobel saya sama sekali tidak tahu.
Apakah Anda selalu tertarik dengan fisika?
Setelah dua tahun belajar teknik, saya menyadari betapa saya tidak suka pada disiplin yang sangat terbatas untuk menyelesaikan masalah-masalah teknik. Saya lebih suka problem yang lebih general, hukum-hukum yang umum keberlakuannya, maka saya putuskan keluar dari jurusan teknik dan pindah ke fisika. Jadi sarjana saya dalam fisika, bukan teknik.
(hlm. 257)
Apakah Anda tidak melihat masalah dalam menerapkan konsep fisika pada sistem ekonomi?
Anda dapat menggunakan konsep-konsep yang berasal dari fisika pada sistem-sistem itu. Jadi, saya tidak melihat hambatan epistemologi apa pun. Sebaliknya, saya melihat penerapan itu sangat convenient.
Dalam pertemuan tadi, saya menyajikan model risk aversion, penghindaran risiko. Bagaimana Anda menghadapi pertanyaan ini. Mana yang Anda pilih: uang 85.000 dollar di depan mata atau mengikuti permainan dengan peluang 85 persen untuk mendapatkan 100.000 dollar yang tentu lebih besar daripada 85.000 dollar?
(hlm. 258)
Fenomena yang sangat umum dalam ekonomi ini disebut risk aversion, menghindar dari risiko. Fenomena risiko ini selalu dibahas dalam setiap teori yang beralasan tentang pengambilan keputusan dalam bidang keuangan. Karena dalam mengambil keputusan, operator bursa saham atau siapa saja yang mengambil keputusan dalam keuangan menyadari dirinya harus menghindari risiko.
Saya tidak mengatakan semua konsep fisika dapat dipakai dalam ekonomi, tapi sebagian memang bisa.
(hlm. 259)
Bagaimana Anda melihat perkembangan ilmu pengetahuan ke depan?
Saya pikir kita tidak sedang kembali ke masa Aristoteles. Kemajuan sains itu irregular dan tak dapat diramalkan. Jelas saat ini paradigma sains sedang mengarah kepada interdisciplinarity.
Seperti yang diketahui banyak orang, Yunani adalah tempat lahir demokrasi, sastra, filsafat, bahkan fisika. Yang ini berkaitan dengan fisika. Mengapa jarang terdengar dalam zaman modern ini fisikawan-fisikawan yang berasal dari Yunani?
(hlm. 260)
Baiklah. Yunani adalah negara kecil. Penduduknya sekitar 10 juta orang, lebih kecil daripada penduduk Jakarta yang saya kira sudah 12 juta. Faktor ini harus diperhitungkan untuk menjawab pertanyaan Anda, he-he-he.
Yang kedua, sastra di Yunani sudah menjalani tradisi yang panjang. Dalam hal ini, Yunani sudah menghasilkan dua sastrawan pemenang Nobel, kedua-duanya dalam puisi.
Dari Yunani pengaruh yang paling penting adalah estetika, keindahan. Di dalam budaya Yunani, keindahan sangat penting dan saya meyakini bahwa di dalam matematika, di dalam fisika, di dalam hukum-hukum alam, saya menemukan keindahan yang luar biasa.
(hlm. 261)
Bagaimana pengaruh negara-negara lain terhadap kehidupan dan karier Anda?
Kemudian Argentina, di mana saya belajar sejak di bangku SD sampai sarjana. Argentina mempunyai sistem pendidikan yang sangat bagus. Saya beruntung dibesarkan di sebuah negeri dengan sistem pendidikan seperti itu.
Lalu saya belajar dan mengajar di Perancis. Perancis punya tradisi besar dalam sains dan keketatan berpikir ilmiah. Saya sungguh beruntung pernah tinggal di sana karena terlatih dengan berpikir ketat secara ilmiah.
Akhirnya saya ke Brasil. Yang khas di sini adalah kreativitas yang dapat Anda saksikan melalui sepak bola dan samba. Saya beruntung tinggal dan bekerja saat ini di Brasil, tempat kreativitas menjadi kultur. Jadi, saya pikir setiap kultur di mana saya pernah tinggal memberikan kontribusi.