Dari Langit oleh Rizal Mallarangeng

Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Dari Langit oleh Rizal Mallarangeng.

Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.

Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Rizal Mallarangeng

Dari Langit

Kumpulan Esai,
tentang Manusia,
Masyarakat,
dan Kekuasaan

Pengantar

Goenawan Mohamad

KPG

Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Grameda)
bekerjasama dengan Freedom Institute

KPG: 32S23808

Cetakan Pertama, November 2008  
Cetakan Kedua, Februari 2009        
Cetakan Ketiga, Maret 2010

Penyunting
Zaim Rofiqi           
Redaksi KPG

Perancang Sampul
Wendie Artswenda

Penataletak
Dadang Kusmana

ISBN: 978-979-91-0142-6

(hlm.xiv)

Membaca Rizal Mallarangeng
Sebuah Pengantar

Oleh Goenawan Mohamad

Jika Rizal Mallarangeng dikatakan “liberal”, itu mungkin karena ia mendukung kebebasan berpikir dan kebebasan memilih kepercayaan. Ia juga mendukung perluasan pasar bebas, kebebasan peradilan dari campur tangan kekuasaan lain, dan tentu saja jadi penganjur “demokrasi liberal”, yang tak lain: demokrasi dengan pemilihan terbuka dan adil, yang tersedia bagi semua warganegara yang dianggap setara di depan hukum.

Dengan kata lain: cita-cita pokok Reformasi menjelang dan sejak 1998, “Orde Baru”.

(hlm.xv)

Tapi harus diakui, semangat “kiri” ini punya problem ketika harus menguraikan sejauh mana peran “Negara” dalam mengatasi hal-hal buruk itu. Terutama di Indonesia. Inilah republic yang pernah mengalami ambruknya perekonomian karena percobaan “sosialisme Indonesia” pada 1958-1965. Sejak itu birokrasi sangat berkuasa, tercemin dari banyaknya perizinan dalam hidup ekonomi dan sosial. Sejak itu–sejak “ekonomi terpimpin” meletakkan jenderal dan pejabat untuk memegang bisnis perkebunan, pertambangan, transportasi, dan lain-lain–meruyak korupsi. Hingga hari ini.

(hlm.xx)

Pengantar Penulis

Setangkai Anggur
I Can Do No Other

George F. Will pernah berkata bahwa ide-ide datang pada kita seperti buah anggur, berkelompok dan berderetan dalam tangkai yang sama. Kalau harus menggunakan terminologi, maka mungkin bisa dikatakan bahwa tangkai anggur saya adalah gagasan liberal, dalam pengertian klasik, suatu gugusan ide yang didasarkan pada kepercayaan besar terhadap kebebasan manusia.

Karena itu, kalau boleh meminjam Martin Luther, saya ingin berkata, “Ich Kann nicht anders. Gott helfe mir. Amen.

(hlm.xxii)

Saya merasa bahwa ide-ide ini bukan saja lebih benar, lebih mampu membawa manusia ke cita-cita yang ideal, seperti kesejahteraan, perdamaian, kemajuan, melaikan juga karena ia lebih kena di hati saya. Ada skeptisisme, tetapi ada juga optimism. Ada romantisme, tetapi tidak kurang juga realisme dan sikap yang realistic dalam memandang manusia dan masyrakat. Singkatnya: suatu pandangan dunia yang yang ingin mendorong kemajuan, tetapi dengan tetap berpijak di bumi, dengan menyadari kelemahan dan kelebihan manusia sebagai manusia; suatu pandangan yang menyadari bahwa masyarakat yang lebih baik hanya mungkin dibangun justru dengan menyerap dan memberi saluran pada kelemahan dan kelebihan tersebut, pada kecemasan dan harapan mereka, bukan dengan mematikan atau menafikan salah satunya.

(hlm.xxiii)

Tapi perdebatan di antara mereka bukanlah tentang kapitalisme vs sosialisme, atau kapitalisme vs sistem lainnya. Perdebatan mereka adalah pengulangan kembali dalam bentuk baru perdebatan Keynes vs Hayek di tahun 1930-an yang mencari jalan keluar dan sebab-musabab terjadinya Depresi Besar. Ia adalah serangkaian perdebatan itramural: bagaimana meningktakan dan menyesuaikan sistem kapitalisme dengan kontek zamannya.

(hlm.xxv)

Dengan menjelaskan semua itu, saya tidak mentakan bahwa pemikiran liberal tidak memiliki ketegangan di dalam dirinya sendiri. Ia bukanlah suatu kerangka berpikir yang memiliki jabawan yang selesai terhdap semua soal.

Perbedaan yang ada hanyalah soal dogree, bukan Kind, soal sekian persen tambahan atau pengurangan pajak penghasilan, bukan pada ide bahwa ekonomi pasarlah yang paling mungkin membawa kesejahteraan dan memperluas kemungkinan bagi kemajuan masyarakat.

(hlm.xxvi)

Sejarah dengan huruf capital memang mungkin telah berakhir. Namun sejarah dengan huruf kecil terus berlangsung setiap hari di sekeliling kita.

Warisan tradisi intelektual kita lebih banyak bertumpu di aras sosialis, nasionalis, dan religious.

(hlm.xxvii)

Saya pernah membaca beberapa laporan penelitian bahwa salah satu kunci kebahagiaan hidup adalah persahabatan yang akrab dan tulus.

BAB I

Individualisme dan Utopia:   
Tentang Filsafat Sosial, Politik, dan Ekonomi

Freedom:
Sebuah Kerangka Umum

Ringkasanya: diidentifikasi dengan liar. Jadi, kebebasan disamakan dengan keliaran.

Padahal free itu bermakna positif. Kebebasan mengandaikan makhluk yang secara alamiah memiliki kemampuanuntuk pikir, untuk merasa, dan untuk memilih bagi dirinya sendiri. Karena itu, kebebasan jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem yang percaya bahwa individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesungguhnya bisa menggunakan kemampuan dan harkat mereka secara alamiah, serta mampu memilih bagi diri mereka sendiri.

(hlm.3)

Kalau sang manusia, sang individu, ingin dibuatkan terus-menerus oleh otoritas di luar dirinya, maka individu tersebut–dan ini bisa kita perluas menjadi masyarakat–tidak akan kunjung matang. Jadi situasinya adalah: kita buat sebuah sistem yang menjamin kebebasan agar individu-individu bebas memilih, dan dalam proses memilih terus-menerus dalam hidupnya itulah ia menjadi matang, lebih otonom lebih dewasa.

Kita harus akui fakta keras bahwa setiap manusia punya kecenderungan untuk melihat dunia dengan kacamata yang dia miliki; untuk melihat kepentingan yang ada disekitarnya lewat kepentingannya sendiri.

Karena itu individualism bukanlah sebuah paham. Ia adalah sebuah kenyataan.

(hlm.5)

Di negeri-negeri itu, apa yang disebut kemaslahatan umum dirumuskan melalui serangkaian prosedur tertentu. Jadi, tidak ada seorang yang bisa menyatakan bahwa “sayalah yang mewakili kepentingan umum”.

(hlm.6)

Ini pun bahkan terjadi dalam rumahtangga kita. Semakin anak-anak saya tumbuh, semakin tampak karakter bahwa anak-anak ini membutuhkan ruang bagi dirinya sendiri–yang paing gampang adalah: mereka mulai minta kamar sendiri.

Dalam masyarakat semacam itu individu selalu diberitahu bahwa suatu kepentingan tertentu adalah kepentingan adat atau kepentingan suku. Tapi siapa yang mendefinisikan kepentingan adat atau kepentingan suku itu?

(hlm.8)

Saya melihat kultur, kebudayaan, nilai, paham itu fleksibel dan yang menentukan adalah manusia.

Mungkin kita bisa berkata bahwa anak-anak memang bisa dengan gampang seperti itu karena mereka, meminjam Geertz, belum dijalin oleh tali-temali nilai-nilai yang koheren. Tapi argumennya bisa juga kita balik: bawa anak-anak bisa seperti itu karena mereka memang tidak bisa berhenti mencari dan mau belajar. Pertanyaanya: apakah kita yang tua-tua mau terus belajar atau mau berhenti belajar?

(hlm.9)

Apakah by nature, secara alamiah, kita mau pesimistis melihat ke belakang, melihat apa yang jelek dari kehidupan, ataukah kita mau melihat yang bagus dan bermanfaat? Ini soal cara pandang kita melihat manusia.

(hlm.12)

Kita lihat Amerika memang amat sangat bebas untuk ukuran kita, tapi justru masyarakatnya amat sangat teratur. Lihat saja lalu-lintasnya. Kita mau bilang kita terlalu senang dengan kebebasan, tapi lihatlah jalan raya kita. Begitu liarnya orang, para pengendara. Jadi, kita kadang-kadang juga agak munafik dengan diri kita sendiri, atau kita menerapkan kebebasan pada tempat yang salah.

Menurut John Stuart Mill, salah satu pemikir tentang paham kebebasan dari Inggris pada abad ke-19, kebebasan adalah prakondisi bagi lahinya kreativitas dn genius-genius dalam masyarakat.

(hlm.13)

Maksudnya: dengan adanya kebebasan, adanya sikap menghargai orang untuk bersikap dan berpikir, kemungkinan masyarakat itu untuk berkembang, berdialog, untuk mencari hal yang lebih baik, terbuka lebih lebar. Ruangnya dibuka lebih besar. Itulah yang menjadi kunci mengapa masyarakat tersebut tumbuh. Dan ini memang secara empiriss terbukti.

Pasti ada hubungan, mengapa “Barat” adalah juga negara-negara yang paling kaya, paling kuat, sekaligus paling bebas. Pasti ada hubungan antara kebebasan, kesejahteraan, dan kemajuan sebuah bangsa. Itulah yang dikatakan oleh John Stuart Mill. Dan, sebagaimana Mill, saya juga meyakininya.

Individualisme dan Utopia:
Tanggapan Atas Polemik Liddle,
Mubyarto, dan Budiawan

Sebelumnya, saya ingin memberi catatan kecil bahwa dalam menolak atau menerima individualism, penggunaan kategori “Timur” atau “Barat”sudah amat membingungkan.

(hlm.15)

Utopia: Dari Plato ke Marx

Dasar argumen Mubyarto (Kompas, 2/2) dalam menolak paham individualisme, bersumber pada sebuah cita-cita tentang masyarakat yang harmonis. Jika harmonis. Jika harmoni ini tercapai, individu dan masyarakat tidak lagi perlu dipertentangkan.

Plato, misalnya, menyimpulkan bahwa cita-cita itu bisa dicapai jika masyarakat dipimpin oleh tipe manusia philosopher king (kira-kira jenis pemimpin semacam Lee Kuan Yeuw dalam, konteks sekarang; pemimpin yang bersih dan berpikiran jernih 2.000 tahun setelah Plato).

(hlm.16)

Berpijak pada pengertian Hegel tentang masyarakat sipil, Marx mengembangkan teori tentang kelas sosial.

(hlm.17)

Bagi Marx, seperti ditulisnya dalam The German Ideology, apa yang dilakukan oleh manusia dalam harmoni total itu adalah “berburu di pagi hari, memancing ikan di siang hari, bertenak di sore hari, dan berdiskusi setelah makan malam”, tanpa harus menjadi pemburu, pemancing, peternak, dan kritikus.

Individualisme

Para filsuf dari tradisi individualisme, sejak John Locke, David Hume, Adam Smith, hingga Frederick Hayek, meolak cita-cita masyarakat penuh keselarasan dan keseimbangan itu. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka mencintai pertikaian dan membeci persaudaran. Jauh daripada itu. Buat mereka impian-impian harmoni itu adalah mimpi yang terlalu indah, yang jika dipaksakan untuk diwujudkan akan sangat berbahaya bagi manusia umunya. Secara sederhana argumen mereka saya bagi ke dalam dua segi.

Segi pertama bertumpu pada penerimaan terhadap ketidaksempurnaan masyarakat. Buat paham individualism masyarakat adalah kumpulan banyak kepentingan yang berbeda dan sering bertentangan. Hal ini adalah kenyataanya alamiah. Karena itu, yang harus dilakukan bukanlah menentang alam.

Segi kedua, yang menjadi dasar segi pertama di atas, adalah penrimaan paham ini akan keterbatasan manusia. Bagi paham ini sangat sedikit manusia yang mampu menjadi superhero, yang dalam bertindak tidak pernah memikirkan kepentingan dirimya sendiri. Paham ini menolak kemungkinan hadirnya tipe manusia jenis philosophers-king-nya Plato, atau kelas universalnya Hegel, atau tidak percaya bahwa kaum birokrat, misalnya, adalah kelompok individu yang tidak lagi mempunyai kepentingan apa-apa selain mengabdi kepada masyarakat.

(hlm.18)

Manusia untuk sama dari dulu hingga sekarang: makhluk rasional yang selalu bereaksi terutama terhadap hal-hal yang berakibat langsung terhadap dia dan terhadap lingkungan terdekatnya.

Berangkat dari dua segi argumen inilah para filsuf dari tradisi individualisme membangun argumen dan konsep-konsep tentang perlunya demokrasi, penegakan kekuasaan hukum, dan pemerintahan yang terbatas.

(hlm.21)

Isaiah Berlin

Dia banyak menelusuri asal-usul, substansi, dan kaitan antara gagasan-gagasan besar karena dia percaya pada kekuatan pemikiran. Dia pernah berkata, “Konsep-kosep filosofi yang dilahirkan di ruang studi yang sepi seorang profesor dapat menghancurkan sebuah peradaban.”

Menurut konsepsi ini, manusia bebas adalah manusia yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri, yang menjadi manusia sejati, yang mencapai hidup sepenuh-penuhnya.

Yang menarik adalah, bagi Isaiah Berlin, konsepsi kebebasan semacam ini bisa berbahaya, bahkan sangat berbahaya. Kenapa? Karena, dengan sedikit manipulasi makna, pengertian “tuan” dalam konsepsi ini dapat menjadi “bangsa”, “negara”, “partai”, atau “kelas”. Sementara “hidup yang sepenuh-penunya” dapat diartikan sebagai hidup dalam “masyarakat sosalis”, “masyarakat baru”, “sejarah baru”.

(hlm.22)

Bukankah dalam proses pemenuhan tuntutan sejarah ini Diri yang Lebih Tinggi (yaitu Sang Bangsa, Sang Partai, Sang Negara) memang layak untuk memberangus Diri yang Rendah (manusia yang hanya terbwa oleh kesadaran palsu, yang tidak mengerti tuntutan sejarah)?

(hlm.23)

Di abad ini, kita tahu, muncul banyak pemimpin besar yang, atas nama bangsa, partai, kelas, atau Negara, melindas nasib orang per orang untuk mengejar tujuan-tujuan yang dianggapnya bersifat historis, luhur, atau progresif. Hilter, Stalin, Mao, Pol Pot: tangan mereka berlumuran darah justru untuk menggiring bangsa mereka kea rah “kebebasan” yang lebih sejati.

(hlm.25)

Wajah Lain Machiavelli

Sekularisasi Politik

Walau beragam, penafsiran tentang Machiavelli memang sahsah saja, namun buat saya satu hal tidak boleh kita lupakan: ia adalah peletak dasar ilmu politik  dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekularisasi (desakralisasi) politik.

Dalam II Principle, buku tipisnya yang termansyhur itu, Machiavelli berkata bahwa tujuan dia menulis bukanlah untuk mengatakan apa yang seharusnya. Ia ingin melihat dunia politik sebagaimana adanya, yang is, dan bukan yang ought (Iaverita effentuale della cosa). Peroses kekuasaan, buatnya, adalah bagian dari kenyataan alamiah yang harus kita mengerti sebagaimana jika kita ingin mengerti dan menyingkap berbagai hal lainnya di dalam nyata.

Dunia kekuasaan, sebagaimana adanya, adalah sebuah dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi, dan ketololan.

(hlm26)

Demokrasi

Lebih jaul lagi, desakralisasi politik Machiavelli seperti itu turut membuka jalan bagi munculnya berbagai pemikiran tentang demokrasi modern pada abad ke-17 dan abad ke-18. Tokoh-tokoh peletak dasar konsepsi demokrasi modern, seperti Locke di Inggris, Montesquieu di Prancis, dan Jefferson di Amerika, berangkat dari sebuah asumsi yang pada dasarnya Machiavellian, yaitu bahwa para penguasa adalah juga manusia yang memiliki berbagai kelemahan manusiawi, yang memiliki sejumlah ambisi serta nafsu untuk berkuasa terus-menerus.

(hlm.27)

Hanya melalui cara pandang Machiavellian terhadap dunia politik, sakralisasi dan mitologisasi politik yang mengungkung umat manusia selama beradab-abad dapat diruntuhkan.

(hlm.29)

Liberal Kiri, Sosialis Kanan

Mereka yang ingin menghilangkan pemilikan pribadi secara total dan radikal biasanya disebut kaum komunis. Mereka yang lebih moderat tetap ingin menghilangkan pemilikan pribadi, namun hanya terbatas pada sarana produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Metode perubahan kelompok kiri radikal adalah revolusi sosial, sedangkan metode kaum kiri moderat biasanya nasionalisasi. Kelompok moderat ini, jika mereka memperjuangkan nasionalisasi melalui parlemen, umunya disebut sebagai kelompok sosdem (sosialis demokrat).

Sebaliknya, kaum liberal justru menjadi pendobrak struktur ekonomi “lama”. Mereka memperjuangkan terjadinya deregulasi dan privatisasi secara cepat dan serentak. Mereka berupaya menghilangkan basis kekuasaan hukum birokrat–kelompok yang oleh Milovan Djilas pada 1950-an disebut the new class itu–dan mendukung munculnya kekuatan pengusaha swasta yang mandiri dan efisien.

(hlm.30)

Politikus paling radikal di Amerika saat ini adalah Newth Gingrich, ingin mengembalikan arus besar “welfarisasi” yang menjadi arus dominan dalam kapitalisme Amerika sejak era Roosevelt pada 1930-an. Buat tokoh ini, problem Amerika hanya dapat diatasi jika mekanisme liberal, yaitu pasar bebas, berjalan seluasluasnya, liberalism, karena itu, ditempatkan sebagai kekuatan alternatif untuk mengubah sistem welfare state secara mendasar.

Dalam hal ini kita harus ingat bahwa dalam tradisi pemikiran ekonomi-politik kita, ide-ide sosialis berakar sangat dalam. Umunya tokoh utama pendiri bangsa kita berkiblat pada gagasan ekonomi sosialis, dengan berbagai variasinya. Hatta dan Sjahrir, misalnya, sangat dipengaruhi kaum sosdem di Eropa Barat (ide tenntang koperasi bukanlah “milik” bangsa kita, melainkan digali dari tradisi sosialisme yang universal). Pengaruh pemikiran seperti ini dengan gampang terlihat jika kita membaca UUD 1945.

Karena dalamnya tradisi pemikiran sosialis, yang berkombinasi dengan semangat nasionalisme, tak heran jika dalam sejarah ekonomi kita justru Negara dan birokrasilah yang berperan dominan.

(hlm.31)

Karna itu, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa justru Prof, Widjojo, dan bukan Budiman Sudjatmiko, yang sebenarnya sangat progresif dan kiri. Langkah-langkah yang telah dimotori Pak Widjojo, kalau dilaksanakan sungguh-sungguh, akan mengikis basis dominasi kaum birokrat dan merombak status quo kekuasaam ekonomi politik.

Sebaliknya ide-ide ekonomi yang tersirat di balik manifesto PRD, kalau dilaksanakan secara tuntas, akan mendesak mekanisme pasar untuk makin berada di posisi pinggiran. Yang akan kita saksikan adalah revitalisasi birokrasi birokrasi dalam kehidupan ekonomi kita. Artinya, dominasi kaum birokrat akan makin diperkukuh. Maka PRD, dalam pengertian ini, dapat dipandang sebagai kekuatan kanan yang “konservatif”.

Barat dan Demokrasi

Tapi dalam soal inkonsistensi dan hipokrisi kebijakan luar negeri, semua negeri melakukan hal yang sama, di Barat atau di Timur. Di negeri Islam atau negeri sekular. Di Timur Tengah, misalnya, Pan-Islamisme dianggap sebagai cita-cita dan tujuan moral yang luhur.

(hlm.33)

Semua negeri di kawasan ini menginginkannya. Tapi dalam praktik yang terjadi adalah real politics: semuanya berlomba mendahulukan kepentingan negerinya dan menjadikan Pan-Islamisme sebagi slogan belaka.

Demokrasi adalah sebuah cita-cita, sebuah inspirasi. Hingga sekarang sistem pemerintahan di Baratlah yang paling menedekati perwujudan cita-cita ini.

Agar sebuah negeri bisa dikatakan  demokratis, setidaknya harus ada tiga prasyarat kelembagaan. Pertama, undang-undang yang menjamin hak-hak politik yang saling dasar bagi tiap warganegara, seperti hak untuk berpendapat, beragama dan berserikat. Kedua, pers yang bebas. Dan ketiga, pemilu yang jujur dan lembaga perwakilan yang otonom. Dengan memakai ketiga persyaratan ini sebagai ukuran demokrasi, Amerika, Inggris, dan negeri lainnya di Barat telah mencapai titik terdekat dalam ujung skala yang positif sementara itu Korea Utara, Cina, dan Arab Saudi berada dalam titik terdekat dalam ujung skala yang negatif. Barangkali Indonesia berada di tengah-tengah.

Pembalikan pengertian seperti ini hanya akan melahirkan kebingungan konseptual terhadap apa yang sesungguhnya dimaksud dengan demokrasi.

(hlm.35)

Kita bisa belajar dari pemikiran besar yang menjadi peletak dasar konsepsi demokrasi Barat, misalnya Montesquieu, Voltaire, dan John Locke.

Demokrasi dan Liberalisme

Misalnya, baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham ini, selain pluralisme, dan juga sekularisme.

(hlm.37)

Makanya pendidikan liberal perlu bagi demokrasi, karena demokrasi bisa mengandung unsur yang tak-liberal, bisa juga yang liberal.

Jika semua manusia bebas bertindak, bebas melakukan apa yang dia inginkan, bagaimana jika terjadi benturan? Makanya, pemikir-pemikir liberal datang dengan formula bahwa Anda bebas sebebas-bebasnya selama Anda tidak mengancam, menggangu, membahayakan orang lain. Artinya batas kebebasan Anda adalah kebebasan orang lain.

(hlm.38)

Kebebasan, sebagaimana segala sesuatu dalam hidup, selalu mengandung risiko.

(hlm.40)

Anda juga harus melihat bahwa sekitar 300 tahun yang lalu semua bangsa, dalam pengertian modern, juga bersifat tak-liberal, taapi kemudian mereka berubah.

Kebanyakan orang di Indonesia, termasuk kalangan cendekiawannya, masih mengertikan liberalisme secara negatif. Ini merupakan pengaruh sejarah. Sebagian karena masyarakat Indonesia masih berada dalam kompleks agraris yang bersifat komunal–dan tidak ada masyarakat agraris yang liberal. Lihatlah kehidupan di pedesaan. Kecenderungan untuk ikut campur masalah orang lain, sibuk untuk mengatur masalah orang  lain–atau bahasa kerenya: paternalistic–luarbiasa kuatnya, di Negara-negara maju pun ada kecenderungan bahwa semakin terpencil tempat tinggal Anda, semakin parokial bahwa berpikir Anda, semakin kurang liberal cara berpikir Anda.

(hlm.41)

Pedagang Koran, misalnya, mengantarkan Koran ke rumah Anda bukan karena baik, melainkan karena mereka ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka demi kelangsungan hidup mereka. Jadi, itulah dasar-dasar ekonomi liberal, walaupun rumit dalam kembangan-kembangannya.

Indonesia pada awalnya lebih banyak diatur gelora sosialisme dan nasionalisme. Tapi pada era 80-an kita berubah. Kita semakin terintegrasi dengan perdagangan dunia yang asas-asanya liberal, dengan adanya deregulasi dan sebagainya. Sejak itu pertumbuhan kesejahteraan semakin meningkat, walaupun masih banyak kekuatan rezim Orde Baru.

(hlm.42)

Negara-negara yang tertutup atau setengah tertutup, proteksionis, juga membuka diri, dan tidak dapat dimungkiri bahwa dengan mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi duniamereka mengalami kemajuan besar. Mulai dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Thailand, Singapura, semua adalah contoh konkret bahwa hanya dengan perdagangan, hanya dengan membuka diri, mereka menjadi Negara yang maju, dan sekarang sama majunya dengan Negara-negara maju di Eropa. Sebaliknya, Negara-negara yang menutup diri atau memproteksi ekonomunya, atau yang sangat membeci ekonomi pasar, seperti Myanmar, juga Negara-negara Afrika, Amerika Latin, Asia, tetap terbelakang. Cina dan India, setelah membuka diri, bisa kita lihat sendiri bagaimana perkembangannya.

Yang saya khawatirkan Indonesia. Karena selalu setengah-setengah, tidak pernah benar-benar jelas terhadap semua ini, kita tidak dapat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk semakin memicu tingkat kesejahteraan kearah yang lebih baik.

(hlm.43)

Kesenjangan antara si kaya dan si miskin itu selalu ada di semua sistem, bahkan lebih parah lagi dalam sistem liberal. Artinya, perbedaan antara kaya dan miskin adalah fakta sosial. Kita tinggal melihat kecenderungan. Apakah si miskin berpendapatan Rp500 ribu sementara yang kaya 500 juta? Ini merupakan kesenjangan. Tetapi ada juga: yang kaya berpendapatan Rp500 juta dan yang miskin Rp5 juta. Ini juga senjang. Jadi, yang kita bicarakan kesenjangan yang mana? Liberalisme tidak berkata bahwa kesenjangan itu akan hilang.

Kalau Anda miskin di New York, Anda punya apartemen, mobil, televise, bisa menyekolahkan anak. Miskin dalam pengertian Amerika tetap memiliki kelengkapan-kelengkapan hidup dimana Anda bisa menjadi manusia yang punya martabat. Mereka yang miskinya dianggap ektrem, mendapat tunjangan sosial.

(hlm.44)

Saya tidak bilang semua ekonomi maju adalah liberal dalam pengertian yang saya maksud, tapi elemen-elemen pasarnya itu kuat dan bekerja dengan baik. Negara memetik keuntungan dengan kuatnya ekonomi.

Ada sejumlah kemungkinan sebab mengapa pemerintah kita tidak secara tegas memilih ekonomi pasar. Pertama, mungkin ada persoalan intelektual, yaitu kebelumyakinan kita terhadap baiknya pemikiran pro-pasar.

Kedua, persoalan politik Mengubah ekonomi ke arah yang lebih sehat itu menciptakan kalah dan menang. Ada yang semua diproteksi, kemudian dibuka. Yang paling gampang adalah kasus BBM. Proteksi BBM dengan subsidi adalah untuk kalangan kelas menengah , bukan untuk kalangan miskin.

(hlm.45)

Lion Air adalah milik swasta, Garuda milik kita. Tapi kalau kita ingin naik pesawat mereka, kita sama-sama beli tiket. Jadi apa sebenarnya yang dimaksud milik kita? Apakah Lion Air tidak memelihara pesawatnya dan tidak mengaji karyawaannya? Mungkin mereka menggaji karyawannya lebih tinggi. Saya tidak tahu apa beda antara Lion Air milik swasta dan Garuda milik kita.

Pertanyaan pokoknya adalah: apa bedanya bagi kita, warganegara, dalam hal perusahaan yang satu dimiliki swasta dimiliki swasta dan yang lain dimiliki Negara? Tidak ada.

(hlm.46)

Pertanyaan tentang yang adil ini sangat elusif. Tetapi intinya adalah: apakah ia menjamin kesejahteraan dalam pengertian umum, buat semua orang.

Individu vs Masyarakat

Coba lihat, kata smith, kalau misalnya ada seribu orang mati di Cina, Anda yang di Inggris mungkin malam itu bisa tidur lelap. Tapi coba jika pada saat yang sama jari kelingking Anda tergores sedikit dan kemudian memar atau bernanah. Maka rasa sakit itu mungkin akan membuat Anda semalaman bisa tidur karena memikirkan jari kelingking Anda itu.

(hlm.48)

Individualisme sebagai sebuah paham sebenernya mulai dari fakta sederhna itu.

Dan hal itu tidak berarti harus bertentangan dengan masyarakat. Justru masyarakat individu-individu yang ada di dalamnya, yang membentuk masyarakat itu adalah individu-individu yang matang, dewasa, yang mampu memilih bagi dirinya sendiri.

(hlm.49)

Kita sebenernya sudah menerimanya sejak 1945, dengan Pasal 28 UUD, tapi kita masih ragu-ragu. Belum benar clear-cut, atau secara tegas dan penuh. Dengan amandemen terhadap UUD 45 itu, kita sudah bersikap clear-cut, bahwa ada hak-hak dasar individu: hak bicara, hak untuk hidup, hak untuk mencari kebahagiaan, life, liberty, and happiness. Inilah definisi dasar tentang hak-hak individu itu, tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh Negara.

Tetapi tentu saja selalu ada situasi ketika hak-hak ini untuk sementara bisa ditangguhkan.

Inilah yang disebut John Stuart Mill sebagai a very simple principle of liberty, karena dalam filosofi kebebasan selalu ada pertanyaan: di mana batasnya?

(hlm.50)

Baru pada 1970-an, teruatam 1980-an, mulai ada aturan tentang larangan merokok di ruangan tertutup. Lalu pada 1990-an larangan di perluas, meliputi restoran. Tahun 2000-an di Clifornia, di bar pun orang tidak boleh merokok. Ini jelas pembatasan kebebasan.

Tapi pembatasan itu diterima karena muncul teori kedokteran yang baru: bahwa kalau Anda merokok di ruang seperti itu, Anda membahayakan hidup orang lain, sehingga kebebasan merokok harus dibatasi. Itu contoh yang paling gampang.

Kita atau “Masyarakat Timur”, dalam hal ini kadang bersikap ambivalen. Kita sering berkata bahwa kita percaya pada sifat baikdalam diri manusia, the goodness of people, of human being. Tetapi kita tidak percaya bahwa mereka mampu memilih buat dirinya. Kita ingin ngatur hidup orang-gaya berpakainnya, gaya rambutnya. Jadi kita tidak percaya bahwa mereka bisa menentukan pilihannya sendiri.

(hlm.51)

Padahal, dengan semangat ngat-nga-tur itu, implikasinya secara filosofi, kita tidak percaya bahwa mereka mampu memilih buat dirinya sendiri; kita mau bilang, “Tuhan sudah pilihkan A buat kamu, agama sudah pilihkan B buat kamu”.

Dalam hal ini kita bisa melihat fakta yang tak terbentah bahwa di negeri-negeri yang paling kaya cenderung juga menjadi negeri-negeri yang paling bebas.

(hlm.52)

Ternyata penjual dan pemilik pabrik yang mengantar roti itu mencari keuntungan buat dirinya sendiri.

Dalam sejarah, ada sistem yang pernah menoba cara itu dengan berbagai variasi. Ada sistem komunisme di Soviet, Cina, Korea Utara, Vietnam, dan Kuba.

(hlm.53)

Mereka lupa pada fakta dasar tentang manusia yang, menurut data-data biologis, sosio-biologis, sudah berumur lebih dari sejuta tahun dalam bentuknya yang sudah mulai modern. Jadi, Mao, Lenin, dan orang-orang yang sealiran dengan mereka pasti tidak akan mampu mengubah manusia. Tidak ada namanya manusia baru itu.

Manusia adalah hasil evolusi panjang dengan karekteristiknya sendiri, yang melihat manusia dengan kacamata dirinya, bukan diri orang lain. Maka sistem apapun yang dibangun tidak berdasarkan pandangan manusia yang benar dan realistis akan runtuh.

Ide itu sebenarnya mengikuti Plato. Dalam karya masyhurnya, Republic, dia menyebut bahwa pendidikan terbaik yang ideal adalah jika anak dan ibu dipisahkan sejak awal, Karena ini akan menumbuhkan pikiran-pikiran anak berdasarkan bakat-bakatnya. Ini masyarakat idealis-utopis. Jadi ini yang di ulang dalam bentuk baru oleh Lenin di Rusia, Mao di Cina, Pol Pot di Kamboja. Mereka mau mencetak anak-anak sosialis baru. Itu sebabnya sjak kecil, setiap bangun tidur, mereka diharuskan baca Merah¸kitabsuci Mao.

(hlm.54)

Di sisi lain, sistem Soviet hanya bertahan  70 tahun, jika kita hitung dari Revolusi Bolshevik 1917. Sangat singkat. Bandingkanlah misalnya dengan Amerika Serikat yang sudah berusia 200-an tahun–tak perlulah kita bandingkan dengan Inggris yang sudah terlalu lama. Jadi kemenangan sistem yang percaya pada kebebasan itu juga karena ia cocok dengan watak manusia, dan juga fleksibel terhadap perubahan. Kuncinya adalah karena pada dasarnya keputusan diambil oleh begitu banyak individu.

Ada jutaan orang setiap hari mngambil keputusan; jutaan keputusan berdasarkan kepentingan diri masing-masing. Dan paradoksnya lagi, sistem yang sangat bebas ini justru yang sangat teratur. Ia dinamis, fleksibel, cepat.

(hlm.55)

Lihatlah ekonomi Amerika atau Hong Kong yang begitu dinamis, tetapi begitu cepat menjamin kesejahteran rakyat. Dalam hal ini ada satu elemen yang membuat perdagangan juga penting dari segi moral dan segi kebudayaan. Ini sudah dikatakan dua abad yang lalu oleh Mostequieu, seorang pemikir Prancis.

Tetapi di pasar, di mana ada penjual dan pembeli, yang penting harganya cocok. Entah penjualnya orang Arab, Yahudi, atau Cina, kalau harganya cocok kita beli. Artinya, sebagai sistem, pertukaran yang didasarkan pada kepentingan tersebut sebenernya membuat manusia menghilangkan prasangka. Jadi kalau model pertukaran ini menelma menjadi sistem sosial, atau menopang sistem sosial, maka pada dirinya sendiri sistem ini tidak mengundang bias prejudice, yang telah turun-temurun diwarisi oleh masyarakat manusia.

(hlm.56)

Tentu yang dia maksud bukan sejarah dalam arti kronologis, tapi sejarah dalam arti pertarungan gagasan, antara sistem demokrasi liberal dengan komunisme. Dengan runtuhnya komunisme, maka demokrasi liberal-yang merupakan abstraksi atau perluasan paham individualisme-menjadi pemenang, dan sejarah berakhir.

Persamaan di Depan Hukum

Sebab mereka ingin membentuk sesuatu yang samasekali baru, yang sesuai dengan ideal mereka, tetapi pada akhirnya gagal. Dan sungguh menyedihkan, gagalnya itu dengan memakan korban yang luarbiasa besar. Saya kira, ini tragedy kemanusiaan terbesar yang pernah kita lihat dalam sejarah.

(hlm.58)

Orang ingin mencari distingsi. Saya ini berkarya, bekerja, berkarir, ingin agar saya berbeda, bukan supaya saya sama. Kalau orang mau jadi sama, dia akan menjadi medioker–tanggung, kemampuanya stengah-setengah.

Dan dengan ke-biasa-an dan ke-sama-an itu, kemajuan tidak mungkin tercapai. Lihatlah para jenius dan penemu. Mereka biasanya orang yang punya kemauan keras. Mereka mau kerja keras, karena ingin berbeda. Ini fakta. Dan memang dalam kenyataanya orang berbeda-beda. Sesosialis dan seegalitarian apapun seseorang, kalau dia melihat sesuatu yang lebih indah, lebih baik, lebih cantik, selalu ada impuls-impuls untuk ikut mengagumi atau menghargai, yang merupakan bagian dari kenyataanya alamiah diri manusia.

(hlm.59)

Jadi, di dalam diri manusia ada semangat untuk berbeda, tetapi ada semangat yang sama pada titik-titik tertentu. Kedua impuls inilah yang membentuk kenyataanya; manusia dan masyarakat.

Nah, dalam konteks tata kemasyarakatan, apa yang disebut equal opportunity itu sebenarnya agak rancu kalau kita terjemahkan terlalu jauh. Yang lebih tegas adalah equality before the law, persamaan di depan hukum.

Dengan menjamin persamaan bagi semua orang di depan hukum, otomatis prinsip ini berlaku dalam menjamin persamaan dalam semua hal. Sebab hukum adalah fondasi interaksi manusia dan masyarakat. Hukumlah yang mengatur boleh dan tidaknya suatu tindakan dilakukan.

(hlm.60)

Yang penting, sistemnya harus memungkinkan bahwa semua orang berhak ikut tes itu. Dasar utamanya ada di kontitusi.

Pada tes basket mungkin tidak relevan untuk pekerjaan yang dimaksud.

Ia menimbulkan interprestasi yang licin, bisa di tarik ke sana, kemari, tergantung kepentingan kelompok atau tujuan tertentu yang kita inginkan. Tetapi kalau disebut sebagai equality before the law, konsep ini jelas, artinya persamaan di depan hukum. Ini harga mati.

(hlm.61)

T etapi metode kuota untuk equal opportunity ini pada dasarnya self-defeating, menyalahi prinsip dasarnya. Anda ingin persamaan bagi setiap orang. Tapi kalau Anda minta kuota, itu berarti dasarnya adalah ketidaksamaan bagi setiap orang. Dan yang dapat kuota hanya perempuan. Pria tidak dapat. Ini melanggar prinsip kesetaraan yang ingin diperjuangkan. Entah Anda minta jatah untuk kulit hitam, untuk perempuan, untuk minoritas, dan sebagainya, jika itu didasarkan pada sistem kuota untuk menjamin opportunity, maka ia self-defeating, menggugurkan prinsip dasarnya sendiri.

Tapi harap diingat bahwa dalam masyarakat mana pun, tidak ada kondisi setara untuk mulai.

Kelompok yang paling tidak pernah minta-minta perlindungan antara lain minoritas etnik dari Korea, Cina, dan Asia pada umumya. Tanpa pernah minta kuota, minoritas-minoritas ini justru lebih cepat tumbuh, paling maju, paling menguasi teknologi dan bisnis yang berkembak di Amerika. Sebab mereka berprinsip bahwa kesempatan itu tidak dijamin dan tidak dijamin dan tidak diberikan oleh siapapun. kesempatan adalah sesuatu yang harus mereka rebut.

(hlm.63)

Di Inggris, negara pertama yang menganut demokrasi, dalam proses perubahan reformasi secara formal, pemberian hak pilih kepada masyarakat dimulai untuk kaum pria bangsawan dan terdidik, bukan pada semua pria. Sampai 1894, tahun terakhir reformasi, wanita masih belum boleh memilih.

Hidup kita bukan di tangan Negara, tetapi di tangan kita sendiri.

(hlm.64)

Katakanlah Anda keluarga kulit putih, sementara saya keluarga kulit hitam. Tentu bukan salah kita berdua kenapa nenek-moyang kita saling memperbudak.

(hlm.65)

Jadi sekarang program itu dimulai ditentang. Dan jangan lupa, sejarah pada akhirnya bepihak pada kebenaran. Setelah beberapa puluh tahun dicoba, ternyata memang in the long run sistem kuota atau sistem diskriminasi ini tidak menghasilkan siswa-siswa yang cemerlang. Sebab tes itu universal. Kalai Anda dites waktu Anda mahasiswa, tesnya kan sebenarnya bukan saat itu saja. Tes itu adalah akumulasi pengalaman hidup.

Arief Budiman

Arief adalah tipe manusia Kantian, seorang yang akan harus memperjuangkan kebenaran walaupun langit runtuh.

(hlm.68)

Titik tolak dunia keilmuan adalah skeptisisme, bukan kepastian. Seorang ilmuwan adala seorang yang peragu, skeptis. Berbeda dengan seorang kiai, pendeta, dan penyebar “kebenaran” lainnya, tugas seorang ilmuwan bukanlah menyebarkan kebenaran, melainkan mencarinya, mempertanyakanya, mengujinya.

Tentu para ilmuwan sering menganut atau percaya pada “kebenaran” tertentu, katakanlah sebuah teori tentang pembangunan sosialis. Namun kebenaran semacam ini selalu bersifat sementara, cair, dan siap diuji terus-menerus. Jika ternyata akumulasi fakta-fakta yang ada cenderung menolak kebenaran tersebut, maka sang ilmuwan akan dengan senag hati menubahnya, bahkan meninggalkanya samasekali, untuk kemudian mencari kebenaran baru.

Berbeda dari kerja seorang ilmuwan, kerja seorang pejuang atau aktivisi bermula dari kepastian dan berakhir dengan kepastian. Buat seorang aktivisi, skeptisisme adalah cermin dari ketakutan untuk bersikap. Perjuangan politik pada hakikatnya adalah upaya untuk memperluas basis dukungan public terhadap cita-cita tertentu.

(hlm.69)

Sang pejuang kemudian menjadi a fighter without a cause.

Dalam banyak tulisannya kita jarang berjumpa dengan keraguan-keraguan. Yang selalu kit abaca dalam tulisan-tulisan tersebut adalah kepastian yang sederhana dan kesederhanaan dalam kepastian.

(hlm.70)

Sosiaisme telah gagal, dan bahkan ditolak pendukung utamanya sendiri, kaum buruh.

(hlm.72)

Ilmuwan dan Aktivis

Bur, agaknya, mencampurkanadukan dua hal yang berbeda ini: skeptimisme sebagai “metode” dalam memandang serta mempelajari realitas dan pilihan moral sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi.

Apakah argument dalam filsafat bersifat kumulatif? Kalau ya, seperti yang implisit pada pertanyaanya Arief tentang filsafat ilmu yang ‘berkembang jauh’, tidakkah berarti bahwa dia menentang pandanganya sendiri yang menolak positivism, mengingat bahwa klaim akumulasi ilmu pada dasarnya adalah klaim positivistic?

(hlm.73)

Argumen Arief yang serius bersumber pada penolakannya untuk menyederhanakan hubungan antara pengetahuan (subyektivitas) dan realitas empiris (obyektivitas).

Dalam konsepsi saya, skeptisisme seorang ilmuwan adalah kesediaanya untuk menerima kemungkinan bahwa sesuatu yang semula disangkanya benar ternyata bisa keliru. Seorang ilmuwan adalah seseorang yang bisa berkata, “Well the facts are soo too strong for me not to change my mind”. Katakanlah saya seorang ilmuwan sosial dan percaya pada sosialisme. Saya berharap bahwa proposisi Marxian, misalnya akumulasi kapital akan memiskinkan kaum buruh, memang benar. Tapi ternyata, dari fakta-fakta yang ada, saya tahu bahwa peningkatan akumulasi itu terjadi bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan buruh. Artinya, ada kemungkinan bahwa proposisi yang saya yakini keliru. Menolak kemungkinan ini berarti meruntuhkan dasar kemungkinan pengembangan ilmu.

Manifesto Sang Pemberontak

REVOLUSI SELALU MELAHIRKAN para pemberontaknya sendiri. Dalam sejarah kita sering melihat bahwa para aktor utama gerakan politik besar menjelma menjadi para pengencam utama gerakan tersebut.

(hlm.76)

Dalam buku ini Djilas mengemukakan bahwa revolusi komunis merupakan suatu penipuan sejarah: “Tak ada revolusi lain yang mengumbar begitu banyak janji namun hanya sedikit menempatinya.” Baginya, komunisme pada dasarnya merupakan “suatu bentuk perang sipil laten antara pemerintah dan rakyatnya.”

Berbeda halnya dengan Revolusi Rusia 1917. Lenin ingin mengakhiri masyarakat feudal yang ada dan membentuk suatu masyarakat baru, yakni masyarakat tanpa kelas. Karena itu, setelah revolusi, kaum komunis mencoba untuk membentuk suatu sistem yang sepenuhnya baru yang berbeda dari sistem sebelumnya.

(hlm.77)

Kaum birokrat ini tidak yang mengawasi, dan mereka sangat solid. “tidak ada kelas lain dalam sejarah yang sedemikian solid dan kukuh dalam mempertahankan kepentingan dan dalam mengontrol apa yang dimilikinya–kepemilikan kolektif dan monopolistik, serta otoritas totaliter.” Mereka juga “sama eksklusifnya seperti aristokrasi, namun tanpa martabat dan kebanggan aristokrasi”.

Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa bagi Djilas, sistem Komunis trsebut mengingkari janji-janjinya sendiri dengan menciptakan kelas baru ini, yang tangannya bersimbah dosa.

(hlm.78)

Ia gagal melihat bahwa Marxisme sebagai sebuah teori masyarakat dan perubahan sosial–dengan semua tujuan mulianya–mengundang bibit-bibit despotism, dan pengejawantahannya niscaya akan menghasilkan suatu sitem yang birokratis.

Marx tidak pernah secara serius mempertimbangkan politik, hukum, dan moraitas. Baginya, semua itu hanya alat bagi para elite kekuasaan mereka. Semua itu hanya merupakan suatu ekspresi hubungan sosio-ekonomi. Kebenaran tidak pernah hadir pada dirinya; ia harus dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan. Implikasi logis dari hal ini sederhana: begitu berkuasa, mereka yang dikuasai (yakni kaum proletar) juga tidak akan merasa bersalah untuk menggunakan hukum semata-mata demi memelihara kekuasaan.

(hlm.79)

Dalam pengertian ini, kita dapat mengatakan bahwa Marxisme mungkin merupakan salah satu fondasi terbaik bagi suatu kekuasaan yang despotik.

Dengan demikian, ia gagal melihat dua faktor penting. Pertama, kepemilikan pribadi atas sarana produksi merupakan dasar masyarakat sipil. Menghapuskan hak milik pribadi berarti membirokratisasikan kepemilikan. Hal ini memberikan dasar bagi birokrasi untuk hadir di mana-mana, sebagai pemilik yang sebenarnya dan penguasa segala sesuatu.

Karena itu, tidak mengejutkan jika sebuah revolusi yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran Marxis pada akhirnya menghasilkan suatu kelas (baru) yang digambarkan Djilas dalam buku ini: suatu kelas despotic yang kekuasaanya didasarkan pada birokrasi.

Nozick

ANARCHY, STATE, AND UTOPIA Karya Nozick terbagi menjadi 3 bagian yang saling terkait. Bagian pertama berusaha menjelaskan bahwa negara minimal adalah; adil ia muncul tanpa melanggar hak-hak siapapun. bagian kedua berusaha memperlihatkan bahwa Negara apapun yang lebih luas ketimbang Negara minimal tersebut tidak sah. Bagian ketiga berupaya menjelaskan bahwa Negara minimal, berlawanan dengan apa yang diyakini sebagian besa orang, sebenarnya merupakan suatu utopia yang menarik.

(hlm.81)

Namun ia, tidak seperti kaum anarkis tersebut, menganggap bahwa terdapat satu jenis Negara (yakni Negara minimal) yang tidak melanggar hak-hak siapapun.

Persaingan bebas di antara berbagai badan tersebut untuk memberikan pelayanan terbaik membuat hanya sedikit badan perlindungan yang tetap bertahan. Badan-badan yang tetap bertahan ini, yakni para pemenang seleksi alamiah, dengan demikian akan memegang monopoli de facto atas usaha perlindungan tersebut. Pada tahap ini, karena monopoli kekuasaan untuk memaksa tersebut, badan-badan ini berlaku seperti Negara. Dan karena penggabungan dan kompetisi yang semakin besar, pada akhirnya hanya ada satu badan yang tetap bertahan. Badan yang tetap bertahan ini pada dasarnya adalah sebuah Negara (sebuah badan yang memiliki monopoli sepenuhnya atas kekuasaan untuk memaksa). Nozick menyebut badan ini sebagai Negara ultraminimal.

(hlm.82)

Karena itu, mereka secara moral boleh menerapkan prinsip apapun yang mereka anggap tepat, termasuk misalnya prinsip hukuman mata dibalas mata.

Satu-satunya cara untuk memecahkan persoalan ini adalah menerapkan prinsip kompensasi.

Dalam tahap inilah Negara ultraminimal itu diubah menjadi Negara minimal. Negara minimal adalah Negara ulraminimal ditambah sebuah elemen mekanisme distributif.

(hm.83)

 Jadi, dari keadaan alamiah tersebut muncul Negara minimal, tanpa desain sebelumya.

Seperti posisi awal (original position) Rawls, ia hanyalah suatu sarana teoretis, suatu kontruksi intelektual, yang membantu tujuan Nozick dalam menegaskan bahwa terdapat satu jenis Negara yang mungkin muncul secara moral. Dengan menjelaskan hal ini, Nozick memperlihatkan bahwa kaum anarkis salah.

Teori Hak, Keadilan Distributif, dan Tuan Chamberlain

Teori haknya itulah yang memberi inspirasi Nozick untuk berkata, “Tidak ada Negara yang lebih kuat atau lus ketimbang Negara minimal tersebut, yang dianggap sah atau dapat dibenarkan.”

Teori itu terdiri atas tiga prinsip. Prinsip pertama dan kedua menyatakan bahwa kepemilikan apapun yang didapatkan dari perolehan yang adil (prinsip perolehan awal) atau pengalihan yang adil (prinsip pengalihan) pada dirinya sendiri adalah adil.

(hlm.84)

Kepemilikan kadang diperoleh melalui paksaan atau penipuan. Dengan demikian, kita masuk pada prinsip ketiga, prinsip perbaikan (rectification). Prinsip ini menyatakan bahwa adanya ketidakadilan masa lalu (yakni pelanggaran-pelanggaran sebelumnya terhadap kedua prinsip pertama tersebut) membenarkan satu jenis kompensasi yang diberikan kepada orang-orang yang dirugikan.

Teori hak, menurut Nozick, mengandaikan bahwa distribusi kepemilikan bersifat historis. “…[Sebuah] distribusi adalah adil tergantung pada bagaimana hal ini terjadi”.

(hlm.85)

Pada titik inilah Nozick memulai serangannya terhadap gagasan tentang keadilan distributif (yang, bagi Nozick, merupakan gagasan inti Negara kesejahteraan–suatu jenis negara yang jauh lebih luas dibanding negara minimal). Menurut Nozicik, bertentangan dengan teori hak, teori keadilan distributif mengabaikan aspek historis dari ditribusi. Keadilan distributif hanya menerapkan prinsip waktu kini atau prinsip hasil akhir. “…[A]pa yang perlu diperhatikan, dalam menilai keadilan dari sebuah distribusi, siapa yang akhirnya memiliki apa…”. “[K]eadilan sebuah distribusi ditentukan oleh bagaimana sesuatu didistribusikan (siapa memiliki apa), dan dinilai berdasarkan prinsip (-prinsip) struktural dari distribusi yang adil”. ungkapan Marx “dari tiap-tiap orang menurut kemampuannya dan bagi masing-masing orang menurut kebutuhannya” adalah sebuah contoh prinsip struktural dari distribusi yang adil ini.

Di sinilah kesalahan keadilan distributif: Ia “memperlakukan obyek-obyek seolah-olah mereka muncul begitu saja, dari ketiadaan”.  

(hlm.86)

Kesalahan keadilan distributif dan prinsip-prinsipnya tersebut ditarik ke kesimpulan terjauh mereka saat Nozick menjelaskan tentang perpajakan. Untuk sebuah pekerjaan yang  jujur, X menerima penghasilan bulanan D. D ini sama dengan jumlah jam yang dihabiskan X untuk melakukan pekerjaanya. Menarik pajak sejumlah n dari D tersebut dengan demikian seperti mengambil n jam dari X atau, dalam praktik, memaksakan X bekerja n jam untuk menyelesaikan tujuan-tujuan (distributif) yang tidak berkenaan denganya. Karena itu, menurut Nozick, “Pajak penghasilan dari pekerjaan sama dengan kerja paksa.”

Mereka tidak menyadari bahwa, dalam praktik, prinsip-prinsip yang mereka serukan tersebut adalah prinsip-prinsip yang membuat orang menjadi pemilik sebagian dari orang lain.

(hlm.87)

Perubahan dari D1 ke D2 tersebut adalah hasil dari tindakan-tindakan sukarela dan secara moral sah. Dengan demikian, D2 adalah sebuah distribusi yang adil.

(hlm.88)

Namun, cara pertama akan berakhir pada suatu situasi yang menggelikan: baik Chamberlian maupun para penggemarnya telah secara sukarela sepakat mengenai syarat-syarat pertukaran mereka; namun pihak ketiga datang, dengan gagasanya tentang kesetaraan, dan memberlakukan suatu syarat-syarat pertukaran baru. Di sini, kesalahan perpajakan berlaku Chamberlain dipaksa untuk bermain n jam tanpa bayaran. Namun pada dasarnya hal ini tidak memecahkan persoalan: Chamberlain toh masih mendapatkan $150.000 dari 1 juta penggemar. Di tahun ke-3 ia akan mendapatkan $450.000 (atau $150.000 dollar lebih banyak dibanding jumlah yang akan ia peroleh tanpa redistribusi). Dengan demikian, apa yang terjadi hanyalah menunda waktu pola tersebut berubah. Distribusi yang tak setara (atau tak-terpola) akhirnya akan muncul. Sekali lagi, hal ini mungkin diperbaiki, namun untuk melakukan hal itu perlu campur-tangan terus-menerus dan bahkan lebih besar terhadap syarat-syarat pertukaran antara Chamberlain dan para penggemarnya tersebut.

(hlm.89)

Dengan demikian, demi membuat orang-orang lebih setara, ribuan larangan harus terus-menerus dikeluarkan. Apakah ini merupakan cara praktis dan sah untuk menegakkan keadilan?

(hlm.90)

Namun meskipun merupakan suatu karya besar, bagi Nozick Theory of Justice mengandung banyak kesalahan, kontradiksi, dan argumen-argumen yang salah. Pandangan Nozick tentang Rawls: mungkin tidak pernah terjadi sebelumnya seseorang memuji sebuah buku sedemikian tinggi dan pada saat yang sama menyangkal gagasan-gagasan dasarnya secara  menyeluruh dan, kadang, secara keras.

Dengan kata lain, Rawls gagal berlaku adil pada mereka yang memproduksi sesuatu. Ia–tepat dari permulaan titik-tolak konseptualnya (yakni posisi awal)–secara salah yakin bahwa segala sesuatu sudah ada untuk didistribusikan.

(hlm.91)

Bagi Nozick, pandangan bahwa “apa yang arbitrer secara moral tidak signifikan” merupakan suatu pandangan yang salah. “Setiap orang yang ada,” Ujar Nozick, dalam suatu cara yang khas, “merupakan hasil dari sesuatu proses di mana satu sel sperma yang berhasil tidak lebih berharga dibanding jutaan yang gagal.” Dengan demikian:

Jika tak ada signifikasikansi moral yang bisa muncul dari apa yang arbitrer, maka tidak eksistensi orang tertentu yang memiliki signifikansi moral, karena dari begitu banyak sel sperma tersebut, sel sperma mana yang berhasil membuahi indung telur (yang sejauh ini kita ketahui) adalah arbitrer dari sudut pandangan moral.

(hlm.92)

Mengapa? Dengan mengaitkan segala sesuatu dengan kontingensi-kontingensi sosial (misalnya, “kebetulan” dan “nasib baik”), dan dengan sepenuhnya abai tentang bagaimana individu-individu berusaha mengembangkan bakat dan kemampuan mereka, Rawls menyajikan suatu gambaran manusia yang sangat reduksionis–segala sesuatu yang berharga pada diri seorang manusia pasti disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, bukan oleh bagaimana ia belajar, bagaimana ia berusaha untuk unggul, serta bagaimana ia membuat pilihan-pilihan yang otonom dan tepat.

(hlm.93)

Menurut prinsip perbedaan, struktur-struktur kelembagaan adalah adil, seperti yang dikemukakan Rawls, “Jika dan hanya jika struktur-struktur itu bekerja sebagai bagian dari suatu skema yang meningkatkan harapan-harapan anggota masyarakat yang paling kurang beruntung.”

(hlm.94)

Tentang Kesetaraan

Gagasan utama yang mendorong perkembangan negara kesejahteraan adalah gagasan tentang kesetaraan ekonomi.

Bukannya menyoroti filosofi atau gagasan-gagasan dasar, para penulis tersebut malah lebih memperhatikan hal-hal teknis dari kesetaraan.

(hlm.95)

Menurut Nozick, jika kita mengikuti logika argumen ini, kita juga harus menyimpulkan bahwa dasar paling tepat untuk distribusi jasa pangkas rambut adalah kebutuhan pangkas rambut. Setiap pemangkas rambut memangkas rambut siapapun yang datang ke tempatnya tanpa melihat penghasilannya.

“Namun,” Tanya Nozick, “mengapa tujuan internal aktivitas tersebut harus diutamakan dibanding, misalnya, tujuan khusus orang itu dalam melakukan aktivitas tersebut?”

Mengapa seorang tukang pangkas rambut tidak boleh menggunakan kriteria yang sama dalam menjaankan layanannya sebagaimana orang lain yang aktivitas-aktivitasnya tidak memiliki tujuan internal yang melibatkan orang lain? Haruskah seorang tukang kebun menjalankan layananya pada halaman-halaman rumput yang paling membutuhkannya?

(hlm.96)

Namun bagaimana dengan makanan haruskah para petani memberikan beras mereka kepada orang-orang yang membutuhkannya?

Menurut Nozick, kesalahan dasar Williams adalah bahwa ia–seperti para pendukung distribusi–“hanya melihat pada persoalan alokasi”. Williams tidak peduli pada persoalan tentang darimana layanan-layanan yang akan dialokasikan tersebut berasal. Karena orang-orang berhak atas tindakan mereka sendiri (dalam hal layanan), karena itu mereka bisa memutuskan kepada siapa dan atas dasar apa mereka memberikan sesuatu. Memaksa mereka untuk melakukan hal yang sebaliknya akan melanggar hak mereka (yakni kerja paksa).

Karena Nozick percaya bahwa hal yang paling penting dalam diri manusia adalah otonomi dan hak-hak mereka, argumen tentang kesetaraan tersebut dengan demikian bagi dia gagal.

Tentang Kebebasan:
Berlin vs Charles Taylor

KAPAN SAYA bisa berkata bahwa saya orang bebas? Jawaban atas pertanyaanya sederhana ini bisa mengubah arah sejarah.

Kebebasan pada dasarnya dipahami dalam dua bentuk: negatif dan positif. Konsepsi kebebasan negatif mengacu pada suatu keadaan di mana kita bebas dari paksaan orang lain. Paksaan, misalnya dalam bentuk hukum, di sini hanya diperlukan untuk mencegah tindakan seseorang yang merugikan orang lain.

Konsepsi kebebasan positif merujuk pada suatu keadaan di mana kita bebas untuk menata kehidupan kita, bebas untuk berpartisipasi dalam suatu proses yang akan mengontrol hidup kita.

(hlm.98)

Pertama-tama harus saya katakan bahwa konsepsi kebebasan negatif lebih unggul, baik secara moral maupun intelektual. Saya lebih setuju dengan Sir Berlin. Karena itu, esai ini juga bertujuan mempertahankan konsepsi kebebasan negatif dari serangan–serangan yang dilancarkan oleh para pemikir seperti Taylor.

(hlm.99)

Kekangan dan ketidakmampuan untuk melakukan hal-hal tertentu hendaknya tidak tercampuradukkan.

Saya mungkin tidak mampu membeli roti, atau tamasya keliling duna mengunjungi kota-kota yang indah, karena saya miskin, namun hal ini tidak niscaya berarti bahwa saya bukan manusia bebas.

Bebas berarti memiliki suatu wilayah kehidupan pribadi yang tidak dapat dicampurtangani oleh orang lain. “Semakin luas wilayah di mana saya tidak dicampurtangani, semakin luas kebebasan saya”.

(hlm.100)

Seperti kita tahu, bagi Mill kebebasan merupakan suatu keharusan jika kita tidak ingin menjerumuskan seluruh masyarakat ke dalam lembah mediokritas kolektif. Kebebasan adalah syarat bagi kreativitas. Jika kita tidak membiarkan manusia hidup seperti yang mereka inginkan, kebenaran tidak akan terkuak karena tidak ada pasar bebasn gagasan.

Dengan kata lain, meskipun agumen utilitarian Mill secara prinsip terdengar mulia, argument tersebut secara empiris kurang meyakinkan.

(hlm.101)

Karena itu, diperlukan suatu pembenaran lain yang lebih kuat. Dan di sini Berlin kembali pada argument Mill yang lain (dan, sampai tingkat tertentu, juga Tocqueville). Bagi Berlin, alasan terkuat untuk menerima gagasan tentang kebebasan negatif adalah bahwa gagasan ini, jika dipraktikan, dapat menghindarik kejahatan politik terbesar: tirani. Sekalipun rezim politik tersebut tidak demokratis (misalnya monarki), asalkan batas-batas wilayah pribadi tidak dilanggar–sehingga warganegara masih bisa berbicara dan bertindak tanpa campur-tangan dan otoritas–masyarakat tak terancam oleh tirani.

Sebaliknya, bagi Berlin, konsepsi kebebasan positif sangat rentan terhadap godaan-godaan tiranik atau totalitarian.

Begitu bentuk-bentuk kehidupan yang lebih tinggi ini didefinisikan, siapapun dapat dihancurkan, dan rezim totalitarian diteguhkan, atas nama kebebasan.

Manusia bisa dipaksa untuk menjadi bebas. Diktum Rousseauian ini adalah inti pembelaan Charles Taylor terhadap kebebasan positif.

(hlm.102)

Bagi Taylor, kebebasan negatif bersandar pada konsep kesempatan; sementara kebebasan positif bersandar pada konsep pelaksanaan.

(hlm.103)

Jika kita menerima gagasan kebebasan Taylorian ini, maka kita secara logis akan menerima pandangan bahwa mampu melakukan apa yang kita inginkan bukan merupakan suatu syarat yang memadai untuk menjadi bebas.

Jadi, jika sang subyek itu sendiri bukan merupakan seseorang yang memutuskan apa keinginanya yang sejati, lalu siapa? Kaum intelektual? Kaum birokrat? Para pemimpin partai? Dan bagaimana mereka akan tahu? Melalui pengetahuan abstrak dan teoritis? Melalui formulasi empiris? Bukankah di sini kita sudah hampir melanggar garis batas totalitarian atau despotic, karena begitu kita menerima gagasan bahwa seorang individu pada dasarnya tidak mampu mengetahui apa yang mereka inginkan, maka kesempatan bagi seseorang yang kuat dan memiliki kekuasaan besar–serta pengetahuan tentang “tujuan-tujuan sejati”–akan terbuka lebar?

(hlm.104)

Sekali lagi, di sini Taylor kurang jelas dalam menjelaskan poin-poinya. Ia tampak menghindari persoalan-persoalan sulit ini. Para filsuf yang mendukung kebebasan negatif tidak harus menjelaskan konsepsi tentang nilai-nilai yang lebih tinggi, atau bagaimana nilai-niai ini harus diputuskan atau diwujudkan. Nilai-nilai yang lebih tinggi kurang menjadi sorotan dalam skema mereka tentang hal-ihwal. Persoalan tentang nilai harus diserahkan sepenuhnya pada si individu itu sendiri. Sebaliknya, para filsuf yang membela kebebasan positif, karena mereka mendasarkan gagasan mereka pada tujuan-tujuan yang lebih tinggi, atau pada realisasi-diri “sejati”, harus menjelaskan apa nilai-nilai yang lebih tinggi tersebut, secara teoretis maupun dalam perwujudan praktisnya. Jika mereka gagal melakukan hal itu, mereka sangat mungkin dituduh hanya memberi pernyataanya, bukan argumen.

Namun, apa yang ditentang oleh para filsuf kebebasan tersebut adalah ekstremisme, reduksionisme berlebihan dalam memahami tindakan dan kebebasan manusia, atas nama realisasi-diri, nilai-nilai yang lebih tinggi, atau apapun. Bagi mereka, ekstremisme ini bisa menjadi dasar filosofis kekuasaan yang despotik.

(hlm.105)

Tak banyak orang yang dapat membuat tindakan mereka “utuh-padu”. Sebagian besar dari kita, manusia biasa, adalah orang-orang yang tidak konsisten: kita suka membaca otobiografi Mahatma Gandhi dan War and Peace Tolstoy, dan pada saat yang bersamaan kita juga suka membeli mobil yang lebih bagus dan membeli sikat gigi elektronik. Dalam kehidupan kita, terdapat begitu banyak kombinasi “tindakan yang tidak koheren”.

Lebih jauh, seperti yang dikemukakan Berlin, selain komplesitas tindakan ini, manusia juga memiliki kompleksitas tujuan dan keinginan. “Tujuan-tujuan kita banyak,” ungkap Berlin, “dan tidak semua tujuan tersebut pada dasarnya sesuai satu sama lain”. Sebagian dari tujuan tersebut bahkan berbenturan satu sama lain. Dalam hal ini Kant benar ketika ia mengatakan bahwa “dari pohon kemanusiaan yang bengkok, tidak ada hal lurus yang muncul”.

Karena berbagai kompleksitas inilah para filsuf kebebasan negatif menekankan makna terpenting makna terpenting kebebasan untuk memilih atau kebebasan pribadi dalam membuat keputusan menyangkut hasrat dan tindakan kita.

(hlm.106)

Kebebasan hanya mungkin jika kita juga bebas untuk berbuat salah. Kita hendaknya tidak memberikan orang-orang biasa tersebut kebebasan jika kita tidak ingin mereka membuat beberapa keputusan yang salah. Mereka memang membuat keputusan-keputusan yang salah, atau mencampuradukan keinginan-keinginan; meskipun demikian, mereka adalah orang bebas sejauh mereka tidak dipaksa orang lain untuk melakukan hal itu.

 (hlm.107)

Berhadapan dengan persoalan ini, satu-satunya cara bagi Taylor untuk menyelamatkan gagasannya adalah dengan membagi manusia menjadi dua diri. Diri yang pertama lebih tinggi, atau rasional, atau diri sejati. Diri yang lain adalah diri empiris, “lebih rendah”, irasional, atau diri yang tak-terkendalikan. Yang pertama adalah diri yang menjadi sumber realisasi diri sejati. Hanya diri pertama inilah yang merupakan wilayah kebebasan sesungguhnya. Diri yang kedua adalah sebuah entitas (dalam kata-kata Berlin) “yang dilingkupi hasrat dan nafsu”, diperbudak oleh keinginan akan kenikmatan sesaat, sumber kekeliruan.

(hlm.108)

Bagi para filsuf kebebasan negatif seperti Berlin, di sinilah letak bahaya terbesarnya. Diri yang sejati dan lebih tinggi tersebut dengan mudah dapat digelembungkan atau diubah menjadi sesuatu yang lebih luas dibanding seorang individu–suatu suku, ras, negara, suatu masyarakat besar, suatu kelas sosial, atau jalannya sejarah.

Bagi Berlin, posisi seperti ini merupakan inti semua teori politik tentang realisasi diri (teori Taylor adalah salah satunya). Posisi ini memungkinkan seseorang membuat suatu “impersonasi besar”, yang cenderung menyamankan “apa yang akan dipilih X jika ia adalah sesuatu yang bukan dirinya, atau paling tidak belum dirinya, dengan apa yang sebenarnya dikejar dan dipilih X”.

(hlm.109)

Dengan kata lain, posisi ini adalah resep bagi tirani.

Apa yang ingin di perlihatkan oleh argument-argumen Berlin adalah bahwa konsepsi positif tentang kebebasan tersebut tidak dapat dipertahankan sebagai filsafat kebebasan: ia sangat mudah dimanfaatkan oleh seorang despot untuk membangun suatu kerajaan paksaan; ia juga memunculkan suatu kesalahpahaman besar tentang sifat dan problem kebebasan.

Kontrak Sosial:
Pedang Rousseau

“Manusia terlahir bebas, dan di mana pun ia terkadang…Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya tidak tahu. Apa yang bisa menjadikan hal ini sah? Saya yakin saya bisa menjawab pertanyaan ini.”

Pernyataanya itu adalah pedang yang memegal otoritas kekuasaan tradisional.

“tiap-tiap orang menyerahkan dirinya kepada semua [orang], tidak menyerahkan dirinya kepada siapapun.”

(hlm.112)

Dengan demikian Rousseau telah bergeser dari tradisi hukum kodrat–ia berpindah dari ius naturale Grotius ke hukum yang disetujui oleh kehendak umum. Hukum adalah rekaman kehendak-kehendak rakyat; dan karena itu hukum tidak pernah tidak adil, karena rakyat tidak pernah tidak ada adil kepada diri mereka sendiri.

(hlm.113)

Bagi Rousseau, kehendak umum bukanlah jumlah kehendak individu, atau kehendak mayoritas, atau kehendak semua (omnes ut singuli). Ia adalah kehendak intensi umum (omnes ut universi), yang hanya dapat disingkapkan jika tiap-tiap individu mengasingkan dirinya dari orang lain (berlaku seperti atom dalam masyarakat) dan menyisihkan semua kepentingan pribadinya.

Kini, kita harus mengajukan beberapa pertanyaan sederhana: bagaimana kita mengetahui kehendak umum itu–jika orang-orang mengungkapkan opini mereka tentang beberapa persoalan umum? Bagaimana kita yakin bahwa hal itu adalah kehendak sejati mereka, dan bukan kehendak para demagog yang meyakinkan orang-orang apa dan bagaimana berpikir?

“Kita selalu menginginkan apa yang baik bagi kita, namun kita tidak selalu mengetahui apa itu.”

(hlm.115)

Dan sekarang ini, Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic, para penjagal Serbia, dianggap oleh rakyat Serbia sebagai pelindung kehendak rakyat. Jika sebuah kelompok dari rakyat membenci kelompok yang lain, kehendak umum Rousseau sangat mungkin menjadi suatu bagi para pemimpin despotic untuk melakukan pembantaian massa.

Keyakinan total dan romantiknya terhadap kolektivitas menghancurkan kemungkinan pengakuan akan eksistensi kehidupan pribadi dan individual. Ia begitu tergetarkan oleh majelis public Romawi, di mana kemauan publik berkuasa.

Locke, misalnya, tidak banyak memberi peran kepada negara selain menjamin hak milik dan kehidupan rakyat. Dan Hobbes, dengan kejelasannya yang brilian, menyatakan bahwa satu-satunya tugas yang harus diemban kekuasaan politik adalah menjaga ketertiban dan stabilitas masyarakat.

(hlm.116)

Memang, pedangnya menghancurkan para raja, simbol otoritas tradisional–namun pedang itu juga memberi alasan bagi kaum revolusioner populis, atau bagi setiap despot, untuk menjalankan terror dan penindasan atas nama kehendak umum.

(hlm.118)

Dari John Stuart Mill mereka belajar bahwa manusia mampu memutuskan apa yang baik bagi dirinya sendiri. Setiap manusia adalah hakim terbaik bagi kepentingannya sendiri.

(hlm.119)

Namun mereka tidak mungkin salah selamanya (mungkin mudah untuk menipu para pemilih sekali atau dua kali, namun mustahil melakukan hal ini selamanya): manusia belajar dari pengalaman mereka.

  1. Dalam Capitalism, Socialism, and Democracy (1950) karya Schumpeter, kapitalisme dan sosialisme adalah wilayah ekonomi, sedangkan demokrasi adalah wilayah politik. “Politik tidak tergantung ekonomi” dipahami dari argumennya bahwa demokrasi bisa berkembang baik dalam kapitalisme maupun sosialisme. Tidak satu hal pun dalam wilayah ekonomi yang dapat memengaruhi wilayah politik secara determistik.

(hm.120)

Bagaimana bisa para pebisnis, kaum liberal, kaum komunis, para aktivis serikat buruh yang bekerja di Clear Fork Valley dilihat sebagai anggota kekuasaan konspirasi yang sama?

(hlm.121)

Dalam sejarah politik AS, pemberlakuan Akta Wagner pda 1935 bukan merupakan dampak dari kesepakatan yang harmonis antara serikat-serikat buruh dan kaum industrialis, melainkan merupakan dampak dari pertarungan yang panjang dan menyakitkan antara keduanya (lihat Goldman, 1956).

  1. Akan lucu jika berkata, misalnya, bahwa dalam pertarungan-pertarungan besar ini kepentingan para pemimpin buruh san para pemimpin bisnis adalah sama.

(hlm.125)

Namun sangat aneh bahwa daklam menyajikan salah satu kasusnya yang mungkin terkuat, Gaventa samasekali tidak menjelaskan dengan cara apa kita harus melihat dan memahami proses manipulasi dalam sekolah-sekolah ini.

Para pemimpin liberal yang, seperti telah saya katakan sebelumnya, ingin mendukung perjuangan untuk menegakkan kebebasan berekspresi di lembah tersebut oleh Gaventa di anggap sebagai bagian dari para elite konspiratif yang memanipulasi rakyat. Alasannya: perjuangan untuk menegakkan kebebasan berekspresi tersebut menyimpangkan perhatian rakyat dari persoalan-persoalan “rill”. Namun bagaimana kita bisa memahami apa itu persoalan-persoalan untuk mengungkapkan kehendak mereka?

(hm.126)

Masalahnya adalah mengapa peningkatan dalam jaminan kesehatan, tunjangan pension, upah, dan kemanan kerja tersebut dianggap hanya sebagai sesuatu yang pragmatis, bukan substansial?

Hutington:
Dari Keteraturan ke Demokrasi

Pada 1968 bukunya yang sangat terkenal, Political Order in Changing Society (Yale University Press), diterbitkan. Buku ini sekarang ini dianggap sebagai karya klasik dalam ilmu perbandingan politik, dan sebuah buku penting bagi para pelajar yang ingin mengkaji berbagai persoalan politik yang dihadapi oleh Negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin di tahun-tahun awal modernisasi mereka.

(hlm.129)

Dalam bagian berikutnya dari tulisan ini saya mencoba membandingkan kedua buku itu, dan melihat bagaimana Huntington, dalam The Third Wave, mengubah pendirian yang ia pegang dalam Political Order.

Dengan kata lain, bagi teori-teori perkembangan politik tersebut, demokratisasi akan terjadi di Negara-negara Dunia Ketiga sebagai akibat langsung dari kemelek-hurufan yang semakin meluas, begitu banyaknya orang yang berpindah dari desa ke perkotaan, transformasi budaya politik, spesifikasi pekerjaan dan ketrampilan, banyaknya informasi yang dihamparkan oleh media, dan seterusnya.

(hlm.131)

Di sini Huntington muncul dengan berbagai penjelasanya. Ia menyatakan bahwa modernisasi menghamparkan pada “orang-orang tradisional bentuk-bentuk kehidupan baru, standar-standar kesenangan baru, serta kemungkinan-kemungkinan kepuasan baru. Pengalaman ini… memunculkan berbagai kinginan dan kebutuhan baru” (hlm.53). Dan jika munculnya keinginan dan kebutuhan baru ini tidak terpenuhi, orang-orang dengan mudah akan digiring ke dalam politik.

 (hlm.133)

Para politisi seringkali berkata bahwa hal-ihwal “tampak berbeda”  setelah mereka mendapatkan suatu jabatan dibanding ketika mereka bersaing untuk mendapatkan jabatan tersebut.

 (hlm.134)

Seorang ilmuwan politik menyebut cara pandang normatif terhadap lembaga ini sebagai suatu “paying moral yang luas”.

Karena kecenderungan kuat untuk menempatkan keteraturan dan otoritas pada tempat tertinggi dari proses politik ini, Huntington melihat bahwa perbedaan antara demokrasi dan kediktatoran kurang penting dibanding perbedaan antara pemerintah yang lemah dan tidak efisien dengan pemerintahan yang kuat dan otoritatif.

(hlm.135)

Mereka mungkin tidak menyediakan kebebasan, namun mereka menyediakan otoritas; mereka menciptakan pemerintahan-pemerintahan yang benar-benar bisa memerintah. (hlm. 8; huruf miring ditambahkan)

(hlm.136)

Namun mengapa keteraturan dan otoritas yang kuat harus dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan? Mengapa keteraturan dan kebebasan harus ditempatkan “secara kronologis” (pertama-tama keteraturan, kemudian kebebasan)?

The Third Wave

Baginya, persoalan utamanya adalah ketidakstabilan politik; dan jawabanya adalah institusionalisasi politik. Dalam The Third Wave, sebaliknya, perhatian utamanya berfokus pada bentuk pemerintahan (demokrasi).

(hlm.137)

Pendek kata, bagi Huntington, demokrasi adalah suatu kebaikan bukan hanya karena hakikatnya sebagai pengejawantahan hasrat tertinggi manusia (kebebasan), melainkan juga karena fungsinya sebagai pra-syarat bagi perdamaian dan stabilitas.

Bagi Hutington, tiga gelombang telah terjadi di dunia modern. Gelombng pertama dan kedua diikuti oleh apa yang dia sebut sebagai “gelombang pembalikan”, yakni kembalinya sekelompok negara ke dalam rezim-rezim yang tidak demokratis.

Gelombang pertama terjadi antara 1828 dan 1926. Ia bermula ketika pemerintah AS menghapuskan syarat-syarat kepemilikan dan mengakui hak pilih universal orang dewasa bagi 50 persen populasi laki-laki kulit putihnya pada pemilu presiden 1828. Gelombang ini berakhir setelah Perang Dunia I ketika Mussolini, Hitler, Salazar berkuasa dan memperkenalkan bentuk baru otoritarianisme di Eropa.

Gelombang kedua terjadi antara 1943 dan 1962. Gelombang ini bermula ketika Tentara Sekutu mengalahkan Jerman, Italia dan Jepang. Gelombang ini juga ditandai oleh munculnya negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang lepas dari kekuasaan colonial.

(hlm.138)

Gelombang ketiga mulai pada April 1974. Gelombang ini bermula, sebagaimana yang dengan cerdas dikemukakan Huntington, ketika sebuah stasiun radio memutar lagu “Grandola Vila Morena” di Lisbon, Portugis. Lagu ini merupakan suatu sinyal untuk memulai suatu gerakan militer yang mengakhiri kediktatoran Portugis. Setelah gerakan di Portugis ini, gerakan-gerakan demokratis di seluruh dunia mendapatkan kekuatannya dan muncul sebagai pemenang.

Mengapa gelombang ketiga ini terjadi? Menurut Huntington, ada lima faktor yang memainkan peran yang penting dalam memunculkan gelombang ketiga tersebut.

Pertama, legitimasi rezim-rezim otoriter yang menurun.

(hlm.139)

Kedua, penkembangan.

Sebuah perekonomian baaru yang jauh lebih beragam, kompleks dan saling terkait, yang semakin sulit dikontrol oleh rezim-rezim otoriter.

(hlm.140)

Ketiga, berubahnyan peran Gereja Katolik Roma.

Keempat, kebijakan-kebijakan global baru dari negara-negara dan organisasi-organisasi besar.

(hlm.1141)

Terakhir, dampak-dampak demonstrasi.

Menyangkut hal ini, menurut Huntington, kita bisa mengidentifikasi tiga jenis proses demokratik. Pertama, transformasi.

(hlm.142)

Kedua, penggantian.

Ketiga, transplacement.

(hlm.143)

“Pertumbuhan ekonomi,” kata Huntington, “membut demokrasi menjadi mungkin; kapemipinan politik menjadikanya nyata” (hlm.316).

Dalam buku yang pertama, persoalanya adalah ketidakstabilan politik; dalam buku yang kedua, apa yang ia tulis sepenuhnya tentang proses demokratisasi.

(hlm.144)

 Kita telah melihat bahwa Huntington tidak membedakan sumber-sumber otoritas. Sebuah pemerintahan yang mendapatkan otoritasnya dari terror dan penindasam yang kejam ditempatkan dalam kotak yang sama dengan pemerintahan yang mendapatkan otoritasnya dari kebebasan.

Huntington juga melakukan hal yang sama menyangkut sumber-sumber partisipasi politik. Semua jenis partisipasi di generalisasi dalam sebuah istilah yang sangat luas, yakni mobilisasi sosial.

(hlm.145)

Baginya, sebuah otoritas yang kuat hanya bisa diteguhkan jika ia dididasarkan pada partai-partai politik yang kuat. Namun di sini Huntington melihat partai politik terutama sebagai instrument keteraturan politik, bukan instrument perwakilan atau kontrol.

(hlm.146)

Dalam The Third Wave posisinya berubah. Transisi dari kekuasaan totaliter dan otoriter bukanya tanpa ongkos: ketidakstabilan dan ketidakpastian.

(hlm.147)

Pergeseran posisi Huntington tersebut mungkin paling baik dipahami dari perspektif bagaimana sejarah itu sendiri berubah. Pada 1950-an dan 1960-an sejarah kita dicirikan oleh berbagai pergolakan politik besar yang disertai dengan tingkat kekerasan yang tinggi. Prague Spring, Revolusi Budaya, Perang Arab-Israel, Perang Vietnam, Krisis Kuba, pembunuhan massal komunis di Indonesia, dan banyak peristiwa lain yang menggambarkan patologi politik. Di Amerika Serikat sendiri, 1960-an merupakan salah satu dekade yang paling bergejolak: pembunuhan John dan Bob Kennedy, Martin Luther King, dan Malcom X, gerakan orang-orang kulit hitam, dan gerakan mahasiswa anti-perang dan anti kemapanan.

Semua peristiwa ini memberi kesan bahwa dunia berada dalam kekuasaan anarki, dan bahwa tugas utama seorang pemimpin yang cakap adalah menciptakan suatu jenis keteraturan. Dan, bagi seorang profesor di salah satu lembaga terbaik di dunia, Universitas Harvard, yang secara mendalam membaca filsafat Burke, Niebuhr, dan Madison, tidak ada jawaban lain yang lebih masuk akal bagi persoalan ini selain konservatisme: suatu pemikiran dan kecendrungan politik bahwa memelihara keteraturan, menjaga lembaga yang ada di tengah-tengah berbagai perubahan yang bergejolak secara moral unggul.

(hlm.148)

Namun sejarah berubah. Pada 1980-an kita melihat kegagalan pemerintahan militr di banyak negara Dunia Ketiga. Selain itu, kita juga melihat “Kegagalan Besar” rezim-rezim sosialis, yang mengakhiri Perang Dingin. Perubahan-perubahan ini memunculkan suatu gelombang baru optimisme–kita sadar: salah satu babak yang paling berbahaya dalam sejarah telah berlalu.

Guncangan Besar

Konsep-konsep yang mereka lahirkan, seperti anomie, gemeinschaft, dan gesellschaft, menjadi acuan untuk menggambarkan proses serta akibat dari perubahan besar yang sedang terjadi di Eropa saat itu, yaitu perubahan dari masyarakat pertanian ke masyarakat industry yang didorong oleh perluasan sistem kapitalisme serta oleh serangkaian penemuan teknologi baru, seperti mesin uap, kereta api, dan telegram.

(hlm.150)

Konsep dasar yang ditawarkan oleh Fukuyama dalam Guncangan Besar adalah modal sosial.

Namun, “penemu” sesungguhnya dari konsep ini adalah seorang pernikir Prancis seabad seblumnya, Alexis de Tocqueville, yang telah menulis buku klasik, Democracy in America (1840), berdasarkan konsep tentang asosiasi dan interaksi sosial dalam masyarakat.

(hlm.151)

Oleh Fukuyama konsep ini dikembangkan lebih jauh dengan memasukkan pemikiran-pemikiran baru yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial mutakhir, seperti teori-teori tentang pilihan rasional dan aksi-aksi kooperatif.

Salah satu pendapat Fukuyama yang menarik dibahas lebih lanjut berhubungan dengan kemampuan manusia dalam menghadapi guncangan dan perubahan. Guncangan besar mengakibatkan erosi pada modal sosial.

Dalam hal ini Fukuyam mengikuti jejak Friedrich Hayek, filsuf-ekonom Australia yang banyak disebut sebagai pemikir liberal terdepan pada abad ke-20, yang melahirkan konsep spontaneous order untuk menggambarkan bagaimana manusia, tanpa diatur siapapun, menciptakan dalam masyarakat sistem kerjasama yang menguntungkan semua pihak.

(hlm.152)

Pada dasarnya, pemikiran semacam ini menaruh harapan dan optimism besar pada manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk yang secara ilmiah selalu ingin bekerjasama. Tanpa diminta dan diatur oleh penguasa, pemilik modal, atau pemuka agama sekalipun, manusia akan menciptakan aturan, baik formal maupun informal, di antara mereka sendiri untuk membangun kembali tatanan yang ada.

(hlm.153)

John Schumpeter bukan ekonom kiri, tetapi dalam bukunya yang terkenal, Capitalism, Socialism, and Democracy (1942), ia berpandangan bahwa kapitalisme mengandung benih yang membahayakan dirinya sendiri sebab semakin ia berkembang, semakin kecil basis legitimasi moral yang ada pada dirinya.

Dalam hal ini, misalnya, Mostesquieu berpendapat bahwa kegiatan komersial justru mengajarkan orang pada nilai-nilai tentang kejujuran, kesetiaan pada kontrak, dan penghargaan pada kerja.

Alexis de Tocqueville:
Penemu Toeri Demokrasi

Pada umunya, tokoh-tokoh dari zaman ini mendasarkan pemikiran mereka pada penelaahan filosofis yang mendalam tentang manusia dan masyarakat serta menjadikan telaah ini sebagai asumsi-asumsi dasar dalam menjelaskan realitas di sekililing mereka.

(hlm.155)

Bisa dikatakan bahwa tokoh-tokoh ini adalah system builders, kaum pemikir yang membangun sistem gagasan yang utuh dan menyeluruh yang dapat digunakan untuk menjelaskan setiap segi dari manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan sejarah. Hegel, Comte, dan Marx adalah contoh terbaik dari kecenderungan ini.

(hlm.156)

Dengan tradisi baru ini, Tocqueville mulai menjelaskan realitas tidak dengan asumsi-asumsi filosofis, tetapi langsung meneliti aspek-aspek mikro kehidupan pada masyarakat yang diamatinya. Di Amerika, penelitian awal yang dilakukannya justru mengenai sistem penjara di negara-negara bagian New Egland serta pola kehidupan dan pemerintahan lokal di beberapa counties (kabupaten) dan townships (kecamatan) yang terpencil. Dia tidak berangkat dari ide-ide besar, dengan metode berpikir deduktif, namun dengan tekun dan kreatif melihat dan mempelajari pola pengelompokan sosial, kebudayaan dan adat kebiasaan lokal serta interaksi ekonomi dari masyarakat yang diamatinya.

(hlm.157)

Pemikiran Tocquville tentang demokrasi bertumpu pada pertanyaan: mengapa demokrasi di Amerika bersifat liberal? Mengapa Amerika berhasil menghindari perangkap anarki di satu pihak, dan pelanggengan kekuasaan aristokrasi di pihak lain, sebagaimana yang terjadi di Prancis? Mengapa demokrasi Amerika berbeda dengan Inggris? Apa yang menjadi keunikan dan kekuatan demokrasi Amerika?

Dalam rezim lama, manusia dikungkung oleh posisi sialnya yang tak mungkin berubah. Anak seorang petani juga akan menjadi petani, berikut semua atribut sosialnya. Demikian pula, keturunan seorang aristokrat akan tetapi menjadi aristokrat, dengan segala warisan tanah dan pekerja yang menjadi miliknya. Dengan pudarnya sistem ini manusia menjadi individu merdeka, sama dengan individu-individu lainnya, dan terbuka untuk bersaing dalam kehidupan di kota untuk mncari kehidupan yang lebih baik.

(hlm.159)

Proses sejarah politik di Eropa hanya berputar di persoalan semacam itu: perang dan damai oleh negara-negara hegemon. Di Amerika, persoalan semacam ini bisa dikatakan tidak pernah menjadi bagian dari sejarah mereka, dank arena itu kekhawatirkan terhadap perang besar juga bersifat minimal.

Perang adalah sebab utama sentralisasi politik dan ekspansi birokrasi. Karena ancaman perang, masyarakat bergantung pada negara sebagai instrument utama. Dan untuk itu, negara harus memungut pajak. Untuk memungut pajak, negara harus mengembangkan aparat pemungut pajak dan birokrasi. Demikian seterusnya . hal inilah yang menjelaskan mngapa sentralisasi pemerintahan di Prancis berlangsung dengan ekspansif. Di Amerika, karena ketiadaan hal tersebut, sentralisasi berlangsung minimal dan sistem pemerintahan tumbuh dengan mengadaptasi kebutuhan lokal.

Hal itulah yang menjelaskan mengapa kelembagaan politik Amerika bertumpu pada sistem desentraslisasi (federalisme), di mana keputusan-keputusan penting dalam pemerintahan lebih banyak dilakukan ditingkat lokal.

(hlm.160)

Dalam soal kebudayaan dan adat-istiadat lokal, Tocqueville melihat sebuah kebetulan sejarah yang menguntungkan Amerika: penduduknya berbicara dalam bahasa yang sama, berimigrasi dari negeri yang relative sama, dan dengan agama yang sama.

BAB II

Pertimbangkan Kembali Masyarakat:         
Tentang Nagara, Pasar, dan Masyarakat

Munculnya Negara:
Teori Konflik dan Integratif Antara

Namun definisi-definis paling disepakati adalah definisi-definisi yang mengandung aspek-aspek seperti teritorialitas, legitimasi, otoritas, legalitas, dan kekuatan untuk memaksa.

(hlm.165)

Khaldun, dalam Muqadimah: An Introduction to History, melacak munculnya negara (atau, dalam kata-katanya sendiri, munculnya otoritas raja), dalam hubungan-hubungan yang penuh konflik antara suku-suku pengelana (Badui) yang hidup di padang pasir dan para penduduk tetap yang hidup di tepi sungai, di tanah-tanah subur, dan di kota-kota.

(hlm.166)

Kelemahan dan keberlimpahan materiil ini selalu memancing agresi kaum Badui. Untuk menghindari agresi ini, menurut Khaldun, orang-orang yang menetap tersebut dengan demikian harus membangun tembok-tembok pengamanan, dan membentuk, atau dilindungi oleh, otoritas raja yang kuat yang memegang “superioritas dan kekuasaan untuk memerintah dengan kekuatan” (Khaldun, 1976: 108).

(hlm.167)

Engels, misalnya, dalam Origin of the Family, Private Property, and the State, menyatakan bahwa negara hanyalah suatu organ dari kelas yang berkuasa untuk menghisap mereka yang dikuasai, mereka yang tidak memiliki akses ke sumberdaya-sumberdaya ekonomi (Chang, 1931: 46-48). Bagi Engels, pembentukan negara dengan demikian merupakan suatu dampak yang niscaya dari konflik kelas.

(hlm.170)

Bagi Durkheim, negara hanya muncul ketika terjadi pergeseran progresif masyarakat mekanis menjadi masyarakat organis.

(hlm.171)

Cohen, misalnya, mengatakan bahwa untuk menjelaskan kasus-kasus empiris yang berbeda, baik teori konflik maupun teori-teori integrative sama-sama diperlukan.

(hlm.173)

Saat melakukan penelitian empiris tentang masyarakat irigasi di Cuicatec, Meksiko, Eva dan Robert Hunt menemukan bahwa birokrasi yang tersentralisasi muncul untuk mengatur kompleksitas dalam mendistribusikan air.

(hlm.177)

Pendekatan Otonomi Negara:
Bagaimana Mengkritiknya?

Karena politik tidak lain merupakan suatu cerminan dari hubungan-hubungan ekonomi, negara dapat dipastikan sekadar merupakan alat dari kelas yang paling berkuasa, yakni kaum borjuis.

(hlm.182)

Marx salah ketika ia mengatakan bahwa kepentingan kaum kapitalis di wilayah politik adalah pembentukan demokrasi, sementara kepentingan kaum pekerja adalah pembentukan kediktatoran proletariat. Di sini Marx samasekali tidak memberi ruang lagi kaum kapitalis dan kaum pekerja untuk berkompromi–hubungan mereka didfinisikan sebagai suatu hubungan zero-sum. Di sini Marx disangkal oleh bukti-bukti sejarah; namun para teoretisi keseimbangan kelas tersebut menolak untuk mengakui bukti-bukti ini. Secara tak sadar, mereka mengulangi kesalahan Marx, dan memperluasnya untuk menjelaskan bahwa dalam keadaan di mana kedua kelas tersebut kuat, fasisme nicaya akan diteguhkan sebagai suatu jenis kompromi, suatu jenis keseimbangan antara hubungan kuat-kuat.

(hlm.184)

Kapitalisme telah banyak berubah sejak Marx merumuskan gagasan-gagasanya. Kepemilikan sarana-sarana produksi sekarang ini menjadi jauh lebih rumit. Sekarang ini sangat umum bahwa, karena berbagai inovasi finansial seperti obligasi dan saham, ribuan pekerja dan pensiunan menjadi pemilik sebuah perusahaan pribadi.

Mereka yang memiliki perusahaan tersebut tidak lagi penting: yang paling penting adalah siapa yang menjalakannya (para manajer, para MBA, para pekerja ahli).

Gagasan tentang pekerja sekarang ini juga menjadi lebih rumit. Kita harus membedakan antara pekerja terampil dan tak-terampil.

(hlm.186)

Perkembangan negara-negara kesejahteraan juga memberikan suatu bukti yang meyakinkan bahwa demokrasi pada dasarnya merupakan sesuatu yang menyakinkan bahwa demokrasi pada dasarnya merupakan sesuatu yang menyatukan kaum borjuis dan kaum pekerja dalam kepentingan bersama, yakni: menjaga kedamaian sosial.

(hlm.188)

Dengan demikian, karena mendefinisikan kepentingan negara merupakan suatu hal yang mustahil, argumen inti dari para teoretisi yang mengagungkan negara tersebut jadi membingungkan.

Struktur dan Aktor:
Mengapa Politik Orde Baru
Bertahan?

  1. Pada dasarnya konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang rezim Orba ini menjelaskan hal yang sama: a) Pusat kekuasaan ada di tangan Soeharto yang, dengan dibantu para teknokrat dan militer, memberlakukan suatu sistem yang sangat mencekik masyarakat Indonesia untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan caranya sendiri; b) Soeharto memerintah secara personal, dan dikelilingi oleh lingkaran-lingakarn klien yang diangkat berdasarkan hubungan patrimonial; c) Partai-partai politik diciptakan bukan untuk melayani kepentingan rezim itu sendiri.

(hlm.192)

Hal ini berarti bahwa berbagai gelombang baru tersebut hanya dibolehkan berkembang oleh para penguasa sejauh kepentingan utama mereka tidak tersentuh.

(hlm.195)

Sejarah, bagi kalangan strukturalis, tidak dibuat oleh manusia, melainkan oleh kekuatan-kekuatan impersonal.

(hlm.202)

Revolusi Cina

Di bidang transportasi, misalnya, pada 1936 jaringan jalan raya menghampar sepanjang 115.703 km, dibanding hanya 1.000 km pada 1921; dan dalam periode 1929-32, sistem jalan kereta api hampir berlipat dua. Namun hampir semua kemajuan ini segera tertelan oleh, dan menguap karena, luasnya wilayah Cina dan besarnya persoalanya. Untuk memberi contoh betapa sulitnya bagi suatu pemerintahan untuk memodernisasi Cina, Profesor R.H. Tawney pada 1932 berkata bahwa meskipun 10.000 mil jalan kereta api dibangun setiap tahun di Cina, negeri itu sedemikian luas sehingga memerlukan 180 tahun sebelum Cina memiliki sebuah jaringan jalan kereta api yang memadai sebagaimana Britania (Buck, 1970: 300).

(hlm.205)

Nasionalisme kaum intelektual pada dasarnya bersifat borjuis; sebaliknya, nasionalisme kaum petani lebih primitif dan kuat, yakni “nasionalisme keputus-asaan” (Bianco, 1971: 154).

(hlm.206)

Pada 1937, menurut Bianco, terdapat 80.000 orang dalam Tentara Merah; namun pada 1945 terdapat 900.000 orang ditambah pasukan milisi yang terdiri atas 2,2 juta orang (1971: 150).

(hlm.211)

Memperkuat Negara

Bagi Fukuyama, sebagaimana diuraikan dalam memperkuat Negara, peran negara harus dipahami dalam dua dimensi, yaitu cakupan (scope) maupun kekuatan atau kapasitas (strength).

Suatu negara yang kuat di tandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan.

(hlm.212)

Baik negara yang kuat maupun yang lemah memiliki cakupan peranan yang berbeda, dan tidak otomotis berhubungan.

Negara minimal adalah negara yang hanya membatasi cakupan kegiatanya pada hal-hal yang bersifat elementer, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, penyediaan sarana infrastruktur dan pencetakan matauang.

(hm.213)

Ia mengingatkan kita bahwa pada abad ke-20 banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin melakukan ekspansi kegiatan ekonomi besar-besaran, tanpa daya dukung kelembagaan yang memadai.

Buat saya, justru dengan cara ini Fukuyama sebenarnanya memberikan landasan konseptual yang lebih luas terhadap aspirasi kaum liberal. Kebijakan ekonomi pro-pasar harus terus dilakukan bersamaan dengan penguatan negara, bukan pada cakupan kegiatanya, tetapi lebih pada kemampuannya dalam memainkan peran sebagai lembaga pengatur dan satu-satunya pemegang kekuasaan pemaksa dalam masyarakat.

Dengan cara pandang semacam ini, kalau kita tarik pada tingkat grand theory, Fukuyama sebenarnya ingin mempertautkan dua tradisi besar: Machiavelli, Hobbes, dan Hegel di satu pihak, serta Adam Smith, Locke, dan Kant di pihak lain.

BAB III

Pedang Saleh Afiff:    
Tentang Isu-isu Ekonomi-Politik

(hlm.219)

Teori Konspirasi
dan Krisis Moneter

(Bersama M. Chatib Basri)

Namun, kita harus ingat bahwa model demikian hanya bisa masuk akal jika dua asumsi terpenuhi.

Yang pertama: volume pasar uang relative kecil, sang Konspirator memang bisa memengaruhi pasar dengan basis modal yang tak terlalu besar. Kalau volume pasar relatif besar, modal yang dibutuhkan berjumlah terlalu fantastis sehingga akan sulit dibayangkan bahwa ada pengusaha domestik kita yang mampu melakukannya dalam kondisi seperti sekarang .

(hlm.220)

Yang kedua: ketidaknormalan kondisi pasar.

(hlm.221)

Dalam situasi krisis yang membingungkan, teori ini menawarkan sebuah kepastian dan kesederhanaan berpikir.

(hlm.223)

Blok Cepu,
Mission Accomplished

Pada 1977, misalnya, Indonesia memproduksi 1,6 juta barel per hari, sementara kebutuhan domestic hanya sekitar 0,25 juta setiap hari. Selisih itulah yang kita nikmati dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi pada zaman Orde Baru, terutama dari awal 1970-an hingga pertengahan 1980-an.

(hlm.224)

Blok ini mampu memompa minyak dalam jumla yang cukup fantastis, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional.

(hlm.225)

Tentu, setelah meraih sukses besar pada dua isu sekaligus (PI dan PH), kita tidak mungkin seenaknya menuntut dengan mutlak pada isu penting lainnya, yaitu operatorship.

(hlm.232)

Kaum Intelektual, BBM,
dan Iklan Freedom Institute

(Tanggapan atas Tanggapan)

Namun, adakah pemaksaan di sana? Apakah Effendi sendiri terpaksa atau harus menbaca dan memercayai iklan itu?     

(hlm.237)

Pedang Saleh Afiff

Kalau ekonomi sedang stabil dan kemakmuran meningkat, kaum penguasa politik biasanya tidak begitu peduli dengan masalah efisiensi dan kaidah-kaidah ekonomi. Tapi jika dunia ekonomi mengalami krisis, maka mereka menjadi lebih sadar, berubah, dan kaum teknokrat mulai mendapat angin untuk melakukan reformasi.

(hlm.241)

Profesor Widjojo

Seperti kita ketahui, rangkaian kebijakan deregulasi saat itu memang merupakan inovasi yang sangat baik dan berdampak sangat positif bagi dunia perekonomian kita secara umum.          

(hlm.244)

Soedradjad, Bravo

Gubernur BI ini telah memberi contoh langsung tentang praktik pemerintah by persuasion yang terbuka, besar hati, dan berlandaskan argumen yang masuk akal.     

(hlm.249)

Friedman

Publik dan dan media massa Amerika Serikat sangat terbuka pada argumen-argumen dingin dan masuk akal.

Terhadap kecaman semacam ini, biasanya reaksi kita sangat emosional dan berbau “jingoisme” (right or wrong it’s my country)            .

(hlm.252)

George Soros

Mirip dengan para pendukung fasisme dan komunisme, kaum liberal menganggap merekalah pembawa kebenaran terakhir, dan klaim seperti ini didasarkan pada otoritas keilmuan, khususnya ilmu ekonomi.

(hlm.253)

Liberalisme adalah lawan dari ideology totalitarian. Sejak awal klaim paham ini didasarkan pada skeptisisme dan argumen tentang kebebasan, bukan pada otoritas ilmu dan pendewaan efisiensi.

Bagi kaum liberal, problem politik terbesar adalah tirani kekuasaan, sebuah kondisi di mana penguasa (pemerintah) memaksakan kehendaknya terhadap rakyat. Karena itu, menurut mereka, kekuasaan pemerintah harus terbatas. 

(hlm.254)

Artinya, mekanisme pasar bebas, walau bukan pilihan ideal, adalah pilihan the lesser evil dalam keterbatasan pengetahuan manusia.

Alan Greenspan,
Sang Maestro di Balik Dollar

Karena uang adalah darahnya sistem ekonomi modern, kekeliruan langkah The Fed akan berakibat fatal. Depresi Besar di AS pada 1930-an, seperti kata Milton Friedman, adalah akibat dari kesalahan semacam itu.

(hlm.257)

Ia bukan hanya seorang analis yang tekun, tetapi juga seorang aktor yang mampu meraba suhu politik dan mengenal dengan baik lekak-lekuk politik yang harus dilaluinya.

(hlm.258)

Mozart dan Matematika       

di luar dunia universitas, Greenspan bergaul dalam komunitas Ayn Rand, novelis dan filsuf Rusia yang melarikan diri dari sistem komunisme. Ia adalah pemimpin kaum libertarian garis kelas. Greenspan tidak belajar ekonomi dari Rand, tetapi dari pemikir wanita inilah Greenspan tumbuh secara intelektual dan kemudia mengerti bahwa sistem ekonomi pasar atau kapitalisme dapat pula dibela secara moral, bukan hanya dari sudut bisnis atau efisiensi semata.         

Namun, salah satu kelebihan Greenspan adalah kemampuannya untuk lebih mengedepankan akal sehat, memperlajari fakta-fakta untuk lebih mengutamakan moderasi dan sikap yang prudensial. Ide memberi potret besar, namun realitas yang terus berubah seringkali menuntut langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan penuh kompromi.

(hlm.261)

Norman Borlaug,
Pemberi Makan Dunia

Revolusi Hijau           

Selama 20 tahun Norman Borlaug tinggal di Meksiko, melakukan riset dan pengembangan tanaman gandum. Dari hari ke hari, dengan ketekunan yang luarbiasa, ia dan tim yang dipimpinnya menyilang dan mempelajari pertumbuhan ribuan varietas gandum untuk mencari bibit-bibit baru dengan sifat yang lebih tahan hama dan lebih produktif.           

(hlm.263)

Setelah India dan Pakistan, Revolusi Hijau kemudian merambah ke berbagai negeri lainnya-dan tidak hanya dengan tanaman gandum. Dengan contoh keberhasilan di Meksiko, The Rockefeller Foundation dan The Ford Foundation mengambil inisiatif mendirikan IRRI (International Rice Research Institute) di Los Banos, Filipina. Lembaga riset ini kemudian menghasilkan varietas-varietas padi baru yag juga lebih pendek, lebih tahan hama, serta dengan produktivitas yang jauh lebih tinggi dari varietas yang sebelumnya telah ada.   

(hlm.266)

Indonesia 1995:
Pertarungan Kekuasaan
dan Kebijakan

(Bersama R. William Liddle)

Ekonomi

Beberapa waktu kemudian, beberapa ekonom negeri ini yang pro-pasar mulai memperingatkan tentang meluasnya “keletihan deregulasi” di kalangan para pembuat kebijakan, namun pada Mei 1995, langkah-langkah baru yang substansial dijalankan dengan memotong cukai 6.030 item (64% dari jumlah total di mana cukai dikumpulkan) dan merancang rencana untuk mencapai tingkat yang lebih rendah pada tahun 2000. Pada November, PT Telkom (perusahaan telekomunikasi negara) sebagian diprivatisasi, mengikuti langkah yang sama yang sebelumnya diambil oleh PT Timah (tambang timah) dan PT Indosat (satelit komunikasi).

(hlm.267)

Benar bahwa paket deregulasi ekonomi tersebut cukup berjangkauan luas, namun jika dikaji lebih cermat, tampak jelas bahwa paket ini sejauh ini sejauh ini sebagian besar hanya menyentuh bagian “termudah” dari perekonomian, yakni sektor moneter. Sektor-sektor “rill” yang secara langsung terkait dengan persaingan, produksi, dan biaya tetap berada dalam cengkeraman regulasi, kartel, monopoli, restriksi, dan favoritisme pemerintah.     

(hlm.268)

 Pada awal tahun itu, Soeharto membuat suatu keputusan yang secara ekonomi bagus dengan menolak permintaan perlindungan bea 40% dari konsorsium Chandra Asri, suatu proyek olefin $1,2 miliar yang sebagian dimiliki oleh salah seorang anaknyadan Prajogo Pangestu, seorang pengusaha Cina-Indonesia yang memiliki hubungan dekat dengannya. Namun, keseluruhan struktur proteksi tersebut tetap utuh.

(hlm.269)

Namun, pada akhir 1995, terdapat indikasi, meskipun sangat tentatif, bahwa pendulum tersebut berbalik arah. Pada Desember, Soeharto menggabungkan Kementerian Industri dan Perdagangan, dan mengangkat mantan Menteri Industri Tungky Ariwibowo, seorang pendukung deregulasi, untuk mengetahui kementerian super tersebut. Hal ini berarti bahwa S. B. Joedono, seorang kolega dekat Habibie, pada dasarnya dipecat dari jabatannya sebagai Menteri Perdagangan. Hal ini sangat mengejutkan, karena ini adalah kali pertama dalam 30 tahun kekuasaan Soeharto seorang menteri dipecat di tengah-tengah masa jabatannya.

(hlm.275)

Sasono adalah aktivisi LSM yang telah lama malang-melintang dan seseorang yang meyakini teori dependensia–pernah menerjemahkan Development of Underdevelopment karya Andre Gunder Frank ke dalam bahasa Indonesia–yang ingin memperluas basis dukungan massa ICMI secara besar-besaran selama lima tahun berikutnya. Isu yang ia angkat adaah ekonomi kerakyatan yang sangat populis–sebuah frase yang memiliki gaung sejarah yang sangat kuat dari masa Indonesia pra-Soeharto.

Indonesia 1996:
Tekanan dari Atas dan Bawah

Politik Domestik

Pada 29 Mei 1997, pemerintah Order Baru akan menyelenggarakan pemilu parlementer lima tahunan yang keenam. Pemilu pertama, pada 1971, partai negara, Golkar (Golongan Karya) memperoleh mayoritas suara, yakni 63%. Dalam dua pemilu terakhir, pada 1987 dan 1992, Golkar berturut-turut mendapatkan 73% dan 68% suara.

(hlm.281)

Dalam pemilu 1977 dan 1982, partai non-pemerintah yang lain, PPP (Partai Persatuan Pembangunan), suatu gabungan karena paksaan dari 4 partai Islam pra-Orde Baru, dilihat sebagai ancaman terbesar terhadap dominasi Golkar. Namun pada 1984, PPP tiba-tiba menjadi macan kertas ketika kontituen terbesarnya, NU (Nahdlatul Ulama), tidak lagi terlibat dalam politik partisan demi untuk menjalankan strategi politik yang lebih fleksibel di belakang layar. Antara 1982 dan 1987, suara PPP merosot dari 28% menjadi 16%.

(hlm.283)

Dukungan Abdurrahman Wahid, pemimpin NU-sebagai partai politik yang independen, NU memenangkan 18% suara pada 1955 (satu-satunya masa di mana ada pemilu yang bebas di Indonesia) dan 1971–mungkin akan menghisap jutaan pemilih dari PPP dan Golkar.

(hlm.286)

Namun, sebagian besar pemimpin dan intelektual Islam, dan juga banyak pengamat lain, mengklaim bahwa persolan utama atau yang mendasari peristiwa-peristiwa itu bukanlah kebencian keagamaan melainkan kesenjangan ekonomi yang semakin besar.

(hlm.287)

“Kesenjangan terbesar ada di Jakarta dan Surabaya, bukan Tasikmalaya dan Situbondo…Selain itu, dalam kenyataan tidak ada peningkatan kesenjangan, paling tidak sebagaimana diukur melalui Indeks Gini, dalam 20 tahun terakhir.”

Ekonomi

Pada 1996, perekonomian tumbuh kira-kira sekitar 7,5%, lebih rendah dibanding angka pertumbuhan pada 1995, yakni 8,07%, namun masih sangat bagus, bahkan jika dilihat dari standar Asia Timur. Pertumbuhan tersebut didorong oleh investasi dalam negeri dan asing yang tinggi, dan hal ini adalah hasil dari serangkaian kebijakan liberalisasi perbankan dan perdagangan yang dijalankan oleh pemerintah  sejak akhir 1980-an. Inflasi menurun dari 7,9% menjadi sekitar 7,4%.

(hlm.288)

Pada pertengahan 1995, pemerintah menolak permintaan Chandra Asri akan perlindungan bea 40% untuk impor barang-barang modal bagi sebuah mega proyek yang bernilai $1,3 miliar. Namun, pada Januari tahun ini perusahaan tersebut secara diam-diam diberi perlindungan bea 25% hingga 2003.

(hlm.289)

Program kemitraan, yang dicanangkan pada Desember, membebankan pajak 2% pada individu-individu dan perusahaan-perusahaan yang memiliki pendapat lebih dari $45.000 setahun. Uang tersebut akan dikumpulkan oleh sebuah yayasan pribadi yang diketuai oleh Soeharto sendiri, dan siberluaskan kepada hampir 12 juta keluarga yang kurang mampu, yang masing-masing akan menerima sekitar $8. Banyak pengamat berkomentar bahwa program baru tersebut akan tidak efektif sebagai langkah untuk memerangi kemiskinan, dan secara substansial akan menambah jumlah pengeluaran off-budget yang telah sangat besar, tanpa ada pertanggungjawaban politik.

Dari berbagai peristiwa ini, kami menyimpulkan bahwa 1996 adalah tahun di mana pergeseran dari liberalisasi ekonomi ke intervensi negara menjadi semakin jelas.

Namun, dilihat baik dari jumlah maupun dari besarannya, sejak 1983 tidak pernah ada suatu masa di mana begitu banyak kebijakan nasionalis dan dirigis penting diadopsi hampir secara bersamaan.

(hlm.290)

Pada saat yang sama, presiden semakin sering mendengarkan gagasan-gagasan ekonomi nasionalis dan proteksionis Ginandjar Kartasasmita, kini kepala Bappenas, dan Menteri Riset dan Teknologi B. J. Habibie, yang mengepalai industri pesawat terbang dan industri-industri lain yang strategis milik negara.

(hlm.291)

Apa yang lebih penting, paling tidak dalam kaitannya dengan pandangan tentang Indonesia yang dimiliki orang Amerika, adalh “Indo-gate”: skandal uang ratusan ribu dollar yang bermasalah, jika bukan illegal, untuk membantu kampanye presiden Clinton oleh individu-individu yang memiliki hubungan dengan perusahaan-perusahaan Lippo Group yang berbasis di Indonesia. John Huang, mantan pejabat Lippo, dianggap terlibat dalam pengumpulan dan ilegal bagi Komite Nasional Demokratik pada saat bekerja di Departemen Perdagangan AS. Bos Lippo, Mochtar Riady, dituduh secara kotor berusaha untuk memengaruhi kebijakan AS terhadap Cina, Vietnam, dan Indonesia.

Demokrasi dan Kapitalisme:
Kasus Asia Timur dan Asia Tenggara

Korea Selatan dan Thailand sekarang ini demokratis. Indonesia, meskipun keterbukaan politik telah sering disuarakan selama hampir satu dekade, tidak mengalami gerakan politik yang rill ke arah demokrasi. Indonesia, dalam perbandingan ini, dengan demikian bisa dianggap sebagai kasus kontrol, yang sangat berguna bagi kita untuk memahami mengapa sebuah perekonomian kapitaslis yang berhasil gagal melakukan demokratisasi.

(hlm.294)

Argumen saya di sini adalah bahwa kapitalisme merupakan syarat yang diperlukan bagi demokrasi. Namun, ia bukan syarat yang memadai, karena demokratisasi memerlukan lebih dari sekadar infrastruktur sosio-ekonomi.

Ulasan Teoretis: Kapitalisme dan Demokrasi

Semua demokrasi adalah kapitalis. Tidak satu pun masyarakat sosialis yang pernah memiliki demokrasi.

Argumen pertama bertolak dari premis bahwa negara modern (otoriter atau tidak) merupakan “penggumpalan kekuasaan terbesar dalam sejarah manusia”.

(hlm.295)

Karena itu–karena demokrasi pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang membatasi kekuasaan negara–kapitalisme mendorong perkembangan demokrasi.

Jadi, sebagai mana yang dengan tepat dikemukakan Hayek, semakin Anda mensosialisasikan keseluruhan perekonomian, maka Anda akan semakin dekat pada “jalan perbudakan”.

(hlm.296)

Argumen kedua menjelaskan bahwa dari rahim kapitalisme kaum borjuis terlahir, dan menuntut hal-hal tertentu untuk berkembang, seprti legalitas dan usaha individu otonom.

(hlm.297)

Penting untuk dicatat bahwa para teoretisi demokratisasi belakangan ini tidak banyak bicara tentang kaum borjuis lagi. Sebaliknya, mereka menggantinya dengan jenis orang-orang baru dengan istilah baru: kelas menengah, masyarakat sipil.

Argumen ketiga menyatakan bahwa kapitalisme bekerja secara lebih baik dalam sebuah lingkungan politik yang rasional dan dapat diprediksikan. Ia menghendaki administrasi rasionallegal. Pemerintahan non-demokratis, dalam jangka panjang, dalam istilah Weber, akan merusak “dasar kalkulabilitas” yang sangat penting bagi kapitalisme.

  1.  “Rezim otoriter yang mengakui supremasi hukum bukan merupakan suatu oksimoron”. Singapura adalah contoh yang baik.

(hlm.298)

Diperlukan Lebih Dari Sekadar Kapitalisme

Kelemahan utama kaum tarnsisionis telah umum dikenal: mereka cemderung berbicara tentang terlalu banyak faktor. Ketika kita membaca karya-karya beberapa transisionis, akan sangat beruntung jika kita tidak tersesat dalam “belantara faktor”.

(hlm.299)

Di sini faktor-faktor yang saya yakin merupakan faktor-faktor yang paling penting dalam menjelaskan demokratisasi adalah kepemimpinan, lembaga politik (sistem kepartaian, parlemen), dan persoalan-persoalan sosial (termasuk perang dan perpecahan sosial.)

(hlm.300)

Tingkat Satu: Peran Kapitalisme

Sistem yang mereka ciptakan, meminjam istilah Robert Scalapino yang menarik, adalah sistem otoritarian pluralis.

Di Korea Selatan dan Thailand bukan itu yang terjadi. Kapitalisme, sebagaimana yang diperlihatkan oleh teori kita di atas, memelihara zona-zona sosial yang di dalamnya interaksi-interaksi yang otonom di antara berbagai orang kemungkinan.

(hlm.301)

Untuk berhasil dalam kehidupan mereka, mereka tidak harus menjadi pelayanan negara sebagaimana yang terjadi pada rakyat Cina dan Vietnam.

Dari 1965 hingga 1970,  rata-rata pertumbuhan GDP di Korea Selatan adalah 9,5%, Thailand 7,2% (dari 1980 hingga 1987 pertumbuhan tersebut adalah 8,6% dan 5,6%).

Pada akhir 1980-an, GNP per kapita Korea Selatan hampir mencapai $3.000, dan Thailand sedikit kurang dari $1.000.

(hlm.303)

Siapa orang-orang yang melawan para pelaku kudeta militer dari jalan-jalan Bangkok tersebut? Menurut sebuah survei, 60% bekerja di perusahaan-perusahaan swasta, 50% berpenghasilan sebulan di atas 10.000 baht. Pendeknya, mereka adalah para anggota kelas menengah.

Demikianlah kelas menengah di Thailand dan Korea Selatan membantu mendorong demokrasi berkembang.

(hlm.308)

Indonesia masih munculnya seorang pemimpin seperti Roh Tae-woo. Hingga dua atau tiga tahun yang lalu sebagian orang berharap bahwa figure-figur kuat seperti Benny Moerdani, atau Eddy Soedradjat, atau Rudini, akan menjadi seorang pembaharu dan, dari dalam, mengikis kekuasaan Soeharto dan, dengan bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan demokratis di luar pemerintah, menggiring negeri itu menuju jalan “transplacement”. Sekarang kita sadat bahwa harapan tersebut hanyalah ilusi.

Max Weber dan Kapitalisme

Menyangkut asal-usul kapitalisme, apa yang ingin dilakukan Weber adalah membalikkan argumen-argumen Karl Marx. Marx ingin menjelaskan perkembangan kapitalisme (dan sejarah) dari sudut pandang materialis. Bagi Marx, kapitalisme terutama adalah suatu sistem ekonomi, dan kelahirannya merupakan hasil dari transformasi dalam bentuk dan hubungan produksi. Meskipun paragraf terakhir dari buku Weber The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism merupakan suatu jenis apologi (ia tidak ingin dipahami sebagai orang yang sepenuhnya membalikkan posisi Marx), implikasi dari argumen-argumen Weber sepenuhnya membalikkan perspektif materialis Marx.

(hlm.310)

Apa yang baru di Eropa setelah revolusi Protestan adalah suatu sistem usaha bebas yang dijalankan melalui mekanisme-mekanisme rasional (pembukuan dengan entri ganda, organisasi yang impersonal, dan sebagianya) dan melalui suatu bentuk tindakan manusia yang bersumber dari semangat ilahiah (asketisme).

Hinduisme, Buddhisme, konfusianisme, katolisisme, Islamisme: agama-agama ini telah ada ratusan atau ribuan tahun sebelum lahirnya Protestanisme. Namun, hanya yang terakhir ini yang mampu ‘menemukan’ cara baru dalam beribadah kepada Tuhannya.

(hlm.311)

Ia memberi suatu pembenaran ilahiah bagi urusan-urusan duniawi, yakni mencari uang dan bekerja keras untuk mendapatkan uang.

Dengan memahami kapitalisme dalam cara ini, Weber mampu menjelaskan mengapa, misalnya, Cina gagal berpindah dari sistem ekonomi feudal ke sistem ekonomi modern (kapitalisme), meski ia mempunyai tradisi perdagangan (antarbenua) yang begitu panjang (yakni, perdagangan sutra). Gagasan ini, secara sederhana dan jelas, juga memberi Weber perspektif baru tentang pentingnya agama, etika, serta suatu bentuk rasionalitas dalam proses peruabahan ekonomi dan dalam pembentukan dunia modern.

Kapitalisme, setelah kemunculannya, tumbuh seperti suatu mesin otomatis. Ia menjadi impersonal, dan mampu berjalan sendiri–ia tidak lagi membutuhkan “ibu”-nya (yakni semangat keagamaan). Bagi Weber, permasalahanya adalah bahwa tanpa ibunya, kapitalisme semata-mata menjadi suatu sistem ekonomi, dan tidak lagi mempunyai dasar etis atau spiritual atau moral.

(hlm.312)

Tidak seperti Marx, yang menganggap persoalan utama kapitalisme adalah adanya penindasan oleh satu kelas atas kelas atas kelas yang lainnya, Weber melihat persoalan kapitalisme terutama adalah persoalan moral.

Di sini cukup dikatakan bahwa usaha Weber untuk menjelaskan kapitalisme tetap merupakan suatu karya klasik, suatu karya besar yang membantu kita lebih memahami kekuatan ekonomi yang dampaknya dalam kehidupan manusia tidak tertandingi oleh kekuatan lain apapun yang kita ketahui.

Nabi yang Gagal

Apa yang salah dengan Marx dan Marxisme?

Tak diragukan, Marx adalah seorang teoretisi sosial paling besar yang pernah muncul di dunia: jutaan orang mengorbankan hidupnya untuk pandangan-pandangan dan ramalan-ramalannya; berbagai negara terlibat dalam perang untuk membela atau menyangkal gagasan-gagasanya.

Bagi banyak pengikut dogmatisnya, Marx hanya bisa di bandingkan bukan dengan pemikir-pemikir sosial lain, melainkan dengan Muhammad, Yesus, dan Buddha Gautama: pengetahuan yang disingkapkan oleh Marx adalah benar, terlepas dari masa, konteks dan fakta-fakta.

(hlm.314)

Bagi Marx, kapitalisme, sebagaimana yang ia lihat pada pertengahan abad ke-19, sedang mengalami suatu proses penghancuran-diri.

Dari Manifesto dan Capital kita dapat melihat bahwa bagi Marx, terdapat dua gambaran dari dialektika penghancuran diri kapitalis ini. Pertama bersifat sosiologis, kedua bersifat ekonomi.

(hlm.316)

Inti dari teori ekonomi Marx pada dasarnya bersandar pada teori tentang nilai lebih dan menurunya angka keuntungan. Dalam sebuah sistem akumulasi modal yang kompetitif, sang kapitalis hanya dapat mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri jika ia terus menekan upah para pekerjanya.

Proses menurunya angka keuntungan tersebut berakhir dengan suatu malapetaka, sebuah revolusi besar, ketika “para penjarah dijarah”.

(hlm.317)

Apa kelemahan-kelemahan gagasan-gagasan Marx?

Gagasan-gagasan sosiologis Marx terlalu deterministi: baginya, wilayah gagasan, kesadaran tidak penting. Dalam Preface is menulis, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, namun, sebaliknya, keberadaan sosial mereka [bentuk dan hubungan-hubungan produksi] yang menentukan kesadaran merek.”

 Dari banyak kasus sejarah kita tahu bahwa dalil ini salah. Nasionalisme (yang merupakan suatu kecenderungan mental dalam wilayah budaya), misalnya, penting. Berbagai gelombang nasionalisme di Eropa, misalnya, menjelaskan mengapa para pekerja di Jerman mendukung Hitler dalam melancarkan perang melawan Uni Soviet (“kekaisaran ilahiah kaum pekrja”).

Selain itu, cita-cita pekerja, tidak ditentukan oleh “keberadaan sosial” mereka. Jika Marx benar, apa yang diimpikan pekerja tidak lain adalah menjadi seorang pemilik, seorang borjuis, besar atau kecil. Bagi Marx, seorang pekerja yang “sadar” harus memimpikan sebuah revolusi besar.

Kenyataan bahwa sebagian besar pekerja di negara-negara kapitalis maju sekarang ini adalah pemilik bersama (yakni, kaum kapitalis) menunjukkan bahwa apa yang terjadi bukan proletariatisasi melainkan borjuisasi pekerja.

(hlm.318)

Teori nilainya bersumber dari teori Ricardo.

Teori tentang nilai lebih tersebut didasarkan pada asumsi bahwa nilai (nilai tenaga kerja) adalah apa yang penting jika kita menghitung harga sebuah komoditas. Masalahnya adalah apa itu nilai? Marx, sebagaimana yang dijelaskan oleh Robert Heilbroner dan Joseph Schumpeter, tidak pernah menulis secara benar-benar jelas apa yang ia maksud dengan nilai.

Satu hal yang sangat jelas: bagi Marx, nilai tenaga kerja dihitung hanya melalui jam yang dihabiskan di tempat kerja. Ini merupakan ilmu ekonomi yang sangat buruk, karena sebagaimana yang kita ketahui dalam ekonomi modern, jumlah jam kerja mungkin merupakan faktor yang paling kurang penting dalam menentukan gaji seorang pekerja. Apa yang lebih penting dalam menentukan gaji seorang pekerja. Apa yang lebih penting adalah pendidikan profesional, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman si pekerja. Skala produksi dan pasar juga sangat penting, jauh lebih penting ketimbang jumlah jam kerja dalam menentukan seberapa banyak uang yang bisa dibawa kembali si pekerja ke keluarganya.

(hlm.319)

Ia gagal melihat bahwa banyak faktor lain jauh lebih penting. Diperkenalkannya teknologi baru dalam produksi dapat mengurangi biaya produksi, dan dengan demikian meningkatkan upah pekerja.

Dengan kata lain, proses menurunnya laba gagal terwujud karena Marx tidak memahami proses kerja kapitalisme. Bagi Marx, ekonomi kapitalis pada dasarnya tidak berubah. Namun, dalam kenyatannya, kapitalisme merupakan suatu sistem yang paling dinamis yang pernah ada di dunia.

Marxisme bukan hanya menghasilkan ekonomi yang tidak dapat dijalankan, melainkan juga sebuah negara totaliter.

Untuk menghamparkan dasar bagi masyarakat komunis, kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi harus dihapuskan.

(hlm.320)

Marx tidak pernah memberi tahu kita apa yang harus dilakukan setelah kepemilikan prinbadi dihapuskan.

Mengapa menghapuskan kepemilikan pribadi berbahaya? Sebagaimana yang dijelaskan Hegel, Locke, dan Hume, kepemilikan pribadi (teruatama atas sarana-sarana produksi) merupakan salah satu dasar masyarakat sipil yang paling penting. Hal itu memberi manusia, menurut Hume, suatu standar keadilan–“milikku” dan “milikmu” menentuka lingkup tindakan yang boleh atau tidak boleh dilakukan kepada orang lain. Persoalan hak-hak (politik) hanya bisa dipecahkan setelah orang-orang menyetujui apa yang merupakan “milikku” dan “milikmu” dalam masyarakat.

Selain itu, kepemilikan pribadi memberikan kemungkinan bagi manusia untuk hidup secara mandiri: hidup tanpa bergantung pada otoritas-otoritas politik, yakni negara.

(hlm.321)

Dalam masyarakat modern, komunis atau kapitalis, tidak ada jalan ketiga kepemilikan: Anda memberikan hak warganegara untuk memiliki bisnis mereka sendiri, atau Anda memberikan wewenang kepada negara untuk mengontrol semua hal. Kerjasama para pekerja hanya mungkin terjadi dalam sebuah unit kecil dari suatu masyarakat yang tertutup, bukan dalam sebuah masyarakat modern yang terbuka.

Dan begitu negara mengontrol sarana-sarana produksi, maka berkuasalah para birokrat.

Sang birokrat tersebut akan menjadi kelas baru, kelas penindas.

Karena tidak ada pemisahan antara kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi, masyarakat tidak memiliki dasar untuk melawan kontrol total dari negara. Inilah yang menjelaskan mengapa negara Soviet, dengan semua kebohongan, kemunafikan, dan penindasannya, bisa bertahan selama lebih dari tujuh dekade.

Roti sebagai Senjata

“KEKUASAAN,” kata E. H. Carr, “adalah satu dan tak-terbagi” (1946: 132). Kekuasaan ekonomi dan kekuatam militer hanya merupakan dua pengejawantahan yang berbeda dari hal yang sama: mereka adalah elemen-elemen dari kekuasaan politik.

(hlm.323)

  1. Hufbauer dan Schott menjelaskan bahwa dari 103 kasus sanksi ekonomi antara 1914 dan 1984, hanya sepertiga lebih sedikit dari kasus-kasus tersebut yang memperlihatkan bahwa sanksi ekonomi cukup berpengaruh dalam mewujudkan suatu tujuan kebijakan luar negeri.

(hlm.325)

Secara ekonomi , ia merupakan satu-satunya negara yang berhasil berpindah dari sosialisme ke kapitalisme. Jika keberhasilan ini berlanjut sepuluh tahun berikutnya, kelas menengahnya akan memiliki basis yang kuat untuk membangun sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Nah, jika kemudian di Cina terjadi Tiananmen bagian II,  apakah kita harus menjatuhkan sanksi konomi pada negara ini, suatu hal yang sangat mungkin akan mengancam keberhasilan ekonomi yang diperoleh dua dekade terakhir?.

Kekuatan ekonomi mungkin kurang efektif, namun kekuatan militer terlalu berbahaya. Selain itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Richard Rosencrance (1986), dengan keadaan perekonomian dunia yang semakin saling bergantung satu sama lain, sebuah negara bisa sangat kuat dan berpengaruh di panggung dunia dengan hanya menggunakan sarana-sarana ekonomi.

(hlm.326)

Namun sejak Vietnam, TV mengubah abstraksi penderitaan manusia ini menjadi realitas. Dari kamar mereka, orang-orang kini melihat dengan mata sendiri betapa mengerikan dan menjijikan kehancuran yang disebabkan oleh kekuasaan militer.

Anggur Lama dalam Botol Baru

Kalangan realis, mulai dari Thucydides hingga Pangeran Henry de Rohan, mulai dari Matternich hingga Henry Kissinger, selalu percaya bahwa “sistem internasional itu anarkis, tanpa otoritas menyeluruh yang memberikan keamanan dan keteraturan” (Zakaria, 1993). Dalam keadaan anarkis ini, masing-masing negara–aktor utama–dengan demikian harus bersandar pada dirinya sendiri untuk bertahan dan berkembang. Kepentingan negara merupakan sesuatu yang utama dan konstan; musuh dan shabat hanya bersifat sementara . akumulasi kekuasaan adalah kepentingan obyektif negara.

Sebaliknya, idealisme, melihat negara sebagai pengejawantahan ideal-ideal moral.

(hm.328)

Memang, merkantilisme, tidak seperti Marxisme dan liberalism, bukan merupakan suatu kumpulan teori ekonomi dan politik yang koheren dan sistematis. Ia (hanya) “serangkaian tema atau sikap” (Gilpin, 1987: 31).

(hlm.329)

Marxisme tentu saja merupakan doktrin yang lebih sistematis dan menyeluru dibanding merkantilisme. Marxisme adalah sebuah cara pandang, sebuah teori besar, sebuah teori besar, yang memuat suatu posisi filosofi yang jelas tentang hubungan bukan saja antar-negara, melainkan juga antara manusia dan masyarakat.

Dengan demikian, di sini kita bisa berkata bahwa kaum Marxis-Leninis, seperti kaum merkantilisme dan Marxisme, menerima doktrin lama kaum realis.

(hlm330)

Liberalisme, tidak seperti merkantilisme dan Marxisme, datang dari arah yang berbeda. Sebuah doktrin humanistik, liberalism percaya bahwa manusia itu rasional: mereka tahu apa yang baik bagi mereka sendiri. Sebagai sebuah doktrin ekonomi, ia percaya bahwa pasar, jika dibiarkan bebas, akan menguntungkan semua pihak. Mulai dari Smith, Hayek, hingga Friedman, kaum liberal percaya bahwa perdagangan bebas merupakan satu-satunya jalan bagi dunia untuk meningkatkan kekayaannya.

(hlm.331)

Kenichi Ohmae (1990), misalnya, menyatakan bahwa dunia kini menjadi “tidak terbatas” (dalam hal keuangan dan produksi), dank karena itu sulit untuk tidak percaya bahwa kemampuan negara untuk menjalankan kebijakan telah sangat terkikis.

(hlm.335)

Reformasi Ekonomi
di Cina dan Uni Soviet:
Sebuah Perbandingan

Dalam model Stalinis tersebut, prioritas ekonomi adalah memperluas industri-industri berat yang memproduksi bahan-bahan mentah dan mesin–batu bara, baja, traktor, truk, dll. Industri-industri konsumen dan jasa hampir sepenuhnnya diabaikan (Goldman, 1983). Sang perencana pusat negara, Gosplan, merancang hampir semua target hasil kotor (val) yang akan diproduksi oleh berbagai industri. Para manajer dalam industri-industri  tersebut tidak banyak memiliki otonomi untuk melakukan apa yang mereka anggap tepat untuk meningkatkan bisnis mereka.

Harga ditetapkan oleh Goskomtsen. Setiap tahun, menurut Shemelev dan Popov (1989: 167), Goskomtsen harus menyetujui 200.000 harga dan tarif barang-barang dan jasa. Karena harga dalam model Stalinis ini bukan merupakan cerminan dari dinamika hubungan antara permintaan dan penawaran, tidak terdapat metode yang jelas bagaimana para birokrat di Goskomtsen bekerja. Kata kunci mereka adalah “harga-harga yang diatur secara sosial”. Namun tak seorang pun yang benar-benar memahami apa maksudnya. Menurut Daniel Bell (1991: 52), apa yang sesungguhnya dilakukan oleh para birokat tersebut adalah membuat “perkiraan-perkiraan liar yang didasarkan pada jenis aritmatika ekonomi primitive, suatu sudut pandang yang sama ‘rumit’-nya sebagaimana pernyataan Lenin… bahwa menjalankan administrasi negara sama kompleksnya seperti menjalankan kantor pos!”

Sektor-sektor pertanian dibagi menjadi perkebunan kolektif dan negara. Para pekerja di perkebuanan-perkebunan negara (sovkhozy) dijamin dengan gaji yang pasti, sedangkan di perkebunan-perkebunan kolektif (kolkhozy) mereka bisa mendapatkan bonus jika target hasil bisa ditingkatkan.

(hlm.336)

Harga hasil-hasil pertanian karena itu dipatok sangat rendah agar para pekerja dikota-kota bisa mengkosumsinya. Dengan kata lain, para petani dikorbankan. Mereka harus menggarap tanah yang bukan milik mereka sendiri, memberi makan sapi-sapi yang bukan milik siapapun, di bawah bimbingan ketat para manajer perkebunan, dengan gaji yang rendah (lihat Goldman 1983: 67-87; Desai 1989: 15-19).

Di Cina, model ekonomi Stalinis ini merupakan cetak-biru bagi Rencana Lima Pertama-nya (FFYP) pada pertengahan 1950-an, yang menjadi dasar bagi perkembangan perekonomian berikutnya.

(hlm.337)

38 persen investasi modal dari bujet negara dialokasikan ke kontruksi industri-industri berat–di Uni Soviet alokasi ini 30%. Dan kepemilikan pribadi di sektor industri kota sepenuhnya diberikan kepada negara dan perkumpulan-perkumpulan pekerja pada 1956 (Riskin, 1987).

Pada 1957, ketika proses kolektivasi ini akhirnya selesai, terdapat total 760.000 hingga 800.000 koperasi perkebunan, masing-masing terdiri atas 160 keluarga, atau 600 hingga 700 orang (Hsu 1990: 653). Diperkebunan-perkebunan kolektif ini keputusan dalam hal produksi tidak ada pada para petani melainkan pada para kader partai dan pejabat pemerintah. Di sini, sebagaimana dijelaskan Gordon White (1987: 414), ketika para petani tersebut tidak menyukai keputusan para kader atau pejabat lokal, “mereka biasanya hanya dapat menggunakan metode-metode perlawanan informal (menggerutu sendiri atau semi-publik, malas bekerja, pencurian kecil-kecilan, dan penghindaran kerja)”.

(hlm.338)

Dengan demikian, model Stalinis tersebut dibalikkan. Karena itu, dari 1963 hingga 1965 adil pertanian terhadap pembentukkan modal naik menjadi 18,8% dari hanya 7,8% selama periode FFYP (Riskin, 1987: 152). Dari eksperimen “kebijakan-kebijakan ekonomi baru” iniah reformasi pada akhir 1970-an tersebut menampakkan hasilnya, sebagimana yang akan saya jabarkan nanti.

(hlm.339)

Namun sampai tingkat tertentu kita bisa berkata bahwa, terlepas dari semangat revolusioner dan egaliternya, reaksi Maois tersebut gagal melucuti ciri-ciri dasar model Stalinis tersebut.

Reformasi Ekonomi

Di Uni Soviet, sejak pertengahan 1960-an, perekonomian hampir berhenti tumbuh.

(hlm.340)

Dan pada akhir 1970-an, seperti yang ditulis oleh Paul Kennedy (1987: 491), Uni Soviet telah menjadi salah satu importir biji padi terbesar di dunia (40 juta ton per tahun).

Pada 1980-an, angka kematian bayi di negara ini adalah 27,7–tertinggi di kalangan negara-negara industri.

Deng tidak menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomu separah yang dihadapi Gorbachev.

(hlm.342)

Dengan kata lain, para petani diberi hak untuk “memiliki” tanah dan diberi tanggungjawab penuh untuk menjalankan keseluruhan proses produksi (Hsu, 1990: 844)

Pada 1984, 98% keluarga petani termasuk dalam sistem pertanggungjawaban ini.

Hasil reformasi tersebut sangat spektakuler. Dari 1979 hingga 1985, nilai kotor hasil pertanian naik 10,5%  per tahun. Pada 1984, negeri itu menghasilkan 407 juta ton padi, suatu rekor dalam sejarahnya. Dan menurut Paul Kennedy, “antara 1979 dan 1983–ketika banyak negara di dunia mengalami depresi ekonomi–800 juta orang Cina di wilayah pedesaan meningkat penghasilannya sekitar 70%” (1987:  452).

Namun, seperti dikatakan oleh Hendrick Smith (1991: 210), di Uni Soviet “sektor pertanian merupakan sebuah rawa yang stagnan, sebuah simbol yang sangat jelas dari apa yang salah dengan kebijakan ekonomi Soviet”. Ia pernah menjadi menteri pertanian: ia tahu bahwa pada 1982 setengah dari 50.000 negara bagian dan perkebunan-perkebunan kolektif mengalami kerugian.

(hlm.343)

Langkah penting pertamnya adalah membentuk Komite Negara untuk Agroindustri–sebuah kementerian-super baru–yang mengkoordinasi 5 kementerian yang lain.

Memang, setelah menyadari bahwa reformasi yang ia jalankan gagal, Gorbachev membubarkan kementerian-super tersebut pada 15 Maret 1989, dan menyerukan dilaksanaknnya reformasi baru yang secara berharap akan membawa sektor-sektor pertanian ke sebuah sistem pasar baru yang akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada para petani untuk memilih dan menjual produk-produk mereka.

Harga

Untuk melihat reformasi berlanjaan di Cina dan Uni Soviet, kasus menarik berikutnya adalah reformasi harga.

(hlm.345)

Melakukan penghematan ketika persoalan menjadi terlalu berbahaya, dan maju terus ketika persoalan terkendalikan.

Di Uni Soviet, tidak ada reformasi harga yang signifikan.

Harga roti tidak berubah sejak 1952, dan eceran resmi dari negara atas daging dan produk-produk harian tidak berubah sejak 1962. Selain itu, pada akhir 1980-an, sebagaimana yang digambarkan Shemelev, di Uni Soviet ada 25 juta harga yang berbeda yang berada dalam sistem harga yang tersentralisasi, yang perlu diatur ke dalam 25 juta harga yang berbeda oleh Goskomtsen (Hewett dan Winston, ed., 1991: 153). Sangat jelas bahwa tidak banyak hal yang dapat diperbaiki sebelum mereformasi sistem harga yang tak rasional ini.

Selain itu, ia secara membingungkan menyatakan bahwa penetapan harga harus mencerminkan “biaya sosial yang dibutuhkan”.

(hlm.346)

“Membentuk suatu campuran mustahil dari prinsip-prinsip yang saling bertentangan” (1989: 132).

Industri dan Perdagangan

Pertama, membuat perusahaan-perusahaan negara lebih responsif terhadap realitas perdagangan yang terkait dengan kualitas dan tuntunan pasar.

(hlm.347)

Langkah kedua yang dijalankan oleh para pembaharu tersebut adalah merevitalisasi perekonomian kota dengan memberi prioritas yang lebih besar pada industri konsumen, industri ringan, dan industri jasa agar lebih maju.

Langkah ketiga dalam reformasi ini adalah dijalankannya Kebijakan Pintu Terbuka

(hlm.348)

Sejak 1978 hasil industry tumbuh sekitar 10% per tahun. Antara 1978 dan 1986, perdagangan Cina dengan negara-negara lain meningkat 2,5 kali lipat. Andil barang-barang manufaktur dalam komposisi ekspornya meningkat dari 55,1 pada 1978 menjadi 62,5 pada 1986. Pada 1978 perdagangan Cina dengan AS adalah -US$541 juta. (defisit), pada 1984 menjadi US$320 juta (surplus). Andil industri jasa dalam GNP meningkat dari 18,7% pada 1980 menjadi 21,5% pada 1985, dan pada tahun ini juga industry ini mempekerjakan 73,68 juta orang (lihat Hsu, 1990; Harding 1987).

(hlm.352)

Meskipun reformasi politik yang ia lakukan mungkin secara moral tampak bagus, hal itu bukan merupakan suatu langkah taktis, karena Gorbachev membutuhkan kekuasaan yang kuat dan otoriter untuk menanamkan program-program baru pada sistem ekonomi yang using dan lapuk.

(hlm.353)

Meskipun Deng tidak bergerak sejauh Gorbachev dalam meliberalisasi sistem politi dengan mendorong sebuah pemilu umum yang “bebas”, misalnya–seperti yang dilakukan Gorbachev pada akhir 1980-an–reformasi yang ia lakukan bagaimanapun juga merupakan suatu langkah penting dalam mengubah Cina menjadi, dalam bahasa Harding, sebuah sistem otoriter konsultatif.

Bagi saya, penjelasan yang lebih tepat mungkin harus melihat kenyataan bahwa di Uni Soviet, ketika Gorbachev dan para pembaharu lain berkuasa, negara itu telah memahami 25 tahun Stalinisme yang begitu mengakar, dengan tingkat ketetatan ideologis yang sangat tinggi, di bawah Stalin dan 20 tahun Stalinisme yang stagnan di bawah Brezhnev.

(hlm.355)

Namun dari sudut pandang ekonomi, kata-kata ini tidak memancing apa-apa kecuali kebingungan.

Sebaliknya, di Cina, Deng adalah seorang pemimpin yang bisa melampaui ortodiksi ideologis dan mengatasi birokrasi yang ada–ia pernah menjadi korban ortodiksi ideologis ketika ia mencoba, bersama Liu Shaoqi, untuk memodernisasi sistem Stalinis tersebut pada awal 1960-an. Ia ambil bagian dalam revolusi dan, tidak seperti Gorbachev, tidak menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai seorang birokrat atau seorang aparat partai. Ketika ia lagi berkuasa pada akhir 1970-an, setelah melalui suatu perjuangan keras untuk bertahan hidup, ia menjadi tahu bagaimana mengesampingkan ortodoksi dan menempatkan ideology sebagai hal sekunder untuk mencapai tujuan-tujuan praktisnya.

(hlm.356)

Deng sang pembaharu adalah Deng sang pragmatis yang, tidak seperti Gorbachev, dengan jelas mendefinisikan apa yang ingin ia lakukan terhadap negerinya. Pada Desembe 1979, PM Jepang. Masayoshi Ohira, yang sedang berkunjung bertanya: “Apa tujuan Empat Modernisasi anda?” Deng dengan cepat menjawab bahwa tujuannya adalah melipat-empatkan GNP saat itu dari US$250 miliar menjadi US$1 triliun pada akhir abad, dengan GNP per kapita US$1.000 (Hsu, 1990: 841-842). Jawaban tersebut mungkin terlalu sederhana, namun bagaimanapun juga hal itu memperlihatkan suatu determinisme untuk mencapai suatu tujuan praktis yang jelas, tanpa secara kabur mencampuradukkannya dengan ortodoksi ideologis dan retorika muluk-muluk, seperti yang dilakukan oleh hampir setiap pemimpin komunis.

(hlm.358)

Dan sejarah, seperti yang kita tahu, tidak berjalan hanya dengan satu kaki.

(hlm.361)

The Brave New World

Jika Bundesbank Jerman, misalnya, mengetatkan pasokan uangnya untuk meredam memasanasnya perekonomian, akan ada begitu banyak dana dari luar negeeriyang bisa diperoleh oleh suatu perusahaan domestic yang sehat tanpa banyak kesulitan (di Jepang saja, tabungan pribadi dan sektor korporasi menghasilkan surplus modal hasil dari US$1 miliar setiap hari, yang tenru saja harus diinvestasikan di suatu tempat).

(hlm.363)

Apakah negara, yang diambil kontrolnya atas kemampuannya yang pernah ia miliki, ditakdirkan oleh perekonomian global untuk hanya menjadi pemain kelas-dua?

Tidak ada jawaban yang mudah atas pertayaan-pertanyaanyaitu. Paul Kennedy, Robert Gilpin, dan Lester Thurow misalnya, menjelaskan bahwa negara nasional sebagai kekuatan dominan sebagai kekuatan dominan di dunia tidak akan berubah dalam jangka pendek. Negara, sebabagaimana yang dikatakan Kennedy, tetap merupakan “lokus utama identitas” dari sebagian besar orang: “terlepas dari siapa majikan mereka dan apa pekerjaan mereka, dan bisa melakukan perjalanan hanya jika mendapatkan paspor darinya” (1993: 134).

Merosotnya
Third-worldism

“Kegagalan besar” komunisme dan dampak-dampak meruapakan salah satu peristiwa politik dan ekonomi yang paling penting di abad kita.

(hlm.366)

Munculnya Third-Worldism

Dekade 1950-an membuktikkan bahwa optimisme ini hanyalah ilusi: alih-alih modernisasi ekonomi, apa yang dialami negara-negara ini adalah kemerosotan ekonomi.

Dalam hal ini, apa yang diinginkan Dunia Ketiga tersebut adalah suatu penjelasan yang sistematis tentang kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka yang berkanjang. Ia memerlukan suatu “ideologi” untuk menjelaskan “mengapa kemerdekaan politik mereka dari berbagai kesulitan mereka” (Bissel, 1990:24). Selain itu, dalam hal hubungannya dengan negara-negara lain, para pemimpin Dunia Ketiga membutuhkan suatu agenda internasional yang jelas yang bisa menarik perhatian dunia pada berbagai penderitaan yang dipikul oleh rakyat mereka.

(hlm.367)

Bagi aliran dependensia–yang mendasarkan banyak asumsinya terutama pada gagasan-gagasan Marx dan Lenin–kapitalisme global, dengan Utara sebagai intinya, menciptakan hubungan ketergantungan yang, dalam rumusan Gunder Frank, hanya meningkatkan keterbelakangan Dunia Ketiga.

(hlm.369)

Selain itu, teori-teori ini bisa memuaskan hasrat Dunia Ketiga untuk memahami dirinya sendiri sebagai entitas yang dihisap, dan yang kemiskinan dan ketidakberdayaannya bukan disebabkan oleh dirinya sendiri melainkan orang lain.

Tentu saja terdapat beberapa negara, terutama di Asia Timur dan Tenggara, yang tidak menerima gagasan ThirdWorldism ini dari awal (misalnya, singapura, Korea Selatan, Hong Kong, Thailand). Namun, gagasan ini tersebar luas mulai dari India dan Indonesia hingga Brasil, Argentina, dan Tanzania–di beberapa negara (misalnya India, Brasil, dan Tanzania)  gagasan ini diterapkan sepenuhnya; di beberapa negara yang lain (misalnya Indonesia dan Malaysia) gagasan ini umumnya digunakan sebagai retorika oleh para penguasa untuk memperluas dukungan politik dalam negeri dan memperkuat posisi internasionalnya.

(hlm.370)

Merosotnya Third-Worldism

Pada akhir 1970-an keaadaan mulai berubah. Pada masa ini menjadi lebih jelas bahwa Third-Worldism tersebut tidak membawa Dunia Ketiga ke mana-mana.

(hlm.371)

Popularitasnya yang begitu luas di Dunia Ketiga, sebagaimana yang dijelaskan Peter Berger (1986), pada dasarnya bukan karena keunggulan-keunggulan teoretisnya, melainkan karena alasan-alasan di luar lingkup wacana akademis.

Jika akar-akar keterbelakangan tersebut dicari di luar masyarakat sendiri, seseorang seringkali terhindarkan dari intropeksi-diri yang menyakitkan (dan memalukan), dan seseorang kambing-hitam eksternal yang sangat memuaskan. Kombinasi motif politik dan psikologis ini cukup memadai untuk menjelaskan popularitas pandangan Third-Worldism ini di Dunia Ketiga (Berger, 1968: 128).

Namun bagaimana jika seorang kapitalis New York mengumpulkan modalnya di Eropa? Bagaimana jika seorang kapitalis Eropa atau Singapura berinvestasi di New York, apakah itu imperialistik?

(hlm.372)

Bagaimana dengan Jepang? “Jika memang ada korban imperialisme,” kata Beger, “itu adalah Jepang” (1986: 128). Keberhasilan modernisasi pertamanya terjadi selama masa Meiji–hal ini merupakan hasil langsung dari agresi imperalis, ketika Kommodor Perry pada 1853, dengan todongan senjata, memaksa rakyat Jepang untuk memaksa rakyat Jepang untuk membuka pintu mereka bagi penetrasi kapitalis. Mukzijat kedua Jepang terjadi setelah Perang Dunia II, di bawah “kolonialisme” militer Amerika, dan di bawah bantuan langsing dan berskala-besar ekonomi Amerika. Mengapa hal ini terjadi? Jika hubungan ketergantungan  memang mencegah suatu negara dari modernisasi ekonomi, bukankah kita sekarang seharusnya melihat Jepang sebagai salah satu negara termiskin di dunia?

Ia melihat hubungan dengan sebagai suatu hubungan zero-sum. Ia juga mendorong mentalis anti-bisnis dan anti-perdagangan di kalangan politisi dan perencana ekonomi di Dunia Ketiga gagal mengakui bahwa di zaman kita perdagangan internasional dan pasar internasional merupakan potensi yang menunggu untuk dimanfaatkan dan dijelajahi denga kreativitas kita.

(hlm.373)

Dengan kata lain, Third-Worldism menanamkan pesimisme, buka optimisme.

Secara teoretis, harga produk-produk primer cenderung menurun dari waktu ke waktu, bukan terutama karena monopoli di Utara atau karena “hubungan imperialistik  anatara pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan”, melainkan karena perubahan teknologi dan perkembangan industri.

Cacat lain dari Third-Worldism bisa dilihat pada anjurannya untuk melakukan nasinalisasi dan penggantian-impor. Kedua langkah ini, jika sepenuhnya dijalankan, hanya akan sangat memperbesar campur-tangan birokrasi. Hal ini akan menciptakan sebuah perkonomian yang sangat tidak efisien. Dalam hal pengganti impor, tidak ada penjelasan yang meyakinkan yang diberikan oleh Third-Worldism. Selain itu, seluruh perusahaan pengganti-impor pada dasarnya sangat mahal bagi konsumen maupun pemerintah–yang  terakhir ini harus mengambil risiko mengalami defisit bujet yang sangat besar untuk membayar perusahaan ini.

(hlm.374)

Namun, keberhasilan ini ternyata tidak bertahan lama: pada 1980-an perekonomian negara-negara ini runtuh (lihatt Grimmond 1993; Crook 1989).

(hlm.375)

Selama 1960-an an 1970-an, sementara sebagian besar perekonomian Dunia Ketiga terseok-seok, negara-negara Asia Timur dan Tenggara ini mengalami angka pertumbuan yang menakjubkan (sekitar 6-7% per tahun 1970-an, dan 8-9% pada paruh kedua 1980-an). Negara-negara ini, yang secara konsisten kebijakan berorientasi ekspor, memperlihatkan kepada dunia bahwa Selatan atau Dunia Ketiga bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari pandanganngan dan hubungan dekat dengan kapitalisme global.

Masa Depan

Di sini kebijakan-kebijakan seperti deregulasi, devaluasi, serta debirokratisasi kini dijalankan untuk mengikis warisan-warisan lama Third-Worldism. Kini mereka lebih membuka diri kepda dunia.

(hlm.376)

Jika hal ini tidak segera memperbaiki standar hidup orang-orang di jalanan, pemerintah akan ditumbangkan.

Apa yang Harus Kita Lakukan
Bagi Dunia Ketiga?

Nagara-negara industri menghasilkan   penghasilan dunia (The Economist, 25/09/1993).

(hlm.378)

Perdagangan, sebagaimana yang diyakini kaum liberal, merupakan suatu permainan positive-sum (Gilpin, 1987: 172-180).

Negara-negara paling berhasil di Dunia Ketiga (yakni negara besar dan kecil Asia Timur dan Tenggara) adalah negara-negara yang lebih bergantung pada ekspor barang dan jasa ke negara-negara industry (Harris, 1986).

(hlm.380)

Para investor swasta tidak akan masuk ke negara-negara di mana terdapat terlalu banyak aturan “anti bisnis” yang diberlakukan oleh pemerintah yang sangat aktivis.

(hlm.381)

Daam dunia perdagangan liberal, mereka yang memiliki kinerja yang lebih baik akan bertahan.

(hlm.382)

Memang ada beberapa negara Dunia Ketiga (sebagian di Afrika Sub-Sahara, dan sebagian di Asia Selatan) yang, menurut beberapa pemikir, bagaimanapun juga akan menjadi pecundang. Lihat saja negara-negara di Afrika Sub-Sahara. Banyak dari mereka yang masih berada dalam “keadaan alamiah”, dalam pengertian bahwa masing-masing kelompok suku di satu negara ingin mnggorok tenggorokan satu sama lain dalam memecahkan konflik-konflik politik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, banyak di antara mereka samasekali tidak memiliki sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia yang sangat dibutuhkan untuk mulai membuat sesuatu untuk diekspor. Letter Thurow, dalam bukunya yang menarik, Head to Head, menulis lelucon ini: jika mereka alasan tertentu Tuhan Menghadiahi Anda Afrika Sub-Sahara untuk Anda perintah, satu-satunya pilihan yang cerdas adalah mengembalikannya lagi kepadanya.

Kapitalisme. Sosialisme,
dan Dunia Ketiga

(Bagaimana Peter Berger Bergerak ke “Kanan”)

  1. Sosialisme, sebagaimana kapitalisme, adalah sebuah ideology modern yang mencoba untuk memberi berbagai penjelasan tentang bagaimana membentuk sebuah masyarakat yang adil dan damai. Sosialisme, sebagai suatu usaha intelektual manusia, akan terus-menerus diperbaiki, mungkin samapai sebagian besar jejak Marx sulit dilacak di dalamnya.

(hlm.385)

Posisinya netral: baik sosialisme maupun kapitalisme bisa ditolak, atau diterapkan, jika “kalkukus penderitaan” dan “kalkulus makna” diperhitungkan. Dua belas tahun kemudian, ia menulis sebuah buku lain, Capitalist Revolution (Basic Books). Di sini ia memperlihatkan bahwa ia telah meninggalkan posisi sebelumnya. Ia berkata bahwa bagi Dunia Ketiga, kapitalisme secara moral merupakan pertaruhan yang lebih aman.

Piramida Korban

Gagasan kapitalisme tentang pembangunan, bagi Berger, pada dasarnya merupakan “suatu proyeksi universal dari ‘Mimpi Amerika’–sebuah visi tentang keberlimpahan ekonomi dalam konteks demokrasi politik dan masyarakat kelas yang dinamis” (hlm.8)

(hm.386)

Untuk mengkritik model-model kapitalis tersebut, Berger mulai dari dua pertanyaan: siapa yang menetapkan model tersebut? Siapa, jika ada, yang mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan tersebut?

(hlm.389)

Lebih dibanding kapitalisme, sosialisme, mengandung berbagai mitos: mulai daru mitos revolusi, mitos tentang “orang-orang terpilih” (partai pelopor), hingga mitos penyelamatan dari keterasingan yang ada dalam modernitas. Lebih menarik bagi para pemimpin di Dunia Ketiga untuk “menggunakan” model pembangunan sosialis karena ia mengandung janji-janji “emosional” lebih banyak.

(hlm.390)

Sosialisme, bagi Berger, mengandung suatu inheren ke arah totalitarianism karena alasan yang sederhana: “sosialisme pada dasarnya akan berusaha untuk menyerap perekonomian dalam negara, dan dengan demikian sangat meningkatkan potensi totaliter yang terakhir ini”. (hlm.86)

(hlm.392)

Revolusi Kapitalis

Perpaduan teknologi modern (industri) dan kapitalisme, menurut Berger, merupakan suatu kekuatan yang paling produktif: “kapitalisme industry telah menghasilkan kekuatan produktif terbesar dalam sejarah manusia” (hlm.36). Alasannya, bagi Berger, adalah kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan pasar memberi insentif terbaik bagi produktivitas yang terus-menerus meningkat:

… pasar, dengan rujukan-rujukan harganya, adalah komputer pertama yang ditemukan oleh manusia; hingga sekarang ini,pasar tidak memiliki saingan dalam menyediakan baik informasi maupun insentif bagi tiap-tiap individu cerdas yang ingin memperbaiki nasib ekonomi mereka. Tentu saja, individu-individu ini adalah orang-orang yang dalam keadaan “baik” akan menjadi para pengusaha. Sang insiyur mungkin memiliki motif-motif yang sangat eberbeda; ia mungkin tidak memiliki aspirasi ekonomi samasekali; ia hanya ingin memperbaiki berbagai peralatannya dan melihat bagaimana peralatan tersebut bisa dibuat berfungsi . Namun ekonomi pasar memberikan konteks sosioekonomi yang paling menjanjikan di mana di dalamnya jenis kecerdasan manusia ini, yakni kcerdasan insinyur, bisa berkembang. Dan inilah alasan mengapa perpaduan kapitalisme dan teknologi modern merupakan suatu perpaduan yang produktif. (hlm.37)

(hlm.394)

Selain produktivitas ekonomi, kapitalisme juga sejalan dengan kebebasan politik (demokrasi).

Ia menolak argument Joseph Schumpeter bahwa asosiasi antara demokrasi dan kapitalisme hanyalah kebetulan sejarah, dan bahwa demokrasi mungkin dijalankan baik dalam soalisme maupun kapitalisme.

(hlm.395)

Keberhasilan pembangunan kapitalis di Asia Timur memberi alasan lain–dan paling kuat–bagi Berger untuk menolak teori-teori dependensia.

(hlm.396)

“Masuknya sebuah negara Dunia Ketiga ke dalam sistem kapitalis internasional cenderung menguntugkan perkembangannya” (hlm.129)

Dari 1964 hingga 1979, share pendapatan 20% keluarga termiskin meningkat dari 7,7 menjadi 8,6% sementara share 20% keluarga terkaya menurun dari 41,1 menjadi 37,5%.

Di Asia Timur, dalam tahap-tahap awal pembangunan Taiwan, misalnya, si miskin lebih cepat menjadi lebih kaya dibanding si kaya menjadi lebih kaya. (hlm.140-152)

(hlm.397)

Berger menjelaskan bahwa, di bawah kapitalisme, kunci keberhasilan ekonomi negara-negara lain terletak dalam budaya Sinitik yang mendorong orang untuk bekerja lebih keras, menghormati otoritas, dan bersikap asketis. Dengan demikian, baginya, Etika Sinitik tersebut merupakan ganti (atau dalam istilah Berger: “padanan fungsional”) dari Etika Protestan yang dianggap Weber memiliki peran penting dalam perkembangan kapitalisme Barat. (hlm.161)   

Namun faktor paling penting yang mengubah posisinya adalah pengakuannya akan realitas empiris: mukjizat ekonomi Asia Timur.

(hlm.398)

…Titik balik bagi saya terjadi pada pertengahan 1970-an, ketika saya pertama kali mengalami Asia dan terutama masyarakat-masyarakat yang mungkin diesebut orang sebagai “bulan sabit kemakmuran”, yang terentang mulai dari Jepang hingga ke semenanjung Malaya.

(hlm.399)

Buku Berger tersebut adalah buku sangat bagus, namun buku itu menghindaari isu-isu riil. Memang, keyakinan Berger bahwa Etika Sinitik memainkan peran yang sangat menentukan dalam keberhasiln ekonomi kapitalis Asia Timur pada dirinya sendiri merupakan “resep” bagi Dunia Ketiga. Hal itu mengandaikan bahwa untuk bisa berhasil, negara-negara Dunia Ketiga yang lain juga harus mengambil elemen-elemen Etika Sinitik tersebut: mereka harus bekerja keras, menghormati otoritas, dan bersikap asketis. Namun jenis jawaban “budaya” bagi pembangunan di Dunia Ketiga ini hampir bukan merupakan jawaban yang baru. Terlalu terlambat sekarang ini bagi Berger untuk memancing suatu perdebatan yang bermanfaat tentang pembangunan dengan hanya menggunakan “perspektif budaya”.

(hlm.400)

Tugas berikutnya adalah menemukan peran yang tepat bagi pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan, mencari hubungan ekonomi yang optimal antara sektor publik dan privat, dan mempelajari berbagai kebijakan public yang mengusung kepentingan terbaik negara-negara Dunia Ketiga untuk menciptakan baik pertumbuhan ekonomi maupun kesetaraan sosial.

BAB IV

Hentikan Kebiadan:  
Tentang Integrasi Nasional, Separatisme,        
Konflik Etnik dan Daerah

  (hlm.403)

Akankah Sejarah Berulang?

Pertama, terkikisnya legitimasi sistem politik. Pemilu 1955, sama dengan pemilu 1999, tidak menghasilkan pemenang mutlak.

(hlm.404)

Kedua, merebaknya pemberontakan daerah.

Ketiga, peran Soekarno dan tentara.

(hlm.405)

Tentara memberi sumber kekuatan rill untuk menyelesaikan berbagai persoalanpemberontakan daerah, sementara Soekarno mengembalikan secara simbolis kewibawaan dan keutuhan negara.

(hlm.408)  

Di bawah kepemimpinan Gus Dur, bangsa kita sepertinya terkunci oleh sebuah hukum yang sering dikenal sebagai “Murphy’s Law”: apa saja yang mungkin menjadi buruk, akan menjadi buruk.

(hlm.412)

Pemberontakan Daerah
dan Demokrasi

(“Rejoinder” buat Asvi Warman Adam)

Diproklamirkan pada 2 Maret 1957, gerakan ini memang tidak ingin melepaskan diri dari republik. Walau begitu, para pemimpinnya, misalnya Komandan Militer Indonesia Timur Letkol Ventje Sumual, memaksakan berlakunya situasi darurat, dan dengan itu mengambil-alih pemerintahan secara langsung di daerah yang ada di bawah kekuasaannya.

(hlm.413)

Mereka memberi waktu lima hari bagi pemerintah di Jakarta untuk membubarkab kabinet yang dipimpin Ali Sastroamidjojo, dan menggantikannya dengan sebuah cabinet Profesional yang dipimpin Hatta atau Sultan Hamengku Buwono IX. Bila ultimatum ini tidak dipenuhi, mereka mengancam akan mendirikan pemerintahan sendiri di Sumatra, yang mereka sebut pemerintahan revolusioner.

(hlm.414)

Kabinet Ali Sastroamidjojo saat itu adalah kabinet hasil pemilu 1955 yang demokratis. Jadi, pemerintah di Jakarta waktu itu, dengan segala kekurangannya, sudah sah untuk disebut sebagai pemerintahan yang dipilih oleh rakyat secara bebas. Tetapi, tokoh-tokoh PRRI tidak sabar menunggu pemilu berikutnya untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

(hlm.415)

Dengan cara ini, meski tidak dijelaskan secara eksplisit, Asvi ingin mengesampingkan pertimbangan mengenai metode penyelesaian masalah dan lebih menekankan soal substansi isu yang diperjuangkan para pentolan Permesta dan PRRI.

Bagi saya, pada tingkat tertentu, hal ini diterima. Terhadap tertentu, hsl ini bisa diterima. Terhadap pemerintahan seperti dipimpin Hitler, Stalin, dan Pol Pot, misalnya, pemberontakan bersenjata menjadi sah dan perlu secara moral. Dalam hal ini, mereka yang memberontak terhadap Hitler di Jerman, Stalin di Uni Soviet, dan Pol Pot di Kamboja, tidak dapat dikatakan sebagai penghancur negara. Justru sebaiknya, mereka harus disebut patriot sejati, sebab tingkat penjelasan pemerintahan Hitler, Stalin, dan Pol Pot memang sudag luarbiasa besarnya.

(hlm.416)

“Bonanza” ekonomi yang datang dari Perang Korea berakhir pada 1952, dan setelah itu pasar dunia bagi barang andalan ekspor kita yang banyak berasal dari luar jawa, menurun dratis. Salah satu andalan ekspor ini adalah karet mental, yang umumnya berasal dari Sumatra. Pada 1952 ekspor kita mencapai Rp2,5 miliar, tetapi pada 1958 angka ini hanya Rp1,7 miliar. Jadi tidak heran jika tokoh-tokoh di Sumatra mengeluh karena penghidupan rakyat di sana menjadi loebih susah (inilah sebenarnya yang menjadi sebab mengapa penyelundupan yang dilakukan tokoh-tokoh militer, merebak di daerah saat itu, lalu menambah ketegangan yang ada dengan pemerintah pusat).

Resep terbaik untuk mengatasinya adalah persuasi dalam mekanisme demokratis, bukan ultimatum dan aksi pemberontakan terhadap negara.

Teori dan Kerusuhan
di Dua Kota

Mengapa kerusuhan “primitif” ini muncul berturut-turut justru pada saat pertumbuhan ekonomi berlangsung pesat? Apakah kerusuhan ini menandakan memburuknya hubungan etno-religius di negeri kita? Seperti  terbaca diberbagai media, jawaban paling populer yang diberikan para pengamat, aktivis, dan pejabat terhadap kedua pertanyaan ini, sederhanannya, dapat disebut sebagai teori kesenjangan.

Menurut teori ini, akar persoalan kerusuhan sosial di dua kota itu adalah kesenjangan sosial-ekonomi yang makin melebar. Pembangunan ekonomi di bawah Orde Baru memang sangat berhasil. Tapi, menurut teori ini, hasil pembangunan hanya dinikmati segelintir kalangan. Mayoritas masyarakat hanya mendapat tetesannya.

(hlm.419)

Pertama, kalau teori ini benar, maka kita bisa bertanya: kenapa kerusuhan itu justru terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya? Di dua kota ini, terlebih di Jakarta dan Surabaya? Di dua kota ini, terebih Jakarta, akses-akses ketimpangan hidup berdampingan sangat ekstrem.

Kedua, teori ini bersandar pada sebuah asumsi yang akhir-akhir ini jarang dipertanyakan lagi, yaitu bahwa kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat kita meningkat tajam.

(hlm.420)

Kalau kita amati kecenderungan dalam Index Gini sejak 1969 hingga 1993, angka-angka yang tampak tak banyak berbuah. Pada 1969-1970, misalnya, rasionya 0,34%; pada 1981 0,33% dan pada 1993 0,34%. Ini berarti, dari ukuran tertentu (dalam hal ini indeks pengeluaran rumahtangga dari hasil survey nasional), dalam realitas ketimpangan kita tak terjadi perubahan berarti selama 20 tahun ini. Kita tak lebih timpang, atau lebih merata, akibat perumbuhan ekonomi yang pesat.

Dalam hal ini teori lain yang patut dipikirkan adalah teori yang lebih bersifat psikologis-kultural. Teori ini menerima kenyataanya bahwa memang ketegangan etno-religius masih hidup subur dalam masyarakat kita. Kita masih memandang manusia lain berdasarkan asal-usulnya, kelompoknya, sukunya, dan agamanya. Kita belum memandang seseorang sebagai individu, sebagai si Ruly atau si Tuti, melainkan sebagai “keturunan asing”, atau “Islam”, atau “pribumi”. Lebih jauh lagi, akhir-akhir ini melalui kebijakan politik dalam beberapa bidang kehidupan (misalnya perkawinn dan distribusi ekonomi), kita cenderung mendorong terjadinya proses institusionalisasi bagi cara pandang semacam ini.

Jalan Skotlandia Buat Aceh

Buat saya, cara terbaik bagi Aceh untuk menghindari kebuntuan sejarah demikian adalah dengan membanting setir dan memilih “Jalan Skotlandia”.

(hlm.423)

Walaupun memiliki tradisi perlawanan yang sama, pada awal abad ke-18 Skotlandia dan Irlandia kemudian memilih jalan yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Orang Skot mengubah metode perjuangan, dan secara sadar memilih jalan unifikasi. Mereka memutuskan tradisi dan melupakam mimpi untuk membentuk negara sendiri. Mereka justru ingin memakai Inggris, yang waktu itu sedang berkembang pesat, untuk mencapai tujuan-tujuan besar “non-politisi”, seperti pengembangan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Energy mereka yang besar mereka alihkan, dari energy perlawanan menjadi energy perlawanan menjadi energy pembanguanan.

Hasilnya? Ekonomi Skotlandia maju pesat.

(hlm.424)

Pada akhir abad ke-18, universitas-universitas termuka di Edinburgh dan Glasgow, dua kota terbesar Skotlandia, menjadi perguruan-perguruan terbaik di Eropa.

Berbeda dengan orang Skot, orang Irlandia tetap setia pada tradisi dan cita-cita yang mereka warisi turun-temurun. Mereka tetap berjuang dan melawan. Hasilnya? Sebagian orang Irish di Selatan memang sudah berhasil membuat negara mereka sendiri yang terlepas dari kekuasaan Inggris. Tapi sebagian lagi, di Utara, masih terus berjuang dan menumpahkan darah hingga, di Utara, masih terus berjuang dan menumpahkan darah hingga hari ini. dan di Selatan ataupun di Utara, tidak pernah lahir seorang James Watt, atau Adam Smith, atau David Hume.

Orang Skot berhak untuk bertepuk dada sambil berkata, “Kami bangsa besar. Sebab, kami sudah menyumbang banyak bagi berkembangnya peradaban dunia.” Apa yang bisa dikatakan oleh orang Irish? Mungkin: “Kami bangsa tangguh. Sebab, kami telah menumpahkan banyak darah dan mempersembahkan anak-anak kami untuk menolak hegemoni Inggris.”

(hlm.427)

Jalan California Buat Papua

(Catatan buat Prof. Liddle dan Kawannya)

Dalam pandangan ini, orang Papua dianggap lebih berhak atas tanah Papua ketimbang pendatang. Mereka adalah tuan di tanah itu, dank arena itu harus memperoleh keistimewaan yang sesuai.

Dalam tulisannya, Liddle tidak menjelaskan dasar pandangannya. Kebenaran pandangan ini sudah dianggap jelas, karena itu tidak perlu diuraikan lagi.

Namun, betulkah itu? John Quincy Adams, Presiden ke-6 AS, pernah bertanya, “But what is the right of the huntsman to the forest of a thousand miles over which he has accidentally ranged in quest of prey?” Adams berbicara soal soal orang Indian, tetapi pertanyaan cukup relevan bagi kita kini. Jawabannya tidak semudah yang diasumsikan kaum yang mengaku sebagai pembela Papua.

Scara keseluruhan Tanah Papua seluas 414.000 km². Sebagian kecil tanah ini, katakanlah 10 persen, dapat dianggap sebagai tanah adat buat sekitar 1,5 juta penduduk asli yang terbagi dalam ratusan suku yang ada masih berkisar 37 jiwa/km². Jadi, hampir sama dengan densitas di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat, dua daerah yang masih kekurangan penduduk.

(hlm.428)

Sebenarnya, eksistensi tanah adat masih bisa dipertanyakan. Asumsi di baliknya amat komunalistik. Siapa yang menguasi tanah adat? Kepala suku, pentolan-pentolan suku, dukun? Bisakah tanah ini transfer secara sah dalam proses jual-beli? Tetapi, kalau pun kita lewatkan pertanyaan demikian dan untuk sementara menerima eksistensi tanah adat, porsi 10 persen pun sudah menciptakan keleluasaan yang jauh di atas daerah seperti Jabar yang memiliki densitas 1.047 jiwa /km².

Kalau kebetulan puncak sebuah gunung terlihat dari tempat perburuan sebuah suku, berhakah suku itu mengklaim gunung itu sebagai miliknya? Kalau di anggap berhak, apa dasarnya?

Di luar tanah adat hanya ada dua jenis pemilikan, tanah milik negara (dalam hal ini, negara mewakili seluruh warga negara, termasuk penduduk asli Papua) dan milik pribadi. Dalam dua kawasan inilah prtimbangan yang digunakan harus sepenuhnya berdasarkan konteks Indonesia, bukan Papua semata.

(hlm.429)

Papua harus dibuka seluas-luasnya, dan metode pemekaran wilayah administrasi dari satu menjadi tiga, bahkan enam provinsi adalah konsekuensi dari kebutuhan praktis yang ada.

Catatan akhir yang ingin saya singgung adalah analogi nasib warga asli Papua dan orang Indian, meski tidak tepat betul. Sebanyak 13 koloni yang pertama kali merdeka AS awalnya tidak memiliki batas wilayah jelas. Thomas Jefferon, presiden ke-3 AS, bahkan pernah berpikir untuk memberi pengakuan kedaulatan bagi suku Comache, Pawnee, dan Apache yang bermukim di barat sungai Mississippi.

Saat Louisiana dibeli dari Prancis pada 1803, yang melipatgandakan wilayah legal AS, tidak ada keterangan tentang batas tanah dalam dokumen pembelian.

(hlm.430)

Indonesia lebih beruntung, karena lahir pada pertengahan abad ke-20. Ia lahir dengan batas wilayah jelas, setidaknya hampir seluruhnya, dank arena itu ekspansi ke mana pun tidak lagi menjadi keharusan. Destiny negeri ini sudah terjamin dalam batas wilayah yang sudah ada dan diakui dunia.

Aceh,
Ujian Pertama dan Terakhir

Saya pendiri cenderung berpendapat bahwa kita harus menegaskan sejelas-jelasnya pada kaum proreferendum di Aceh bahwa keutuhan teritorial Indonesia sudah final.

(hlm.432)

Pendapat saya ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, ha katas referendum bukanlah bagian dari hak-hak asasi atau hak-hak demokrasi. Tuntutan kebebasan manusia berbeda secara mendasar dengan tuntutan pembentukan negara. Yang pertama adalah hak yang secara hakiki melekat pada manusia sebagai indivindu.

Tetapi, dari segi prinsipiil, pada setiap warganegara tidak melekat hak untuk membentuk negara sesuai dengan kehendak mereka sendiri.

Alasan Saya yang kedua dan lebih penting adalah adalah konsekuensi kemerdekaan Aceh terhadap kondisi politik di Indonesia.

(hlm.433)

Dalam soal keutuhan Indonesia, Aceh adalah ujian pertama dan terakhir sekaligus.

Di daerah ini ada sebuah hal yang tidak pernah diungkapkan secara terbuka; suku Bugis tidak akan pernah mau mau tunduk di bawah kekuasaan suku Makassar dan sebaliknya.

Di samping itu, di dalam suku Bugis pun, terjadi  berbagai perpecahan (Luwu, Bone, Wajo) yang secara historis hanya pernah bersatu jika ada lawan bersama (kerajaan Gowa-Makassar) atau disatukan di bawah tekanan dari penguasa yang kuat, yaitu Belanda (VOC) dan Arung Palakka.

(hlm.435)

Pemerintah Gus Dur saat ini harus berusaha sekuat mungkin untuk meyakinkan rakyat Aceh bahwa Indonesia bukanlah sebatas Orde Baru atau Orde lama, tetapi lebih merupakan sebuah upaya terus-menerus untuk merealisasikan gagasan tentang kebebasan dan keadilan bagi setiap warganegara dari Sabang sampai Merauke.

(hlm.437)

Konflik Maluku
dan Reorientasi Ilmu Sosial

Ironisnya, banyak di antara mereka malah mengambil jalan pintas dengan ikut-ikutan memakai teori konspirasi dan menyerukan adanya hantu-hantu provokator di balik segala perkara yang kita hadapi.

(hlm.438)

Mereka cenderung berkata bahwa akar masalah segala perkara yang ada terletak pada soal kesenjangan eknomi, keadilan, atau pengalaman penindasan di masa Orde Baru.

Lebih jauh lagi, dihadapkan pada fakta-fakta sederhana, jawaban-jawaban seperti itu dengan cukup mudah bisa ditolak. Misalnya, dari fakta umum menurut indikator tertentu (Indeks Gini) kita tahu bahwa selama 25 tahun terakhir, sebelum jatuhnya Soeharto, distribusi ekonomi cenderung konstan, tidak membaik atau memburuk, berkisar antara 0,32 dan 0,355. Dalam soal ini, seorang ekonom kawakan Australia, Prof, Hal Hill, pernah berkata bahwa apa yang dicapai oleh pemerintahan Orde Baru selama lebih dari dua dekade merupakan a resounding success.

Selain itu kita juga tahu bahwa persoalan kesenjangan justru lebih tajam di kota-kota besar, bukan di daerah-daerah rawan konflik seperti Ambon, Ternate, Sambas, Tasikmalaya dan Situbondo. Dan selama krisis ekonomi dalam dua tahun terakhir, justru daerah yang jauh dari pusat-pusat industri dan perdagangan, seperti Halmahera dan Kepulauan Maluku umumnya, yang secara relative diuntungkan, sebab basis perekonomian mereka masih sangat bersifat agraris.

(hlm.439)

Mereka sering lupa bahwa buat seorang ilmuwan sikap kritis dan penolakan terhadap represi politik adalah satu hal, dan upaya untuk merangkan peristiwa-peristiwa sosial secara obyektif adalah hal lain lagi. Dari mereka kita akan sukar mengerti persisnya tindakan kesalahan seperti apa dari pemerintahan Soeharto yang berhubungan langsung dengan berbagai kerusuhan akhir-akhir ini.

(hlm.440)

Orde Baru jadinya terus-menerus menjadi momok yang, ironisnya, dipakai oleh sebagian ilmuwan sosial (dengan juga oleh sebagian aktivis LSM, wartawan, dan politisi) dengan sesuka hati untuk menjelaskan hampir setiap peristiwa negatif yang terjadi dalam masyarakat. Mengapa gagal?

(hlm.441)

Di zaman Orde Baru, terutama dalam 15 tahun terakhir, teori-teori yang populer di kalangan ilmuwan sosial kita (dan juga terutama di kalangan aktivis) berkisar pada varian teori-teori negara, otoritarianisme-birokratik, ketergantungan, dan sosiologi kritis. Teori-teori semacam ini, walau masing-masing berbeda, pada dasarnya adalah semacam sapu-sapuan besar untuk menggambarkan perilaku sosial-politik makro. Melalui teori negara, misalnya, yang terutama ingin dijelaskan adalah perilaku politik negara dan bagaimana ia dihubungkan dengan kecenderungan-kecenderungan besar dalam masyarakat, seperti kapitalisme, sosialisme, peradaban teknoratis, militerisme, dan otoritarianisme.

Secara umum, penggunaan teori ini dalam ilmu-ilmu sosial kita cenderung melihat masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang refresif.

(hlm.442)

Negara memang tetep menjadi sumber masalah, tetapi bukan karena ia kuat dan dominan, tetapi justru karena ia lemah dan hampir tak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak hukum dan tata tertib.

(hlm.443)

Sadar atau tidak, mereka dalam beberapa tahun terakhir terlalu Gramscian, terlibat cukup jauh dalam kegiatan aktivisme dan proses politik dalam pengertian sempit.

(hlm.446)

Hentikan Kebiadaban

Sulit untuk mengusir kesan, para pemimpin kita yang terhormat itu lupa bahwa fungi mereka yang paling fundamental–raison d’etre-nya setiap negara modern–adalah memberi perlindungan hukum dan kemanan pada masyarakat.

(hlm.447)

Di Amerika Serikat, misalnya, cara semacam itu sudah lazim dilakukan. Dua tahun lalu, waktu pertemuan tahunan WTO (World Trade Organization) diselenggarakan di Seattle, Negara Bagian Washington, ribuan kaum aktivis anti-globalisasi dan kaum anarkis melakukan demontrasi damai. Tetapi, sebagian dari mereka tidak dapat menahan diri dan mulai memecahkan kaca pertokoan dan perkantoran di pusat kota. Pada saat itu juga, walikota dan DPRD Seattle memutuskan pemberlakuan darurat sipil dan melarang setiap individu berada di pusat kota tanpa seizin aparat keamanan. Kota Seattle langsung berada di bawah komando polisi, yang tidak segan-segan menahan dan menembak kalau memang perlu. Semua ini dilakukan sebelum satu tetes darah pun terkucur.

Dengan cara demokratis, mereka sudah memilih dengan: lebih baik melumpuhkan, menahan, dan kalau perlu menembak kaum perusuh ketimbang mengorbankan warga yang tak berdosa.

(hlm.448)

Kebiadaban harus dilawan, dan saat ini hanya memilii satu alat untuk itu, yaitu aparat negara.

(hlm.450)

Dialog Frans Seda
dan Amien Rais

“Saya yakin tidak ada satu noktah pun dalam pikiran orang Islam untuk melakukan diskriminasi berdasar suku, ras, golongan, dan agama. Kami hanya ingin sebuah kehidupan nasional yang representative dan meritokratis.”

(hlm.451)

Katakanlah ada sebuah fakta bahwa Amien Rais, untuk memberikan ceramah akademik di kampus, menemui berbagai hambatan politis (hal ini sungguh terjadi pada pertengahan 1980-an). Tapi apakah fakta ini membuktikan terjadinya diskriminasi terhadap Islam? Ataukah, karena Amien Aris saat itu sangat kritis terhadap Orde Baru, seperti juga Y. B. Mangunwijaya yang Katolik dan Arief Budiman yang sekular, maka hambatan politisi itu terjadi?

(hlm.452)

Dalam hal meritokrasi, saya kira kita semua setuju bahwa metode seleksi sosial ini tidak problematic, paling tidak secara ideal. Yang rajin, pintar, tekun, dan teguh, itulah yang “menang”. Meritokrasi, singkatnya, adalah aspirasi universal yang secara konsepsional telah dianggap “selesai”. Yang tersisa tinggallah proses penjabarannya.

Tapi tidak demikian halnya dengan representasi. Mekanisme seleksi sosial dengan cara ini masih sangat problematik. Kalau misalnya kita menghitung proporsi pejabat suatu depertemen menurut agama masing-masing, maka kenapa kita juga tidak memasukkan unsur daerah dan etnis misalnya? Apa alasan kita untuk mendasarkan representasi hanya pada kriteria agama, dan tidak yang lainnya?

Katakanlah kita menerima argument representasi dalam keseluruhannya, maka bayangkanlah betapa akan repotnya kita. Setiap kali kita akan mengangkat pegawai, pejabat, atau memilih pemenang tender proyek, proporsi menurut variable agama, etnik, da nasal daerah harus kita perhitungkan. Dan jika ini memang kita lakukan, maka pada suatu batas tertentu, ia pasti akan bertentangan dengan ideal kita yang lain, yaitu meritokrasi.

(hlm.455)

Lincoln

Pada awalnya, Lincoln memberi jalan kompromi yang cukup luas kepada kaum separatis.

(hlm.456)

Dalam melakukan semua itu, Lincoln bertindak sebagai seorang pragmatis yang diilhami oleh sebuah visi besar, yaitu keutuhan Amerika Serikat. Tetapi sesungguhnya yang membuat dia menjadi pemim pin terbesar sepanjang masa di negerinya, dan di negeri lain yang mencintai kebebasan, adalah kemampuan dia untuk berubah dan mengembangkan visinya, sambil tetap memperluas dukungan politik yang dibutuhkannya.

Visi awalnya, perang untuk negara, pada akhir tahun kedua pemerintahannya dia kembangkan menjadi perang untuk pembebasan. Yang terakhir ini dia wujudkan dengan merancang Deklarasi Emansipasi, yang kemudian menjadi dokumen historis bagi penghancuran sistem perbudakan. Dengan visi baru ini, perang sipil yang dipimpinnya menjadi bermakna lebih mendalam sekligus berdampak lebih luas. Perang itu menjadi sesuatu yang lebih mulia, karena ia bukan lagi sekadar aksi bersenjata untuk mempertahankan keutuhan negara. Kaum patriot di utara kemudian berubah menjadi pejuang pembebasan.

Pertikaian utara-selatan itu, dengan korban 630 ribu jiwa, tercatat sebagai perang saudara terbedar sepanjang sejarah manusia, hingga kini.

BAB V

Hukum Liddle:                                   
Tentang Pemilu dan Partai Politik

Hukum Liddle

PROFESOR WILLIAM LIDDLE menolak sistem pemilihan presiden secara langsung, setidaknya untuk beberapa periode pemilu.

Hukum ini berangkat dari sebuah teori yang diawali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverge, pada 1950-an. Menurut Duverger, dalam karya klasiknya yang terbit pada 1954, Political Parties, jika pemilihan langsung diadakan dan sistem pemilu diselenggarakan dengan metode mayoritas sederhana, yang akan rercipta dalam jangka panjang adalah sistem politik yang hanya akan munculkan dua partai yang dominan.

(hlm.461)

Teori ini kelihatannya sederhana, tetapi dalam pembuktian empiris sulit ditolak.

Karena ketepatannya dalam menjelaskan realitas, banyak kalangan yang berkata bahwa teori ini adalah satu-satunya teori dalam ilmu sosial yang bersifat pasti, sebagaimana teori keunggulan komparatifnya David Ricardo dalam ilmu ekonomi. Duverger sendiri berkata bahwa teorinya itu sudah mendekati a true sociological law.

Pertanyaan besar yang ada di benaknya adalah jika dua kubu besar terbentuk di Indonesia, apa garis politik dan basis ideologi yang memisahkan kedua kubu ini. sumber-sumber mobilisasi apa yang akan digunakan partai politik dalam merebut dukungan bagi kandidatnya? Di Amerika Serikat dan Inggris garis pemisah itu berdasarkan perbedaan program dan ideology modern. Apakah hal yang sama juga, akan terjadi di Indonesia?

(hlm.462)

Ternayata tidak. Setelah meneliti perilaku memilih dalam Pemilu 1999 dengan cermat (bersama muridnya, Saiful Mujani, dan sejumlah peneliti UI, antara lain Eep Saifulloh Fatah, yang kini juga menjadi muridnya), Liddle menyimpulkan bahwa perilaku memilih sekarang belum banyak berbeda dari pemilih pada 1955, sewaktu pemilu pertama diadakan. Empat puluh lima tahun silam, seperti yang dikatakan Clifford Geertz, basis pertarungan antarpartai mengikuti garis primordial. Rakyat memilih tidak berdasarkan persetujuan mereka terhadap program partai secara rasional, tetapi lebih berdasarkan pada loyalitas dan identitas agama, daerah, dan suku. Sekarang peran suku dan daerah mungkin agak berubah, tetapi peran agama tetap . dulu dan sekarang, agama dan identitas keagamaan tetap menjadi basis mobilisasi politik dan legitimasi kekuasaan.

Agama ia harapkan hanya berada di arena politik secara tidak langsung. Tapi dia seorang ilmuwan, dan karena itu ia harus mengatakan apa yang sesungguhnya akan terjadi, bukan apa yang seharusnya atau apa yang seharusnya atau apa yang dia inginkan terjadi.

Karena itulah Liddle kemudian menyimpulkan bahwa kalau pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung saat ini diselenggarakan, akan tercipta koalisi besar kaum Islam di satu pihak, dan kaum sekular-nasionalis dan kkaum non-Islam di pihak lain. Hanya dua kubu inilah yang akan mendominasi peta politik Indonesia. Kesimpulan seperti inilah yang saya sebut sebagai Hukum Liddle.

(hlm.463)

Namun, pertanyaan kita kemudian, kalau Hukum Liddle itu memang sulit di tolak kebenarannya, apakah implikasinya demikian pula. Seperti yang sudah saya singgung tadi, Liddle menolak sistem pemilihan langsung berdasarkan implikasi hukum itu, bukan substansi hukum itu sendiri.

(hlm.464)

Jawaban saya, tidak. Liddle hanya bisa benar jika distribusi ideology dan komposisi aspirasi dalam masyarakat, kita mengikuti sebuah kurva yang disebut oleh Anthony Downs, dalam bukunya yang terkenal, Economics Theory of Democracy (1957), sebagai kurva lonceng terbalik. Dalm kurva semacam ini, kaum pemilih yang berada di tengah, yaitu kaum moderat dari kedua kubu, berjumlah sangat kecil. Semakin besar jumlah pemilih yang dicakupnya, mengikuti garis kurva yang menaik.

Namun, untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan, kurva yang lebih tepat untuk digunakan adalah kurva lonceng normal. Dengan kata lain, asumsi yang digunakan Liddle sebenamnya terbalik.

(hlm.465)

Jumlah pemilih terbesar berada di ruang tengah, menjauhi kedua titik ekstrem tersebut, mereka, misalnya, adalah kaum Islam yang memilih PDI-P, tanpa peduli dengan isu-isu religious, atau pendukung Golkar yang Islam dan Kristen, atau sebagian pendukung PAN dan PKB yang memang menginginkan ekspresi keislaman yang lebih kental dalam arena publik, tetapi lebih banyak bersifat simbolik ketimbang bersifat legal-formal. Mereka inilah yang tersebar di ruang tengah di kedua kubu.

Jika saya benar, kita sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir untuk memilih presiden secara langsung. Malah, ia mungkin akan memperkuat demokrasi kita. Mengikuti implikasi yang ada pada kurva lonceng normal itu, setiap politisi dan kandidat partai yang ingin merebut kursi kepresidenan harus merebut ruang tengah, tempat sebagian besar pemilih berada. Politisi yang menjauhi mereka dan bergerak ke titik ekstrem hanya akan merugikan dirinya sendiri, persis seperti yang terjadi dalam setiap pemilihan presiden di Amerika Serikat. Politiisi ektrem akan mendapat tepuk tangan dari kaum fanatik, tetapi bukan kursi kekuasaan.

Nasib Partai Golkar

Pada pemilu 1999, dalam situasi terjepit dan dicerca dari kiri dan kanan, partai ini masih mampu meraih dukungan 24 juta suara atau sekitar seperempat dari keseluruhan warganegara yang diberi hak untuk memilih.

Apalagi, sosok seorang Akbar Tandjung memang mudah membangkitkan simpati. Mantan Mensesneg di era Presiden Habibie ini pada dasarnya adalah seorang yang santun dan bersahabat, dengan kata-kata yang selalu terukur dan emosi yang senantiasa terjaga.

(hlm.468)

Kalau sekarang ini keduanya membangun basis kondisi yang kukuh, maka sebenarnya sebuah persoalan politik yang fundamental telah terselesaikan, sebab telah tercipta sebuah kekuatan dengan suara yang melampaui 50 persen+1 di parlemen.

(hlm.471)

Konvensi Partai Golkar
Akal-akalan?

Di sini, karena adanya aturang tentan voting block, bukan pengurus partai di kabupaten atau kota yang akan menjadi penentu, namun pengurus partai di tingkat kecamatan dan ormas-ormas yang terkait dengan Partai Golkar di Dati II.

(hlm.473)

Apa boleh buat, demokrasi memang mahal, apalagi dalam sebuah negeri besar seperti negeri kita.

(hlm.476)

Konvensi Partai Golkar
Tidak Demokratis?

(“Rejoinder” untuk Eep Saifulloh Fatah)

Karena itu, buat saya, metode voting block justru mengecilkan peran struktur partai di tingkat atas.

(hlm.477)

Boneka?

Apabila dijumlah secara keseluruhan, akan ada setidaknya 20.000 kader partai di tingkat kabupaten, kota, serta kecamatan yang berpartisipasi dalam tahap seleksi lima nama kandidat. Siapa yang bisa menebak dan mengatur isi kepala kader dan pengurus yang demikian banyak dan tersebar dari Sabang hingga Merauke?

Di situlah letak perbedaan mendasar antara saya dan Eep. Bagi saya, tak gampang mengatur kader dan aktivis partai di daerah. Jangankan seorang Akbar Tandjung, Megawati sekalipun, dengan posisinya sebagai ketua umum, presiden, dan putri Bung Karno, cukup kerepotan memaksakan keseragaman suara tokoh partainya di beberapa provinsi dan kabupaten.

200 Partai, Siapa Takut?

Satu hal yang sampai sekarang masih kurang dipahami adalah, dengan disahkannya empat amendemen konstitusi tahun lalu, pemilu pada dasarnya dibagi menjadi dua: yang satu untuk memilih anggota parlemen (lokal dan nasional), dan yang satunya lagi untuk memilih presiden. Dalam pemilu untuk menentukan presiden, akan terjadi penyederhanaan secara radikal dari jumlah kandidat yang mewakili partai atau kelompok partai.

(hlm.481)

Dalam hal ini, politik, seperti kata James Madison, salah satu tokoh pendiri Republik Amerika Serikat, akan kembali pada hakikatnya yang paling dasar, yaitu proses kompetisi antara gagasan-gagasan fundamental yang hidup dalam suatu masyarakat.

(hlm.483)

Politik selalu bersandar pada kekuatan, dan pemerintah yang efektif hanya mungkin jika bertumpu pada kekuatan (baca: kursi di parlemen) yang memadai untuk itu.

Banteng dan Beringin:
Berseteru atau Bersekutu?

Dari ketiga penelitian tersebut, memang melihat satu fakta menarik: proporsi undecided vaters, yaitu mereka yang saat ini belum menentukan pilihan, ternyata cukup besar. Variasi angkanya berkisar 35 hingga 50 persen dari jumlah responden.

(hlm.485)

Di Amerika Serikat, misalnya, hanya setengah dari pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Di negeri-negeri demokrasi lainnya, variasi voter turnout berkisar 60 hingga 70 persen. Dari sini mungkin bisa diperkirakan bahwa, dari 50 juta pemilih di negeri kita yang masih ragu-ragu saat ini, sekitar 20 juta hingga 30 juta di antaranya yang pada akhirnya akan mencoblos partai dan tokoh favorit mereka.

(hlm.486)

Pada tingkat tertentu, hal ini mencerminkan bahwa di kalangan wong cilik rupanya sedang terjadi suatu political realignment yang tak kasatmata, sebuah eksudos politik dari kandang banteng ke partai beringin.

Partai yang pernah berkuasa di bawah pemerintahan Orde Baru ini mungkin dianggap lebih mampu menyelesaikan berbagai ekonomi yang masih terus menjepit kalangan bawah.

(hlm.487)

Partai Golkar memperoleh peningkatan dukungan yang cukup besar, sementara suara bagi ketua umumnya selalu berada di batas air. Dalam satu segi hal ini memperlihatkan bahwa Partai Golkar sebenarnya adalah sebuah partai modern. Sebab, ia tak bergantung pada popularitas tokohnya (bandingkan jika Megawati tidak lagi memipin PDI-P).

(hlm.488)

Demikian pula halnya dengan kubu Megawati yang terlihat sekarang adalah sikap yang sangat hati-hati dalam berbicara mengenai paket presiden dan wakilnya.

PRD dan Megawati

PRD (Partai Rakyat Demokratik)–yang sebagian tokoh pendrinya di Yogyakarta sekitar enam tahun silam tersebut “anak-anak Gang Rhode”–pada dasarnya adalah perkembangan dan radikalisasi dari pergerakan pemuda tersebut.

(hlm.493)

Dengan sadar mereka memandang diri sebagai tradisi “kiri-radikal” dalam pergerakan politik kebangsaan kita, yang cikal-bakalnya telah dirintis, sejak pertengahan 1920-an.

Ke dalam kelompok inilah para aktivis muda pendiri PRD dapat di golongkan.

BAB VI

Dekrit Gus Dur:       
Tentang Kepemimpinan

Tipe Kepemimpinan Baru

Dalam era Orde Baru selama ini, kalau kita menggunakan tipologi yang pernah dikemukakan oleh Prof. Herbert Feith, tipe kepemimpinan yang dominan adalah tipe administrator. Dalam tipe itu, kepemimpinan didefinisikan lebih sebagai kemampuan untuk menciptakan negara modern dengan segala perangkat teknis-administratifnya.

Sang pemimpin, dalam tipe itu, bukanlah seseorang yang menguasai retorika dan teknik-teknik persuasi. Walaupun memiliki kekuasaan politik yang amat besar, ia sesungguhnya adalah seorang non-politisi par excellence, teknokrat, birokrat, jenderal. Keahliaanya bukanlah dalam membujuk dan merayu masyarakat, tetapi dalam memecahkan masalah teknis–dengan duduk di belakang meja–serta merealisasi wewenang birokratisnya.

Cepat atau lambat, masyarakat kita akan semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus-menerus diatur oleh pemimpin mereka. Masyarakat ingin dibujuk, dirayu, dan dikeloni. Kalau tidak, potensi potensi destruktif akan mereka kembangkan sebagaimana yang barangkali menjadi salah satu pemicu berbagai kerusuhan belakangan ini. akibat yang paling gawat, jika hal semacam itu terus berlangsung, adalah perpecahan nasional, rontoknya pilar-pilar kesatuan republik kita.   

(hlm.498)

Sebagaimana umumnya pemimpin kenegaraan di negeri-negeri yang telah demokratis, ia adalah seseorang yang mengerti bahwa untuk menggerakan masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu (stabilitas politik, persatuan bangsa, pertumbuhan ekonomi), yang pertama harus dilakukan adalah merebut hati dan membangkitkan simpati masyarakat terhadap tujuan tersebut.

(hlm.500)

Gus Dur di Titik Nadir

Inilah bukti terbaik betapa Gus Dur, dalam waktu relative singkat, telah terpuruk ke posisi yang sangat rendah–sesuatu yang mungkin akan dicatat sebagai hal tragis dalam sejarah politik kita kelak. Mengapa semua itu terjadi? Mengapa harapan terhadapnya begitu cepat berganti menjadi kekecewaan dan kecemasan?

Setelah delapan bulan berkuasa, kita sudah bisa melihat Gus Dur yang sesungguhnya. Kita sudah bisa membaca pola kepemimpinannya, kemampuan memerintah, dan moralitas politik yang melekat padanya.

Dan, kalau toh Gus Dur memang memiliki sebuah agenda, kita tahu, ia mampu mengubah, menguburkan, dan menelikung agenda itu, setiap hari.

(hlm.501)

Dalil pertama seorang politikus kawakan adalah “carilah kawan sebanyak mungkin, dan jangan menciptakan musuh kalau memang tidak perlu”

Dari Langit

Malaikatku di seksi intelijen bilang, dua pekan lalu kau memecat Djohan Efendi, sahabatmu di Forum Demokrasi yang kau minta untuk memimpin Setneg sejak setahun silam. Terus terang, banyak malaikatku sudah lama bersimpati kepada Djohan. Dia orang yang santun dan luarbiasa jujur.

(hlm.504)

Kau ini mau dikenang sebagai pemimpin seperti apa?

Dekrit Gus Dur

PARA AKTOR di panggung sejarah akan dinilai bukan terutama oleh apa yang dikatakan, melainkan oleh apa yang dilakukan, terutama ketika berhadapan dengan krisis yang mengancam dirinya sendiri.

(hlm.508)

Artinya, keutuhan negara bagi tokoh seperti Gus Dur boleh saja dimasukkan dalam proses negosiasi kekuasaan partai atau kepentingan orang per orang.

Selain itu, dekrit Gus Dur memperlihatkan sebuah persoalan besar, yang terjadi lebih pada tingkat konseptual. Yang terancam oleh SI MPR adalah posisi Gud Dur sebagai presiden, bukan negara.

(hlm.509)

Sayangnya, pada hari terakhir kekuasaan politiknya, Gus Dur memilih jalan yang berbeda, sebuah jalan antidemokratik yang akan terus dikenang sebagai salah satu contoh buruk dalam perjalanan sejarah republik kita. Ia mengawali kariernya di dunia politik dengan cemerlang. Ia mengakhirinya dengan kepedihan, buat kita semua. Semog tokoh-tokoh politik kita di masa mendatang tidak lagi pernah mencoba jalan itu.

(hlm.511)

Megawati dan Soal Persiapan
Jadi Presiden

Dalam banyak aspek kemasyarakatan, kondisi yang ada setelah jatuhnya Soeharto dapat gambarkan oleh ungkapan Prancis di era pasca-Revolusi: Plus ca change, plus la meme chose, semakin situasinya berubah, semakin semuanya sama saja. Malah, bagi sebagian orang ungkapan ini sebenarnya keliru sebab kondisi yang ada semakin memburuk.

Tanpa focus semacam ini, sebesar apapun kekuasaan yang dimiliki seorang pelaku sejarah, dampak kehadirannya tak akan banyak berarti. Semua pemimpin besar yang hidup di alam demokrasi dikenang bukan karena mereka membuat banyak hal religious. Franklin D. Roosevelt terus dikenang karena dia melahirkan negara kesejahteraan ala Amerika, dengan tekanan utama pada kebijakan asuransi sosial.

(hlm.512)

Untuk mencapai sukses, seorang pemimpin harus memiliki fokus yang jelas mengenai apa yang ingin dicapainya.

(hlm.513)

Roosevelt, misalnya, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya, bertindak sangat pragmatis dan betul-betul menjadi politisi, dalam pengertian yang sebenarnya. Untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan, dia sering membujuk, merangkul dan memberi angin pada lawan-lawan politiknya. Namun tidak jarang pula dia menyikut, menohok dan mengucilkan mereka, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh sistem politik di AS.

(hlm.514)

Churchill pernah berkata bahwa to govern is to choose, seorang pemimpin senantiasa harus mengambil pilihan-pilihan sulit dalam kondisi yang terbatas.

(hlm.516)

Megawati ke Amerika

Megawati adalah presiden dari negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Karena itu, bagi George W. Bush, penerimaan Megawati di Gedung Putih nanti pasti sangat berguna untuk meyakinkan dunia bahwa, dengan memproklamasikan perang terhadap teorisme dalam segala bentuknya, Amerika tidak memusuhi negeri-negeri Islam.

Bush Goyah,
Pelajaran buat Mega

Setelah terror 11 September 2001, popularitas Bush ada di langit, memecahkan salah satu rekor yang selama ini dinikmati Presiden AS. Dia menggebrak dan memimpin negerinya melawan kaum teoris di sudut-sudut dunia. Dia mempersatukan publik melawan musuh bersama.

(hlm.520)

Sebenarnya, posisi Megawati bisa lebih baik. Operasi penumpasan gerakan separatis di Aceh dan reaksi keras terhadap kaum teroris pasca-Bom Bali adalah dua kebijakan yang didukung luas hingga kini. Sebagian presiden, dengan cara-cara yang sah, ia dapat memanfaatkan kedua kebijkan populer itu untuk menaikkan dukungan terhadap dirinya.

Sayang, Megawati tidak melakukan itu. Yang memanfaatkan justru tokoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan posisi sebagai Menko Polkam, dialah yang sering tampil menjelaskan, membela, dan menjawab langsung aneka pertanyaan mengenai kebijakan di Aceh dan langkah melawan kaum teroris di berbagai media, terutama televisi.

SBY tampil sebagai the tough guy, manakala masyarakat merindukan tokoh dan kebijakan yang tegas. Tidak heran, dalam beberapa jejak pendapat nama SBY kini agak mencuat, seiring dengan kian menguatnya harapan semacam itu, dia mengisi sebauh ruang yang ditinggalkan pemiliknya.

(hlm.521)

Dari segi wilayah, posisi Megawati paling merosot di DKI, Jateng, dan Jatim, tiga provinsi yang bisa dianggap wilayah tradisional PDI-P.

(hlm.522)

Demokrasi, kaum saya boleh menyitir ucapan John Maynard Keynes tentang bekerjanya roda ekonomi, hanya bisa berkembang jika para politisi memiliki nafsu binatang untuk berkuasa. Justru karena ingin memerintah, kaum politisi harus bekerja keras membangun dukungan.

(hlm.524)

Perlukah Setneg
dan Setkab Dipisah?

Dari berbagai laporan, yang kita baca di media massa, argument Bambang Kesowo bersandar pada satu hal, yaitu keefektifan pengawasan dan pengaturan tugas yang dilimpahkan oleh presiden kepada menteri-menterinya. Jika kedua lembaga itu dipisah, menurut lulusan Harvardyang telah bertahun-tahun membangun karir di Sekretariat Negara ini, kinerja presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan akan tidak efisien karena mata-rantai keputusan dan kewenangan yang harus dilalui akan melebar dan bertambah panjang.

Pada hemat saya, lembaga Sekretariat Negara, sesuai dengan namanya, berperan mengelola negara sebagai sebuah institusi besar yang memiliki simbol-simbol dan begitu banyak aset serta urusan administrative-protokoler yang berhubungan dengan presiden sebagai kepala negara. Dalam hal ini, peran Materi-Sekretaris Negara memang lebih baik dijalankan oleh seorang birokrat administrator yang sepenuhnya terlepas dari proses politik.

(hlm.525)

Lembaga sekretariat presiden menjalankan peran yang ssamasekali berbeda. Lembaga ini merupakan organ politik pemimpin eksekutif karena berkaitan langsung dengan tugas dan kewajiban presiden sebagai kepala pemerintahan. Presiden dilengkapi dengan kabinet yang dipilihnya karena ia harus membuat kebijakan serta mengkomunikasikan kebijakan tersebut agar di dukung oleh publik dan parlemen. Di sinilah peran penting Sekretaris Kabinet: ia membantu presiden dalam memerintah dan membuat kebijakan, mengkoordinasikan anggota-anggota kabinet agar bekerja secara terpadu melayani visi pemimpin mereka, mengatur aspek komunikasi kebijakan dan pidato-pidato presiden, mengurus hubungan presiden dengan parlemen, dan semacamnya. Di Amerika Serikat, peran semacam ini dimainkan oleh Kepala Staf Gedung Putih, yang biasanya diisi oleh politisi kepercayaan presiden.

Despot Paling Keji

KEKEJAMAN DAN KEKEJIAN Stalin tela terkenal di seluruh dunia. Namun hanya sedikit penulis yang berhasil menuliskan itu semua dalam detail yang kaya dan panoramik. Dr Medvedev jelas merupakan salah satu di antaranya.

Pendeknya, bagi Dr Medvedev, Stalin telah melakukan suatu kejahatan “yang sulit dicari padanannya dalam sejarah dunia… tidak ada satu tiran atau despot di masa lalu yang membunuh dan menyiksa begitu banyak warganegaranya sendiri”.

(hlm.530)

Dari eklektimisme ini tentu saja tidak ada sesuatu yang secara teoretis dapat kita setujui atau tidak setujui. Menyetujui setiap hal berarti tidak menyetujui apapun. Namun mungkin tidak fair untuk meminta Dr Medvedev memecahkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebagai seorang sejarawan–bukan seorang teoretisi–ia telah melalukan tugasnya dengan sangat baik: ia mencatat, menggambarkan, dan menyikap tindakan-tindakan seorang despot paling keji yang pernah ada dalam sejarah manusia.

BAB VII

Menuju Pelembagaan Reformasi:              
Tentang Isu-isu Seputar Reformasi

(hlm.533)

Kaum Aktivis Kebablasan

Dalam soal bikameralisme, misalnya, tidak terdapat penjelasan yang memadai tentang fungsi dan peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebuah lembaga penting yang seharusnya diberi kewenangn sebagaimana yang dinikmati oleh lembaga Senat di Amerika Serikat.

Dalam mengesahkan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, presiden hanya diberi waktu selama 30 hari untuk mempertimbangkannya. Dan jika presiden tidak setuju, undang-undang itu tetap akan berlaku (Pasal 20 ayat 5).

Artinya, sementara DPR dapat mengontrol presiden, hal sebaliknya tidak terjadi. Sebab, presiden tidak diberi hak veto yang eksplisit: presiden diberi wewenang merumuskan undang-undang bersama DPR (Pasal 20 ayat 2).

(hlm.534)

Kini, setiap warganegara secara eksplisit dijamin kebebasannya dalam berserikat, berkumpul, dan berpendapat (dalam konstitusi “lama”, hak-hak itu kabur karena masih diatur dalam undang-undang). Selain itu, setiap warganegara sekarang dapat memilih pemimpinnya secara langsung, tidak ada lagi golongan perwakilan yang tak terpilih dalam parlemen. TNI-Polri sudah menyatakan sayonara tanpa letupan-letupan yang berbahaya, serta substansi Pasal 33 tentang perekonomian lebih mengikuti semangat perkembangan dunia.

Justru demokrasi perlu, seperti kata Isaiah Berlin, karena dalam dunia nyata ada banyak kebenaran yang masing-masing mungkin saling bertentangan–dank arena itu kita harus mencari cara damai dan terlembaga untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan yang mengatasnamakan semua.

Konstitusi 2002
dan Dua Perkara

Dalam soal prosedur, ketiga aktivis Koalisi Ornop ini berpandangan bahwa mekanisme perumusan dan pembahasan amandemen konstitusi di Panitia Ad Hoc I serta pengesahannya dalam siding-sidang MPR bukanlah mekanisme yang tepat. Menurut Mochtar Pabottingi, misalnya, dalam mekanisme ini terkandung apa yang disebutnya sebagai “irasionalitas prosedural”.

(hlm.537)

Jika sejumlah wakil rakyat tidak setuju pada konsepsi yang datang dari Koalisi Ornop, mengapa mereka harus dituding sebagai orang berpikir sempit? Bukankah yang terjadi di sini adalah perbedaan konsepsi yang wajar adanya antara pihak yang satu dan yang lainnya?

Terus-terang, di sini saya mencium aroma Brahminisme politik yang berlebihan. Bambang Widjojanto, misalnya, berkata bahwa “koalisi kami adalah Koalisi untuk Konstitusi Baru, karena melibatkan banyak pihak di luar komunitas LSM seperti kaum intelektual dan para guru besar yang menggunakan rasionalitas politik dan nurani keberpihakannya tidak pada kepentingan politik jangka pendek dan keinginan ‘sesembahan’ politiknya”.

Pandangan semacam ini dalam substansinya bersifat otoritarian, sesuatu yang ironis dikatakan oleh tokoh-tokoh yang ingin mengusulkan konstitusi demokratis. Soeharto dan kaum militer pada era Orde Baru, serta Soekarno pada zaman Orde Baru Lama, pada dasarnya berpandangan sama: kaum politisi di partai dan parlemen berpikiran sempit, karena itu kewenangan mereka harus dilucuti. Masyarakat harus di pimpin oleh kaum terpilih–pemimpin revolusi, jenderal, intelektual, guru besar, teknorat, dan semacamnya–yang “rasional” berpikiran jauh ke depan, tanpa kepentingan politik sesaat.

(hlm.538)

Kami tidak berpikir bahwa ada satu golongan pun yang berhak mengatakan bahwa dirinya adalah pihak yang mewakili nurani dan kebenaran (atau, dalam istilah favorit Mochtar Pabottingi cs., “kepentingan jangka panjang”). Para guru besar dan kaum intelektual pun bisa berpikiran sempit, dengan moral yang bobrok.

(hlm.540)

Sejak awal kemerdekaan, salah satu soal besar yang ada dalam sistem ketatanegaraan kita adalah masalah yang berhubungan degan hak-hak politik individu dan kewenangan negara.

Kalau Mochtar Pabottingi cs. mengatakan bahwa tidak ada paradigma baru yang tampak dalam kontitusi 2002, saya kira mereka keliru:pergeseran perimbangan legal antara negara dan individu, antara otoritas publik dan batas kebebasan, adalah pergeseran paradigmatik yang tidak kecil artinya.

(hlm.541)

Dan yang menarik buat saya adalah sebuah fakta bahwa pembaruan penting bisa juga dilahirkan oleh sebuah lembaga perwakilan yang tak berisi tokoh pendiri di Senayan saat ini hanyalah sejenis aktor di panggung publik yang dengan mudah padanannya dapat kita temukan di lembaga parlemen di negeri demokratis mana pun.

(hlm.542)

Tapi bagi saya justru di situlah salah satu kelebihan Konstitusi 2002: ia lahir lewat tangan-tangan kaum politisi yang, seperti kata Goenawan Mohamad, bukanlah wakil Tuhan, dan bukan pula wakil para setan.

Dari tangan-tangfan seperti itu tak terhindarkan adanya berbagai kelemahan. Tapi republic kita memang bukan republic Plato, di mana kesempurnaan datang dalam sebuah paket besar sekaligus.

Tunda Dulu Sistem Distrik

Sejak pemilu pertama pada 1955 hingga pemilu terakhir Orde Baru, sistem yang berlaku adalah sistem proporsional. Kini kita harus menentukan, apakah sistem yang sama dilanjutkan atau kita memilih sistem yang samasekali baru, yaitu sistem distrik?

(hlm.544)

Personalisasi Politik

Pertama, sistem ini cenderung memperlemah basis kepartaian dan, sebaliknya, mendorong meluasnya “personalisasi” politik. Mengapa?

Pemilih dalam sistem ini tidak lagi terutama memilih partai, tapi orang per orang.

Untuk terpilih menjadi wakil rakyat, seseorang tidak lagi perlu meniti karir dalam partai apapun. Artinya, partai tidak lagi menjadi lembaga utama dalam proses mobilisasi, kaderisasi, dan pendidikan politik. Dan karena itu ikatan-ikatan kepartaian pun cenderung akan menjadi sangat lemah.

(hlm.545)

Hal ini nantinya akan mengakibatkan tingginya derajat ketidakpastian dalam interaksi politik di lembaga perwakilan kita.

Lokalisasi Politik

Persoalan kedua sistem distrik adalah kecenderungannya dalam mendorong “lokalisasi” politik. Sebagian besar individu yang terpilih sebagai wakil rakyat dalam sistem distrik, mungkin akan kita balikkan menjadi “bias lokal”. Artinya, dari titik ekstrem yang satu kita bergerak ke titik ekstrem lainnya.

Menuju
Pelembagaan Reformasi

SAAT INI proses reformasi memasuki periode kritis. Apa yang mungkin terjadi di depan pada dasarnya bisa disederhanakan ke dalam dua alternatif, yaitu consolidated anarchy dan consolidated democracy.

(hlm.549)

Maksud saya adalah tidak satu pun kelompok, sejak saat menjelang turunnya Soeharto hingga saat ini, yang betul-betul memiliki sufficient power untuk menang secara mutlak.

Karena perimbangan kekuatan semacam itulah maka transisi politik kita bisa disebut sebagai reforma pactada, reformasi yang harus dinegosiasikan, seperti yang terjadi di Spanyol pada pertengahan 1970-an misalnya. Dalam transisi semacam ini, karena masing-masing hanya memiliki “sebagian” dari kekuatan yang dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan politik, maka setiap pihak yang bermain dalam arena politik, baik kaum reformasi yang terdiri atas berbagai macam kelompok itu maupun kaum yang memegang kekuasaan, harus sanggup melakukan tawar-menawar untuk mencapai tahap reformasi yang lebih lanjut, yaitu tahap pelembagaan.

(hlm.553)

Tiga Faktor
Penyebab SI MPR

Rentang waktu yang digunakan dalam proses penulisan kurang lebih hanya tiga minggu. Bagaimana mungkin kita merumuskan hukum-hukum dasar bagi suatu bangsa yang besar dan kompleks hanya dalam 20 hari?

Bandingkanlah hal itu dengan proses perumusan dan penulisan konstitusi Amerika Serikat. Setelah republik modern pertama dalam sejarah ini memproklamasikan kemerdekaanya pada 4 juli 1776, ratifikasi konstitusi baru terjadi empat belas tahun kemudian. Dan dalam proses perumusan dan yang panjang ini terjad banyak perdebatan yang sangat memukau di antara para founding fathers negeri itu,  seperti Thomas Jefferson dan James Madison. Selama bertahun-tahun, mereka berdebat, berkirim surat, mengadu argument tentang konsep kekuasaan, tentang hal-hal yang paling dasar dari sebuah masyarakat modern, dan bentuk-bentuk pemerintahan yang paling baik untuk mengaturnya. Hasil-hasil perdebatan inilah, salah satunya, yang mewarnai konstitusi AS.

Tentu, selain soal ketergesaan, kekurangan-kekurangan yang ada dalam UUD 1945 juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti paham-paham besar yang populer di kalangan tokoh-tokoh bangsa kita waktu itu, minimnya ahli hukum tata negara yang betul-betul piawai, pengaruh kolonialisme Jepang dan Belanda, dan sebagainya. Namun, apapun sebabnya, kekurangan-kekurangan itu bersifat mendasar, rill, dan jika digunakan untuk betul-betul mengatur sebuah masyarakat modern yang kompleks, akibatnya akan negatif, untuk menggunakan sebuah kata yang agak netral.

(hlm.555)

Artinya, para politisi, baik yang berada di parlemen maupun di lembaga eksekutif, harus melakukan tawar-menawar terus-menerus, sebuah hal yang tentu saja diperburuk oleh beberapa ketidakpastian yang ada dalam konstitusi kita mengenai batas-batas serta kewajiban-kewajiban yang harus ada dalam proses semacam ini.

(hlm.556)

Hal yang terakhir ini misalnya terlihat pada betapa terkejutnya kita melihat gejala yang sering disebut sebagai the fading away of the state, memudarnya otoritas negara dan pemerintahan dalam banyak interaksi kemasyarakatan. Kita masih memiliki pemerintah secara formal, tetapi dalam banyak urusan di mana ia sangat dibutuhkan (Ambon, Sampit, Poso, dan sebagainya), ia menghilang dan hampir menjadi aktor yang tidak relevan kehadirannya, kalau tidak malah mempersulit situasi yang sudah sulit.

Kosensus Elite
dan Politik Kekuatan

(Tanggapan buat Denny JA)

SETELAH PEMILU dua tahun silam, sebenarnya sudah bisa terbaca persoalan politik kita yang fundamental. Persoalanini bersumber pada komposisi dukungan yang diperoleh partai-partai besar, di mana tidak satu pun di antara mereka yang memiliki suara mayoritas mutlak, sebuah kondisi yang diperlukan untuk melahirkan force majeure dalam berhadapan dengan pilihan-pilihan tindakan publik. PDI-P memang muncul sebagai pemenang pemilu, namun dukungan rill yang dimilikinya tidak memadai untuk membentuk pemerintahan baru.

(hlm.560)

Dalam arena ekonomi, misalnya, pemerintah harus mengambil serangkaian kebijakan, dari penentu anggaran tahunan, pajak, utang, nasib BUMN hingga ke hubungan kita dengan IMF dan Bank Dunia. Siapa yang bertanggungjawab terhadap apa? Haruslah pengambilan kebijakan terpenting dipercayakan pada tokoh PDI-P dan Golkar, dua partai dengan dukungan rakyat terbesar, serta soal yang remeh-remeh diberikan pada tokoh-tokoh PAN, PKB, PPP dan elite nonpartai? Maukah mereka diberi porsi remeh-temeh? Bagaimana persisnya pengaturan semacam ini?

Jika PDI-P dan PAN misalnya, masing-masing dengan 34% dan 7% dukungan suara rakyat, diberi peran dan tanggungjawab yang sama dalam menentukan soal-soal besar yang kita hadapi, sesungguhnya buat apa lagi kita menyelenggarakan pemilu? Bukankah pesta demokrasi ini justru diadakan untuk melihat pilihan-pilihan rakyat.

(hlm.561)

Persoalan politik, seperti kata Machiavelli, harus diselesaikan dengan power politics, bukan dengan nasihat-nasihat moral serta imbauan-imbauan normative agar kaum elite bertemu dan membuat consensus.

Dalam kondisi kita sekarang, persyaratan bagi munculnya kekuatan besar yang sanggup mendominasi panggung politik hanya bisa tercapai jika PDI-P dan Golkar membangun koalisi bersama. Dukungan suara rakyat buat keduanya hampir mencapai 60 persen, sebuah jumlah yang memadai untuk digunakan sebagai modal politik bagi pemerintahan yang efektif.

Jalan ke luar semacam ini secara teknis lebih mudah (membagi kekuasaan di antara dua partai dengan jumlah suara hampir sama jauh lebih sederhana) serta secara prinsipiil tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah demokrasi. Dalam hal yang terkhir ini kita harus ingat bahwa demokrasi bermula dan berakhir di kotak suara. Hingga pemilu berikutnya PDI-P dan Golkar memiliki hak penuh untuk memegang kendali utama roda pemerintahan di negeri kita.

(hlm.562)

Secara ideologis kedua partai ini sesungguhnya hampir tidak memiliki perbedaan mendasar.

(hlm.564)

Kegagalan SI MPR:
Rahmat Terselubung

Jadi, dalam prinsipnya, sistem yang di tawarkan PDI-P mengandung dualisme legitimasi. Pada periode yang satu, kita memiliki presiden yang langsung dipilih rakyat. Pada periode lainnya, kita harus dipimpin oleh kepala pemerintahan yang dipilih oleh MPR.

(hlm.565)

Legitimasi adalah soal prosedur yang sah. Jika kita sepakat bahwa dalam pemilu tinngkat pertama siapapun yang mencapai dukungan terbesar, dengan prinsip plurality, akan menjadi presiden, berarti baik kemenangan dengan 35 persen, 45 persen, maupun 65 persen dukungan suara rakyat akan sama sahnya. Yang penting di sini, kemenangan itu dicapai dengan mengikuti prosedur yang ada, bukan jumlah nominal suara yang berhadil dicapai.

Tapi kita juga tahu bahwa penduduk Pulau Jawa adalah entitas demograsif, bukan politis. Secara politis, Pulau Jawa tidak pernah satu dan homogen. Karena itu, kekhawatiran bahwa para kandidat presiden hanya akan berkonsentrasi untuk memenangi pemilu di Pulau Jawa sebenamnya adalah kekhawatiran tanpa dasar yang jelas.

(hlm.566)

Kalau kita memang ingin berubah ke arah yang lebih baik dengan sistem politik yang sederhana dan lebih memberi kapastian, yang paling ideal adalah sistem pemilihan langsung dengan satu tingkat dan berdasarkan pada prinsip plurality.

(hlm.568)

Indonesia:
Persoalan Demokratisasi

II

Mengapa perpolitikan Orba berubah? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah bahwa Orba terjebak oleh keberhasilan ekonominya sendiri.

Mukjizat ekonomi ini mengubah negeri itu dalam beberapa hal. Dua di antaranya adalah, pertama, hal itu menciptakan jaringan aktivitas ekonomi yang lebih luas di luar kontrol pemerintah.

Kedua, hal itu menciptakan suatu masyarakat “baru” yang sering disebut masyarakat sipil.

Mereka ini–yakni para anggota masyarakat sipil–adalah orang-orang yang berpendidikan, yang mempertaruhkan hidup mereka dalam aktivitas-aktivitas ekonomi swasta, dan yang biasanya berpikir bahwa roti semata-mata tidak memadai untuk mencapai suatu kehidupan yang baik. Dalam bahasa Hegelian, apa yang umumnya dilakukan oleh para aktor politik yang independen–dengan kata lain, mereka pada dasarnya akan mendukung terciptanya sebuah sistem politik di mana mereka, dan bukan para penguasa, adalah sang tuan.

(hlm.571)

Bagi saya, penjelasan terbaik tentang demokrasi diberikan oleh Schumpeter dalam karya besarnya, Capitalism, Socialism, and Democracy. Demokrasi Schumpeterian adalah sebuah sistem persaingan yang terbuka dan fair di kalangan elite politik untuk mendapatkan kekuasaan.

(hlm.576)

Soeharto-lah yang melindungi dan menjaga posisi paea perwira militer sekarang ini dalam politik sipil. Saya sangat yakin bahwa ketika Soeharto sudah tidak ada lagi di panggung politik, kekuatan militer akan sangat merosot.

BAB VIII

Setelah Perang:        
Tentang Amerika dan Isu-isu Internasional

Gore, Bush, dan Kita

Secara kuantitatif kecenderungan yang terlihat menunjukkan sebuah gejala yang lazim disebut statistical dead heat, posisi dominan seorang kandidat masih ada dalam jangkauan keselahan sampel penelitian.

(hlm.580)

Berbeda dengan Gore, George W. Bush adalah wakil yang hampir sempurna dari arus realism dalam politik.

Pemilu AS, Drama Politik,
dan Tuntutan Akal Sehat

Sekarang, menurut hasil perhitungan ulang versi associated Press, Bush berhasil mengugguli Gore di Florida hanya dengan perbedaan 327 suara.

(hlm.584)

Akal Sehat

Mereka menuduh bahwa desain kertas suara di Plam Beach, sebuah kabupaten di Florida Selatan denga 400.000 pemilih, membingungkan dan menipu rakyat. Karena kebingungan ini setidaknya ada 3.000-an suara pendukung Gore yang tanpa sadar beralih ke Patrick Buchanan, sebuah jumlah yang cukup besar untuk memenangkan Gore mengingat perbedaan suara yang begitu tipisnya.

(hlm.586)

Setelah drama politik ini berakhir, rakyat AS akan kembali melihat kehidupaan politik yang berjalan normal. Bertahun-tahun kemudian, mereka akan mengenang Pemilu 2000 sebagai salah satu ujian yang membuktikan bahwa  sistem demokrasi mereka adalah sistem yang matang, dan mereka layak berbangga karenanya.

(hlm.588)

Darurat Sipil
di Cincinnati

Namun, di hari kedua berubah: mereka mulai melempar, membakar, dan menjarah. The Cincinnati Enquirer, salah satu Koran lokal yang cukup ternama, menggambarkan bahwa saat itu sebagian kawasan kota yang mereka cintai sudah mirip Lebanon, sebuah daerah tak bertuan yang mengerikan.

Setelah penembakan polisi itulah Charles Luken lai memutuskan pemberlakuan undang-undang darurat sipil. Dia dan para anggota DPRD Cincinnati, yang sebagian adalah politisi keturunan Afrika, tidak melihat pilihan lain. Mereka ingin mencegah terjadinya eskalasi kerusuhan dengan sikap tegas; kalau perlu, dengan senjata. Malah, Charles Luken juga menegaskan bahwa bila kerusuhan semakin meningkat dalam beberapa hari, ia tidak akan segan untuk meminta turunnya tentara cadangan, The National Guard, yang bih terlatih untuk bersikap keras.

Yang menarik, keputusan Walikota Cincinnati seperti itu tidak diprotes secara luas oleh publik Amerika. Bahkan setelah keputusan itu diambil, pers national AS tidak menganggap Charles Luken melakukan tindakan kontroversial yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan dan hak-hak asasi.

(hlm.589)

Rakyat Amerika tidak pernah mengalami hidup di bawah “rezim kemanan” dan, karena itu, mereka terbebas dari trauma sejarah yang banyak ditemukan di negeri sedang berkembang, termasuk di negeri sedang berkembang, termasuk di negeri kita.

James Madison, salah seorang perumus konstitusi AS pada akhir abad ke-18, pernah berkata bahwa tanpa ketertiban dan aturan hukun yang tegas, tidak aka ada kebebasan dan hak-hak asasi.

(hlm.592)

Presiden Bush
dan Pertaruhan Amerika

Dalam dunia kebijakan, tantangan terbesar Bush bersumber pada masalah klasik dalam kapitalisme modern, yaitu bagaimana ia merumuskan kembali perimbangan perna negara dan pasar, bagiamana ia merumuskan kembali perimbangan peran negara dan pasar, bagaimana ia mengatasi tarik-menarik antara langkah-langkah birokratis dan aksi-aksi sukarela di masyarakat.

Hal ini, misalnya, terlihat dalam programnnya melakukan programnya melakukan pemotongan pajak yang besar (1,3 triliun dollar AS selama 10 tahun ke depan) dan pada saat yang sama mendorong langkah-langkah privatisasi program kesejahteraan sosial, social security. Program terakhir ini, yang dimulai Presiden Franklin D.Roosvelt pada 1935, adalah ikon paling penting negara kesejahteraan ala Amerika, dan karena itu sering dianggap sacral, bahkan juga oleh kaum Republikan.

(hlm.593)

Kini tiga pekerja di AS menanggung seorang pensiunan (setiap pekerja harus membayar pajk jaminan kesejahteraan yang langsung digunakan negara federal untuk membiayai kaum pensiunan). Dalam 20 tahun, karena perkembangan demografis yang tidak terhindarkan, perimbangan ini akan menjadi 2,1:1. Artinya hanya sekitar dua orang yang bekerja untuk menanggung seorang pensiunan.

(hlm.594)

Bush bukan ideolog, dan dia tidak memiliki minat untuk menjadi filsuf-negarawan. Namun, selama memimpin Texas, dia membuktikan dirinya sebagai seorang deal-maker ulung, dengan kepribadian menarik yang dengan alamiah gampang menarik simpati banyak orang.

Setelah Perang

Masyarakat Jepang dan Jerman adalah masyarakat yang relatif homogen, semantara masyarakat Irak terpecah tajam dalam garis-garis etnis dan agama.

(hlm.597)

Tapi kemajemukan bukanlah musuh demokrasi. Dengan konstruksi sistem politik yang tepat, ia malah dapat menjadi sumber kekuatan.

Saya setuju dengan pandangan Thomas Friedman, kolumnis The New York Times yang tajam itu, bahwa keunikan Irak adalah karena ia merupakan satu-satunya negeri di dunia Arab yang memiliki empat hal sekaligus, yaitu minyak, air, otak, dan tradisi sekularisme. Arab Saudi dan Kuwait hanya memiliki minyak, Israel Cuma punya otak, sementara di Suriah dan Mesir hanya ada air dan tradisi sekularisme.

(hlm.599)

Setelah lima tahun menjadi semacam proconsul Romawi di Jepang, Jenderal MacArthur kembali ke negerinya dengan diiringin tangis oleh sebagian warga di Tokyo.

Sirklus Amerika?

Sambil mengutip sebuah film klasik Hollywood, Mr. Smith Goes to Washington, Juwono berkata bahwa tipe politikus yang  jujur dan idealis, sudah tak mungkin lagi ditemukan di Washinton. Zaman bagi aktor politik yang jujur sudah lewat.

(hlm.602)

Mengapa akses-akses seperti ini sampai terjadi? Sebabnya tak lain adalah tingkat kompetisi politik yang sangat tinggi. Di Amerika tak mengenal metode 4-D (datang, duduk, diam, duit). Kalau “mandataris” mereka, yaitu Presiden Clinton, bilang A, jangan harap kemudian akan terdengar suara kor berkembangan berkepangjangan menyerukan A.

Politisi Amerika harus bertarung, beradu argumen untuk memengaruhin kebijakan publik. Ia harus membuktikan bahwa ia memang layak mewakili kepentingan kelopok yang memilihnya. Kalau tidak, Ia tak lagi akan terpilih dalam pemilihan berikut.

Demokrasi Amerika

Di Gettysburg pada 1863 Abraham Lincoln berpidato tentang Amerika. Amerika, kata Lincoln, adalah sebuah negeri “yang dipersembahkan bagi sebuah gagasan bahwa manusia diciptakan sama”.

Ralph Nader dan Hedrick Smith–yang dikutip Juwono untuk mendukung argumennya–tak dianggap serius dalam dunia pemikiran di Amerika. Mereka lebih dianggap sebagai popularizers of ideas. Pendapat Smith, misalnya, bahwa dasar kekuasaan politik di Amerika adalah “uang, uang, dan uang” bersumber pada asumsi Marxisme yang paling vulgar.

(hlm.605)

Walaupun dikemukakan pada akhir 1950-an argument Mills ini hingga sekarang masih cukup populer di berbagai kalangan. Salah satu sebabnya: ia memungkinkan kita sangat menyederhanakan masalah dan kemudian menuding.

Di mana kelemahan Mills dan Juwono? Di negeri mana pun–demokratis atau tidak, di Washington atau di Jakarta–selalu ada lapisan elite. Hal ini sangat trivial, kita bisa memakluminya tanpa harus berpikir keras. Yang sesungguhnya relevan sebagai persoalan politik adalah sifat kekuasaan para elite itu. Inilah yang membedakan antara sistem yang demokratis dan yang otoriter.

(hlm.606)

Apakah kontrol terhadap elite politik berjalan? Apakah pemilihan terhadap mereka fair dan terbuka? Bagaimana cara mereka mengambil keputusan? Apakah pers dibredel? Dan di hadapan kriteria-kriteria inilah potret kita terhadap politik Amerika tak sesederhana tudingan Juwono.

Dalam proses pengambilan keputusan, misalnya, yang paling penting dalam sistem Amerika adalah mekanisme yang memungkinkan perdebatan terbuka di antara para elite di Kongres, Senat, dan Gedung Putih. Tentu saja kombinasi kekuatan uang, ide, karisma pribadi, dan organisasi memengaruhi hasil akhir perdebatan ini. Tapi semua ini tak bisa menghilangkan fakta dasar bahwa, di antara para elite di Washington, perdebatan terbuka berlangsung terus-menerus. Dan rakyat, berkat pers yang bebas, menyaksikannya secara luas.

Perdebatan-perdebatan ini sesungguhnya adalah bentuk tawar-menawar yang terus-menerus antara penguasa dan rakyat.

Demokrasi, Alan Greenspan,
dan Sembilan Sulaiman

Dirut Bank Federal AS ini sering dianggap sebagai manusia paling berkuasa di Washington DC. Presiden dan wakil-wakil rakyat di kongres bisa memainkan tarif pajak, mengirim tentara ke Kosovo, membatasi tindakan aborsi dan sebagainya. Namun, hanya Alan Greenspan yang berhak mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan moneter.

Dengan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga, dia bisa mengahari-birukan ekonomi AS, dalam hitungan detik. Uang adalah darahnya kapitalisme modern, dan tingkat suku bunga berfungsi sebagai katup yang menentukan seberapa banyak darah itu mengalir untuk memutar roda perekonomian.

(hlm.609)

Kesembilan tokoh inilah yang mengambil keputusan final dalam segala hal yang menyangkut hukum dan keadilan. Di atas mereka tidak ada lagi otoritas yang lebih tinggi. Karena itu, mereka kerap disebut kalangan pers AS sebagai The Nine Solomons, Sembilan Sulaiman.

(hlm.610)

Sama dengan Greenspan, hakim-hakim agung ini diangkat oleh presiden dengan persetujuan Senat. Tetapi, lebih dari Greenspan, mereka berkuasa praktis untuk seumur hidup. Setelah diangkat, mereka tidak dapat diganti dan tidak lagi dapat dikontrol siapapun. agar tak terjangkau desakan rakyat dan tarik-menarik kepentingan politik, mereka ditempatkan di langit kekuasaan. Tidak lebih dan tidak kurang, merekalah aktor-aktor yang oleh Plato, pemikir Yunani klasik itu, disebut sebagai filsuf-negarawan.

Keterbatasan Demokrasi

Mengapa peranan semacam itu harus ada? Mengapa sistem demokrasi modern membiarkan dua hal terpenting dalam kehidupan masyarakat, yaitu uang dan hukum, diatur oleh tokoh-tokoh yang tak terpilih dalam pemilu dan karena itu tidak bertanggungjawab langsung terhadap rakyat? Bukanlah rakyat yang paling berkuasa dalam setiap sistem demokrasi?

Jawabannya sederhana. Berbeda dengan yang dikatakan Jean-Jacques Rousseau, filsuf romantic Prancis pra-Revolusi, rakyat tidak memiliki kepentingan tunggal yang bersifat umum. Dengan menyebut “rakyat”, kita sebenarnya menyederhanakan sebiah mozaik kepentingan yang rumit.

Bayangkan kekacauan yang terjadi jika arus peredaran uang harus senantiasa mengikutik dinamika kepentingan yang kompleks itu. Para politisi yang membawa kepentingan kaum pengusaha akan mendesak otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga, tanpa peduli risiko-risiko jangka panjang bagi keseluruhab sistem perekonomian.

(hlm.611)

Para hakim akan berubah menjadi kaum aktivis yang mewakili kepentingan-kepentingan praktis dalam masyarakat.

(hlm.614)

Barack Obama:
Superstar Politik Jalan Tengah

Sama dengan Bill Clinton dan Ronald Reagan sebelumnya, Obama memiliki kemampuan sebagai orator dengan pribadi yang karismatik. Kefasihan dan caranya berbicara, tekanan suaranya, tatapan matanya, gerak tubuhnya: semua elemen-elemen dasar ini saling memperkuat dan memunculkan citra seorang pemimpin yang sungguh-sungguh, kredibel, menawan, dan membangkitkan simpati serta harapan sekaligus.

Publik Amerika mudah jatuh hati pada cerita sukses semacam ini, apalagi oleh seorang anak muda kulit hitam yang tak suka mengeluh dan menyalahkan situasi di sekelilingnya, termasuk sejarah perbudakan di Amerika.

(hlm.615)

Sama dengan Dreams, dalam buku ini kita bisa melihat betapa Obama memiliki sensibilitas yang tinggi terhadap dimensi-dimensi manusiawi dari setiap persoalan yang ditemuinya.

Dan, dalam melakukannya, ia tidak terjebak dalam analisis-analisis yang kering, tetapi membingkainya dengan anekdot, cerita, dan ungkapan-ungkapan yang memberi jiwa pada analisis-analisis tersebut.

Di situlah terletak salah satu kekuatan buku ini. setiap persoalan politik atau isu kebijakan selalu di mulai dan diakhiri dengan cerita tentang manusia, tentang kepedihan dan harapannya, tentang kekuatan dan kelemahannya. Di sini ia memperihatkan bahwa dunia politik dan kebijakan tidak berada di ruang hampa, tetapi berhubungan langsung dengan nasib dan kehidupan manusia-manusia yang rill.

(hlm.616)

Politik Jalan Tengah

Dari segi substansi dan spektrum ide-ide yang ditawarkannya, Barack Obama bisa digolongkan sebagai politisi moderat dari tradisi liberal Amerika. Atau secara lebih sederhana ia bisa disebut sebagai the third way politician, politisi jalan tengah dalam tradisi yang telah dirintis Bill Clinton dan Tony Blair. Hal inilah yang membedakan Obama dengan banyak politisi kulit hitam yang cenderung memilih garis ekstrem, baik di kiri (Jesse Jackson) maupun di kanan (Alan Keynes).

Institusi Obama adalah mencari moderasi dan jalan tengah. Ia ingin merangkul sebanyak mungkin kalangan. Untuk itu, ia bahkan sanggup mencari kebenaran pada lawan-lawan politiknya dan mengakui bahwa kaum Repubulikan seringkali memiliki pandangan yang lebih baik.

Sementara sebagian lagi dapat menuduh bahwa jalan tengah bukanlah sebuah jalan ke luar, melainkan sebuah pelarian, sebuah jalan pintas untuk menghindari pilihan-pilihan sulit yang harus dilakukan oleh seorang pemimpinan.

(hlm.617)

Adapun mengenai jalan tengah sebagai proposisi kebijakan, barangkali memang saat ini Amerika lebih membutuhkannya. Sejarah melahirkan aktor-aktornya sendiri. Setelah zaman Bush, Amerika sekarang dahaga akan datangnya seorang pemimpin yang merangkul, seorang heal-maker, seorang yang sanggup membangun jembatan bagi begitu banyak perbedaan yang ada.

Masalah Kerjasama

“Seperti demokrasi, kejujuran, dan pernikahan yang stabil, [kerjasama dalam kepemimpinan ekonomi] merupakan suatu hal yang lebih baik ketimbang pilihan-pilihan yang ada.”

(hlm.623)

Cooper dengan jelas menangkap poin ini ketika ia berkata bahwa “dunia menghabiskan 50 tahun untuk mencapai kerjasama internasional dalam sebuah wilayah yang sudah sangat jelas seperti kesehatan publik ” (1988: 101).

BAB IX         
Catatan Pribadi

(hlm.627)

Pak Bill dalam Hidup Saya

Tetapi saya juga masih bimbang. Soalnya adalah dana dari beasiswa Fulbright, seingat saya, “hanya” US$25.000 per tahun, sementara untuk kuliah di Columbia yang dibutuhkan adalah US$40.000 setahun.

(hlm.628)

Columbus lebih kecil, lebih bersahabat, serta lebih murah. Singkatnya, Dewi dan saya pasti akan lebih merasa nyaman di Colombus, apalagi jika kami nantinya akan membesarkan seorang anak.

(hlm.631)

Salah satu wilayah yang saya gemari adalah sejarah liberalisme, dalam pengertian klasik. Di UGM, pada tahun-tahun awal, saya termasuk aktivis mahasiswa kiri. Tetapi menjelang lulus saya semakin menempuh the road less traveled by dalam konteks pergerakan kemahasiswaan saat itu: saya semakin insentif bergerak ke kanan. Di Columbus perubahan ini semakin insentif dan saya mencoba memahami lebih jauh tradisi pemikiran liberal.

(hlm.632)

Tetapi begitu mendiskusikan negara maju, khusunya AS, maka dinamikan diskusi aga meninggi. Saya biasanya memuji Ronald Reagen dan mencoba memahami godfather intelektual yang berada di balik kemunculan tokoh politik ini, dari F.A. Hayek, Milton Friedman, William F. Buckley Jr. hingga Irving Kristol yang dianggap sebagai pionir gerakan neocon itu. Kalau sudah begini bukan satu atau dua kali saja Pak Bill menyinggung Richard Rorty, tokoh posmo-pragmatis yang brilian itu, dengan akibat yang agak memicu perputaran darah saya, sebab dalam beberapa tulisannya Rorty kadang menyinggung bahwa munculnya Reagen sebenarnya tidak lebih hanyalah sebentuk pencurian harta yang dilakukan oleh kaum berduit terhadap kelas menengah dan kelas bawah. Tentu saja saya sadar juga bahwa Pak Bill mengutip Rorty bukan karena “teori ekonomi” yang terlalu sederhana itu, tetapi karena pendapat Rorty yang membela tradisi progresif AS dengan penjelasan filosofi yang memang tajam dan mendalam.

(hlm.633)

Dalam praktik hal ini berarti bahwa sebelum demokrasi dan ekonomi pasar dapat berjalan dengan baik, unit organisasi politiknya, yaitu negara-bangsa, harus relatif beres dulu.

(hlm.634)

Saya kuatir bahwa saya terlalu terjebak dalam dunia gagasan sehingga agak melupakan bahwa fondasi kehidupan adalah manusia-manusia konkret yang memiliki perasaan dan hidup masing-masing.

(hlm.635)

Soeharto, dalam pandangan Pak Bill, adalah seorang tokoh di panggung politik yang bertindak secara rasional dalam mencapai tujuannya, membuka peluang dan menghadapi tantangan berdasarkan sumberdaya politik yang dimilikinya.

(hlm.636)

“Pak Bill. Kita semua manusia universal. Tidak ada pengkotakan Indonesia-Amerika, Timur-Barat. Hak Anda mengkritik Indonesia tidak lebih dan tidak kurang di banding hak saya. Lagian, ilmu juga bersifat universal. Apa urusannya dengan ketersinggungan satu dua kelompok yang masih berpikir primordial?”

(hlm.638)

Setelah lulus dari Yale University dia memulai keriernya sebagai pengamat Indonesia bertepatan dengan periode peralihan kekuasaan dari kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Lebih 30 tahun karir profesionalnya dia bangun dengan menulis dan meneliti Orde Baru, Pak Harto, TNI dan semuanya. Kini, praktis dalam sehari, semua itu sudah berlalu.

(hlm.639)

Pak Bill begitu mencintai Indonesia dan pada dinihari itulah dia langsung menyaksikan betapa proses demokrasi menghasilkan the best of all possible worlds.

(hlm.640)

Dalam kehidupan mahasiswa, masa yang paling menyenangkan sekaligus menguras energy adalah masa penelitian dan penulisan disertai. Tidak ada lagi kuliah, paper dan ujian. Tetapi pada saat yang sama segenap pikiran harus dicurahkan untuk meneliti serta menulis satu topic yang spesifik dan menyumbangkan sebuah pengertian baru, atau merevisi pengertian lama, mengenai topic tersebut.

(hlm.641)

Kalau tidak lupa, salah satu pertanyaan dia adalah tentang Max Weber dan Clifford Geertz, bagaimana saya menghubungkan peran ide-ide yang ada dalam disertai saya dengan kebudayaan dan jaringan makna yang banyak ditulis oleh kedua tokoh pemikir tersebut.

(hlm.646)

Surat Buat Semua

The time is not yours yet.

(hlm.648)

This is a road less-traveled by, kata Robert Frost, dank arena itu saya pun belum bisa menerka titik akhir dari perjalanan ini. semuanya bergantung pada dukungan And dan masyarakat umumnya.

Tentang Penulis

Lewat penunjukan Bung Karno, Andi Patoppoi, putra La Temmu Page dan ayah Anda Asny, menjadi tokoh Bugis pertama yang menjadi bupati di Jawa, yaitu Grobongan, Jawa Tengah, 1954-1958.

(hlm.657)

Selepas dari Fisipol UGM, Rizal menjadi asisten dosen di almamaternya, sekaligus menjadi redaktur opini harian Bernas bersama Emha Ainun Nadjib, Butet Kertaradjasa, dan Kuskridho “Dodi” Ambardi. Harian Bernas waktu itu baru saja diambil alih oleh harian Kompas.

(hlm.659)

Pada Februari 2008, bersama adiknya, Choel Mallarangeng dan kawan-kawan dekatnya, Rizal Mallarangeng mendirikan Fox Indonesia, sebuah lembaga konsultasi politik profesional yang pertama di Indonesia.

Artikel Terkait

Dari Jokowi ke Harari oleh Rizal Mallarangeng

Asas Moral dalam Politik oleh Ian Shapiro

Kebijakan Ahok oleh Basuki Tjahaja Purnama

error: Content is protected !!