Dari Jokowi ke Harari oleh Rizal Mallarangeng

Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Dari Jokowi ke Harari oleh Rizal Mallarangeng.

Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.

Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

DARI JOKOWI

KE HARARI

Kumpulan  Esai
Tentang Politik, Ilmu,
dan Masa depan

RIZAL MALLARANGENG

KPG

Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

KPG 59 19 01602

Cetakan Pertama, Februari 2019

Penulis
Rizal Mallarangeng

Editor
Candra Gautama

Perancang Sampul     
Harist Farhan  
Eru Gunawan

Penata Letak 
Wendie Artswenda

ISBN: 978-602-481-094-8

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.

PENGANTAR PENULIS

TERHADAP PERKEMBANGAN politik, kaum pencipta sejarah sering berkata: setiap tokoh ada zamannya, setiap zaman ada tokohnya.

(hlm.xiii)

Sekarang, optimisme semacam itu tampaknya mulai menguap, terutama setelah gagalnya the Arab spring dalam melahirkan pemerintah demokrasi di Mesir, munculnya Viktor Orban di Hongaria, kembalinya Vladimir Putin di Rusia, menangnya Recep Tayyip Erdogan dalam pemilu di Turki, dan munculnya Donald Trump di Amerika Serikat secara tak terduga, serta banyak peristiwa penting lainnya, termasuk referendum di Britania Raya dengan hasil yang mengejutkan (Brexit).

(hlm.8)

BAB I

TOKOH DI PANGGUNG SEJARAH

PERGESERAN
KEPEMIMPINAN JOKOWI           

Mampukah dia membuka lapangan kerja seluas-luasnya, meningkatkan taraf pendidikan secara berarti, membangun jalan tol kilometer?.

(hlm.11)

PIDATO JOKOWI   
MENCARI BENTUK

Podium adalah the bully pulpit, demikian istilah Teddy Roosvelt, Presiden AS di awal abad ke-20, untuk menggambarkan keistimewaan posisi pemimpin eksekutif dalam hubungannya dengan opini publik.

(hlm.14)

Aura Jokowi cocok dengan kata “kerja”, bukan kata “perjuangan”, apalagi kata “revolusi”.

(hlm.18)

XI JINPING  
MANUSIA SETENGAH DEWA

Dalam konstitusi partai ini sekarang, kompilasi pidatonya dimasukkan sebagai pemikiran fundamental, sixiang. Hanya Mao Zedong yang pernah diperlakukan setinggi itu–pemikiran Deng Xiaoping juga pernah dimuat dalam konstitusi partai, tetapi hanya disebut sebagai teori, lilun, yang derajatnya setingkat di bawah.

(hlm.19)

Majalah Economist sendiri, yang setia pada tradisi jurnalisme dalam aliran liberal klasik, melontarkan skeptisisme terhadap perkembangan seperti itu, dengan kalimat cerdas: Xi Jinping might be good for the part, but not necessarily for the people of china.

(hlm.20)

 Penjelasan favorit saya dalam menggambarkan sosok Presiden Trump sejauh ini, dia tidak memiliki cukup disiplin untuk menjadi seorang komedian.

(hlm.27)

MARCON,
HARAPAN BARU PRANCIS

De Gaulle adalah pahlawan perang, penulis brilian, dengan kepribadian karismatik Marcon adalah anak muda 39 tahun yang tumbuh dari univeristas elite di bawah bimbingan filsuf kenamaan Prancis, Paul Ricouner.

(hlm.28)

Sebagai tokoh baru dalam arena politik, dia tampaknya memiliki dua hal sekaligus: kemampuan (virtue) dan keberuntungan (fortuna).

(hlm.29)

Di antara negara maju, tradisi dirigisme paling berakar di negeri ini. Pengeluaran pemerintah sekarang sudah mencapai 57 persen total produksi nasional, tertinggi di Eropa, bahkan lebih daripada negara-negara Skandinavia yang selama ini dikenal sebagi welfare states di garis terdepan.

Aturan ketenagakerjaan sangat kaku melindungi pekerjaan yang sudah mapan, dengan mengorbankan anak muda pencari kerja. Itu sebabnya pengangguran di Prancis sudah mencapai 25 persen tahun lalu (mendekati malaise!) di kalangan pemuda berusia 21-25 tahun.

(hlm.31)

Sebagai gantinya, dia memakai istilah “patriotisme” untuk membuka kesempatan bagi siapa saja dalam membela kepentingan Prancis.

(hlm.39)

THE TRUMP PHENOMENON,      
POLITIK AS YANG BERUBAH?

Salah satu buku yang sedang populer di AS sekarang adalah Hillbilly Elegy, karya JD Vance, penulis muda dari daerah Appalachia, di sekitar Ohio dan Kentucky. Cerita dalam buku ini sederhana tetapi menyentuh hati, sebuah elegi tentang perjalanan hidup sebuah keluarga kulit putih di jantung Amerika yang harus berhadapan dengan masalah perceraian, alkohol, obat terlarang, dan apatisme.

(hlm.40)

Menurut sejarawan ekonomi ini, masa gemilang ekonomi AS telah terjadi haampir setengah abad, yaitu pada periode 1920-an hingga pertengahan 1960-an. Lewat konvergensi berbagai inovasi baru (listrik, radio, kulkas, AC, mobil, televisi, teknologi sanitasi kota, dan sebagainya), ekonomi AS bergerak dengan produktivitas yang sangat tinggi untuk masanya, dan tumbuh menggantikan Britania Raya sebagai dinamo ekonomi dunia. Namun setelah itu, terutama sejak 1970-an, tingkat produktivitas ini sudah mencapai semacam plateau, garis daftar yang relatif konstan, walaupun revolusi digital telah terjadi dengan kekuatan penuh sejak dekade 1990-an.

(hlm.51)

HILLARY CLINTON:         
TOKOH SEJARAH DI JALAN BERLIKU*

Bahkan ekonom peraih Hadiah Nobel seperti Paul Krugman–yang beberapa tahun lalu pernah berkata bahwa satu-satunya hipotesis ilmu ekonomi yang tahan uji sepanjang sejarah adalah teori David Ricardo tentang comparative advantage–kini mulai bersuara kritis dengan posisi yang terkadang membingungkan.

(hlm.53)

Secular decline adalah istilah yang diberikan oleh Lawrence Summers, mantan Menkeu di zaman Bill Clinton, untuk menggambarkan dilema ekonomi AS saat ini: meski suku bunga sudah ekstrem rendah, malah negatif, peningkatan investasi belum terjadi dan  tingkat tabungan masih relatif tinggi.

(hlm.57)

BAB II            
MANUSIA, ILMU, DAN MASA DEPAN

HARARI, ANAK AJAIB      
DENGAN BIG HISTORY*

Dengan buku ini, Harari mengambil jalan berbeda. Ia ingin kembali ke tradisi Big History, menjalankan panorama sejarah lewat beberapa kecenderungan fundamental yang membentuk peradaban manusia.

Harari, profesor Universitas Hebrew, Yerusalem, tidak ingin terbebani dengan tokoh dan peristiwa spesifik. Buku ini adalah sebuah karya sejarah tanpa peranan orang-orang besar.

(hlm.58)

Harari meramu bentang sejarah yang begitu panjang, memerasnya dengan kreatif, membaginya dalam empat tahapan besar, yaitu revolusi kognitif, revolusi pertanian, proses penyatuan manusia, dan revolusi ilmu pengetahuan.

 (hlm.59)

Salah satu daya tarik buku ini adalah pada pilihan penulisnya untuk menanpilkan fakta-fakta historis yang jarang terpikirkan seblumnya.

(hlm.61)

Bagaimana membandingkan perasaan dan subjektivitas manusia dalam rentang waktu begitu jauh, dengan bukti faktual yang sangat minim? Apakah manusia setelah revolusi pertanian, atau revolusi industri, lebih berbahagia dana lebih mensyukuri kehidupan dibanding manusia 20.000 atau 50.000 tahun sebelumnya?.

(hlm.64)

Bagian terbaik buku ini berada dalam dua bab terakhir, yaitu pada saat penulisanya menjelaskan lahirnya dunia modern, berikut dilema dan perdebatan tentang subjektivitas manusia yang mengalaminya.

(hlm.66)

Menjadi lebih maju, lebih kaya, lebih frofitable, bukankah hal yang bertentang dengan moralitas agama.

(hlm.69)

“Was the late Neil Armstrong, whose footprint remains intact in the windless moon, happier than the nameless hunter-gatherer who 30.000 years ago left her hanprint on a wall in Chauvet Cave? If not, what was the point of developing agriculture, cities, writing, coinage, empire, science and industry?”

Tapi topik apa lagi gerangan yang akan dibahasnya, setelah hampir semua soal besar dalam sejarah telah dirangkum dalam buku ini?

(hlm.72)

HOMO DEUS,           
SINAR TERANG YANG MURAM*

Berbeda dengan pasangan filsuf-historian ini, Harari, lebih seperti Friedrich Hegel dan Karl Marx dalam bentuk populer, tidak membahas sejarah sebagai rangkaian peristiwa. Ia langsung menukik pada esensi atau prima causa di balik pengerakan sejarah, merangkainya secara kreatif dalam bangunan cerita yang dibuatnya sendiri.

(hlm.76)

Otak dan cara berpikir manusia ternyata sama dan serupa dengan cara kerja prosesor komputer: Bahan dasarnya berbeda, yang satu karbon, yang satunya lagi silikon. Namun kedunya bekerja secara algoritmik, dengan memanfaatkan gelombang listrik sebagai medium pembawa informasi.

(hlm.79)

Pada esensinya, bagi saya, dia mengulang kembali cerita lama tentang tragedi manusia: pada abad ke-21, homo sapiens adalah Ikarus, putra Daidalos dalam mitologi Yunani, dengan sayap baru berlapis silikon terbang penuh semangat mendekati matahari.

(hlm.81)

Sang penulis sudah memiliki pendapat sendiri dan kemudian mengambil setiap fakta yang ada, memerasnya, menyeleksinya to prove his or her own point.

(hlm.87)

MELAWAT KE STANFORD,          
PUSAT PERUBAHAN DUNIA*

Pada puncak kejayaannya, sebuah tragedi menimpa keluarga Stanford. Anak tunggalnya, Leland Stanford Junior, meninggal karena peyakit tifus saat menginjak usia remaja pada 1884. Setelah melewati duka yang dalam, setahun kemudia Leland Stanford dan istirinya, Jane Stanford, memutuskan untuk mengenang putra mereka dengan menyumbangkan sebagian besar harta, termasuk tanah seluas 3.000 hektere di Palo Alto, bagi pendirian sebuah universitas dengan nama resmi Leland Stanford Junior University.

Salah satu ciri khas universitas baru ini adalah filosofi dasarnya yang sekuler sejak awal: Leland Stanford menegaskan bahwa ia ingin membangun sebuah perguruan yang tidak terkait dengan kepentingan gereja atau agama apa pun. Untuk konteks zaman itu, sikap seperti ini cukup berani. Semua universitas besar di Eropa dan AS, termasuk Harvard, lahir dari rahim gereja atau kaum misionaris.

Keunikan ini juga terpatri dalam logo Stanford, yaitu pohon pinus kayu merah, sequoia, yang menjulang tinggi dibingkai sebuah moto yang dikutip bukan dari tokoh agama, semboyan keagamaan, atau dari ungkapan Latin, sebagaimana lazimnya di dunia universitas, melainkan dari seorang humanis Jerman abad ke-16, Ulrich von Hutten: Die Luft der freiheit weht, angin kebebasan bertiup.

(hlm.89)

Bagi wilayah Palo Alto dan sekitarnya, kedua pangkalan tersebut mendatangkan tipe penduduk yang sama sekali berbeda: pelaut, penerbang, dan terutama ribuan kaum insinyur dan keluarga mereka. Banyak dari insinyur ini adalah ahli-ahli radio dan elektro, sebab saat itu angkatan laut dan angkatan udara AS memang sedang insentif mengembangkan teknologi radio sebagai instrumen komunikasi baru bagi armada mereka.

(hlm.92)

Inisiatif seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya di mana pun: pusat riset dan universitas disatukan dalam tempat yang sama dengan pusat industri-bisnis.

(hlm.96)

Banyak dari perusahaan baru ini digagas dan memulai debut mereka di Stanford Industrian Park.

(hlm.100)

Jumlah transistor pada mikrocip dalam komputer Apollo 11 yang membawa Neil Armstrong ke bulan “hanya” dikisaran ratusan ribu, sementara dalam iPhone 6 yang ada sekarang jumlahnya sudah mencapai dua miliar.

(hlm.103)

Satu hal yang juga perlu ditekankan: justru karena wilayahnya yang relatif kecil, Palo Alto dan Lembah Silikon secara umum mudah mengalami suatu efek yang oleh ekonom Paul Krugman disebut the clustering efects.

(hlm.110)

STEVEN PINKER    
DAN IDE PENCERAHAN*

Setelah cakrawala baru terbentang di Zaman Pencerahan, “kini kemakmuran dunia telah berlipat 200 kali” serta pada saat yang sama, khususnya dalam 35 tahun terakhir, “kemiskinan ekstrem berkurang dari 90 persen menjadi 10 persen”. Sebelum itu, selama lebih seribu tahun, bahkan beribu tahun, tidak ada kemajuan berarti. Manusia umumnya berada dalam lautan kemiskinan, buta huruf, serta dikitari oleh dogma, penyakit menular, dan ancaman perang terus-menerus.

Sekarang, di Eropa dan Amerika, usia rakyat secara umum bisa mencapai lebih 70 tahun, sementara dua abad lalu semua orang berumur pendek, sekitar 30 tahun rata-rata.

(hlm.111)

Kesalahan ekonom seperti Thomas Piketty, menurut Steven Pinker, adalah karena dia larut dalam retorika yang terlalu bergelora sehingga “terjebak pada the lump fallcy”. Dalam bukunya yang menjadi best-seller beberapa tahun silam, capitalism in the twenty first (2013), Piketty memang berkata bahwa rakyat kecil pada 2010 hanya menikmati 5 persen dari total kekayaan (wealth), dan proporsi ini sama dengan angkatan tahun 1910–jadi dengan ukuran ini, yang ada hanyalah stagnasi, bukan loncatan kemajuan. Buat Steven Pinker, proporsi ini mungkin benar, tetapi ia mengaburkan fakta bahwa kue ekonomi sekarang jauh lebih besar, sehingga kaum kelas bawah pun”are far richer” dibanding kelompok yang sama serastus tahun lalu.

(hlm.113)

the winners include most of humanity

Di zaman Adam Smith, praktis hanya 1 persen manusia yang menikmati situasi relatif bebas tanpa tirani atau operasi berlebiha. Setelah itu–dalam hal ini Pinker mengutip Samuel Huntington–yang terjadi adalah gelombang demokratis atau hampir demokratis mencapai angka 120, dan di dalamnya tercakup dua pertiga umat manusia.

(hlm.115)

“Jika semua tambahan umur dan kesehatan, semua peningkatan pengetahuan, waktu senggang, keamanan, kebebasan, demokrasi, dan jaminan hak-hak asasi–jika semua ini memang membuat manusia tidak lebih senang dan bahagia, tetapi justru menjadi kesepian dan cenderung ingin bunuh diri–it would be histroy’s greatest joke on humanity.

(hlm.116)

Kebahagiaan adalah konsep yang elusive, susah dipegang.

Karena itu, dia membedakan dua hal: hidup yang berbahagia dan hidup yang berarti, meaningful. Kebahagiaan adalah konsep sesaat, naik dan turun, bergantung pada banyak hal, termasuk suasana hati, karakter, lingkungan, dan sebagainya. Sebaliknya, konsep “berarti” mengandalkan kehidupan yang memiliki narasi tentang masa lampau dan tujuan masa depan.

(hlm.117)

Kita juga bisa bertanya: sejauh mana sebenernya pembelaan seperti ini efektif dalam menahan laju reaksi balik terhadap modernitas pada awal abad ke-21 dalam bentuk populisme ekstrem di kiri dan kanan, atavisme, atau politik identitas dan kaum agamawan yang militan, sebagaiman yang disinggung di awal buku ini.

(hlm.119)

KONTROVERSI DI UGM:  
“WHAT’S WRONG WITH THAT?”

Saya sendiri menyadari hal itu setelah membaca ssbuah respon singkat terhadap posting saya beberapa hari silam di grup WhatsApps teman-teman seangkatan (Fisip Komunikasi UGM, Angkatan 1984).

(hlm.122)

Kalau kompleksitas tersebut disederhanakan dengan hanya menerima kategori penghafal ayat-ayat Quran, kita tentu bersikap tidak adil terhadap  umat beragama lainnya.

(hlm.123)

Bukankah cara berpikir dan metode belajar seperti itu–menghafal naskah brulang-ulang–justru membuat pikiran menjadi beku?

(hlm.125)

Sukarno, dalam masa pembuangan di Bengkulu pada zaman pra-kemerdekaan, pernah melontarkan self-criticism. Dia berkata bahwa bahwa masyarakat Islam, setelah puncak kejayaan pada abad ke-10, terlanda kebekuan berpikir selama seribu tahun karena terlalu mementingkan tradisi dan hal-hal yang bersifat “kulitnya” saja. Umat Islam masih terjebak dalam “masyarakat unta”, demikian ia menyayangkan, sementara dunia sudah bergerak melahirkan “masyarakat kapal terbang”.

(hlm.127)

Jadi pada intinya, kalau kita meminjam ungkapan Richard Feynman, fisikawan terkemuka Amerika Serikat, dapat dikatakan bahwa agama adalah a culture of faith, sementara ilmu pengetahuan a culture of doubt.

(hlm.131)

PERPUSTAKAAN NASIONAL       
PATTINGALLOANG: SEBUAH USUL

Digagas pertama kali oleh Sukarno tahun 1952, harapan mulia itu kini terwujud. Bahkan tidak main-main. Dengan koleksi buku dan naskah lebih dari sejuta, degan bangunan setinggi 24 lantai serta ruang baca yang nyaman dan leluasa, plus lokasinya yang amat strategis, gedung baru ini pantas menjadi ikon baru Jakarta.

(hlm.133)

Sinar di Timur

Ia adalah bangsawan Kerajaan Tallo, sebuah unit politik relatif kecil yang berbatasan dengan Kerajaan Gowa (Makassar). Ayahnya adalah Karaeng Matoaya, penguasa Tallo yang merangkap sebagai Perdana Menteri Kerajaan Makassar. Hubungan kedua entitas politik ini sangat erat dan dalam ulasan sejarah sering disatukan menjadi Kerajaan Makassar-Tallo.

(hlm.134)

Dengan kemampuan diplomasi tingkat tinggi, ia menjadikan Makassae sebagai pelabuhan terbuka, semacam free trade zone pada zaman itu, di mana rempah-rempah “selundupan” di jual secara bebas, dengan perlindungan penuh Kerajaan Makassar.

“Tanah diciptakan Tuhan buat penduduk yang bermukim di atasnya. Tetapi laut lepasn adalah milik semua orang.”

(hlm.136)

Oleh sejarawan Anthony Reid, berbagai langkah serta keberhasilan Karaeng Pattigalloang diberi catatan tersendiri: “They laid the basis for the greatness of seventeenth century Makassar through not ruthlessness buat rather an extraordinary combination of intellectual eminence and political wisdom.

Catatan seperti ini, oleh Anthony Reid, digunakan sebagai pembanding terhadap raja-raja lainnya di Nusantara yang bertakhta pada kurun waktu yang kurang lebih sama, seperti Sultan Iskandar Muda di Aceh dan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma di Mataram, yang sering menegakkan kekuasaan mereka lewat “personal terror” dan “artificial centralization”.

(hlm.139)

Kaum penguasa lainnya bisa dikatakan sebagai pemimpin yang–terlepas dari besarnya kekuasaan yang dimiliki–lebih merupakan sosok ignoramus dalam soal pengetauan dunia baru, perkembangan ilmu, serta kondisi yang dibutuhkan bagi kemajuan sebuah masyarakat.

(hlm.141)

PERPUSTAKAAN UMUM DPR,     
KENAPA PERLU?

Karena dana yang ada memang memadai, kami malah mendorong agar parlemen kita jangan tanggung-tanggung: bangunlah perpustakaan umum terbesar se-Asia Tenggara, malampaui Nasional Library of Singapore yang saat ini telah memiliki koleksi lebih dari 300.000 buku.

(hlm.146)

“Tapi, kan, perpustakaan adalah juga sebuah infrastruktur–bukan untuk lalu-lalang mobil, tetapi untuk membuka jalan pikiran.”

Barangkali perlu ditekankan di sini bawah Library of Congress mulai dibangun tahun 1800 saat Negeri Paman Sam masih jauh lebih miskin dari Indonesia sekarang ini. Waktu itu 90 persen warga AS adalah petani miskin, sebagian besar masih buta huruf.

John Adams dan generasi pimpinan AS saat itu berani bersikap sebab bagi mereka perpustakaan umum yang terletak persis di pusat pemerintahan bisa menjadi simbiolis dari sebuah tekad, bahwa Amerika akan melangkah maju bukan dengan kekayaan alam atau warisan masa lalu, tetapi dengan kreativitas dan keinginan untuk mengejar ilmu seluas-luasnya.

(hlm.152)

BAB III           
DEMOKRASI INDONESIA

GELORA BARU SUKARNO

Buat saya, dua sosok Bung Karno yang paling menarik adalah “Bung Karno 1 Juni” dan “Bung Karno in exile”. Yang satu adalah politisi peletak dasar Negara, yang satunya lagi adalah intelektual muda dalam pembuangan yang ingin mendobrak kebekuan berpikir pada zamannya.

(hlm.154)

Jalan keluar yang dia pilih, sebagaimana bisa kit abaca dalam teks pidato yang tercatat lengkap oleh E.Karundeng, adalah metode khas kaum politisi: kompromosi dan “persatuan hati”.

Unus pro omnibus, omnes pro uno.

(hlm.158)

Bung Karno 1 Juni adalah seorang politisin matang berusia 44 tahun yang menerima Islam sebagai suatu kenyataan politik, dan Karena itu dia harus mengakomodasikan realitas ini, bukan mengubahnya.

(hlm.165)

KALAH DAN MENANG:    
KENANGAN APRIL KELANU 2017

Saya diingatkan seorang kawan bahwa Pilkada DKI kemarin sudah terlanjur melepas dari kandangnya the dark sides kekuatan politik etno-religius, suatu hal yang terjadi pertama kalinya di ibukota republic kita sejak dimulainya era pilkada lebih satu dekad lalu. Anies, dalam pandangan kawan saya trsebut, akan selalu, terbebani serta berutang budi pada kekuatan semacam ini.

Namun harus juga diingat, dunia politik selalu tak terduga. Lagi pula, kekuatan hitam yang dianggap menakutkan kita bisa jadi terlalu dilebih-lebihkan. Mereka mungkin hanya sekelompok kecil yang kebetulan mendapat momentum dari pertemuan beberapa faktor politik yang sulit untuk terus berulang.

(hlm.169)

SAIFUL MUJANI     
MENYINGKAP TABIR

Inilah tradisi empirisme ilmu politik dalam bentuknya yang terbaik: manakala spekulasi merebak, kaum ilmuwan turun gunung mencari data yang bisa dipegang.

(hlm.170)

Bisa jadi selama ini info yang mengalir lewat the twitterland terlalu bertubi-tubi, disaring dengan sebuah mekanisme yang kerap dikenal sebagai amplification of the most extremes.

(hlm.175)

Knowledge is the beginning of wisdom: ketika tabir sudah semakin tersingkap, ketika pengetahuan lebih mendalam, kita, kita tentu lebih mampu memberi peringatan sebelum datangnya malapetaka, dengan harapan bahwa Indonesia akan terhindar darinya, bukankah demikian?

(hlm 179)

KETIMPANGAN EKONOMI:        
PERLUNYA AKAL SEHAT

Untuk menjawabnya, kita jangan keliru dengan memakai the envy approach, pendekatan kecemburuan. Pendekatan ini lebih sering berfokus hanya pada puncak piramida, dengan melihat distribusi ekonomu pada 5 atau 10 persen kelompok terkaya. Sebaliknya: focus yang benar adalah pada the bottom of the pyramid, pada jutaan rakyat yang berada di bawah. Di sinilah lokus persoalan tersebut, dan dari sini pula jawaban serta kebijakan harus dirumuskan.

(hlm.180)

Dalam studi Bank Dunia beberapa saat lalu, Inequality and Shared Prosperity (2015), ditemukan fakta bahwa selama 12 tahun, yaitu dari 2002 hingga 2014, jumlah rata-rata anggota rumah tangga pada kelompok 10 persen terkaya menurut pesat, dari 3,3 menjadi 3,0 jiwa, atau berkurang 8,6 persen, sementara pada kelompok 40 persen terbawah penurunan ini tidak terjadi, cenderung stagnan. Pada kelompok 10 persen termiskin, angkanya adalah 4,8 jiwa dalam satu rumah tangga.

Sejauh kita berbicara masalah ketimpangan, fakta kependudukan ini kelihatan sepele, tetapi dampaknya fundamental. Penduduk yang sudah kaya membiayai anak mereka dengan semakin baik dalam pendidikan, penyediaan gizi, dan sarana kesehatan, karena jumlah anak yang mereka tanggung berkurang. Pada penduduk miskin hal ini tidak terjadi: beban yang di tanggung kelompok terbawah ini tetap sama.

(hlm.182)

Walau kelihatan sederhana, hanya kaum demagog yang berani berkata bahwa jalan keluar semua itu mudah, tunggal, dan cepat.

(hlm.188)

QUO VADIS PARTAI GOLKAR?

Jika dua pertiga dari mereka meminta Munas segera diadakan untuk memilih pengurus baru, semua pihak termasuk ketua umum dan jajaran dewan pimpinan pusat wajib mengikuti.

(hlm.190)

Tetapkan tujuanmu pada bintang-bintang di langit, bukan pada kerlap-kerlip lampu kapal yang datang dan pergi.

(hlm.191)

AIRLANGGA HARTANTO
DAN KONSEP POLITISI-TEKNOKRAT: 
SEBUAH USUL

Menurut dia, sosok yang paling tepat sebagai calon wakil presiden buat Jokowi untuk periode kedua pemerintahannya adalah tipe pemimpin yang mampu mengabungkan dua hal sekaligus, yaitu kemampuan teknokratis dan daya dukung atau akar politik.

(hlm.198)

JK, HT, DAN KOTAK PANDORA
YANG BERBAHAYA

Dengan begini, setiap pemimpin tertinggi Indonesia harus bekerja keras dalam kerangka waktu gabungan maksimal 10 tahun dalam memajukan Indonesia, dan tidak tergoda untuk mengutak-atik cara melanggengkan kekuasaanya terus-menerus.

Dengan begini, setiap pemimpin tertinggi Indonesia harus bekerja keras dalam kerangka waktu gabungan maksimal 10 tahun dalam memajukan Indonesia, dan tidak tergoda untuk mengutak-atik cara melanggengkan kekuasaanya terus-menerus.

(hlm.201)

Kalau dia ingin memotong proses negosiasi politik yang kelihatannya agak rumit dengan kembali ke status quo (Jokowi-JK), maka dia dan partai pendukungnya akan membuka kotak Pandora yang berbahaya di kemudian hari.

(hlm.204)

Jika sekarang saya tidak memberi contoh dalam perbuatan, jabatan presiden yang seharusnya hanya (dua kali) empat tahun akan berubah menjadi jabatan seumur hidup…Saya tidak ingin menjadi orang pertama yang memberi peluang buruk seperti itu.

(hlm.210)

Buat Saya yang waktu itu masih berusia 14 tahun, novel-novel ini menghadirkan karakter-karakter yang terus membekas (Anton) dan merupakan pelajaran awal tentang kehidupan anak muda dengan idealism mereka, dengan romantika cita mereka, serta dengan kisah-kisah kehidupan yang karam dan terhempas, suatu kehidupan yang dalam kata-kata Ashadi “terkulai layu dalam realita rumput kering” (Tody, Irawati, Widuri).

(hlm.212)

Ada sebagian kawan, mengutip slogan dunia mahasiswa tahun 1960-aan, menyebut dunia kami sebagai dunia “buku, pesta, dan cinta”.

(hlm.215)

Pembahasan dimensi-dimensi structural tersebut dilakukan dengan beragam cara, terkadang dengan sangat kreatif. Saya ingat, dalam suatu diskusi, emha Ainun Nadjib menjelaskan esensi dan masalah di seputar sebuah kursi kayu. Cara dan gaya duduk kita di kursi tersebut, menurut Emha, adalah masalah kebudayaan. Orang Jawa akan duduk dengan santun, tanpa menyilangkan kaki di hadapan tamunya yang terhormat. Orang batak lain lagi. Tapi gaya dan cara itu tidak terlalu relevan bagi kesejahteraan orang banyak. Yang penting adalah siapa yang membuat kursi itu, adanya monopoli dalam industri kayu, penjarahan hutan, serta gaji minimal kaum pengrajin kayu yang masih jauh di bawah standar. Bagi Emha, yang umumnya diamini oleh pendengarannya, itulah masalah-masalah struktual yang harus menjadi pokok perhatian masyarakat, bukan sekedar membahas sopan santun dalam cara dan etika kebudayaan.

Artikel Terkait

Asas Moral dalam Politik oleh Ian Shapiro

Kebijakan Ahok oleh Basuki Tjahaja Purnama

Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

error: Content is protected !!