Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Asas Moral dalam Politik oleh Ian Shapiro.
Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.
Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.
Selamat membaca.
Chandra Natadipurba
===
ASAS MORAL DALAM POLITIK
IAN SHAPIRO
Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Kedutaan Besar Amerika Jakarta bekerja sama dengan Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia pada 2006 di Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia
YOI : 509.23.29.2005
ISBN : 979-461-576-5
PENDAHULUAN
Kapankah suatu pemerintahan layak memperoleh dukungan kita, dan kapan tidak? Dilema politik yang paling bertahan lama ini mendorong penelaahan kita. Socrates, Martin Luther, dan Thomas More mengingatkan kita betapa suburnya dilema itu ; Vaclav Havel, Nelson Mandela, dan Aung San Suu Kyi menggarisbawahi kekuatannya. Mereka adalah pahlawan moral karena menentang kewenangan politik yang salah, sama halnya Adolph Eichmann adalah seorang penjahat moral karena kegagalannya melakukan hal yang sama.
Ditangkap oleh pasukan khusus Israel karena melanggar hukum Argentina dan hukum internasional, Eichmann dilarikan ke Israel, diadili dan dihukum karena kejahatannya terhadap kemanusiaan dan orang-orang Yahudi. Banyak orang yang tidak bersimpati pada Eichmann pun tetap merasa terganggu dengan cara penangkapannya : ia diadili di sebuah negara dan oleh pengadilan yang belum ada saat ia melakukan kejahatannya dan berdasarkan sebuah hukum yang khusus dibuat untuk menghukum dan mengeksekusinya.
Siapa yang harus menghakimi, dan dengan kriteria apa, serta apakah hukum dan tindakan negara-negara yang mengklaim dukungan politik kita sudah memenuhi harapan?
Para utilitarian menjawab pertanyaan kita dengan suatu varian klaim bahwa legitimasi pemerintah tergantung pada kesediaan dan kapasitasnya untuk memaksimalkan kebahagiaan. Apa yang dianggap sebagai kebahagiaan, kebahagiaan untuk siapa, bagaimana mengukurnya, dan siapa yang akan mengukurnya adalah beberapa isu kontroversial yang membedakan berbagai aliran utilitarian, seperti yang akan jelas terlihat di bab 2 dan 3. Meskipun ada ketidaksepakatan tentang hal ini dan hal-hal terkait lainnya, para utilitarian pada umumnya sepakat kita harus menilai pemerintah dengan merujuk pada diktum Bentham yang, meskipun ambigu, selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
( hlm. X )
Dari sudut pandang kaum Marxis, setiap sistem politik dalam sejarah mendukung sejumlah bentuk eksploitasi, namun sosialisme dan komunisme dianggap menawarkan kemungkinan adanya sebuah dunia yang bebas eksploitasi.
Bagi para penggagas teori kontrak sosial, legitimasi negara berakar pada gagasan tentang kesepakatan.
( hlm. XI )
Masing-masing tradisi utilitarian, Marxis, dan kontraktarian mempunyai fokus yang berbeda dan mencuatkan serangkaian pertanyaan tentang letimigasi politik, namun dalam banyak hal juga tumpang tindih lebih dari yang seringkali disadari. Saya akan menyatakan bahwa hal itu lebih banyak disebabkan oleh semua tradisi itu telah dibentuk oleh Pencerahan. Ini merupakan gerakan filsafat yang bertujuan untuk merasionalisasikan kehidupan sosial dengan melandaskannya pada prinsip-prinsip ilmiah dan di mana ada dorongan normatif yang kuat untuk secara serius mempertimbangkan gagasan tentang kebebasan manusia seperti diungkapkan dalam doktrin politik tentang hak-hak individu. Proyek Pencerahan, seperti diistilahkan Alasdair MacIntyre, umumnya dikaitkan dengan tulisan-tulisan para pemikir Eropa seperti Rene Descartes ( 1596 – 1650 ), Gottfried Leibnitz ( 1646 – 1716 ), Benedict Spinoza ( 1632 – 1677 ), dan Immanuel Kant ( 1724 – 1804 ), meskipun sangat dipengaruhi oleh kaum Empiris Inggris, yaitu John Locke ( 1632 – 1704 ), George Barkeley ( 1685 -1753 ), dan David Hume ( 1711 – 1776 ).
( hlm. XII )
Teori politik apa yang paling baik mewujudkan nilai-nilai Pencerahan tahap lanjut? Jawaban saya di bab 7 adalah demokrasi.
( hlm. XIII )
Kaum demokrat berkeyakinan bahwa suatu pemerintahan sah jika mereka yang terkena dampak keputusan memainkan peran memadai dalam proses membuat keputusan tersebut, dan jika tersedia kesempatan-kesempatan yang berarti untuk menentang pemerintah pada masa itu, menggantikannya dengan pemerintahan alternatif.
( hlm. XIV )
Politik Pencerahan
Gerakan filsafat yang dikenal sebagai Pencerahan ( Enlightenment ) sebenarnya merupakan beberapa gerakan intelektual yang berbeda, meski saling tumpang tindih. Akar gerakan itu dapat ditelusuri paling tidak hingga 1600-an, dan pengaruhnya telah dirasakan pada setiap sisi kehidupan. Mulai dari filsafat, sains dan penemuan, hingga seni, arsitektur, dan sastra, sampai politik, ekonomi, dan organisasi ; semua bidang aktivitas manusia membawa jejak aspek-aspek Pencerahan yang tak terhapuskan.
Jika ada satu gagasan umum yang menyatukan para pendukung berbagai arus pemikiran Pencerahan, maka itu adalah kepercayaan pada kekuatan akal manusia untuk memahami hakikat diri dan lingkumgnya.
( hlm. 1 )
I.I Naiknya Pengaruh Sains
Kesibukan dengan sains bermula dari upaya untuk membuat seluruh pengetahuan kokoh, diukur dengan tolak ukur yang pertama kali dilontarkan Descartes ketika ia menegaskan bahwa ia sedang mencari pernyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Contoh terkenalnya, disebut cogito, adalah “Saya berpikir, maka saya ada”2 Apapun upaya untuk meragukan pernyataan itu justru akan semaakin menegaskannya.
( hlm. 2 )
I.I.I Ideal Pengetahuan Sebagai Karya Manusia
Ciri unik pertama dari masa awal Pencerahan menyangkut cakupan pengetahuan a priori, yakni jenis pengetahuan yang diturunkan dari definisi atau yang disimpulkan dari prinsip-prinsip umum.
Putusan analitis paling baik dipandang sebagai akibat logis arti dari suatu istilah, sementara putusan sintetis sebaliknya – biasanya karena mereka tergantung pada kebenaran dunia yang melampaui arti deduktif.
Seperti diungkapkan Thomas Hobbes dalam De Homine, ilmu pengetahuan murni atau “matematis” dapat diperoleh secara a priori, tapi “matematikan campuran”, seperti fisika, tergantung pada “sebab-sebab alamiah [yang berada] di luar kekuatan kita”.7
( hlm. 5 )
Locke membedakan gagasan “ectype” dari “archetype” : ectype adalah gagasan umum tentang substansi, dan archetype merupakan gagasan yang disusun oleh manusia.
( hlm. 6 )
I.I.2 Kesibukan dengan soal Kepastian
Seperti diungkapkan Karl Popper ( 1902 – 1994 ), yang paling bisa kita katakan, ketika suatu hipotesis mampu melewati uji empiris, adalah bahwa mereka belum salah sehingga untuk sementara dapat menerima hipotesis tersebut.13
( hlm. 7 )
1.2 Sentralitas Hak-Hak Individu
Selain keyakinan pada sains, fokus utama Pencerahan pada hak-hak individu membedakan filsafat politiknya dari komitmen zaman kuno dan pertengahan terhadap tatanan dan hierarki.
Hobbes menyatakan dalam Leviathan bahwa sudah umum untuk mencampurkan “Jus ( keadilan ) dan Lex ( Hukum ), Hak dengan Hukum; namun mereka harus dibedakan; karena HAK mengandung kemerdekaan untuk menjalaninya, atau untuk menerimanya.
( hlm. 8 )
Menolak saling keterkaitan dalam ajaran Kristen tradisional antara hak dan hukum, ia menegaskan sebaliknya bahwa hukum kodrat ”seharusnya dibedakan dari hak kodrat : karena hak dilandaskan pada kenyataan bahwa kita bisa memanfaatkan sesuatu dengan bebas, sementara hukum adalah yang memerintah atau melarang dilakukannya sesuatu.”18 Seberapa penting langkah ini pada saat itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa-bahasa Eropa di luar Inggris tidak memiliki pembedaan linguistik ini. Recht dalam bahasa Jerman, diritto dalam bahasa Italia atau droit dalam bahasa Prancis, semua digunakan untuk menandai hukum secara abstrak maupun hak; etimologi gagasan-gagasan tersebut begitu saling terikat secara historis.
Kita telah melihat bahwa dalam teologi voluntaris Locke, kemahakuasaan Tuhan menjadi dasar.
( hlm. 9 )
1.3 Ketegangan Antara Sains dan Hak-Hak Individu
Sains merupakan sebuah usaha yang bersifat deterministik untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur jagad raya.
( hlm. 10 )
Bagi Hobbes, individu yang rasional akan sepakat untuk tunduk pada suatu kedaulatan mutlak karena alternatifnya adalah perang sipil yang mengerikan.
Salah satu argumen utamanya dalam debat dengan Sir Robert Fimer di dalam First Treatise berkenaan dengan pernyataan tegas Locke bahwa Tuhan berbicara secara langsung pada setiap individu yang membaca Kitab Suci, dan tidak ada kewenangan manusia yang berhak menyatakan suatu interpretasi lebih benar dibandingkan interpretasi lawannya.24
( hlm. 11 )
Utilitarianisme Klasik
Alam telah menempatkan umat manusia dibawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam semua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan: setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka tapi pada kenyataannya ia akan tetap berada di bawah kekuasaan mereka. Asas manfaat ( utilitas ) mengakui ketidakmampuan ini dan menanggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya, dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang.1
( hlm. 13 )
Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat “melandasi segala tindakan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu; atau, dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu.”
2.1 Dasar Ilmiah Utilitarianisme Klasik
Ia membela suatu sistem hak-hak politik yang ekstensif, namun ia melihat hak sebagai hasil ciptaan manusia, diciptakan oleh sistem hukum dan ditegakkan oleh kekuasaan yang berdaulat. Ia menekankan bahwa tidak ada hak tanpa upaya penegakannya dan tidak ada upaya itu tanpa pemerintah,5 suatu pandangan yang kemudian dikenal sebagai positivisme hukum.
( hlm. 14 )
Bentham tidak punya keraguan bahwa utilitarianisme tak pelak lagi memiliki kekuatan argumen cogito Cartesian. “Ketika seseorang mencoba melawan asas manfaat,” tandasnya, “ia melakukannya dengan alasan yang tanpa disadari olehnya justru diperoleh dari asas itu sendiri”6 Jadi kalau seorang moralis asketis menghindari kesenangan, sebenarnya itu dilakukan “dengan harapan mendapat penghormatan dan reputasi oleh manusia,” dan prospek untuk mendapatkan penghormatan ini merupakan sumber sesungguhnya kesenangan itu. Dengan cara yang sama, seseorang yang menghindari kesenangan bagi dirinya atau yang mengorbankan dirinya demi alasan-alasan keagamaan mencerminkan “ketakutan akan hukuman di masa mendatang oleh Tuhan yang pemarah dan penuh dendam.erkae
Bagi Bentham, utilitarianisme mempunyai dasar alamiah yang berakar pada keharusan organisme manusia untuk bertahan hidup. Ini luar biasa mengingat bahwa ia menulis tujuh puluh tahun sebelum Charles Darwin.8
( hlm. 15 )
2.2 Manfaat Individu vs. Manfaat Kolektif dan Kebutuhan akan Pemerintah
Hukum tidak berkata pada manusia, Bekerjalah dan aku akan memberimu imbalan tapi Berkaryalah, dan dengan menghentikan tangan yang akan merebutnya darimu, aku akan memastikan bahwa kau menikmati hasil karyamu – yakni imbalan kodrati dan yang mencukupi, yang tidak akan bisa kau pertahankan tanpa diriku. Jika industrilah yang mencipta, maka hukumlah yang mempertahankan; jika yang pertama kita berutang segalanya pada pekerjaan, yang kedua dan saat-saat berikutnya kita berutang segalanya pada hukum.14
Kutipan ini mencerminkan pandangan Bentham bahwa meskipun aturan hukum memang penting dalam usaha memperoleh manfaat, aturan hukum harus membatasi dirinya untuk memastikan bahwa orang dapat mengejar manfaat bagi diri mereka sendiri.
Peran pemerintah yang sesuai dengan logika teori Bentham berakar pada asumsi egoisnya bahwa pencairan rasa senang dan pengelakan rasa sakit selalu berlangsung pada tingkat psikologis individual. Manusia adalah individu yang memaksmalkan manfaat, dan tidak mempedulikan apa pun demi kebaikan masyarakat. Pandangan ini menunjukan bahwa orang akan mengingkari janji dan mencuri dari orang lain jika itu menguntungkan mereka, dan mereka tidak peduli, kecuali ada hukum pidana yang melindungi hak-hak hidup, tubuh dan hak milik maupun hukum perdata yang
menegakkan perjanjian dan karenanya memfasilitasi perdagangan.
( hlm. 17 )
Meskipun setiap individu mengambil manfaat dari keamanan yang diberikan oleh adanya angkatan perang, tidak ada keuntungan pribadi yang nyata dari pajak yang dibayarnya, sehingga ia tidak mempunyai alasan untuk mendukung perang secara sukarela apabila ia bisa mendapatkan keuntungan yang lebih baik dari kontribusi pajak yang tadinya ditujukan untuk mendukung perang.16 Secara umum, jika seseorang tahu bahwa suatu barang tidak peduli apakah ia menyumbang sesuatu bagi pengadaannya, maka orang yang melulu berhitung dengan manfaat bagi dirinya sendiri akan menolak ikut menyumbang.
( hlm. 18 )
Dengan berpendapat tidak ada alasan cukup untuk percaya bahwa “orang yang mempunyai informasi faktual yang sama akan menyetujui obyek yang sama”, ia menyimpulkan bahwa “jika tidak ada sesuatu pun yang dapat disetujui oleh semua atau sebagian besar orang yang memiliki informasi cukup, karena perasaan orang berbeda-beda dalam soal ini – maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menjadi kebajikan maupun kejahatan umum.”19
( hlm. 19 )
Ia memikirkan rasa senang dan rasa sakit dalam empat dimensi: intensitas, durasi, kepastian atau ketidakpastian, dan “jauh atau dekatnya.”21 Ia juga memikirkan tentang “cakupan”, atau jumlah orang yang menjadi sasaran tindakan yang menyenangkan atau menyakitkan, yang dapat dihitung untuk sebuah komunitas politik.
Memang, banyak hal mendasar dalam Principles of Moral and Legislation dicurahkan untuk membuat titik awal bagi skema utilitarian besar seperti itu, agar nantinya dapat diperbaiki, meskipun tidak diubah secara esensial oleh generasi-generasi berikutnya. Bentham melihatnya sebagai sejenis buku daras multi guna yang dapat dirujuk oleh para pembuat peraturan dalam merancang apa yang dapat kita sebut sebagai utilitometer saat mereka berupaya untuk memperbaiki masyarakat dengan dasar ilmiah.
( hlm. 20 )
Uang adalah utilitometer bagi Bentham. Seperti halnya termometer digunakan “untuk mengukur suhu cuaca” dan barometer “untuk mengukur tekanan udara,” maka uang “adalah instrumen untuk mengukur kuantitas rasa sakit dan rasa senang.” Bentham mengakui bahwa uang mungkin tidak bisa dilihat sebagai suatu dasar perhitungan yang memuaskan. Tetapi ia menempatkan beban pembuktian pada mereka yang skeptis untuk “mencari alat ukur lain yang bisa lebih akurat, atau mengucapkan selamat tinggal pada politik dan moral.
( hlm. 21 )
Yang harus disimpulkan di sini adalah bahwa Bentham menganggap uang sebagai ukuran terbaik untuk manfaat, baik untuk mengukur rasa senang dan rasa sakit maupun merancang sistem-sistem insentif yang akurat untuk mempengaruhi tindak-tanduk manusia.
2.3 Perbandingan Interpersonal dan Konsekuensialisme
Skema Bentham merupakan sebuah sistem dasar sejauh anggapan-nya bahwa satuan ukuran rasa sakit dan kesenangan, yang dengan bagus ia sebut sebagai “util” , dapat ditambahkan dan dikurangkan untuk menghasilkan hasil keseluruhan bagi individu tertentu. Oleh karena itu, pada prinsipnya, kita dapat membuat penilaian jika seorang memperoleh tiga util rasa senang dari membaca sebuah buku tapi menderita rasa sakit sebanyak dua util karena harus mencari uang untuk membeli buku itu, maka neraca akhir memperlihatkan bahwa ia akan lebih senang melakukan pekerjaan agar mampu membeli buku.
Kebaikan maupun keruagian sama-sama didistribusikan semata-mata berdasarkan kriteria bahwa pada akhirnya hal itu akan memaksimalkan hasil bersih manfaat sosial. Jadi utilitarianisme klasik adalah suatu doktrin konsekuensialis yang radikal.
( hlm. 22 )
Inilah alasannya mengapa dapat ditarik hubungan antara utilitarianisme dengan praktik eugenics, dan mengapa ia menghadapi kesulitan yang besar dalam menangani para penderita cacat.
( hlm. 23 )
Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya utilitarianisme yang selalu ada, tetapi mereka bukan daftar utama kekhawatiran Bentham ketika ia memikirkan tentang retribusi yang dapat memaksimalkan hasil bersih manfaat sosial.
( hlm. 24 )
Sama halnya di Inggris, orang kaya sudah menerima batas tarif pajak leih dari sembilan puluh persen dalam beberapa periode pemerintahan partai Buruh setelah Perang Dunia Kedua, dan bahkan di Amerika orang sudah menoleransi tarif pajak yang tinggi, terutama selama perang.42
Ketimbang mengurusi masalah yang berkaitan dengan ambang batas itu, para ekonom sekarang memikirkannya dalam kaitan trade-off antara tarif pajak dan kecenderungan subyek pajak untuk bekerja atau berinvestasi, dengan efek perubahan yang tipis: ketika tarif pajak meningkat, ada kecenderungan marjinal orang untuk tidak bekerja atau berinvestasi.
( hlm. 27 )
Juga akan menjadi kontroversial karena selalu sulit melepaskan dampak tarif pajak dari faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja ekonomi. Hal ini secara dramatis dapat dicontohkan dalam debat mengenai gagasan ekonomi dari sudut penawaran ( “supply slide” economics ) yang diusung ke Amerika dan Inggris oleh pemerintahan Reagan dan Thatcher pada awal tahun 1980-an. Teori itu menyatakan bahwa pemotongan pajak sebenarnya akan meningkatkan pendapatan pemerintah karena mendorong investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataannya, jumlah variabel yang saling terkait mempengaruhi kinerja ekonomi sudah cukup besar sehingga tidak mungkin mencari data yang dapat menguji hipotesa gagasan ekonomi dari sudut penawaran itu secara keseluruhan, dan para ekonom dan politikus terus berdebat mengenai isu tersebut selama berpuluh-puluh tahun berikutnya.
( hlm. 28 )
Asas tersebut menyatakan bahwa semakin kaya dirimu, semakin berkurang manfaat baru yang akan kau peroleh dari setiap tambahan dollar yang kau terima. Ini berarti semakin banyak uang yang kau punyai, pada batas tertentu semakin besar peningkatan dollar yang diperlukan untuk meningkatkan manfaat yang inginkan. Analogi yang lebih baik adalah tentang seorang pecandu heroin yang memerlukan jumlah narkoba yang semakin banyak untuk mencapai “jumlah yang diperlukan” yang sama: semakin banyak yang kau punyai, semakin banyak yang kau inginkan. Seorang yang miskin mendapatkan lebih banyak manfaat dari sejumlah uang tertentu ketimbang orang yang kaya; tetapi ini tidak berarti bahwa si orang kaya kurang memerlukan uang, justru sebaliknya.
Lebih dari itu, karena uang mengandung implikasi “semakin banyak yang kau miliki, semakin banyak yang kau inginkan” seperti yang baru saja dijelaskan, mungkin saja ketika tarif pajak meningkat, kaum kaya malah akan bekerja lebih keras atau berinvestasi lebih banyak.43
( hlm. 29 )
2.3 Netralitas Ilmiah dan Kebebasan Manusia
Jika kita memusatkan perhatian hanya pada pandangan Bentham bahwa argumen-argumennya secara rasional tak terbantah, maka kita harus mengakui argumen-argumen itu mengikat semua makhluk rasional dan oleh karena itu meletakan Bentham pada sisi determinisme.
( hlm. 33 )
Oleh karenanya, menurut Bentham peran utama pemerintah adalah menciptakan suatu lingkungan di mana orang bisa menikmati “hasil kerja mereka”, dengan melindungi hasil-hasil tersebut melalui aturan hukum.
Dengan menganut gagasan bahwa ilmu pengetahuan memungkinkan kita untuk memahami dan membentuk nasib kita dengan cara-cara yang lebih baik ketimbang cara-cara yang didasarkan pada agama, takhayul, hukum kodrat, atau kehendak buta,
( hlm. 34 )
Sintesa Hak dan Manfaat
Utilitarianisme klasik disibukan dengan dua masalah yang sangat pelik. Pertama, jumlah informasi yang diperlukan untuk menerapkannya sangat besar.
Masalah kedua berkaitan dengan kenyataan bahwa skema utilitarianisme klasik tidak sensitif terhadap batas-batas moral antar manusia.1
( hlm. 35 )
Tapi utilitarianisme telah dibentuk kembali dengan cara-cara yang mampu membicarakan kedua kesulitan di atas, yang membuatnya bertahan sebagai salah satu ideologi politik penting pada jaman kita.
Beberapa pemikir di atas punya komitmen pada perbaikan sosial dan sebagian berpikir bahwa kemajuan dalam teori ekonomi akan menghasilkan perbaikan sosial namun aktivitas mereka sendiri merupakan upaya untuk mencari kebenaran: bagaimana memahami hukum gerakan dalam sistem ekonomi, terutama kapitalisme, sehingga dapat meramalkan perilakunya di masa datang.
( hlm. 36 )
Pareto sangat menyadari persoalan informasi yang merepotkan utilitarianisme klasik, karena itu ingin ekonomi politik sebagai sains yang baru sebisa mungkin tidak tergantung pada penyelesaian masalah informasi tersebut.
Pertanyaan yang muncul dari perspektif ini adalah: Seberapa jauh kita dapat memahami cara-cara pasar beroperasi dengan informasi yang minim tentang manfaat? Masalah yang paling jelas problematis adalah gagasan tentang perbandingan manfaat secara interpersonal.
( hlm. 37 )
Ia bahkan menciptakan istilah opbelimity untuk menggambarkan gagasan mengenai manfaat ekonomi murni morfin, meskipun istilah itu tidak pernah populer dan tidak akan digunakan di sini.
( hlm. 39 )
Satu-satunya asumsi lain yang diperlukan, yang secara umum dianggap sebagai kondisi minimal rasionalitas ketimbang karakter sebuah manfaat, adalah gagasan tentang transitivitas ( transitivity ): jika saya lebih memilih a ketimbang b dan b ketimbang c, maka pasti saya lebih memilih a ketimbang c.17
( hlm. 42 )
3.2 Pasar sebagai Utilitometer
Konsep utama di sini adalah kurva indiferen. Di balik itu adalah intuisi mengenai suatu sintesis tiga gagasan yang sudah dibahas: bahwa orang ingin memaksimalkan manfaat dalam artian yang sudah didedah Pareto, bahwa pilihan mereka umumnya mencerminkan asas manfaat marjinal yang semakin menurun, dan bahwa mereka cukup rasional dalam arti pengaturan keinginan mereka tidak melanggar prinsip transitivitas.
( hlm. 43 )
Itulah situasi indifference: seseorang tidak peduli pada dua barang jika menukarkan satu barang untuk barang lainnya tidak meningkatkan atau pun mengurangi manfaat baginya. Dengan memakai contoh roti dan anggur, kita dapat membayangkan serangkaian perbandingan jumlah dua barang tersebut yang membuat seseorang tidak peduli, misalnya: empat puluh bongkahan roti dan enam botol anggur, lima belas bongkahan roti dan dan delapan botol anggur, lima bongkahan roti dan sembilan botol anggur.
Setiap kurva indiferen, I1, I2, I3, I4, dan seterusnya berbagai kombinasi roti dan anggur berbeda yang perbedaannya tidak diindahkan oleh individu A.
Kurva indiferen selalu mempunyai kemiringan negatif dan biasanya cengkung dari titik awal ( yaitu kurva yang terletak di atas titik singgung pada setiap titik ), menggambarkan asas manfaat marjinal yang semakin menurun. Kurva-kurva tersebut tidak dapat saling bertemu, karena itu berarti akan melanggar transitivitas.20
( hlm. 44 )
Kejeniusan Pareto terletak pada kemampuannya melihat bahwa alat konseptual ini memungkinkan prediksi tentang bagaimana orang akan berinteraksi dalam situasi pasar sehingga meningkatkan hasil bersih manfaat sosial tanpa memerlukan perbandingan manfaat secara interpersonal.
( hlm. 45 )
Setiap pertukaran yang paling tidak membuat satu orang lebih kaya tanpa membuat siapa pun menjadi lebih miskin menunjukan karakter ini.
( hlm. 47 )
Perbandingan parsial prinsip Pareto dengan asas kebahagiaan terbesar Bentham dalam suatu ruang komoditas yang tertentu.
( hlm. 51 )
Namun suatu prinsip tidak dapat dinilai dari seberapa baik berlakunya untuk menyelesaikan kasus yang mudah.
Pertimbangan serupa juga berlaku ketika mengevaluasi klaim-klaim para utilitarian obyektif sekarang, seperti misalnya Peter Singer, ketika ia membela praktik pembunuhan bayi yang tidak diinginkan dan eutanasia.24
( hlm. 53 )
3.2 Mencegah Kerugian (Harm) Sebagai Upaya Melegitimasi Tindakan Negara
Buku Mill, Utilitarianism (1863), berisi pandangannya yang paling matang, namun justru dalam On Liberty (1859) ia mempertentangkan secara langsung perbedaan antara tuntutan utilitarian masyarakat dan komitmen Pencerahan terhadap kebebasan individu.
Prinsip itu adalah bahwa satu-satunya tujuan yang membenarkan umat manusia, baik secara individual maupun kolektif, untuk campur tangan dalam kebebasan bertindak setiap anggotanya adalah perlindungan diri sendiri. Bahwa satu-satunya tujuan untuknya kekuasaan dapat dijalankan dengan tepat atas setiap anggota suatu masyarakat yang beradab, bahkan jika bertentangan dengan kehendaknya sendiri, adalah menghindari kerugian di pihak orang lain. Kebaikannya sendiri, baik secara fisik maupun moral, bukanlah jaminan yang mencukupi.
( hlm. 55 )
Untuk membenarkan hal itu, perilaku yang hendak cegah harus diperhitungkan sebagai sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Satu-satunya bagian perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan masyarakat adalah yang berkaitan dengan orang lain. Dalam bagian yang hanya menyangkut dirinya sendiri kemerdekaannya, berdasarkan hak, adalah mutlak. Seorang individu berdaulat atas dirinya sendiri, atas tubuh dan pikirannya sendiri.26
( hlm. 56 )
Menggalakkan kebebasan individu adalah jalan yang paling pasti dalam memperluas pengetahuan, dan itu, pada akhirnya, sangat penting dalam kemajuan utilitarian.
Bahkan kalaupun kita tidak salah, dan pendapat yang dibungkam itu salah, “ia bisa saja, dan umumnya sering terjadi, mengandung suatu bagian kebenaran; dan karena pendapat yang umum atau yang berlaku mengenai suatu hal tertentu jarang atau tidak pernah menjadi suatu kebenaran yang utuh, hanya dengan mempertentangkan berbagai pendapat yang berbeda akan ada kesempatan munculnya sisa kebenaran.”
( hlm. 57 )
Oleh karena itu kebebasan berbicara sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan, meskipun Mill dengan jelas menganggapnya sebagai lebih dari sekedar hak negatif semata.
Meskipun kemajuan ilmu pengetahuan penting bagi pemerintah dalam mengambil keputusan utilitarian, pendidikan “membuat orang berada dalam pengaruh yang sama dan memberi akses terhadap fakta dan sentimen umum,” yang membawa mereka ke suatu tingkat sosial umum sehingga “gagasan untuk menentang kehendak publik, ketika secara positif sudah diketahui, akan makin lenyap dari pikiran para politisi praktis” dan “tidak akan ada lagi dukungan sosial bagi sikap non-konformitas.”34
( hlm. 58 )
Jika bagi Bentham kita harus berpikir tentang bagaimana membangun dan menggunakan utilitometer, pertanyaan untuk Mill adalah bagaimana membangun dan menggunakan instrumen yang dapat kita sebut sebagai tortometer?.44
( hlm. 62 )
Tindakan-tindakan kita mempunyai apa yang disebut Arthur Pigo (1877 – 1959 ) sebagai eksternalitas: konsekuensi yang mungkin merugikan yang ditanggung pihak ketiga, tidak peduli apakah itu disengaja.49
Mill menggunakan dua interpretasi tersebut pada bagian yang berbeda dalam On Liberty. Dalam pembelaannya terhadap poligami orang Mormon, misalnya, meskipun ia yakin poligami merugikan perempuan, ia merasa bahwa masyarakat tidak dapat buru-buru menolak keinginan mereka. Jika orang memilihnya secara sukarela, masyarakat tidak boleh campur tangan.50
( hlm. 63 )
3.4 Variasi Kontekstual dalam Definisi tentang Kerugian
Gagasan pluralisme penafsiran ini terlihat masuk akal ketika kita merenungkan berbagai cara kerugian didefinisikan dalam hukum Amerika. Hukum kriminal berkisar pada suatu standar intensionalis dalam hal bahwa keberadaan mens rea, atau niat buruk yang tidak disadari, merupakan salah satu elemen kejahatn yang harus dibuktikan oleh sidang pengadilan tanpa menimbulkan keraguan.
( hlm. 65 )
Mill mungin benar bahwa mencegah tindakan merugikan adalah suatu kriteria penting dalam menentukan legitimasi tindakan negara, namun prinsipnya itu tidak memberitahu kita kerugian mana yang relevan untuk tindakan negara yang mana, bagaimana ketidaksepakatan tentang hal-hal semacam itu harus dipecahkan, atau seberapa jauh seharusnya negara bertindak dalam memberikan ganti rugi.
Kita dapat beradu pendapat di surat kabar atau pun melakukan demonstrasi damai bahwa pedagang jagung membuat masyarakat kelaparan, atau bahwa kepemilikan pribadi adalah perampokan, tapi jika para pedagang jagung dan para pemilik properti menentang pendapat kita, tidak ada jalan lain selain berdiri di atas kotak sabun di pojok Hyde Park dan menggemukan pendapat kita.
( hlm. 69 )
Marxisme
Apa jadinya kalau para pedagang jagung sungguh-sungguh membuat kaum miskin kelaparan dan milik pribadi memang merupakan perampokan? Bagi Karl Max, dua hal itu harus dipertimbangkan dengan sangat serius.
( hlm. 73 )
Mengapa kita harus mempedulikan Marxisme dari sudut pandang abad ke-21? Karena, setidaknya, hampir setiap ramalan Marx terbukti salah. Ia mengira bahwa revolusi komunis akan terjadi di negara-negara kapitalis maju, ketika kaum proletar urban yang semakin radikal dan kosmopolit bergabung bersama untuk menggulingkan sistem kapitalis yang menurut Marx, sedang berada di ambang kehancuran pada pertengahan abad ke-19.
( hlm. 74 )
Teori Marx sudah dikritik tajam, sebagian besar dari para pemikir egalitarian dan mereka yang tidak terlalu berpihak pada kapitalisme. Argumen-argumen Marx terbukti tidak bisa bertahan lama, apakah mengenai determinisme ekonomi yang menjadi inti teori materialis tentang sejarah yang dikemukakan oleh Marx, teori nilai kerja yang melandasi analisanya mengenai eksploitasi, teorinya tentang kecenderungan menurunnya tingkat keuntungan dan krisis kapitalisme yang tidak dapat dielakan, maupun penjelasannya mengenai bagaimana sosialisme dan komunisme bekerja. Gabungan antara kegagalan politik dan teori itu menunjukan bahwa segala upaya untuk menyelamatkan Marxism akan terancam gagal, baik sebagai sebuah sistem penjelasan atau sistem normatif.
( hlm. 75 )
Ada satu pertimbangan tambahan bahwa, terlepas dari kelemahannya, Marxisme telah memberikan alternatif yang paling awet terhadap pemikiran politik liberal dan konservatif sejak awal Pencerahan yang tak henti-hentinya telah diformulasikan – oleh Lenin dan Leon Trotsky (1879-1940) di Rusia, oleh Rosa Luxembourg (1871-1919) dan Karl Kautsky (1879-1938) di Jerman, dan oleh Mao Zedong (1893-1976) di Cina, belum lagi bagi varian Amerika Latin seperti Che Guevara (1928-1967)
( hlm. 76 )
4.1 Materialisme Historis dan Agensi Individual
4.1.1 Determinisme Dialektis
Ketika Marx dan Engels membuka The Communist Manifesto dengan “sejarah semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas,”11 maksud mereka adalah bahwa dalam setiap bentuk produksi dalam sejarah, kelas yang mempunyai atau mengendalikan alat-alat produksi telah mengeksploitasi kelas yang bekerja dengan mengambil hasil kerja mereka.
( hlm. 79 )
4.1.2 Agensi dan Otonomi Individu
Komunisme, yang memungkinkan dihapusnya pembagian kerja, merupakan utopia yang sangat individualis di mana orang bebas untuk ”berburu di pagi hari, mencari ikan siang hari, menggembalakan ternak di sore hari, melontarkan kritik setelah makan malam, seperti yang kuinginkan, tanpa harus menjadi pemburu, nelayan, penggembala, atau kritikus,”31 dan ”perkembangan tiap individu secara bebas adalah prasyarat bagi perkembangan yang bebas bagi semuanya.”32
Namun ini tidak berarti bahwa pemahaman Marx tentang kebebasan identik dengan pandangan liberal. Pandangannya merupakan pandangan yang pernah dijelaskan oleh Isaiah Berlin sebagai pandangan ”positif” tentang kebebasan, karena fokus Marx adalah pada kebebasan untuk bertindak, berprestasi, dan menjadi, sejauh dibedakan dari pandangan ”Negatif” yang berfokus pada lingkup aktivitas di mana individu tidak diganggu.33
( hlm. 87 )
4.2 Teori Nilai Kerja, Kekaryaan, dan Eksploitasi
Para pemikir Inggris paling tidak sejak masa Hobbes dan Sir William Petty (1623-1687) telah memikirkan tentang gagasan bahwa kerja manusia, dan bukan perdagangan (seperti yang dipercayai oleh para pendahulu mereka di Inggris) atau tanah (yang ditekankan selama beberapa waktu oleh para Fisiokrat Prancis), yang menentukan harga yang dibayar untuk barang yang dapat dipertukarkan di dalam ekonomi pasar.37 Saat Marx menulis jilid pertama karya utamanya, Das Kapital pada 1867, teori kerja telah disistematikan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations dan disempurnakan oleh David Ricardo (1772-1823) dalam karyanya Principls of Political Economy and Taxation (1821).
( hlm. 88 )
4.2.1 Nilai, Nilai Lebih, dan Analisa tentang Eksploitasi
Tujuan analitis Marx dalam Capital adalah untuk menjelaskan nilai komoditas, yang diartikan sebagai barang (dan orang bisa menambahkan jasa ke teori ini tanpa merusaknya) yang dihasilkan untuk dipertukarkan. komoditi dipandang menunjukan dua jenis nilai yang memerlukan penjelasan: ”nilai pakai (use-value)”, yang paling tepat dipandang sebagai manfaat, dan ”nilai tukar (exchange value”) yang oleh Marx dimaksudkan dengan harga.
( hlm. 89 )
Suatu pertanyaan sulit yang dihadapi oleh para ekonom adalah: bagaimana mungkin ada keuntungan dalam sebuah ekonomi pasar jika yang selalu dipertukarkan setara? Jawabawn Marx adalah bahwa pertukaran memang setara, yang diukur dalam kaitannya dengan waktu kerja yang diperlukan secara sosial, namun tenaga kerja merupakan komoditas yang unik karena peggunaannya sebagai nilai pakai menciptakan nilai tukar baru.
( hlm. 93 )
4.2.2 Implikasi untuk Memahami Kapitalisme
Ada batasan-batasan fisiologis yang kentara jika memaksa mereka bekerja lembur lebih lama, belum lagi batasan politis kalau serikat pekerja mulai terbentuk dan, sebagai akibatnya, para pekerja secara politis terorganisasi. Dipandang dari perspektif ini, memang sama sekali tidak mengejutkan bahwa agitasi terhadap aturan-aturan seperti UU Sepuluh Jam (Ten Hours Bills) – yaitu UU yang membatasi hari kerja sesuai dengan yang ditunjukan dengan nama UU tersebut – adalah ciri-ciri kapitalisme awal.
( hlm. 97 )
Begitu mesin pintal sudah digunakan di seluruh industri kapas, tingkat keuntungan dalam industri ini akan lebih rendah dibanding saat alat itu belum diperkenalkan di manapun, karena setiap kapitalis sekarang ini harus mengeluarkan uang relatif lebih banyak untuk modal tetap – mesin pintal – dan hanya modal tidak tetap yang menjadi sumber nilai lebih baru dan karenanya sumber keuntungan.
( hlm. 98 )
Ia juga tidak melihat kemungkinan munculnya kekuatan ekonomi yang besar dari perusahaan kecil pada sejumlah industri, seperti ditunjukan oleh perubahan yang dilakukan Apple dalam industri komputer pada 1980-an dan perubahan dalam dunia ritel oleh penjualan lewat internet (dot.com) pada 1990-an.
( hlm. 100 )
Namun orang mungkin sering merujuk pada diri mereka sendiri – dalam penilaian mereka, seperti yang diasumsikan oleh prinsip Pareto, yaitu tidak mengindahkan apa yang diperoleh orang lain kecuali kalau hal itu mempengaruhi perolehan mereka. Ini merupakan asumsi yang mendasari slogan kampanye Ronald Reagan pada 1984: ”Apakah Anda sudah lebih sejahtera ketimbang empat tahun yang lalu?”
( hlm. 101 )
Sesungguhnya, bukti menunjukan bahwa meskipun perbandingan yang merujuk pada orang lain memang banyak mendorong orang, rujukannya tidak sama dengan perbandingan yang dibayangkan Marx. Orang membuat perbandingan secara lokal, yang diukur berdasarkan kelas, status, dan kedekatan fisik ketika mengevaluasi keadaan mereka. Riset sosiologi dan psikologi sosial memperlihatkan bahwa para pekerja menilai keadaan tidak membandingkan diri mereka sendiri dengan majikan mereka. Mereka bahkan tidak membandingkan diri mereka sendiri dengan kelas kaum kaya, tetapi lebih dengan para pekerja yang mempunyai situasi serupa. Ini dapat ditemukan pada sepanjang skala pekerjaan. Seorang profesor akan lebih gelisah ketika tahu bahwa gajinya lebih kecil $10.000 dibandingkan rekan kerjanya di gedung yang sama, ketimbang lebih kecil $200.000 dari gaji seorang ahli kardiologi di seberang jalan.52 Banyak perdebatan mengenai alasan-alasannya; tidak heran kalau ada lebih dari satu dinamika yang sedang berlangsung. Keterbatasan kognitif, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan dari rekan-rekannya, apa yang digambarkan oleh Tversky dan Kahneman sebagai ”kerangka heuristis ketersediaan”, yakni kerangka rujukan untuk menafsirkan informasi tentang ketimpangan dan distribusi, maupun kedekatan fisik – itu semua ikut berperan dalam persepsi seseorang tentang kesejahteraan relatifnya.53
( hlm. 102 )
Orang cenderung untuk melihat dunia sebagai sebuah versi yang diperluas dari kelompok rujukan lokal mereka – yang cukup homogen – dan memaksa mereka yang sangat berbeda dengan diri mereka sendiri ke belakang.56
( hlm. 103 )
4.2.3 Analisa Normatif tentang Eksploitasi
Yang lainnya, orang menjadi lebih atau kurang produktif sebagian karena hasil kerja yang dilakukan orang lain untuk mereka. Dalam dekade-dekade terakhir ini pengadilan Amerika mulai mengakui betapa rumitnya hal ini dalam penyelesaian kasus perceraian. Kerja domestik, yang dilakukan untuk mendukung pasangan mencapai suatu kualifikasi profesional, dapat dilihat sebagai bagian dari hasil kerja yang relevan dalam menciptakan pendapatan yang dihasilkan dari kualifikasi tersebut. Karena alasan ini, pasangan cerai yang telah melakukan kerja seperti itu dapat dianggap mempunyai kepemilikan atas pendapatan yang diperoleh mantan pasangannya (karena sekarang sudah memiliki kualifikasi) di masa mendatang.65 Para teoretikus feminis telah melakukan generalisasi wawasan di balik contoh-contoh semacam itu untuk menunjukan bahwa Marx bersikap sewenang-wenang ketika mengukur tingkat eksploitasi, sebab hanya melihat hubungan antara nilai lebih dengan upah yang dibayarkan kepada pekerja. Perhitungan seperti itu mengabaikan kontribusi pasangannya terhadap nilai lebih yang dihasilkan pekerja, yang oleh Marx secara semena-mena dianggap sebagai ”milik” pekerja.
Kapasitas produktif seorang istri yang tinggal di rumah yang digunakan suaminya untuk mencapai kualifikasi profesional, tak pelak lagi, sebagian merupakan kerja orang lain juga: orangtua, mungkin anak-anak, para guru sekolah minggu yang mengkotbahkan gabungan nilai-nilai etika kerja dan keluarga padanya, dan sebagainya.
( hlm. 110 )
Kontrak Sosial
Robert Nozick, seorang teoretikus yang berpengaruh dalam tradisi ini, menandaskan bahwa untuk bisa menjadi teori yang memadai, setiap teori keadilan harus mencakup teori tentang keadilan dalam soal pengambilalihan, keadilan dalam soal pembagian, dan perbaikan terhadap ketidakadilan di masa lalu.1 Dalam mengembangkan teorinya tentang keadilan, John Rawls menekankan bahwa fokus kontrak sosial harus diarahkan pada institusi-institusi utama yang menjadi “struktur dasar” masyarakat. Ia mendefinisikannya secara luas hingga mencakup perlindungan konstitusional yang sangat mendasar pada kebebasan politis, keagamaan dan pribadi, sistem pengorganisasian ekonomidan kepemilikan harta benda, termasuk kepemilikan atas alat-alat produksi, dan insitusi-insitusi sosial utama seperti keluarga.
( hlm. 115 )
5.1 Kontrak Sosial Klasik dan Kontemporer
Sebagai sebuah gagasan normatif, gagasan bahwa politik berakar dalam kontrak soaial bagi banyak orang nampaknya dibangun di atas landasan yang gampang goyah. Secara historis, barangkali pembentukan negara Amerika, yang secara tidak langsung dirujuk Nozick dalam argumennya, merupakan peristiwa yang paling dekat dengan gagasan itu.9 Namun pihak-pihak dalam kesepakatan itu tidak mengikutsertakan perempuan, kaum kulit hitam, dan bangsa asli Amerika, dan hasilnya melestarikan perbudakan.
( hlm. 117 )
Ini memunculkan permasalahan lebih jauh, meskipun sebuah kesepakatan dinilai absah dan mengikat semua pihak ketika pada awalnya dibuat, mengapa generasi sesudahnya, yang tidak berperan dalam kesepakatan tersebut, harus terikat juga? Dalam hukum pewarisan kita mendukung pembatasan sampai sejauh mana generasi yang sudah mati menentukan generasi berikutnya. Mengapa dalam politik harus berbeda? Jawaban-jawaban seperti yang diberikan Locke, bahwa dengan tetap berada di suatu tempat orang memperlihatkan persetujuan diam-diam pada apa yang sudah ditentukan, kurang meyakinkan.10 Pada praktiknya biaya untuk pergi dari suatu wilayah sangat tinggi, kecuali bagi sekelompok kecil orang, dan agak-nya tidak ada tempat bagi mereka untuk menciptakan rezim yang menurut mereka cocok.
Dengan mempertimbangkan kesulitan-kesulitan tersebut, para teoretikus kontrak sosial abad ke-20 mengajukan gagasan tentang kontrak hipotesis. Yang menjadi perhatian mereka bukanlah apa yang sudah atau tidak disepakati pada suatu titik sejarah, tapi lebih pada apa yang akan disepakati seandainya orang diberi pilihan.
Aspek pertimbangannya, dan bukan penyetujuan sendiri, yang membuat suatu aturan yang diajukan disepakati, kata James Buchanan dan Gordon Tullock dalam karya mereka, Calculus of Consent.11 Bagi Nozick, tujuannya adalah untuk meyakinkan pembaca bahwa negara minimal yang diajukannya akan muncul kalau orang bertindak secara rasional dalam sebuah ”situasi belum ada negara.”
( hlm. 118 )
Meskipun para penulis ini banyak menggunakan idiom kontrak sosial, pada akhirnya argumen mereka akan tergantung pada apa yang secara masuk akal akan diterima orang, bukan apa yang pada kenyataannya diterima semua orang.
Habermas menekankan pada apa yang akan dipilih dalam sebuah ”situasi percakapan ideal”, sementara Ackerman pada prinsip-prinsip yang muncul sebagai prinsip yang absah dalam pertukaran ”dialogis” yang terstruktur di antara para penduduk sebuah planet imaginatif.15
( hlm. 119 )
Jawaban atas pertanyaan ”siapa pihak yang setuju?”, konon, adalah pribadi rasional yang berpikir jernih.
( hlm. 120 )
5.2. Ketidaksepakatan Mendasar dari Rawls
Rawls telah menjadi teoretikus kontrak sosial yang paling berpengaruh dalam generasi kita. Ia mengembangkan sebuah kerangka kerja prinsip-prinsip untuk menilai keadilan penyelenggaraan politik dan serangkaian pengaturan institusional dan distributif yang ia yakin, lebih unggul dari apa yang ada. Hampir semua penjelasan mengenai argumennya ini, termasuk dari Rawls sendiri, dimulai dengan eksperimen tentang selubung ketidaktahuan.
( hlm. 122 )
5.2.1 Pluralisme yang Bertahan Lama
Berdasarkan diagnosis ini, dengan meninggalkan komitmen teologi dalam tradisi hukum kodrat telah membuat kita harus meniti lereng yang licin menuju relativisme moral. Ini sering diringkas dalam diktum Ivan Karamazov bahwa kalau Tuhan mati, maka segala sesuatu boleh dilakukan.24
( hlm.123 )
( Nozick mengadaptasi argumennya untuk menunjukan bahwa sebuah negara minimal, dengan kombinasi efisiensi pemerintahan dan sedapat mungkin mempertahankan ”situasi non-negara”, adalah yang terbaik).29
Apa yang dimaksud Rawls mengenai yang ”politis, tidak metafisis” adalah bahwa orang mungkin sepakat pada serangkaian prinsip tanpa menyepakati alasan-alasannya.
( hlm. 125 )
Pada kenyataannya, adalah konsensus yang tumpang tindih yang memberikan dasar legitimasi politis.32 Yang membedakan pendekatan ”politis, bukan metafisis” adalah konsep yang sederhana dalam bidang legitimasi politis.
( hlm. 126 )
Ia sendiri mencirikan prinsip-prinsipnya sebagai ungkapan prosedural dari imperatif kategoris.34 Pandangan ini menyatakan bahwa prinsip-prinsip Rawls seharusnya menikmati status hukum moral menurut pengertian Kant, yang berarti dapat diterapkan secara universal dan tidak berasal dari pengalaman.
( hlm. 127 )
Seperti halnya pemberian suara secara tertutup melindungi penduduk dalam sistem demokrasi dari keharusan memberikan justifikasi pilihannya pada orang lain, begitu juga metode ”politis, tidak metafis” Rawls itu menempatkan alasan-alasan mengapa sesorang mempunyai komitmen terhadap pandangan tertentu di luar urusan warga negara dan pemerintah. Demokrasi menuntut agar perwakilan dan pejabat bertanggungjawab secara publik, namun para pemilih yang memilih mereka tidak dituntut begitu. Dengan tidak menuntut warga negara memberi alasan-alasan pilihan politis mereka yang dapat diterima pihak lain, cara ”politis, tidak metafisis” Rawls punya landasan serupa.
5.2.2 Kesewenang-wenangan Moral
Skema kepemilikan diri, seperti yang sudah kita bahas dari Locke ke Marx, merupakan skema yang sangat egalitarian dalam satu hal: setiap orang secara setara adalah pusat otonomi moral dan agensi kreatif, entah karena menurut Locke Tuhan telah menciptakan manusia begitu, atau berdasarkan asumsi-asumsi sekuler seperti yang diutarakan Marx atau Mill.
( hlm. 128 )
Untuk mengingatkan bagaimana debat-debat ini sangat bernuansa politis, orang hanya perlu mengingat kembali kontroversi hebat yang muncul pada akhir 1990-an terhadap pandangan Richard Hermstein dan Charles Murray dalam The Bell Curve, yang menyatakan bahwa ada dasar genetis dalam intelegensia yang menjadi sebagian penyebab variasi pencapaian di antara kelompok ras dan etnis berbeda di Amerika Serikat.35
Namun Rawls berpendapat bahwa, dari sudut pandang keadilan, debat-debat ini tidak kena sasaran. Entah itu hasil bawaan lahir atau lingkungan, perbedaan-perbedaan tersebut tergantung baik pada kebetulan dalam rangkaian genetika, atau dalam lingkungan di mana seseorang kebetulan dilahirkan.
( hlm. 129 )
Distribusi aset mula-mula dalam rentang waktu sangat dipengaruhi oleh kondisi alamiah dan sosial tertentu. Ditribusi pendapatan dan kekayaan yang ada saat ini, katakanlah, merupakan dampak kumulatif distribusi aset alamiah sebelumnya – yaitu bakat dan kemampuan alamiah – sejauh dikembangkan atau dibiarkan, dan penggunaannya diuntungkan atau tidak diuntungkan oleh kondisi-kondisi sosial dan kebetulan lain seperti kecelakaan atau nasib baik.
Apakah perbedaan-perbedaan antar manusia berasal dari gen mereka atau hasil mereka dibesarkan, atau – yang memang mungkin – kombinasi dari keduanya, menurut Rawls tidak memberi landasan yang kuat untuk menentukan hasil distribusi.
( hlm. 130 )
5.3 Keadilan dengan Ketidakpastian tentang Masa Depan
5.3.2 Konsep Keadilan Histori versus Terpola
Nozick menyambut kritik kaum kiri itu dengan sebuah contoh yang cerdas. Anggaplah seorang pemain basket terkenal seperti Wilt Chamberlain dalam kontraknya dengan sebuah tim tertentu menyepakati bagian kontraknya yang menyatakan, selain pembayaran dari tim tersebut, setiap kali ia bermain ia akan menerima langsung 25 persen dari tiket penonton.44 Sejalan dengan waktu, pembayaran tambahan ini memberi ratusan ribu, bahkan jutaan dolar, dari para penggemar bola basket kepada Chamberlain. Apa yang ditunjukan Nozick di sini adalah bahwa ”kebebasan mengacaukan pola-pola yang ada.” Tak peduli seperti apa pun distribusi pendapatan dari kekayaan pada awalnya, mengizinkan orang untuk melakukan perdagangan bebas di pasar akan mengubah distribusi awal tersebut. Jawabannya terhadap kritik kaum kiri yang mengeluhkan bahwa distribusi awal yang tidak adil menodai semua transaksi pasar berikutnya adalah: pilihlah distribusi awal untuk diri Anda sendiri apa pun yang menurut Anda adil. Jika Anda seorang egalitarian yang ketat, oke, mulailah dengan kesetaraan yang ketat. Jika Anda kemudian mengizinkan transaksi sukarela, Anda harus menerima ketidaksetaraan yang diakibatkannya.
( hlm. 134 )
Penalaran keadilan yang dikemukakan Nozick bisa diringkas begini: jika kondisi awalnya adil dan transaksi berikutnya bersifat sukarela, hasilnya harus diterima sebagai suatu hal yang adil. Silogisme ini menganggap enteng kritik kaum kiri dalam hal bahwa dasar keberatannya sama sekali bukanlah kondisi awal yang tidak adil, namun lebih pada ketidaksetaraan yang ditimbulkan oleh pasar.
Namun bagi Nozick, perpajakan sama seperti ”kerja paksa” kalau keadilan kondisi awal sudah ditetapkan. Berdasarkan konsep ”historis” tentang keadilan, redistribusi untuk mencapai sejumlah pola distribusi tertentu atau ”keadaan akhir” tidak akan pernah bisa dibenarkan. Satu-satunya situasi di mana negara mempunyai hak untuk mengambil dari Peter dan memberikannya pada Paul adalah dalam pemberian kompensasi ganti rugi untuk membayar ketidakadilan di masa lalu.46
( hlm. 135 )
Contoh-contoh tersebut dan lusinan contoh lainnya yang dapat disebutkan menegaskan fakta, jika kita cukup jauh menengok ke belakang, Anda hampir selalu bisa mendapati keluhan absah sebuah kelompok yang terpinggirkan atau yang terampas hak-haknya. Ini merupakan efek samping dari kenyataan bahwa saat ini pembagian dunia menjadi negara-negara bangsa sebagian besar nerupakan hasil peperangan, perang saudara, dan revolusi, yang menimbulkan dampak yang hebat pada pembagian dan pembagian ulang aset-aset berbagai generasi. Ini salah satu alasan mengapa tantangan sigolistik dari Nozick, ”Anda tentukan kondisi awal yang adil,” harus ditanggapi sebagai sebuah jebakan polemik.
( hlm. 136 )
Di manapun Anda berhenti, sejumlah kelompok akan mengklaim bahwa Anda belum cukup banyak mundur ke belakang.
Nozick dan Marx berasal dari dua spektrum ideologis yang saling bertentangan, namun mereka menghadapi kesulitan serupa berkaitan dengan konsep ”historis” tentang bagian hak-hak yang absah. Keduanya menganut varian sekuler ideal kekaryaan ideal dari Locke yang menjadikan kepemilikan diri sebagai sesuatu yang suci. Bagi Marx, ini menimbulkan kesulitan-kesulitan yang berasal dari kegagalan sebuah teori eksploitasi yang memadukan kepemilikan diri dengan apa yang ingin ia katakan tentang eksploitasi.
( hlm. 137 )
5.3.1 Paham tentang Sumberdaya dan Barang-barang Primer
Alasannya begini: apa pun pandangan Anda tentang hidup yang baik, Anda akan cenderung untuk menginginkan lebih banyak kebebasan politik dan sipil, kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar sosial untuk penghargaan diri.
Tanpa memperdebatkan klaim asketis tersebut, para pendukung Rawls akan bertanya: Apakah Anda lebih suka menjadi seorang non-asketis dalam sebuah dunia di mana pengingkaran terhadap penghasilan dan kekayaan yang tidak perlu merupakan prinsip utama, atau menjadi seorang asketis dalam dunia di mana orang secara umum menginginkan lebih banyak pendapatan dan kekayaan?
( hlm. 139 )
Perhatian utama Rawls dalam A Theory of Justice dicurahkan pada pengembangan dan eksplorasi dampak-dampak prinsip yang sesuai bagi distribusi barang-barang primer yang berbeda. Oleh karena itu kebebasan didistribusikan sesuai dengan prinsip: “setiap orang akan mempunyai ha setara terhadap sistem total kebebasan yang paling luas yang sesuai dengan sistem kebebasan bagi semuanya yang serupa.”53
Dengan menganggap bahwa mereka akan selalu menjadi kelompok yang tidak diuntungkan karena pengingkaran kesetaraan akses terhadap kemajuan, mereka akan menganut prinsip kesetaraan dalam kesempatan. Seperti dinyatakan Rawls: ”ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka (a) memberikan manfaat yang paling besar bagi yang paling tidak diuntungkan… dan (b) melekat pada pekerjaan dan posisi-posisi yang terbuka pada semua orang dengan syarat adanya kesetaraan dalam kesempatan yang adil.”54
( hlm. 140 )
Prinsip Rawls yang paling banyak dibahas dalam hal distribusi penghasilan dan kekayaan adalah apa yang disebut difference principle, meskipun pada kenyataannya ia mengangkat lagi prinsip yang lebih lama ekonomi kesejahteraan yang disebut maximin, kependekan dari ”memaksimalkan bagian minimum.”
( hlm. 141 )
Ini menggambarkan gagasan bahwa dibalik selubung ketidaktahuan seseorang tidak tahu apakah orang lain akan menjadi A atau B, sehingga pilihan logisnya adalah untuk memilih f dibandingkan x, jika pilihan-pilihan tersebut yang tersedia, sehingga memungkinkan suatu paket barang-barang primer yang lebih besar bagi siapa pun yang nantinya jadi orang yang paling tidak diuntungkan.
( hlm. 142 )
Saya juga mengkritiknya beberapa waktu yang lalu karena agnotismenya yang nampak antara kapitalisme dan sosialisme dalam A Theory of Justice.56 Namun Rawls mempunyai tanggapan ganda. Pertama, yang menjadi perhatiannya adalah prinsip-prinsip fundamental – kita mungkin akan menganggapnya sebagai hambatan-hambatan konstitusional yang sudah mendarah daging – yang menguasai pembuatan kebijakan ekonomi dalam masyarakat.
( hlm. 144 )
Kedua, Rawls mungkin menanggapi bahwa pilihan-pilihan di antara berbagai gabungan institusi pasar dan non-pasar merupakan permasalahan ekonomi politik, bukan filsafat politik.
( hlm. 145 )
5.3.4 Komitmen dan Prioritas Plural
Sebagai contoh, dalam aturan bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan tanah bersama, Locke menetapkan persyaratan (proviso) kedua bahwa harus ada tanah bersama yang ”cukup dan sama bagusnya” yang tersisa untuk orang lain.57
( hlm. 146 )
5.4 Batasan Kontrak Hipotesis
Apa manfaat perlindungan kebebasan berbicara bagi seseorang yang di ambang kelaparan?60
( hlm. 147 )
Setiap teori politik didasarkan pada asumsi tentang psikologi manusia dan hubungan sebab akibat yang melandasi bagaimana bagaimana dunia, dan jelas bahwa asumsi-asumsi tersebut banyak berperan dalam argumen kontroversial tentang kontrak sosial yang hipotesis. Bahkan jika kita membatasi perhatian kita pada tradisi neo-Kantian, di mana para pemilih pada situasi awal diasumsikan memberi tekanan kuat pada otonomi individu, ada sejumlah teori membingungkan yang didasarkan pada asumsi tersebut. Robert Paul Wolff menyimpulkan bahwa orang akan memilih anarki, menurut Nozick negara minimal, utilitarianisme bagi Harsanyai, hierarki aturan keputusan yang tergantung pada pentingnya permasalahan menurut Buchanan dan Tullock, asuransi sosial dan kesehatan yang memadai bagi Ronald Dowkin, dan bagi Rawls orang akan memilih sebuah rezim yang ditetapkan pada kondisi masyarakat yang berada di bawah, seperti yang sudah kita lihat. Apa yang mendorong perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah metode kontraktual atau komitmen terhadap otonomi individu yang mereka sepakati bersama, namun asumsi-asumsi mereka yang berbeda mengenai psikologi manusia dan sebab akibat bagaimana dunia sosial berjalan.63
( hlm. 149 )
5.5 Membahas Kembali Sifat Moral yang Semena-mena
Soal pertama berasal dari apa yang dikemukakan AmartyaSen: jika kita memang ingin dengan adil mendistribusikan apa yang mampu dihasilkan oleh orang-orang dengan kemampuan yang berbeda-beda, maka kita bisa menggunakan barang-barang primer Rawlsian sebagai ukuran; kita perlu memertimbangkan bagaimana orang-orang menggunakan kapsitas dan sumberdaya yang berbeda-beda sebagai landasannya. Ketika memikirkan, misalnya, keadilan dalam pembagian makanan, Sen berpendapat bahwa kita tidak perlu harus memikirkan berapa banyak makanan yang dimiliki seseorang atau berapa banyak manfaat yang diperoleh orang karena memakan makanan itu, namun lebih pada seberapa banyak makanan itu memenuhi gizinya.66
( hlm. 152 )
Politik Anti Pencerahan
Setiap arus menimbulkan arus balik, dan akan mengherankan kalau tidak muncul perlawanan kuat terhadap aliran-aliran politik Pencerahan.
( hlm. 161 )
6.1 Pandangan ala Burke
Filsuf besar yang menentang Pencerahan adalah Edmund Burke (1729-1797) dari Irlandia.
Bagi Burke, upaya menyempurnakan manusia pasti gagal, mungkin dengan cara mengerikan.
(hlm. 162 )
Ia beranggapan bahwa kondisi manusia sudah keruh secara inheren, dan tidak pernah ragu bahwa kejelasan dan kejernihan dalam pemahaman yang dicari oleh para pemikir rasionalis dan neoklasik di zamannya hanya ada dalam imajinasi.
( hlm. 163 )
6.2 Menentang Ilmu Pengetahuan Pencerahan
Apakah antimodern atau postmodern, kiri atau kanan, para pemikir ini mempunyai antipati mendalam yang sama dengan Burke terhadap arogansi Pencerahan.
( hlm. 165 )
6.3 Menolak Pencerahan Awal atau Akhir?
Rorty dan para postmodernis bergerak terlalu cepat dari kritik tajam terhadap obsesi Pencerahan awal pada kepastian mendasar ke penolakan menyeluruh terhadap gagasan bahwa ilmu pengetahuan lebih dapat diandalkan dalam upaya memperoleh kebenaran ketimbang opini, konvensi, takhayul, atau tradisi. Di bawah bawah pengaruh kuat tulisan-tulisan akhir Ludwid Wittgenstein, Rorty menganut gagasan Wittgenstein bahwa kebenaran tidak lain adalah kepatuhan terhadap aturan-aturan permainan bahasa – norma-norma dan konvensi-konvensi yang telah kita terima.9 Jadi Rorty mengartikan kebenaran dalam kaitannya dengan konsensus sosial dan ”solidaritas”, sementara rasionalitas dilihat sebagai ”keadaban” – sebagai hasil kesepakatan lewat percakapan tidak resmi.
( hlm. 166 )
6.4 Keberatan Lain terhadap Kemungkinan Ilmu Pengetahuan Sosial
Namun banyak orang yang tidak menganut postmodernisme juga skeptis, sains dapat diharapkan memberi pengetahuan yang signifikan tentang politik. Ada bermacam-macam keberatan di sini. Sebagian orang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan sosial tidak mungkin karena, tidak seperti ilmu alam, obyek studinya sebagian besar adalah suatu artefak tentang bahasa manusia.18 Misalnya J.L. Austin, seorang filsuf Oxford di pertengahan abad duapuluh, melihat bahwa bahasa memperlihatkan apa yang disebut dimensi performatif, sehingga mengatakan suatu sebenarnya menciptakan realitas sosial itu sendiri. Ketika seorang pegawai yang berwenang menyatakan, “Dengan ini saya nyatakan Anda behasil menjadi suami istri” dalam situasi yang tepat, misalnya, ia menciptakan sebuah fakta sosial baru. Pengamatan serupa dapat dilakukan terhadap tindakan-tindakan lain seperti misalnya berjanji, memberi gelar, dan banyak aktivitas lain di mana berkata berarti berbuat.
( hlm. 171 )
Ilmu politik memang belum memghasilkan teori-teori prediktif yang mengesankan, namun ada berbagai sumbangannya pada pengetahuan kita tentang politik, sebagian dengan meningkatkan pemahaman deskriptif kita tentang dunia politik. Sebagian dengan membongkar stereotipe dan teori-teori yang buruk, dan sebagian lainnya dengan menunjukan fenomena politik mana yang memerlukan penjelasan umum dan yang tidak.
( hlm. 176 )
Tocqueville berpendapat bahwa demokrasi adalah produk tradisi-tradisi egalitarian.31 Seymour Martin Lipset menanggapnya sebagai produk sampingan modernisasi.32 Barrington Moore melihat munculnya kaum borjuis sebagai hal yang penting, sementara Evelyne Huber, Dietrich Rueschemeyer dan John Stephens berpandangan bahwa yang sangat penting adalah kehadiran kelas pekerja yang terorganisir.33
( hlm. 177 )
Demokrasi nampak tidak pernah mati di negara-negara kaya, sementara demokrasi di negara-negara miskin sangat lemah, dan akan semakin lemah ketika pendapatan tahunan per kapita jatuh di bawah $2000 (dollar tahun 1975). Jika pendapatan per kapita tahunan jatuh di bawah amabang batas ini, demokrasi mempunyai kemungkinan satu di antara sepuluh untuk runtuh dalam jangka waktu satu tahun. Untuk pendapatan per kapita tahunan antara $2001 dan $5000, rasio ini menjadi satu di antara enambelas. Demokrasi di negara dengan pendapatan per kapita tahunan di atas $6055, begitu terbentuk, nampak bertahan lama untuk jangka waktu tertentu. Terlebih lagi, demokrasi yang lemah akan cenderung mampu bertahan jika pemerintah berhasil meningkatkan pembangunan dan menghindari krisis ekonomi.38
( hlm. 179 )
”Jika tidak ada sesuatupun yang benar, maka segala hal diperbolehkan” adalah versi sekuler Nietzsche tentang kekhawatiran Ivan Karamazov.42
( hlm. 181 )
6.5 Meletakkan Hak-Hak di Bawah Komunitas
“Aku percaya pada keadilan, namun aku akan membela ibuku di depan keadilan,” tulis Camus, sebuah proposisi yang dianut dan dipadukan oleh Walzer dengan menolak dan menganggap semua konsep keadilan yang tidak menyisakan ruang bagi cinta sebagai konsep yang tidak bisa diterima.
( hlm. 184 )
6.6 Kesulitan dengan Apa yang Terberi secara Kreatif
Sebelum disahkannya Undang-Undang Property Perempuan yang Menikah (Married Women’s Property Acts) pada paruhan akhir abad ke sembilan belas, perempuan kehilangan hak atas harta bawaan mereka yang saat menikah menjadi milik sang suami – bagian dari luruhnya identitas legal mereka selama perkawinan yang berakar pada pandangan hukum yang membuat isteri menjadi milik suami.
( hlm. 189 )
Sosiolog politik Benedict Anderson menyatakan tidak perlu demikian. Ia membedakan patriotisme dengan nasionalisme berdasarkan alasan bahwa patriotisme tidak mengandung kebencian terhadap orang asing yang sering menyertai nasionalisme. Kita dapat menjadi patriot dalam mengidentifikasi diri dengan negara kita dan menganggap itu yang terbaik tanpa terganggu oleh pikiran bahwa orang lain bisa merasakan hal yang sama dalam kaitannya dengan negara mereka sendiri.62
(hlm. 193 )
Orang bisa berimajinasi mempertahankan saikap tersebut dengan alasan yang diambil dari Rawl dari Kant, bahwa sebuah standar tunggal yang berlaku di seluruh dunia memerlukan pemerintahan dunia untuk menegakkannya, dan bahwa hal itu, pada gilirannya, akan menghasilkan bentuk tirani yang lebih buruk ketimbang tirani yang ingin dilenyapkan.72
( hlm. 199 )
Demokrasi
7.1 Demokrasi dan Kebenaran
Tradisi demokrasi lebih tua dari tradisi-tradisi lain yang telah saya bahas, karena berakar pada negara-negara kota di Yunani kuno, yang paling terkenal adalah Athena.
( hlm. 205 )
7.1.1 Kritik Plato
Bahkan Mill, tokoh egalitarian progesif di zamannya, mengkhawatirkan kemungkinan tersebut; itu salah satu alasan ia lebih menyukai pemungutan suara kedua bagi para lulusan universitas.4
( hlm. 206 )
Pertengkaran tak pelu di antara para politisi dan fraksi-fraksi orang kaya yang bersaing membawa masyarakat ke dalam spiral korupsi dan saling curiga, hingga membuka jalan bagi pemimpin yang populer untuk mengambil alih kekuasaan. Namun ia segera menjadi seorang tiran. Dengan memanfaatkan kelemahan masyarakat untuk memperkuat kekuasaannya, ia mengubah rakyat menjadi budak.8
( hlm. 208 )
Bagi Plato, pengetahuan adalah kebaikan terbesar, dan jika sebuah rezim dapat didasarkan pada kebenaran, ia akan menjadi rezim terbaik. Namun demikian, demokrasi tidak tergantung pada pencarian kebenaran. Seperti sudah kita lihat, Plato menganggap prinsip konstitutif demokrasi adalah untuk menyenangkan massa yang umumnya tidak bisa mengenali kebenaran dan memusuhinya ketika bertentangan dengan prasangka mereka sendiri.
( hlm. 209 )
Hanya para filsuf yang mempunyai pengetahuan, dan mencintai kebaikan yang merupakan “akhir dari semua upaya.”10The Republic banyak menggambarkan disiplin tatanan hierarkis yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang adil. Sebagian karena alasan kekaguman Plato pada Sparta, tatanan itu mencakup kendali sentralistik terhadap semua aspek kehidupan sosial, mulai dari reproduksi, memelihara anak, hingga organisasi ekonomi, dan yang paling penting suatu sistem pendidikan tertentu yang dirancang guna menemukan dan melatih mereka yang memiliki kemampuan untuk berkuasa sebagai raja-filsuf. Ini termasuk pendidikan umum sampai umur delapan belas tahun, diikuti dua tahun pelatihan fisik dan militer yang berat, dan satu dekade pelatihan disiplin matematika bagi mereka yang mempunyai kemampuan memadai. Pada umur tiga puluh, mereka yang mampu akan dididik selama lima tahun dalam seni retorika yang punya potensi berbahaya itu, selanjutnya magang dalam jabatan tertentu sampai usia lima puluh. Mereka yang berhasi lolos akan menjadi raja filsuf yang andal, membagi waktu antara aktivitas filsafat yang mereka pilih dan memerintah masyarakat – yang akan mereka anggap sebagai kewajiban.11
Sejumlah komentator, yang paling terkenal adalah Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies, menyerang gagasan tersebut sebagai resep bagi totalitarianisme.
( hlm. 210 )
Hanya para filsuf yang mempunyai apa yang diperlukan untuk keluar dari gua menuju cahaya matahari. Sebaliknya, Pencerahan meyakini kemampuan nalar bagi semua orang.
( hlm. 212 )
7.1.2 Kompetisi Demokrasi sebagai Sekutu Kebenaran
Dibandingkan alternatif yang ada, demokrasi lebih baik karena melembagakan mekanisme-mekanisme seperti itu, memberikan insentif pada para calon politikus untuk menerangi pojok-pojok yang gelap dan mengungkapkan kegagalan serta kepura-puraan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu demokrasi merupakan penyeimbang penting bagi monopoli kekuasaan yang dengan sangat mudah terjebak dalam kepentingan untuk mempertahankan keberadaannya.
Namun kompetisi kekuasaan tidak dapat dinafikan.30 Itulah alasannya mengapa para pendukung Schumpeter di zaman ini, seperti Samuel Huntington, menekankan bahwa untuk bisa disebut negara demokratis, pemerintahannya harus pernah mengalami dua kali kehilangan kekuasaan dalam pemilihan-pemilihan umum – sebuah ujian berat yang tak pelak menyingkirkan Amerika Serikat hingga 1840, Jepang dan India hampir sepanjang abad ke-20, dan hampir semua dari apa yang disebut demokrasi gelombang ketiga yang muncul di negara-negara eks-komunis dan negara-negara sub-Sahara Afrika sejak tahun 1980-an.31
( hlm. 216 )
Salah satu alasan mengapa Mill memandang argumentasi begitu penting dalam kehidupan publik adalah karena ia membuka kemungkinan bagi mereka yang tidak setuju untuk mengungkapkan kesepakatan yang salah arah dan prasangka-prasangka ortodoks lainnya. Ketika argumentasi berjalan baik, demokrasi yang komptetitif mendorong debat sengit yang sedang berlangsung di mana mereka yang mencari kekuasaan di paksa untuk menjustifikasikan klaim mereka pada publik, sementara pada saat bersamaan diselidiki oleh lawannya yang terdorong meyakinkan publik atas kekurangan pandangan lawan mereka dan keuntungan mempunyai pandangan yang lain.38
( hlm. 219 )
Dalam upaya kumulatif dan eksperimentalnya untuk menghapuskan batas-batas ketidaktahuan, demokrasi merupakan sekutu yang paling dapat diandilkan bagi kebenaran. Sikap demokratis dan ilmiah saling memperkuat karena keduanya memerlukan debat publik. Menurut Dewey, dalam Individuality in Our Day, setiap gagasan dan teori baru harus diberikan pada ilmiah untuk dievaluasi secara kritis.
Metode eksperimental berbeda dari peluit aba-aba, celaan, dan dukungan. Ia merupakan musuh bagi setiap pandangan yang membolehkan kebiasaan mendominasi penciptaan dan penemuan, dan memungkinkan sistem yang ada menggantikan fakta yang bisa diverifikasi. Perbaikan terus-menerus merupakan hasil karya telaah eksperimental. Dengan memperbaiki pengetahuan dan gagasan, kita mendapatkan kekuatan untuk melakukan perubahan. Begitu ia merasuk ke dalam pikiran individu, sikap tersebut akan menemukan salurannya pelaksanaannya sendiri. Jika dogma dan institusi gemetar ketika sebuah gagasan baru muncul, ini belum sebanding dengan apa yang terjadi jika gagasan baru itu dilengkapi dengan alat-alat menemukan kebenaran baru yang kontinu dan mengkritik keyakinan lama. ”Tunduk” pada ilmu pengetahuan hanya berbahaya bagi mereka yang mempertahankan perkara-perkara dalam tatanan sosial yang tidak berubah karena kemalasan atau kepentingan diri sendiri. Karena sikap ilmiah menuntut kesetiaan terhadap apa pun yang ditemukan dan keteguhan untuk mematuhi kebenaran baru.42
( hlm. 220 )
”Masa depan demokrasi diiringi oleh penyebaran sikap ilmiah.
( hlm. 221 )
7.2 Demokrasi dan Hak
7.2.1 Dugaan Ketidakrasionalan Demokrasi
Mengembangkan wawasan lama dari Marquis de Condorcet (1743-1794), Kenneth Arrow menunjukan, berdasarkan sejumlah asumsi yang sangat lemah, pemerintahan mayoritas dapat membawa pada hasil-hasil yang ditentang pleh mayoritas penduduk.
Ketakutan akan tirani oleh mayoritas faksi yang ada membuat Madison dan kaum Federalis membuat sistem politik yang terdiri dari berbagai veto untuk mempersulit tindakan politis mayoritas. Hal itu mencakup pemisahan kekuasaan di mana ”ambisi akan dibuat untuk meredam ambisi,”49 termasuk sebuah pengadilan independen yang mempunyai kekuasaan untuk menyatakan bahwa satu perundangan tidak konstitusional, dan seorang Presiden yang pemilihannya, dan karena itu legitimasinya juga, tidak terkait dengan badan pembuat undang-undang; sistem dua kamar (bikameralisme) yang kuat di mana perundangan harus melewati kedua dewan dan di mana dua pertiga mayoritas di dua dewan tersebut dapat membatalkan kekuasaan veto Presiden; serta sebuah sistem federal di mana ada ketegangan jurisdiksin terus menerus antara pemrintah federal dan negara bagian.
( hlm. 223 )
Kemungkinan adanya siklus memberikan insentif kepada mereka yang kalah dalam pemilihan untuk tetap berkomitmen pada sistem yang diharapkan tetap ada di masa mendatang, namun kenyataan siklus itu sesungguhnya jarang terjadi berarti bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah tidak selalu dapat diubah.60
( hlm. 228 )
7.2.2Tirani Mayoritas?
Dengan gaya pemikiran yang nantinya terkenal karena Rawls, mereka bertanya: Aturan pengambilan keputusan apa yang akan dipilih dalam kesepakatan konstitusional oleh warga negara biasa ketika setiap orang tidak yakin ”apa perannya yang tepat dalam mata rantai pilihan kolektif apa pun yang nantinya harus mereka pilih.”
( hlm. 229 )
Negara-negara di mana ada kebebasan berpendapat dan berserikat secara berarti, penghargaan hak-hak milik dan pribadi, pelarangan atas penyiksaan , dan jaminan kesetaraan di mata hukum adalah negara-negara yang mempunyai sistem politik yang demokratis.72
( hlm. 233 )
7.2.2 Hak-Hak Siapa?
Prinsip kepentingan yang terkena dampak (principle of affected interest) menunjukkan, idealnya struktur aturan pengambilan keputusan harus mengikuti kontur hubungan kekuasaan, bukan didasarkan pada keanggotaan atau kewarganegaraan: jika Anda terkena dampak dari hasilnya, Anda mempunyai hak untuk mengatakan sesuatu.
( hlm. 235 )
Bagaimanapun institusi-institusi politik global akan menghadapi kesulitan-kesulitan besar dalam hal efisiensi dn legitimasi, sehingga menimbulkan pertanyaan serius tentang daya tarik mereka.86
( hlm. 237 )
Cukup dicatat di sini, dari perspektif demokrasi tujuannya adalah mengubah pengambilan keputusan sehingga lebih bisa menjadi perwujudan partisipasi dari mereka yang kepentingannya terkena dampak keputusan yang sudah diambil, dengan asumsi melibatkan mereka yang kepentingan dasarnya paling dipertaruhkan.
( hlm. 238 )
Bisa jadi mekanisme itu tidak sempurna, namun seyogianya dinilai merujuk pada mekanisme pengambilan keputusan kolektif lain yang tidak sempurna yang ada dalam dunia ini, bukan membandingkannya dengan ideal yang tidak ada di mana-mana.
( hlm. 239 )
Demokrasi pada Masa Pencerahan Akhir
Alih-alih menengahi klaim-klaim yang bertentangan, dengan berusaha mencari serangkaian titik temu keyakinan-keyakinan (termasuk titik temu dalam kesalahan) yang sering kali licin dan berubah-ubah, pendekatan demokratis memasukan pengakuan pentingnya kebenaran sebagai ideal regulatif dalam debat publik, dan melembagakan cara-cara agar kebenaran diperhitungkan dalam perdebatan berbagai posisi politik yang bertentangan.
( hlm. 243 )
Tradisi demokrasi juga berjalan cukup baik ketika dibandingkan dengan tradisi intelektual lainnya yang dibahas dalam buku ini. Seperti yang kita lihat, utilitarianisme klasik tidak memberi perhatian pada hak-hak individu, sehingga membuat pandangan ini rentan terhadap kritik Rawls bahwa ia gagal untuk menganggap serius perbedaan antar pribadi.
( hlm 244 )
Catatan Akhir
4. Jeremy Bentham, Anarchical Fallacies, dicetak ulang dalam The Work of Jeremy Bentham, diterbitkan dalam pengawasan pelaksana surat wasiatnya, John Bowring (Edinburgh: William Tait, 1843), Vol. 2, hal. 501.
( hlm. 252 )
Puncak tahun-tahun pajak di Amerika Serikat terjadi tahun 1944-1945, dimana tarif pajak tertinggi bisa mencapai 94 persen pendapatan kotor mereka yang telah disesuaikan.
( hlm. 255 )
65. Lihat keputusan kasus O’Brien v. O’Brien 66 NY 2d 576 (1985) oleh Mahkamah Agung dalam Second Judicial Department New York yang menerima bahwa izin praktik dokter sang suami adalah hak milik dalam perkawinan, dengan alasan bahwa “kontribusi pasangan bagi profesi atau karir pasangannya… mencerminkan investasi kemitraan ekonomi dalam perkawinan dan merupakan hasil ‘upaya bersama’ … ” Oleh karenanya, meskipun New York bukanlah sebuah negara bagian yang menerapkan community property, sang istri yang diceraikan harus diberi 40% dari perkiraan nilai izin mantan suaminya selama sebelas tahun, dan sang suami diperintahkan untuk mengambil asuransi jiwa untuk membayar sisanya, dengan mantan istrinya sebagai ahli warisnya.
( hlm. 265 )
37. Menurut aturan efisiensi Learned Hands dalam kasus ganti rugi yang terkenal itu, seseorang harus bertanggungjawab atas kerusakan/kerugian yang dilakukannya terhadap orang lain hanya jika biaya untuk mencegah timbulnya kerugian lebih sedikit dibandingkan biaya kerugian dikalikan probabilitas kejadian tersebut. Kalau kriteria tersebut tidak dipenuhi, kerugian jatuh sesuai dengan tempatnya. Lihat U.S.v.Carrol TowingCo.(1947).
( hlm. 268 )
40. Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis : University of Minnesota Press, 1988) hal.41.
( hlm. 278 )
52. Harus diingat bahwa kritik Sandel tidak tepat sasaran, karena jika Anda menanyakan diri sendiri kebijakan preferensi ras mana yang Anda pilih seAndainya Anda tidak tahu apakah Anda akan lahir sebagai orang berkulit hitam atau putih tidak mewajibkan Anda membayangkan umat manusia tanpa warna kulit, seperti yang tersirat dalam rujukannya kepada wilayah noumenal Kant.
( hlm 279 )
17. Namun pembahasannya merupakan yang pertama dari banyak pembahasan tentang kondisi stabilitas rezim dan cara-cara rezim-rezim politik berkembang menjadi yang lainnya. Topik ini dibahas dengan lebih rinci dalam Politics karya Aristoteles dan dikembangkan menjadi klasifikasi enam jenis tipe rezim, lalu dijadikan hukum sejarah oleh Polybius, filsuf Stoik yang diasingkan dari Yunani pada abad kedua SM sebagai teori siklus konstitusi. Siklus itu dianggap berkembang dari monarki menjadi tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan kemudian oklorasi (aturan kerumunan atau anarki)
( hlm. 283 )
67. Ini pasti tidak hanya berlaku jika jual beli suara diizinkan. Dengan asumsi tersebut, dan dengan menganggap juga bahwa tidak ada biaya-biaya pengambilan keputusan, tidak ada aturan pengambilan keputusan yang optimal bagi alasan yang sama seperti yang ditunjukan Coase bahwa, dengan tidak adanya biaya informasi, dampak kekayaan, efek-efek eksternal dan hambatan-hambatan lain terhadap pertukaran, seperti misalnya mereka yang menumpang bebas (free riding), tidak ada aturan ganti rugi yang lebih efisien dari yang lain.
( hlm. 288 )
73. Sosiolog T.H.Marshall dikenal membedakan tiga jenis hak-hak yang semakin komprehensif: hak-hak sipil yang mencakup “hak-hak yang diperlukan untuk kebebasan individu – kemerdekaan seseorang, kebebasan berbicara, berpendapat, berkeyakinan, hak untuk memiliki properti dan melakukan kontrak yang sah, dan hak atas keadilan (hak untuk memperjuangkan dan membela hak-hak seseorang).” Hak-hak politis mencakup “hak untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan kekuasaan politik, sebagai anggota badan yang mempunyai kewenangan politik atau sebagai pemilih anggota-anggota badan seperti itu.” Dan hak-hak sosial yang, menurut Marshall, merupakan “seluruh cakupan dari hak untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi dan keamanan yang cukup hingga hak untuk mendapatkan bagian dalam warisan sosial penuh dan untuk hidup bermartabat sesuai dengan standar yang berlaku di masyarakat.”
( hlm. 289 )
“Alam telah menempatkan umat manusia dibawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu.”