04 Cara Mengatasi Karyawan Tak Kompeten dan Tak Produktif

Rekrutlah Karyawan dengan IQ Tinggi, Tekun, dengan metode Wawancara Terstrukur

Chandra Natadipurba

Karyawan yang tidak memenuhi standar kinerja dapat merusak efisiensi operasional dan menghambat pertumbuhan perusahaan.

Oleh karena itu, penting untuk memahami strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini sejak awal, sehingga kita dapat mencegahnya sebelum terjadi.

Salah satu kunci utama untuk mengatasi masalah karyawan yang tidak kompeten adalah dengan memastikan bahwa perusahaan melakukan rekrutmen yang tepat sejak awal.

Merekrut orang yang tepat dapat mencegah sebagian besar masalah yang mungkin terjadi di kemudian hari.

Dalam kehidupan dan bisnis, orang yang memiliki sedikit titik buta akan lebih unggul.

Menghilangkan titik buta ini berarti kita dapat melihat, berinteraksi, dan mendekati realitas dengan lebih baik. Hal ini memungkinkan kita untuk berpikir lebih baik dan menemukan solusi yang tepat untuk masalah yang dihadapi. Sebagai contoh, pengambilan keputusan yang didasarkan pada pemahaman yang lebih baik akan selalu lebih baik daripada keputusan yang didasarkan pada ketidaktahuan.

Namun, bagaimana kita bisa melakukan hal-hal dengan benar sejak awal? Jawabannya terletak pada pemahaman tentang bagaimana dunia bekerja dan menyesuaikan perilaku kita sesuai dengan pemahaman tersebut.

Berpikir lebih baik bukanlah tentang menjadi jenius, tetapi tentang proses yang kita gunakan untuk mengungkap realitas dan pilihan yang kita buat setelah kita menemukannya.

Merekrut Orang Cerdas dan Berorientasi pada Hasil: Kunci Kesuksesan di Dunia Kerja

Sam Altman, CEO OpenAI, menyatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan, perusahaan perlu merekrut orang-orang yang cerdas dan memiliki mentalitas “get things done” atau kemampuan untuk menyelesaikan tugas.

Berikut ini, kita akan membahas pentingnya merekrut individu yang cerdas dan berorientasi pada hasil, serta bagaimana hal ini berkontribusi terhadap kinerja perusahaan.

Mengapa Kecerdasan Itu Penting?

Kecerdasan, yang sering diukur melalui Intelligence Quotient (IQ) atau faktor General Mental Ability (g-factor), merupakan indikator penting dalam menentukan kemampuan seseorang untuk belajar dengan cepat dan memahami informasi kompleks.

Bill Gates menekankan faktor ini dengan sangat baik.

Dalam satu wawancara dengan David Allison, ia menyatakan,

The key for us, number one, has always been hiring very smart people. There is no way of getting around, that in terms of I.Q., you’ve got to be very elitist in picking the people who deserve to write software. Ninety-five percent of the people shouldn’t write complex software.

Gates percaya bahwa hanya sebagian kecil orang yang memiliki kapasitas untuk menulis perangkat lunak yang kompleks, dan oleh karena itu, seleksi yang ketat berdasarkan IQ sangat diperlukan.

Orang dengan IQ tinggi cenderung belajar dengan cepat dan baik.

Kemampuan untuk mempelajari hal-hal baru dengan cepat sangat penting dalam lingkungan kerja yang dinamis, di mana karyawan sering kali harus beradaptasi dengan teknologi baru, metode baru, atau prosedur baru. Selain itu, IQ yang tinggi juga sering kali berkorelasi dengan kinerja kerja yang baik, terutama dalam pekerjaan yang kompleks.

Apa buktinya? Studi menunjukkan bahwa individu dengan IQ tinggi cenderung memiliki kinerja yang lebih baik di tempat kerja. Sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 32.000 karyawan menemukan bahwa kecerdasan dapat menjelaskan sekitar 26% perbedaan kinerja kerja antara individu dalam pekerjaan dengan kompleksitas sedang.

Studi ini ditulis oleh Frank Schmidt dan John Hunter pada tahun 1998 yang berjudul “The Validity and Utility of Selection Methods in Personnel Psychology.” Mereka membahas pentingnya validitas dan kegunaan metode seleksi dalam psikologi kepegawaian. Artikel ini dipublikasikan dalam jurnal Psychological Bulletin, Volume 124, pada halaman 262 hingga 274.

Semakin kompleks pekerjaan tersebut, semakin besar peran kecerdasan dalam menentukan kinerja.

Contohnya, seorang ilmuwan roket yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang matematika dan fisika sangat bergantung pada kemampuan kognitif yang tinggi untuk sukses dalam pekerjaannya.

Selain itu, meta-analisis dari 47 studi dengan total sampel 13.740 peserta menunjukkan korelasi yang signifikan (0,43) antara kemampuan memecahkan masalah kompleks dan kecerdasan.

Dalam artikel yang ditulis oleh Matthias Stadler, Nicolas Becker, Markus Gödker, Detlev Leutner, dan Samuel Greiff pada tahun 2015 yang berjudul “Complex Problem Solving and Intelligence: A Meta-Analysis,” mereka melakukan analisis meta terhadap keterkaitan antara pemecahan masalah kompleks dan kecerdasan. Artikel ini diterbitkan dalam jurnal Intelligence, Volume 53, pada halaman 92 hingga 101.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan umum sangat berperan dalam bagaimana seseorang mengumpulkan, mengintegrasikan, dan memanfaatkan informasi untuk mencapai tujuan tertentu.

Orang dengan kecerdasan tinggi cenderung lebih baik dalam mengintegrasikan informasi atau menggunakan strategi yang lebih tepat dalam memperoleh informasi.

Mentalitas “Get Things Done” dan Kontribusinya

Kecerdasan saja tidak cukup.

Sam Altman menekankan bahwa selain cerdas, individu juga harus memiliki mentalitas “get things done,” yang dalam psikologi dikenal sebagai conscientiousness.

Conscientiousness terdiri dari dua dimensi utama: industriousness (ambisi untuk mencapai kesuksesan dan menyelesaikan tugas) dan orderliness (kecenderungan untuk rapi dan teratur).

Conscientiousness adalah bagian dari Big Five Model, salah satu model deskriptif kepribadian yang paling mapan dalam ilmu psikologi.

Orang yang memiliki tingkat conscientiousness tinggi cenderung lebih teratur, teliti, dan pekerja keras. Sifat-sifat ini membuat mereka lebih produktif dan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik di tempat kerja.

Dari perspektif sosial dan organisasi, conscientiousness membantu individu untuk mengatur dorongan mereka sesuai dengan norma sosial dan mempromosikan upaya yang disiplin untuk mencapai prestasi di lingkungan kerja.

Bukti dari lebih dari 100 tahun penelitian menunjukkan bahwa conscientiousness adalah konstruk nonkognitif yang paling kuat untuk kinerja pekerjaan.

Sebuah studi yang melibatkan lebih dari 1,1 juta peserta menunjukkan bahwa conscientiousness mempengaruhi sekitar 20% dari kinerja pekerjaan.

Studi tersebut ditulis oleh Michael Wilmot dan Deniz Ones pada tahun 2019 yang berjudul “A Century of Research on Conscientiousness at Work,”. Mereka membahas sifat conscientiousness di tempat kerja. Artikel ini dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, Volume 116.

Industriousness berhubungan dengan keinginan seseorang untuk bekerja keras, mencapai tujuan, dan tidak mudah menyerah.

Orang yang memiliki tingkat industriousness tinggi cenderung lebih proaktif, tidak hanya dalam menyelesaikan tugas, tetapi juga dalam mencari cara untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya menunggu instruksi, tetapi juga secara aktif mencari solusi dan mengambil inisiatif untuk memperbaiki proses kerja.

Sementara itu, orderliness terkait dengan bagaimana seseorang mengatur pekerjaannya.

Orang yang teratur cenderung lebih efisien dalam manajemen waktu dan sumber daya, yang memungkinkan mereka untuk menghindari kesalahan dan memastikan bahwa setiap tugas diselesaikan dengan baik. Dalam lingkungan kerja yang penuh tekanan, kemampuan untuk tetap teratur dan rapi menjadi sangat penting dalam menjaga produktivitas dan kualitas kerja.

Kombinasi yang Kuat: Cerdas dan Berorientasi pada Hasil

Ketika kecerdasan digabungkan dengan mentalitas “get things done,” hasilnya adalah individu yang tidak hanya mampu memahami dan menyelesaikan masalah-masalah kompleks, tetapi juga memiliki dorongan dan ketekunan untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Kombinasi ini menciptakan karyawan yang tidak hanya bekerja keras, tetapi juga bekerja cerdas.

Bayangkan seorang karyawan yang memiliki kecerdasan tinggi tetapi tidak memiliki industriousness. Meskipun dia mungkin memahami masalah dengan sangat baik, dia mungkin tidak memiliki dorongan untuk benar-benar menyelesaikannya.

Di sisi lain, seorang karyawan dengan industriousness tinggi tetapi kecerdasan rendah mungkin bekerja sangat keras, tetapi upayanya mungkin tidak cukup efektif karena dia tidak mampu mengatasi kompleksitas tugas yang dihadapinya.

Namun, ketika seorang individu memiliki kedua atribut ini, mereka mampu mendekati masalah dengan cara yang terstruktur dan efektif, serta memiliki kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi tantangan hingga tugas tersebut diselesaikan.

Inilah jenis individu yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft dan OpenAI.

Rekomendasi: Bagaimana Menerapkan Prinsip Ini dalam Rekrutmen

Berdasarkan analisis di atas, berikut beberapa rekomendasi yang dapat diambil oleh perusahaan dalam proses rekrutmen:

Uji Kecerdasan dan Kemampuan Pemecahan Masalah: Perusahaan harus mengintegrasikan tes kecerdasan (IQ) dan pemecahan masalah dalam proses seleksi untuk memastikan bahwa kandidat memiliki kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menangani tugas-tugas kompleks.

Uji Tingkat Conscientiousness Kandidat dengan Tes Big Five Standar: Gunakan tes Big Five untuk mengukur tingkat industriousness dan orderliness kandidat. Ini dapat memberikan gambaran tentang seberapa baik kandidat akan menyelesaikan tugas dan seberapa teratur mereka dalam pendekatan kerja mereka.

Fokus pada Keseimbangan antara Kecerdasan dan Ketekunan: Dalam memilih kandidat, carilah keseimbangan antara kecerdasan dan ketekunan. Kandidat yang memiliki kombinasi ini cenderung menjadi karyawan yang sangat produktif dan inovatif.

 

Mengapa Wawancara Terstruktur dalam Rekrutmen itu Penting?

Selain IQ dan conscientiousness, salah satu alat yang paling efektif untuk memastikan bahwa Anda merekrut orang yang tepat adalah wawancara terstruktur.

Wawancara terstruktur adalah pendekatan sistematis di mana Anda mengajukan pertanyaan yang telah ditentukan sebelumnya kepada semua kandidat dalam urutan yang sama dan menilai mereka dengan sistem penilaian yang terstandarisasi.

Keunggulan Wawancara Terstruktur:

  • Pengarahan Pewawancara: Pewawancara mengarahkan diskusi, memastikan bahwa semua aspek penting dari pekerjaan dan kualifikasi kandidat dibahas.
  • Pertanyaan yang Telah Ditentukan: Pertanyaan yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan analisis pekerjaan memastikan bahwa semua kandidat dievaluasi berdasarkan kriteria yang sama.
  • Fokus pada Kompetensi: Wawancara terstruktur mencari kompetensi yang diperlukan untuk berhasil dalam peran tersebut, bukan hanya kecocokan budaya atau faktor subjektif lainnya.

Wawancara terstruktur membantu menghindari banyak bias dalam proses wawancara.

Bias heuristik, di mana orang membuat evaluasi cepat berdasarkan fitur superfisial seperti daya tarik fisik atau kesamaan dengan diri sendiri, dan bias konfirmasi, di mana pewawancara mencari informasi yang mengonfirmasi apa yang mereka yakini sebelumnya tentang kandidat, dapat dihindari dengan menggunakan wawancara terstruktur.

Dengan menghindari bias, pewawancara dapat fokus pada serangkaian pertanyaan yang dirancang untuk memprediksi kinerja masa depan kandidat. Ketika dikombinasikan dengan tes IQ, tes sampel kerja, tes integritas, dan tes conscientiousness, wawancara terstruktur dapat menjadi prediktor kinerja kandidat yang sangat efektif.

Kombinasi antara tes IQ dengan beberapa metode seleksi lainnya merupakan pendekatan yang sangat efektif dalam memprediksi kinerja calon karyawan.

Dalam artikel yang ditulis oleh Frank Schmidt dan John Hunter pada tahun 1998 berjudul “The Validity and Utility of Selection Methods in Personnel Psychology,” mereka membahas validitas dan kegunaan berbagai metode seleksi dalam psikologi kepegawaian. Artikel ini dipublikasikan dalam jurnal Psychological Bulletin, Volume 124, pada halaman 262 hingga 274.

Temuan mereka menunjukkan bahwa ketika tes IQ digabungkan dengan tes lain seperti tes sampel kerja, tes integritas, tes conscientiousness, dan wawancara terstruktur, kombinasi ini memberikan prediksi kinerja yang paling akurat.

Mari kita elaborasi lebih jauh tentang masing-masing metode ini dan mengapa mereka bekerja dengan baik ketika digabungkan dengan tes IQ:

1. Tes Conscientiousness – Koefisien Korelasi 0,60

Conscientiousness adalah salah satu dimensi dari Big Five Personality Traits yang berkaitan dengan sifat seseorang yang teliti, disiplin, dan bertanggung jawab.

Tes ini mengukur sejauh mana seorang kandidat memiliki dorongan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, dan mematuhi aturan.

Koefisien korelasi 0,60 menunjukkan bahwa conscientiousness adalah prediktor yang baik untuk kinerja kerja. Ketika digabungkan dengan tes IQ, tes conscientiousness membantu mengidentifikasi individu yang tidak hanya memiliki kecerdasan tinggi, tetapi juga memiliki etos kerja yang kuat. Kombinasi ini sangat penting dalam memastikan bahwa kandidat dapat bekerja secara efektif dan efisien, serta memiliki motivasi internal untuk mencapai hasil yang optimal.

2. Wawancara Terstruktur (Structured Interview) – Koefisien Korelasi 0,63

Wawancara terstruktur adalah metode wawancara di mana setiap kandidat diberikan pertanyaan yang sama dan dievaluasi berdasarkan kriteria yang konsisten. Ini berbeda dengan wawancara tidak terstruktur, di mana pewawancara mungkin mengajukan pertanyaan yang berbeda kepada setiap kandidat dan mengevaluasi mereka dengan cara yang lebih subjektif.

Koefisien korelasi 0,63 menunjukkan bahwa wawancara terstruktur adalah alat yang kuat untuk memprediksi kinerja kerja.

Ketika digabungkan dengan tes IQ, wawancara terstruktur memungkinkan pewawancara untuk mengevaluasi tidak hanya kemampuan kognitif kandidat, tetapi juga aspek-aspek lain seperti kemampuan komunikasi, kecocokan budaya, dan motivasi. Ini memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang bagaimana kandidat mungkin tampil dalam peran yang diinginkan.

3. Tes Sampel Kerja (Work Sample Test) – Koefisien Korelasi 0,63

Tes sampel kerja melibatkan calon karyawan dalam tugas-tugas yang mirip dengan pekerjaan yang sebenarnya akan mereka lakukan. Misalnya, seorang calon untuk posisi pengembang perangkat lunak mungkin diminta untuk menulis kode atau menyelesaikan tugas pemrograman tertentu selama proses seleksi.

Koefisien korelasi 0,63 menunjukkan bahwa tes sampel kerja memiliki kekuatan prediktif yang tinggi dalam menilai kinerja calon karyawan.

Mengapa tes ini efektif? Karena tes ini memberikan gambaran langsung tentang bagaimana kandidat menangani tugas yang relevan dengan pekerjaan yang sebenarnya.

Ketika digabungkan dengan tes IQ, tes sampel kerja dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kemampuan kognitif kandidat dalam konteks yang praktis. Misalnya, meskipun seorang kandidat memiliki IQ yang tinggi, tes sampel kerja akan menunjukkan apakah mereka dapat menerapkan kecerdasan tersebut dalam situasi kerja yang nyata.

Mengapa Kombinasi Ini Efektif?

Kombinasi dari metode-metode ini memberikan pendekatan seleksi yang lebih holistik.

Tes IQ memberikan gambaran tentang kemampuan kognitif dasar kandidat, sementara tes sampel kerja, tes conscientiousness, dan wawancara terstruktur memberikan informasi tambahan yang melengkapi gambaran ini.

Dengan menggabungkan hasil dari berbagai metode ini, perusahaan dapat membuat keputusan rekrutmen yang lebih baik, mengurangi risiko memilih kandidat yang tidak cocok, dan meningkatkan peluang keberhasilan kandidat di tempat kerja.

Rekomendasi untuk Implementasi

Berdasarkan temuan ini, gunakan Kombinasi Tes. Jangan hanya mengandalkan satu metode seleksi. Gunakan kombinasi tes IQ, tes sampel kerja, tes conscientiousness, dan wawancara terstruktur untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang kandidat.

Dengan mengikuti rekomendasi ini, perusahaan dapat meningkatkan kualitas keputusan rekrutmen mereka, mempekerjakan individu yang benar-benar berpotensi untuk berkinerja tinggi, dan pada akhirnya, mendorong kesuksesan jangka panjang bagi organisasi.

Menghindari Masalah di Masa Depan dengan Rekrutmen yang Tepat

Merekrut orang yang tepat sejak awal tidak hanya membantu meningkatkan produktivitas, tetapi juga membantu menghindari masalah di masa depan.

Peter Bevelin, seorang penjelajah model mental, mengatakan dengan tepat: “Saya tidak ingin menjadi pemecah masalah yang hebat. Saya ingin menghindari masalah—mencegahnya terjadi dan melakukannya dengan benar sejak awal.”

Dengan merekrut orang yang tepat, Anda dapat menghindari masalah yang sering kali muncul dari karyawan yang tidak kompeten atau tidak produktif.

Ketika Anda menghindari masalah ini sejak awal, Anda dapat menghemat waktu, tenaga, dan sumber daya yang mungkin akan dihabiskan untuk mengatasi masalah tersebut di kemudian hari.

Mengapa Penting untuk Menghindari Overstaffing

Selain memastikan bahwa Anda merekrut orang yang tepat, penting juga untuk menghindari overstaffing atau overhiring, terutama ketika perusahaan sedang dalam kondisi baik.

Warren Buffett mengingatkan agar berhati-hati dalam menghindari overstaffing ketika masa-masa baik, karena hal ini dapat memiliki konsekuensi yang meniru dan berbahaya.

Tom Murphy, mantan CEO Cap Cities, memberikan contoh tentang seorang karyawan yang meminta izin kepada atasannya untuk merekrut asisten. Karyawan tersebut menganggap bahwa menambahkan $20.000 ke dalam daftar gaji tahunan akan menjadi hal yang tidak signifikan. Namun, atasannya mengingatkan bahwa proposal tersebut harus dievaluasi sebagai keputusan senilai $3 juta, mengingat bahwa seorang karyawan tambahan kemungkinan akan menelan biaya setidaknya sebesar itu selama masa kerjanya, termasuk kenaikan gaji, tunjangan, dan biaya lainnya.

Menghindari overstaffing juga berarti menghindari biaya tambahan yang mungkin tidak diperlukan, serta menghindari situasi di mana karyawan yang kontribusinya minim tetap dipertahankan meskipun tidak ada nilai tambah yang signifikan bagi perusahaan.

Rekomendasi: Pertimbangkan dengan hati-hati setiap keputusan untuk menambah staf, terutama dalam kondisi bisnis yang baik. Pastikan bahwa setiap karyawan yang direkrut memberikan nilai tambah yang signifikan dan bahwa biaya jangka panjangnya sepadan dengan kontribusinya.

 

Mengukur Kinerja Karyawan Secara Teratur

Salah satu cara terbaik untuk memastikan bahwa karyawan tetap produktif dan kompeten adalah dengan mengukur kinerja mereka secara teratur. Pengukuran kinerja yang efektif harus didasarkan pada metrik yang objektif dan relevan dengan pekerjaan yang dilakukan.

Dengan mengukur kinerja secara teratur, perusahaan dapat mengidentifikasi masalah lebih awal dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum masalah tersebut menjadi lebih besar. Selain itu, pengukuran kinerja yang objektif juga dapat membantu menghindari bias dan memastikan bahwa setiap karyawan dinilai berdasarkan kontribusinya yang sebenarnya.

Rekomendasi: Terapkan sistem pengukuran kinerja yang objektif dan relevan dengan pekerjaan karyawan. Pastikan bahwa pengukuran ini dilakukan secara teratur dan bahwa hasilnya digunakan untuk memberikan umpan balik yang konstruktif kepada karyawan.

Mengatasi masalah karyawan yang tidak kompeten atau tidak produktif memerlukan pendekatan yang sistematis dan berbasis bukti. Dengan merekrut orang yang tepat sejak awal, menghindari overstaffing, menyelaraskan perilaku karyawan dengan realitas bisnis, dan mengukur kinerja secara teratur, perusahaan dapat memastikan bahwa mereka memiliki tim yang kuat dan produktif.

Rekomendasi Utama:

  1. Rekrut Orang yang Tepat Sejak Awal: Pastikan bahwa kandidat memiliki IQ yang tinggi dan sifat conscientiousness yang kuat, serta gunakan wawancara terstruktur untuk menghindari bias dalam proses rekrutmen.
  2. Hindari Overstaffing: Pertimbangkan dengan hati-hati setiap keputusan untuk menambah staf dan pastikan bahwa setiap karyawan yang direkrut memberikan nilai tambah yang signifikan bagi perusahaan.
  3. Ukur Kinerja Secara Teratur: Terapkan sistem pengukuran kinerja yang objektif dan relevan dengan pekerjaan karyawan, dan gunakan hasilnya untuk memberikan umpan balik yang konstruktif.

Dengan mengikuti strategi-strategi ini, perusahaan dapat mengatasi masalah karyawan yang tidak kompeten atau tidak produktif dan memastikan bahwa mereka memiliki tim yang mampu mencapai tujuan bisnis dengan efektif.

 

Kembali ke daftar isi

Dapatkah IQ kita meningkat setelah kita dewasa? Ya, bisa.

dari Michael J.A. Howe

Berikut ini adalah terjemahan dari sebuah artikel yang berjudul Can IQ Change? karya Michael J.A. Howe.

Karya ini memaparkan bukti-bukti yang sangat kuat bahwa IQ dapat berubah, suatu fakta yang melawan pendapat umum selama ini.

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Dapatkah IQ Berubah?

oleh Michael J.A. Howe

Profesor Michael J.A. Howe adalah staf pengajar di Department of Psychology, University of Exeter, UK. Email: m.j.a.howe@exeter.ac.uk

Skor IQ individu sering kali digambarkan sebagai ukuran kecerdasan yang tetap dan tidak dapat diubah. Michael J.A. Howe berargumen bahwa intervensi dapat menghasilkan perubahan yang bertahan lama, tetapi juga perlu memperhitungkan berbagai keadaan sosial.

Apakah IQ seseorang dapat berubah secara substansial?

Jawaban yang bertentangan telah diberikan. Sejumlah otoritas terkemuka tentang kecerdasan bersikeras bahwa IQ individu sangat stabil dan menolak upaya untuk mengubahnya.

Misalnya, Murray (1996, hlm. 145) menyatakan bahwa dengan intervensi yang ada, IQ hanya dapat dinaikkan ‘dalam jumlah yang sedikit, tidak konsisten, dan biasanya sementara’. Alasannya, tampaknya, adalah bahwa ‘kecerdasan yang terealisasi oleh individu, tidak peduli apakah terealisasi melalui gen atau lingkungan, tidak terlalu mudah diubah’ (Murray, 1996, hlm. 150). Demikian pula, Rushton (1995, hlm. 24) percaya bahwa ‘kecerdasan adalah sifat yang memiliki stabilitas terkuat dari waktu ke waktu’.

Akibatnya, dikatakan bahwa upaya untuk meningkatkan kecerdasan telah ditandai dengan ‘harapan yang tinggi, klaim flamboyan, dan hasil yang mengecewakan’ (Herrnstein & Murray, 1996, hlm. 389). Menanggapi kritik terhadap versi sebelumnya dari buku mereka (Herrnstein & Murray, 1994), Murray bersikeras bahwa kita tidak tahu cara meningkatkan IQ ‘anak-anak dengan IQ yang diuji tertentu yang tidak (misalnya) memungkinkan mereka menjadi insinyur’ cukup untuk membuat itu menjadi kemungkinan praktis (Herrnstein & Murray, 1996, hlm. 573).

Jika pernyataan-pernyataan percaya diri ini bahwa IQ seseorang sebagian besar tidak dapat diubah terbukti benar, maka hal itu akan memiliki implikasi praktis yang sangat suram.

Jika tujuan meningkatkan kecerdasan individu tidak dapat dicapai, maka tidak ada gunanya mengalokasikan sumber daya untuk mencapainya. Dalam hal ini, akan sulit untuk tidak setuju dengan kesimpulan pesimis Herrnstein dan Murray (1996) bahwa hanya tindakan pengendalian populasi yang dapat menahan perkembangan kelas bawah permanen yang terdiri dari orang-orang dengan IQ rendah.

Selain itu, penetapan bahwa IQ tidak dapat diubah akan memberikan kredibilitas pada keyakinan bahwa kecerdasan lebih dari sekadar kata benda abstrak yang menggambarkan keadaan menjadi cerdas, dan merupakan kualitas mental yang melekat dan sebagian besar tidak dapat diubah yang menyebabkan orang menjadi cerdas dalam berbagai tingkatan.

Di sisi lain, konfirmasi tegas dari pernyataan bahwa IQ dapat berubah akan memiliki implikasi yang berlawanan. Karena orang dengan IQ rendah mengalami berbagai masalah dan kesulitan (seperti yang ditekankan oleh Murray, 1996), tentu saja layak untuk mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan IQ individu yang mencetak skor rendah.

Juga, bukti bahwa IQ sangat mudah diubah, dan mungkin tidak lebih sulit untuk diubah daripada keterampilan mental yang diketahui diperoleh melalui pengalaman dan pembelajaran, akan konsisten dengan pandangan bahwa tidak ada yang unik atau terutama mendasar tentang kemampuan-kemampuan yang menentukan tingkat kinerja seseorang pada tes kecerdasan (Howe, 1988; 1990; 1997).

Kenyataannya, pernyataan bahwa IQ sebagian besar tidak dapat diubah secara tegas dibantah oleh temuan empiris dari sejumlah sumber.

Temuan-temuan ini memberikan bukti melimpah dan tampaknya meyakinkan tentang peningkatan IQ yang besar yang terjadi.

Misalnya:

● Penelitian tentang adopsi anak telah menunjukkan bahwa tingkat IQ rata-rata anak-anak yang diadopsi dapat sekitar 20 poin lebih tinggi daripada orang tua biologis dan saudara kandung mereka (Capron & Duyme, 1989; Locurto, 1990; Schiff et al., 1982; Schiff & Lewontin, 1986).

● Studi yang mengevaluasi program intervensi dini seperti yang dibiayai oleh inisiatif Head Start yang dimulai pada tahun 1960-an, dan penerusnya, telah menghasilkan bukti lebih lanjut tentang peningkatan besar (Lazar & Darlington, 1982; Ramey et al., 1984; Snow & Yalow, 1982; Wasik et al., 1990; Zigler & Muenchow, 1992. Lihat juga Locurto, 1991).

● Temuan tambahan yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan sangat dapat diubah telah muncul dari penelitian yang menyelidiki efek dari variasi jumlah pendidikan yang diberikan kepada kaum muda, sebagai akibat dari usia masuk yang berbeda (Baltes & Reinert, 1969; Cahan & Cohen, 1989), putus sekolah (Harnquist, 1968), atau terganggunya pendidikan mereka (Rutter & Madge, 1976; lihat juga Ceci, 1990).

● Berbagai penelitian, mulai dari studi tentang hasil perubahan dalam nutrisi dan efek dari penyembuhan infeksi hingga studi di mana pengaruh perubahan motivasi diperiksa atau evaluasi pelatihan terkait tes, telah menghasilkan bukti lebih lanjut bahwa kecerdasan seseorang dapat berubah. (Lihat, misalnya, Johnson et al., 1984; Nokes & Bundy, 1994; Sanders, 1992; Schoenthaler et al., 1991; Stein et al., 1975. Untuk pandangan luas dari bukti ini lihat Neisser et al., 1996).

● Studi-studi telah menunjukkan peningkatan besar dalam skor tes kecerdasan antar generasi di sejumlah besar negara. Kesempatan sosial dan pendidikan yang lebih baik tampaknya menjadi penyebab utama perubahan ini (Flynn, 1987; 1991). Meskipun penelitian ini tidak memberikan bukti langsung tentang peningkatan IQ dalam individu, itu memberikan dukungan tambahan yang kuat untuk pandangan bahwa kecerdasan dapat diubah.

Bukti dari kelima sumber ini dengan tegas menunjukkan bahwa IQ seseorang dapat diubah.

Namun otoritas yang dikutip di awal artikel ini bersikeras bahwa hal itu tidak bisa. Kedua posisi yang berlawanan ini tidak mungkin keduanya benar.

Penulis yang telah berargumen bahwa IQ tidak dapat diubah telah menyadari setidaknya beberapa temuan yang tampaknya menunjukkan bahwa hal itu dapat diubah.

Namun, mereka telah mengajukan dua keberatan yang, menurut mereka, meniadakan bukti bahwa IQ dapat berubah.

Keberatan pertama adalah bahwa meskipun tidak dapat disangkal bahwa perubahan dalam IQ seseorang mungkin terjadi, perubahan ini tidak permanen.

Perubahan seperti itu, diklaim, ‘memudar’ atau berkurang setelah beberapa tahun.

Keberatan kedua adalah bahwa setidaknya beberapa perubahan yang diamati dalam rata-rata IQ anak-anak relatif kecil, dan dalam beberapa kasus tidak signifikan.

Hal ini terutama benar, katanya, tentang peningkatan dalam skor IQ yang dihasilkan dari program intervensi pendidikan yang dirancang untuk meningkatkan tingkat kompetensi mental anak-anak.

Apakah salah satu dari dua keberatan ini dibenarkan? Apakah mereka membatalkan bukti yang tampaknya mengkonfirmasi bahwa skor IQ seseorang dapat berubah? Keberatan ‘memudar’ akan ditangani terlebih dahulu.

Keberatan ‘memudar’

Keberatan bahwa bukti perubahan IQ dapat diabaikan karena perubahan tersebut terkadang sementara dan bukannya permanen hanya berlaku untuk satu dari lima kategori bukti di atas yang menunjukkan kemungkinan perubahan tingkat IQ. (Tidak ada bukti memudar yang terkait dengan perubahan yang dihasilkan dari adopsi dan putus sekolah, misalnya.) Namun, keberatan ini adalah salah satu yang berpotensi penting.

Dukungan yang tampak untuk itu disediakan oleh temuan dari studi evaluasi program intervensi. Studi-studi ini menunjukkan bahwa beberapa peningkatan IQ yang terjadi setelah partisipasi anak-anak dalam program-program semacam itu telah berkurang selama beberapa tahun, kadang-kadang hingga nol (Herrnstein & Murray, 1996).

Namun, setelah diperiksa lebih dekat, bukti bahwa memudar dapat terjadi tidak membatalkan klaim bahwa IQ dapat diubah. Memudar bukanlah sesuatu yang misterius atau sulit untuk dijelaskan. Mayoritas kemampuan manusia yang baru diperoleh memudar atau berkurang dalam beberapa keadaan.

Pemudaran seperti itu terutama mungkin terjadi ketika ada ketiadaan kesempatan bagi kemampuan baru untuk digunakan atau diterapkan. Dalam kasus program intervensi, tidak dapat dibayangkan bahwa perbaikan yang dihasilkan tidak pernah memudar atau berkurang.

Memang, keadaan khusus di mana program intervensi anak usia dini disediakan adalah yang di mana memudarnya kompetensi yang baru diperoleh, melalui kurangnya penggunaan, tampaknya sangat mungkin. Dalam kasus khusus skema Head Start, kondisi kehidupan di lingkungan perkotaan tempat mereka disediakan sering kali melibatkan kemiskinan, kotor, kecanduan, kekerasan, pengangguran, serta perumahan yang buruk dan pengasuhan yang tidak memadai.

Bersama-sama, pengaruh negatif ini bekerja untuk membatasi kesempatan anak untuk mempraktikkan dan mempertahankan kemampuan mental yang baru diperoleh, memaksimalkan kemungkinan memudar.

Penjelasan di atas lebih dari sekadar skenario yang masuk akal. Program intervensi empat tahun untuk anak laki-laki di dalam kota (Zigler & Seitz, 1982) memberikan bukti jelas bahwa keadaan hidup yang tidak menggembirakan membuat pemudaran tak terelakkan.

Program ini, yang dimulai di taman kanak-kanak dan menekankan keterampilan matematika, sangat efektif, tetapi selama tahun-tahun berikutnya, peningkatan besar awal berkurang.

Seitz memutuskan untuk melakukan penyelidikan untuk mengetahui mengapa hal itu terjadi. Dia menemukan bahwa anak laki-laki yang telah berpartisipasi tidak diajarkan jenis keterampilan matematika yang penting untuk mempertahankan skor tes mereka yang di atas rata-rata. Hasil Seitz menunjukkan bahwa pemudaran yang terjadi adalah hasil yang tak terelakkan dari batasan-batasan yang diberlakukan pada kesempatan anak laki-laki untuk belajar.

Satu-satunya keadaan di mana realistis untuk mengantisipasi bahwa pemudaran tidak akan terjadi setelah program intervensi dini adalah keadaan di mana pengaruh intervensi dianalogikan dengan semacam inokulasi, atau ‘suntikan di lengan’.

Namun analogi itu tidak pernah sepenuhnya tepat untuk keadaan di mana manusia mengembangkan dan memperluas kemampuan mental mereka. Jadi meskipun tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa keadaan peningkatan IQ memudar, fakta bahwa hal itu dapat terjadi hanya mengkonfirmasi bahwa kecerdasan dapat diubah. Dalam hal apa pun bukti pemudaran tidak berfungsi untuk membantah kemungkinan perubahan.

Keberatan ‘kegagalan’

Keberatan kedua yang diperkenalkan untuk mencoba membantah bukti yang menunjukkan kemungkinan perubahan IQ didasarkan pada temuan bahwa dalam beberapa keadaan efek pada IQ dari upaya untuk meningkatkan keterampilan mental kecil atau, kadang-kadang, tidak signifikan.

Masalah dengan keberatan ini adalah bahwa bahkan jika sebagian besar studi intervensi gagal meningkatkan IQ anak-anak sama sekali, itu tidak akan menjadi bukti yang meyakinkan bahwa kecerdasan tidak dapat diubah, untuk alasan yang sama bahwa kegagalan beberapa penjelajah untuk menemukan pulau terpencil tidak akan dianggap sebagai bukti ketidakberadaan pulau tersebut.

Namun dengan IQ, dalam hal apa pun, klaim bahwa IQ sangat mudah diubah didukung oleh banyak temuan positif. Seringkali ada peningkatan IQ yang substansial, mencapai satu deviasi standar atau bahkan lebih.

Dalam menilai validitas keberatan bahwa tidak semua perubahan dalam skor IQ besar, ada baiknya mempertimbangkan besarnya intervensi yang mungkin diperlukan untuk mempengaruhi skor secara substansial. Seberapa besar intervensi yang seharusnya dilakukan untuk membuat perbedaan nyata?

Beberapa petunjuk tentang hal ini disediakan oleh sebuah investigasi observasional yang telah mengungkapkan sejauh mana perbedaan dalam keadaan sehari-hari anak-anak yang mendasari perbedaan yang diamati di antara mereka dalam kemampuan mereka. Studi ini menyelidiki kemungkinan alasan untuk temuan bahwa anak-anak berusia tiga tahun dari kelas sosial yang berbeda bervariasi dalam ukuran kosakata mereka yang diucapkan (Hart & Risley, 1995).

Para penulis ini menemukan bahwa bahkan pada usia tiga tahun, anak-anak dari keluarga profesional telah mendengar lebih dari 30 juta kata yang ditujukan kepada mereka. Tetapi anak-anak dari keluarga kelas pekerja dan keluarga yang menerima kesejahteraan hanya mendengar sekitar 20 juta dan 10 juta kata masing-masing.

Dengan kata lain, sejalan dengan perbedaan yang diamati antara anak-anak dalam kompetensi bahasa mereka adalah perbedaan yang sangat besar dalam pengalaman belajar bahasa mereka.

Petunjuk lebih lanjut tentang besarnya intervensi yang mungkin diperlukan untuk meningkatkan skor tes kecerdasan didapat dengan melihat jumlah pelatihan yang diperlukan untuk menghasilkan kemajuan besar lainnya dalam pengetahuan dan keterampilan. Misalnya, pertimbangkan jumlah pengalaman musik yang diperlukan seseorang untuk memperoleh kompetensi yang masuk akal sebagai seorang pemain.

Mencapai Tingkat Delapan dari ujian dewan musik membutuhkan sekitar 3.000 jam instruksi dan latihan dari seorang pemain muda yang sangat berkomitmen (Sloboda et al., 1996). Periode waktu yang sebanding secara luas diperlukan untuk memperoleh keahlian di bidang keterampilan lainnya seperti catur, bahasa asing, dan berbagai olahraga. Mencapai standar profesional di bidang seperti musik membutuhkan periode pelatihan yang jauh lebih lama, sekitar 10.000 jam (Ericsson et al., 1993). Singkatnya, dibutuhkan waktu yang sangat lama dan banyak usaha untuk mencapai tingkat keahlian yang tinggi, bahkan di bidang keterampilan yang relatif sempit.

Sekarang bandingkan periode waktu yang besar ini dengan investasi waktu yang biasanya terlibat dalam program intervensi anak usia dini yang telah dievaluasi berdasarkan efeknya pada tingkat IQ. Hingga saat tahun 1969 ketika Arthur Jensen membuat pernyataan yang sering dikutip bahwa pendidikan kompensasi telah gagal, sebagian besar program Head Start yang dikritik olehnya berlangsung tidak lebih dari dua bulan.

Tidak sampai tahun 1972 menjadi kebiasaan untuk memiliki program yang berlangsung selama satu tahun. Pertimbangkan jumlah total waktu anak yang mungkin terlibat dalam intervensi dua bulan yang khas. Dengan empat jam kehadiran per hari, lima hari per minggu, itu akan berjumlah tidak lebih dari sekitar 180 jam. Dalam kaitannya dengan durasi lain yang telah disebutkan, itu adalah jumlah waktu yang agak sedikit, dan hampir tidak cukup untuk memiliki pengaruh besar pada kemampuan mental anak.

Bahkan dengan program Head Start yang jauh lebih intensif, yang berlangsung selama 36 minggu dengan lima periode instruksional empat jam per minggu, total investasi waktu masih hanya 720 jam. Itu tampaknya jauh lebih mengesankan, namun dibandingkan dengan perbedaan kehidupan nyata yang sangat besar dalam input bahasa anak-anak yang diamati oleh Hart dan Risley (1995), yang meluas hingga puluhan juta kata, sebenarnya itu adalah intervensi yang agak sederhana.

Untuk seorang anak berusia empat setengah tahun yang tinggal di lingkungan rumah dengan stimulasi mental yang tidak memadai dan sedikit kesempatan sehari-hari untuk mempraktikkan keterampilan kognitif baru, bahkan periode 720 jam yang terdengar mengesankan akan mewakili kurang dari empat persen dari waktu bangun anak sejak lahir.

Dilihat dari sudut pandang itu, temuan bahwa program intervensi pendidikan seperti beberapa program Head Start telah menghasilkan peningkatan IQ yang besar tampaknya memberikan bukti yang agak meyakinkan bahwa skor IQ sangat dapat diubah. Fakta bahwa tidak semua program singkat menghasilkan peningkatan besar sama sekali tidak mengejutkan.

Keberatan lebih lanjut

Beberapa keberatan lebih lanjut terhadap bukti yang menunjukkan IQ dapat diubah telah diajukan. Misalnya, telah dikatakan bahwa fakta sederhana bahwa skor tes kecerdasan biasanya cenderung stabil, dengan korelasi dari tahun ke tahun rata-rata sekitar 0,80, membuktikan bahwa kecerdasan relatif tetap. Namun, keberatan itu mudah dibantah dengan menunjukkan bahwa stabilitas tidak berarti ketidakberubahan.

Atribut lain seperti nama seseorang atau alamat, atau nomor telepon mereka, tetap sama dari satu tahun ke tahun berikutnya, tetapi tidak ada yang akan berargumen bahwa hal ini tidak dapat diubah. Perubahan dalam atribut ini jelas terjadi setiap kali ada alasan untuk itu terjadi, dan hal yang sama berlaku untuk IQ.

Keberatan lain yang mungkin adalah bahwa peningkatan skor tes IQ tidak serta merta merupakan perubahan dalam ‘kecerdasan nyata’. Jika diterapkan secara konsisten, pengamatan itu dapat menjadi dasar kritik yang valid yang menimbulkan masalah penting.

Namun mereka yang berpendapat bahwa kecerdasan tidak dapat diubah bersikeras mengandalkan skor IQ sebagai ukuran kecerdasan yang valid kapan pun sesuai dengan tujuan mereka, dan akibatnya pengenalan poin di atas sebagai keberatan tidak dibenarkan.

Kesimpulan
Ada bukti besar bahwa IQ jauh dari tidak dapat diubah. Keberatan-keberatan yang diajukan terkait dengan bukti tersebut sama sekali tidak meyakinkan.

Tidak ada alasan yang jelas untuk bersikeras bahwa secara kualitatif lebih sulit mengubah kapasitas mental yang menentukan skor seseorang dalam tes IQ daripada mengubah kemampuan mental yang diakui diperoleh sebagai hasil dari pengalaman seseorang.

Temuan empiris tidak mendukung kesimpulan pesimistis bahwa kecerdasan rendah dan masalah yang terkait dengannya tidak dapat dihindari dan tidak dapat diubah.

References

Baltes, P. & Reinert, G. (1969). Cohort effects in cognitive development in children as revealed by cross-sectional sequences. Developmental Psychology, 1, 169-177.

Cahan, S. & Cohen, N. (1989). Age versus schooling effects on intelligence development. Child Development, 60, 1239-1249.

Capron, C. & Duyme, M. (1989). Assessment of effects of socioeconomic status on IQ in a full cross- fostering study. Nature, 340, 552-554.

Ceci, S.J. (1990). On Intelligence … More or Less: A Bioecological Treatise on Intellectual Development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Ericsson, K.A., Krampe, R.Th. & Tesch-Römer, C. (1993). The role of deliberate practice in the acquisition of expert performance. Psychological Review, 100, 363-406.

Flynn, J.R. (1987). Massive IQ gains in 14 nations: what IQ tests really measure. Psychological Bulletin, 101, 271-291.

Flynn, J.R. (1991). Asian Americans: Achievement Beyond IQ. Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Harnquist, K. (1968). Relative change in intelligence from 13 to 18. Scandinavian Journal of Psychology, 9, 50-64.

Hart, B. & Risley, T. (1995). Meaningful Differences in Everyday Parenting and Intellectual Development in Young American Children. Baltimore: Brookes.

Herrnstein, R.J. & Murray, C. (1994). The Bell Curve: Intelligence and Class Structure in American Life. New York: Free Press

Herrnstein, R.J. & Murray, C. (1996). The Bell Curve: Intelligence and Class Structure in American Life, with a new afterword by Charles Murray. New York: Free Press Paperbacks.

Howe, M.J.A. (1988). Intelligence as an explanation. British Journal of Psychology, 79, 349-360.

Howe, M.J.A. (1990). Does Intelligence Exist? The Psychologist, 3, 490-493.

Howe, M.J.A. (1997). IQ in Question: The Truth About Intelligence. London: Sage.

Johnson, C.M., Bradley-Johnson, S., McCarthy, R. & Jamie, M. (1984). Token reinforcement during WISC-R administration. Applied Research on Mental Retardation, 5, 43-52.

Lazar, I. & Darlington, R. (1982). Lasting effects of early education: A report from the consortium for longitudinal studies. Monographs of the Society for Research in Child Development, 47, issues 2-3.

Locurto, C. (1990). The malleability of IQ as judged from adoption studies. Intelligence, 15, 295-312.

Locurto, C. (1991). Sense and Nonsense About IQ: The Case for Uniqueness. New York: Praeger.

Murray, C. (1996). Murray’s précis. Current Anthropology, 37, Supplement, February, S143-S151.

Neisser, U., Boodoo, G., Bouchard, T.J., Boykin, A. W., Brody, N., Ceci, S.J., Halpern, D.F., Loehlin, J.C., Perloff, R., Sternberg, R.J. & Urbina, S. (1996). Intelligence: Knowns and unknowns. American Psychologist, 51, 77-101.

Nokes, C. & Bundy, D.A.P. (1994). Does helminth infection affect mental processing and educational achievement? Parasitology Today, 19, 1, 14-18.

Ramey, C.T., Yeates, K.O. & Short, E.J. (1984). The plasticity of intellectual development: Insights from preventive intervention. Child Development, 55, 1913-1925.

Rushton, J.P. (1995). Race, Evolution and Behavior: A Life History Perspective. New Brunswick, NJ: Transaction Publishers.

Rutter, M. & Madge, N. (1976). Cycles of Disadvantage: A Review of Research. London: Heinemann.

Sanders, T.A.B. (1992). Vitamins and intelligence. The Psychologist, 15, 406-408.

Schiff, M., Duyme, M., Dumaret, A. & Tompkiewics, S. (1982). How much could we boost scholastic achievement and IQ scores? A direct answer from a French adoption study. Cognition, 12, 165-196.

Schiff, M. & Lewontin, R. (1986). Education and Class: The Irrelevance of IQ Genetic Studies. Oxford: Clarendon Press.

Schoenthaler, S.J., Amos, S.P., Eysenck, H.J., Peritz, E. & Yudkin, J. (1991). Controlled trial of vitamin- mineral supplementation: Effects on intelligence and performance. Personality and Individual Differences, 12, 351-362.

Sloboda, J.A., Davidson, J.W., Howe, M.J.A. & Moore, D.G. (1996). The role of practice in the development of performing musicians. British Journal of Psychology, 87, 399-412.

Snow, R.E. & Yalow, E. (1982). Education and intelligence. In R.J. Sternberg (Ed.), Handbook of Human Intelligence. New York: Cambridge University Press.

Stein, Z., Susser, M., Saenger, G. & Marolla, F. (1975). Famine and Human Development: The Dutch Hunger Winter of 1944-45. New York: Oxford University Press.

Wasik, B.H., Ramey, C.T., Bryant, D.M. & Sparling, J.J. (1990). A longitudinal study of two early intervention strategies: Project CARE. Child Development, 61, 1682-1696.

Zigler, E. & Muenchow, S. (1992). Head Start: The Inside Story of America’s Most Successful Educational Experiment. New York: Basic Books.

Zigler, E. & Seitz, V. (1982). Social policy and intelligence. In R.J. Sternberg (Ed.), Handbook of Human Intelligence. New York: Cambridge University Press.

 

Kembali ke daftar isi

Mengapa IQ Anda Berpengaruh pada Kesuksesan Anda Lebih dari yang Anda Pikirkan

dari Shana Lebowitz

Berikut ini adalah terjemahan dari sebuah artikel yang berjudul Science says IQ may be the best predictor of your potential to excel at work — and no one wants to hear it karya Shana Lebowitz dari Business Insider.

 

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Mengapa IQ Anda Mungkin Lebih Berpengaruh pada Kesuksesan Anda daripada yang Anda Pikirkan

Anda dapat lebih akurat memprediksi kinerja calon karyawan di masa depan dengan pendekatan holistik yang mengukur IQ dan keterampilan sosial.

oleh Shana Lebowitz, Business Insider

  • Semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan kognitif umum mungkin merupakan prediktor terbaik dari kinerja kerja.
  • Keterampilan sosial, dorongan, dan sifat kepribadian seperti ketelitian juga penting.
  • Perusahaan saat ini menempatkan penekanan yang jauh lebih besar pada sifat kepribadian daripada pada IQ.
  • Mungkin bijaksana bagi perusahaan untuk mulai mengukur kecerdasan dan sifat kepribadian calon karyawan untuk mendapatkan gambaran yang lebih holistik tentang potensi mereka.

“Yang paling utama bagi kami selalu adalah merekrut orang yang sangat cerdas,” kata Bill Gates dalam sebuah wawancara. “Tidak ada cara lain selain itu dalam hal IQ, Anda harus sangat selektif dalam memilih orang yang pantas menulis perangkat lunak.”

Gates berbicara secara khusus tentang Microsoft, raksasa teknologi yang ia dirikan dan jalankan selama bertahun-tahun.

Namun, strategi “elit” itu—memprioritaskan kecerdasan murni dalam proses perekrutan—ternyata memiliki penerapan yang sangat luas. Bertahun-tahun penelitian mengarah pada kesimpulan yang mengganggu: Orang yang cerdas menjadi pekerja yang lebih baik.

IQ vs Faktor Lain

Menurut Psychology Today, IQ adalah sebuah konsep yang mencakup kemampuan memecahkan masalah, manipulasi spasial, dan akuisisi bahasa. Dalam tes IQ, skor 100 adalah rata-rata; seseorang yang mendapat skor 125 atau lebih berada dalam 5% teratas.

Dua tes IQ yang paling umum adalah skala Stanford-Binet dan Wechsler. Versi dari tes-tes ini sekarang digunakan oleh militer, beberapa sekolah, National Football League—dan beberapa perusahaan.

Sebuah artikel terbaru di Harvard Business Review menyoroti tiga cara untuk mengidentifikasi karyawan berpotensi tinggi: kemampuan, keterampilan sosial, dan dorongan.

“Kemampuan” terdiri dari kemampuan kognitif, atau IQ. Penulis menulis: “[D]alam meramalkan potensi untuk unggul dalam pekerjaan yang lebih besar dan lebih kompleks di suatu saat di masa depan, pertanyaannya beralih ke seberapa mungkin seseorang akan mampu mempelajari dan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Prediktor terbaik dari hal ini adalah IQ atau kemampuan kognitif.”

Kesimpulan-kesimpulan ini sebagian besar didasarkan pada tinjauan yang dilakukan oleh penulis—Tomas Chamorro-Premuzic, Seymour Adler, dan Robert B. Kaiser—yang diterbitkan pada tahun 2013 di Journal of Industrial and Organizational Psychology.

Tinjauan tersebut menyoroti kesenjangan antara apa yang dicari perusahaan dalam calon karyawan dan apa yang dikatakan ilmuwan benar-benar penting untuk kinerja kerja. Secara khusus, “perusahaan lebih tertarik pada keterampilan sosial karyawan daripada kemampuan kognitif mereka.”

Penulis menjelaskan bahwa penelitian mereka menunjukkan keterampilan sosial itu penting, demikian juga dorongan. Mereka menyebut model tiga faktor ini “secara inheren kompensatoris”, yang berarti jika kemampuan kognitif Anda hanya rata-rata, tetapi keterampilan sosial atau dorongan Anda sangat tinggi, Anda masih memiliki peluang untuk unggul dalam pekerjaan.

Penelitian tentang Peran IQ

Masalahnya adalah kebanyakan personel sumber daya manusia sudah mengakui pentingnya kemampuan untuk bergaul dengan orang lain dan kemauan untuk bekerja keras, sambil mengabaikan peran kecerdasan.

Dan pada saat lebih banyak organisasi mulai mengintegrasikan tes kepribadian ke dalam proses perekrutan mereka, dan istilah “cerdas secara emosional” menjadi tren di tempat kerja, ada baiknya meluangkan waktu sejenak untuk mendapatkan gambaran yang lebih holistik tentang apa yang penting bagi kinerja kerja.

Salah satu penelitian yang paling banyak dikutip tentang topik ini adalah makalah tahun 2004 yang diterbitkan di Journal of Personality and Social Psychology oleh Frank L. Schmidt dan John Hunter. Para peneliti meninjau puluhan studi dan menemukan bahwa orang yang lebih cerdas umumnya berkinerja lebih baik di tempat kerja, mungkin karena orang yang cerdas lebih cepat mempelajari keterampilan baru.

Yang benar-benar mengejutkan adalah bahwa meskipun menjadi pintar lebih penting semakin rumit pekerjaan Anda—pikirkan seorang pengacara atau akuntan—ini tetap berarti bahkan untuk pekerjaan yang relatif tidak rumit.

Baru-baru ini, pada tahun 2014, psikolog Wharton Adam Grant menerbitkan sebuah tulisan di LinkedIn yang berargumen bahwa kecerdasan emosional—sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang menggambarkan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengelola emosi Anda sendiri dan orang lain—kurang penting daripada kemampuan kognitif ketika berkaitan dengan kinerja kerja. Berdasarkan hasil studi yang ia lakukan pada ratusan tenaga penjual dan ratusan pelamar untuk posisi penjualan, Grant menyimpulkan:

“Kemampuan kognitif lebih dari lima kali lebih kuat daripada kecerdasan emosional. Rata-rata karyawan dengan kemampuan kognitif tinggi menghasilkan pendapatan tahunan lebih dari $195.000, dibandingkan dengan $159.000 bagi mereka yang kemampuan kognitifnya sedang dan $109.000 bagi mereka yang kemampuan kognitifnya rendah. Kecerdasan emosional tidak menambah apa pun setelah mengukur kemampuan kognitif.”

Yang menarik, Grant menulis bahwa CEO perusahaan tempat studi dilakukan sulit mempercayai hasilnya akurat.

Saya bertanya kepada Schmidt, seorang profesor emeritus di University of Iowa, mengapa ia berpikir banyak orang sulit menerima bahwa kecerdasan itu penting di tempat kerja. Inilah salah satu alasan yang ia kemukakan:

“Konsep bahwa ada satu sifat pribadi, kecerdasan, yang memiliki dasar genetik yang cukup kuat dan sangat sulit diubah, [yang] mungkin merupakan penentu terpenting dari di mana orang berakhir dalam sistem pendidikan dan dalam struktur pekerjaan, dan sebagainya—itu tampaknya tidak adil dan tampaknya tidak demokratis.”

Mengukur IQ di Tempat Kerja

Schmidt mengatakan bahwa bahkan perusahaan yang tidak secara eksplisit mengukur kemampuan kognitif—misalnya, dengan meminta calon karyawan untuk mengikuti tes IQ tertulis—mungkin menilai hal itu secara tidak langsung.

Ia menyebutkan Microsoft dan Google secara khusus, yang kadang-kadang meminta calon karyawan untuk memecahkan masalah secara lisan selama wawancara kerja. Kinerja mereka dalam menyelesaikan masalah tersebut, kata Schmidt, mencerminkan kemampuan kognitif mereka. Bahkan wawancara kerja standar Anda, kata Schmidt, telah terbukti berkorelasi secara moderat dengan kemampuan kognitif.

Beberapa organisasi memang mengukur kemampuan kognitif umum secara langsung. NFL, misalnya, memiliki pemula yang mengikuti tes Wonderlic, menjawab 50 pertanyaan dalam 12 menit. Wonderlic juga merupakan ukuran kemampuan kognitif yang paling banyak digunakan di tempat kerja; menurut perusahaan, dalam 12 bulan terakhir, sekitar 6.000 pelanggan membeli salah satu alat penilaian mereka.

Alternatif Mengukur IQ

Tidak semua peneliti berlangganan keyakinan bahwa IQ adalah prediktor paling kuat dari kinerja kerja. Scott Barry Kaufman, seorang psikolog dan penulis buku tahun 2013 “Ungifted: Intelligence Redefined,” mengatakan penekanan pada pengukuran IQ dan menggunakannya untuk menentukan potensi seseorang dapat menjadi pembatas.

Dalam wawancara tahun 2013 dengan Sarah Green Carmichael di Harvard Business Review, ia menyarankan para manajer tentang bagaimana memperlakukan karyawan: “Menghargai dan membuat orang tersebut merasa bahwa merek kecerdasan unik yang mereka bawa ke tenaga kerja, tempat kerja, dihargai dan diakui, dan ketika Anda sangat sensitif saat menciptakan tim ini, Anda sangat sensitif terhadap gambaran yang lebih besar dengan melihat semua teka-teki yang berbeda, semua jenis pikiran yang berbeda yang Anda miliki sebagai pekerja, dan membantu melihat siapa yang paling sesuai dengan nilai mereka dalam gambaran yang lebih besar.”

Salah satu solusi, meskipun tidak sempurna, adalah menempatkan calon karyawan melalui proses penyaringan yang lebih komprehensif. Dengan cara itu, pengusaha mendapatkan gambaran tentang kemampuan kognitif serta sifat kepribadian.

Dalam sebuah opini di New York Times tahun 2014, psikolog John Mayer menyarankan untuk melengkapi tes standar seperti SAT dengan tes lain yang mengukur kemampuan kognitif yang berbeda—misalnya, penalaran spasial atau “kecerdasan pribadi”—kemampuan untuk menalar tentang motif, emosi, dan pola aktivitas seseorang. Mayer sedang menulis tentang dunia pendidikan, tetapi logika yang sama mungkin berlaku di tempat kerja.

Di Luar Tes IQ

Saya bertanya kepada Hambrick apakah ia berpikir penting bagi orang untuk mengetahui skor IQ mereka. Meneliti topik ini pasti membuat saya ingin mengetahui skor saya, jika tidak untuk menggunakannya untuk secara cermat merencanakan sisa karier saya, setidaknya untuk mendapatkan gambaran tentang apa yang secara realistis dapat saya capai.

“Hanya jika Anda ingin mengetahuinya,” kata Hambrick. “Saya tidak berpikir Anda harus menerimanya jika Anda tidak menginginkannya.” Hambrick tidak tahu apa skor IQ-nya—dia berkata, “Saya tidak terlalu tertarik untuk mengetahuinya.”

 

Kembali ke daftar isi

Tingkat IQ memprediksi Kinerja Anda di Tempat Kerja

dari Frank Schmidt dan John Hunter

Berikut ini adalah terjemahan dari sebuah landmark study yang berjudul General Mental Ability in the World of Work: Occupational Attainment and Job Performance karya Frank L. Schmidt dan John Hunter, dua orang profesor mengenai sumber daya manusia.

Karya ini memberikan bukti yang sangat kuat betapa IQ sangat mempengaruhi kinerja di tempat kerja. Makin tinggi IQ, makin superior kinerja seseorang. Tak heran, tes IQ digunakan di mana-mana.

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Kemampuan Mental Umum di Dunia Kerja: Pencapaian Pekerjaan dan Kinerja Pekerjaan

(General Mental Ability in the World of Work: Occupational Attainment and Job Performance)

Frank L. Schmidt

University of Iowa

John Hunter

Michigan State University

Abstrak

Konstruksi psikologis general mental ability (GMA), yang diperkenalkan oleh C. Spearman pada tahun 1904 hampir 100 tahun yang lalu, telah mengalami kebangkitan minat dan perhatian dalam beberapa dekade terakhir.

Artikel ini menyajikan bukti penelitian bahwa GMA memprediksi baik tingkat pekerjaan yang dicapai maupun kinerja dalam pekerjaan yang dipilih seseorang, dan melakukannya lebih baik daripada kemampuan, sifat, atau disposisi lain, serta lebih baik daripada pengalaman kerja.

Besarnya hubungan ini dengan GMA juga lebih besar daripada kebanyakan yang ditemukan dalam penelitian psikologis. Bukti menunjukkan bahwa kombinasi berbobot dari kemampuan khusus yang disesuaikan dengan pekerjaan individual tidak memprediksi kinerja pekerjaan lebih baik daripada GMA saja, yang menyangkal teori kemampuan khusus.

Sebuah teori tentang kinerja pekerjaan dijelaskan yang menjelaskan peran sentral GMA dalam dunia kerja. Temuan ini mendukung proposisi Spearman bahwa GMA sangat penting dalam urusan manusia.

Selama tahun 1960-an, ketika kami masih mahasiswa pascasarjana, kami sering mendengar prediksi dari psikolog eksperimental dan psikolog sosial eksperimental bahwa dalam 20 tahun atau lebih, psikologi diferensial akan menjadi bidang yang mati, karena penelitian eksperimental akan menjelaskan semua perbedaan individu sebagai efek dari kondisi perlakuan masa lalu atau saat ini (lingkungan). Jelas, hal ini tidak terjadi.

Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir, ada kebangkitan minat yang kuat dalam psikologi perbedaan individu (Lubinski, 2000). Kebangkitan ini mencakup kecerdasan umum (general mental ability, GMA), bakat dan kemampuan spesifik, sifat kepribadian, minat, nilai-nilai, dan sifat-sifat lain yang menunjukkan perbedaan penting antara individu dan kelompok.

Kebangkitan ini terutama kuat sehubungan dengan GMA, sebuah konstruksi yang pertama kali dipostulatkan dan didefinisikan hampir 100 tahun yang lalu oleh Spearman (1904). Sejumlah perkembangan dan temuan telah berkontribusi pada minat yang diperbarui dalam GMA.

Bukti yang terkumpul telah menjadi sangat kuat bahwa GMA berkorelasi dengan berbagai hasil kehidupan, mulai dari perilaku berisiko terkait kesehatan, hingga tindak kriminal, hingga kemampuan menggunakan sistem bus atau kereta bawah tanah (Gottfredson, 1997; Lubinski & Humphreys, 1997).

Selain itu, semakin tinggi suatu ukuran GMA memuat pada faktor umum dalam kemampuan mental (faktor g), semakin besar korelasi ini. Peringkat relatif individu pada GMA telah ditemukan stabil selama periode lebih dari 65 tahun (Deary, Whalley, Lemmon, Crawford, & Starr, 2000).

Temuan dalam genetika perilaku, termasuk studi kembar identik yang dibesarkan terpisah dan bersama (misalnya, Bouchard, Lykken, McGue, Segal, & Tellegen, 1990), telah menunjukkan dengan jelas bahwa GMA memiliki dasar genetik yang kuat (misalnya, Bouchard, 1998; McGue & Bouchard, 1998).

Pewarisan telah terbukti meningkat seiring bertambahnya usia dan mencapai tingkat 0,80 atau lebih tinggi pada orang tua. (Akar kuadrat dari 0,80 adalah 0,89, menunjukkan korelasi hampir 0,90 antara gen dan GMA pada orang tua).

Penelitian genetika molekuler telah mengidentifikasi gen spesifik yang memengaruhi sifat-sifat tertentu (misalnya, Hamer & Copeland, 1998), dan upaya penelitian ini serta temuannya telah mengubah zeitgeist intelektual dan memengaruhi banyak asumsi dasar.

Faktor-faktor lain termasuk buku Carroll (1993) tentang struktur faktor kemampuan manusia, dua buku utama Jensen tentang GMA (Jensen, 1980, 1998), dan Bell Curve karya Herrnstein dan Murray (1994), satu-satunya buku ilmu sosial yang pernah muncul di daftar buku terlaris The New York Times.

Perkembangan lainnya adalah demonstrasi bahwa GMA memprediksi baik tingkat pekerjaan yang dicapai maupun kinerja dalam pekerjaan yang dipilih seseorang—dan memprediksi kedua hasil tersebut lebih kuat daripada sifat lainnya. Dua perkembangan terakhir ini menjadi topik utama artikel ini.

Karena luasnya literatur ini dan keterbatasan ruang, tinjauan kami dengan terpaksa tidak bisa lengkap. Namun, kami membahas kesimpulan utama dalam literatur ini dan kami mengutip sampel representatif dari penelitian terkait.

Sisa artikel ini disusun sebagai berikut.

Pertama, kami menyajikan bukti yang menunjukkan bahwa GMA memprediksi tingkat pekerjaan yang dicapai.

Kami kemudian meninjau bukti penelitian yang menunjukkan bahwa GMA memprediksi kinerja dalam pekerjaan dan profesi—baik kinerja dalam belajar pekerjaan (kinerja pelatihan) maupun kinerja dalam pekerjaan itu sendiri—baik untuk pekerjaan sipil maupun militer.

Ketiga, kami memeriksa sifat dan variabel lain yang memengaruhi pelatihan dan kinerja kerja—sifat kepribadian, bakat spesifik, dan pengalaman kerja—dan menunjukkan bahwa faktor-faktor ini, meskipun penting, memiliki pengaruh yang lebih lemah terhadap tingkat pekerjaan dan kinerja kerja dibandingkan GMA.

Terakhir, kami menjelaskan sebuah teori kinerja kerja yang menjelaskan temuan-temuan ini.

GMA dan Pencapaian Tingkat Pekerjaan

Studi Cross-Sectional
Baik studi cross-sectional maupun longitudinal telah mengaitkan GMA dengan tingkat pekerjaan.

Pertama, kita akan meneliti studi cross-sectional.

Peringkat atau penilaian orang terhadap tingkat pekerjaan atau prestise dari berbagai pekerjaan sangat dapat diandalkan; korelasi antara peringkat rata-rata di berbagai studi berada pada kisaran 0,95 hingga 0,98, terlepas dari kelas sosial, pekerjaan, usia, atau negara dari para penilai (Dawis, 1994; Jensen, 1980, hal. 339–347).

Peringkat tingkat pekerjaan ini berkorelasi antara 0,90 dan 0,95 dengan skor rata-rata GMA dari orang-orang dalam pekerjaan tersebut (Jensen, 1998, hal. 293).

Korelasi pada tingkat individu tentu saja tidak sebesar ini. Dalam basis data besar dari U.S. Employment Service tentang General Aptitude Test Battery (GATB; Hunter, 1980), korelasi tingkat individu antara ukuran GMA yang diperoleh dari baterai tersebut dan tingkat pekerjaan adalah 0,65 (0,72 dikoreksi untuk kesalahan pengukuran; Jensen, 1998).

Banyak data militer dari kedua perang dunia (ketika sampel dari orang yang direkrut sangat representatif dari populasi pria di AS) menunjukkan peningkatan skor rata-rata GMA seiring meningkatnya tingkat pekerjaan (seperti yang ditentukan oleh peringkat yang dibahas di sini) (Harrell & Harrell, 1945; Stewart, 1947; Yerkes, 1921).

Tabel 1, yang menunjukkan temuan untuk 18.782 pria kulit putih yang terdaftar di Komando Angkatan Udara Angkatan Darat (Harrell & Harrell, 1945), menyajikan temuan-temuan khas. Ukuran GMA yang digunakan adalah Army General Classification Test (Schmidt, Hunter, & Pearlman, 1981).

Skor rata-rata GMA jelas meningkat seiring dengan tingkat pekerjaan. Juga jelas bahwa deviasi standar dan rentang skor menurun seiring dengan meningkatnya tingkat pekerjaan, yang menunjukkan bahwa meskipun pekerjaan pada tingkat yang lebih rendah dapat dan memang mengandung individu dengan skor sangat tinggi, individu dengan skor GMA rendah tampaknya kesulitan memasuki pekerjaan dengan tingkat yang lebih tinggi.

Juga tampak bahwa bagian atas dari rentang GMA cukup mirip di semua pekerjaan, sementara bagian bawah meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pekerjaan, yang menunjukkan adanya persyaratan minimum GMA untuk pekerjaan tingkat tinggi.

Studi Longitudinal

Studi longitudinal penting karena menunjukkan bahwa GMA yang diukur lebih awal dalam hidup memprediksi pencapaian pekerjaan di masa depan.

Wilk, Desmarais, dan Sackett (1995), menggunakan 3.887 orang dewasa muda dalam National Longitudinal Survey—Youth Cohort (NLSY; Center for Human Resource Research, 1989) yang datanya tersedia, menunjukkan bahwa selama periode 5 tahun dari 1982 hingga 1987, GMA yang diukur pada tahun 1980 memprediksi pergerakan dalam hierarki pekerjaan.

Mereka dengan skor GMA lebih tinggi pada tahun 1980 naik dalam hierarki, sementara mereka dengan skor GMA lebih rendah turun dalam hierarki. Dalam studi lanjutan yang lebih besar yang didasarkan pada metodologi yang sedikit berbeda, Wilk dan Sackett (1996) meneliti dua basis data besar pemerintah: National Longitudinal Study of the Class of 1972 (NLS-72) dan National Longitudinal Survey of Labor Market Experience—Youth Cohort (NLSY).

Dalam kedua basis data tersebut, Wilk dan Sackett menemukan bahwa mobilitas pekerjaan diprediksi oleh kesesuaian antara skor GMA individu (diukur beberapa tahun sebelumnya) dan kompleksitas pekerjaan mereka yang diukur secara objektif. Jika GMA mereka melebihi tingkat kompleksitas pekerjaan mereka, mereka cenderung pindah ke pekerjaan dengan kompleksitas lebih tinggi.

Dan jika tingkat kompleksitas pekerjaan mereka melebihi tingkat GMA mereka, mereka cenderung turun ke pekerjaan yang kurang kompleks. Ukuran kompleksitas pekerjaan yang digunakan sangat berkorelasi dengan ukuran tingkat pekerjaan yang dibahas di atas.

Dalam studi lain yang diambil dari basis data besar yang sama, Murray (1998) menemukan bahwa GMA memprediksi pendapatan di masa depan bahkan dengan kontrol yang sangat ketat untuk status sosial ekonomi (SES) dan variabel latar belakang lainnya.

Kontrol ini memanfaatkan variabilitas besar GMA dalam keluarga dan dicapai dengan menggunakan sampel dari saudara kandung biologis penuh laki-laki, sehingga mengontrol latar belakang rumah dan banyak variabel lainnya (misalnya, sekolah, lingkungan).

Murray menemukan bahwa saudara kandung dengan skor GMA lebih tinggi menerima pendidikan lebih banyak, memasuki pekerjaan yang lebih bergengsi, memiliki pendapatan lebih tinggi, dan bekerja lebih teratur. Ketika saudara kandung tersebut berada di akhir usia 20-an (pada tahun 1993), seseorang dengan GMA rata-rata menghasilkan hampir $18.000 lebih sedikit per tahun daripada saudaranya yang lebih pintar yang memiliki IQ 120 atau lebih tinggi dan menghasilkan lebih dari $9.000 lebih banyak daripada saudaranya yang kurang pintar yang memiliki IQ kurang dari 80.

Pola temuan ini tetap bertahan bahkan dalam sub-sampel orang-orang yang semuanya berasal dari rumah “beruntung” (sampel “utopian” nya). Ini menanggapi keberatan bahwa mungkin bukan GMA itu sendiri yang menyebabkan perbedaan dalam tingkat pekerjaan dan pendapatan tetapi variabel lain seperti kualitas sekolah, ketersediaan peluang, dan sebagainya, yang tidak tertangkap dengan baik oleh ukuran standar SES dan, karenanya, tidak sepenuhnya dikontrol ketika ukuran standar SES secara statistik dipisahkan.

Judge, Higgins, Thoresen, dan Barrick (1999) mengaitkan ukuran GMA yang diambil pada sekitar usia 12 tahun dengan hasil pekerjaan pada rentang usia 41 hingga 50 tahun. Mereka menemukan bahwa skor GMA pada masa kanak-kanak memprediksi tingkat pekerjaan dewasa dengan korelasi sebesar 0,51 dan memprediksi pendapatan dewasa dengan korelasi sebesar 0,53.

Ball (1938) menemukan bahwa GMA yang diukur pada masa kanak-kanak berkorelasi sebesar 0,47 dengan tingkat pekerjaan 14 tahun kemudian dan sebesar 0,71 dengan tingkat pekerjaan 19 tahun kemudian. Studi lain yang serupa termasuk Brown dan Reynolds (1975), Dreher dan Bretz (1991), Gottfredson dan Crouse (1986), Howard dan Bray (1990), Siegel dan Ghiselli (1971), dan Thorndike dan Hagen (1959).

Jelas bahwa GMA berkaitan dengan tingkat pekerjaan (dan pendapatan) baik secara longitudinal maupun cross-sectional. Lebih jauh lagi, hubungan ini relatif kuat. Korelasi sebesar 0,50 atau lebih tinggi jarang terjadi dalam psikologi dan ilmu sosial dan dianggap besar (Cohen & Cohen, 1988).

Seperti yang dibahas dalam bagian Personality and Job Performance, beberapa sifat kepribadian juga memprediksi tingkat pekerjaan, tetapi besarnya hubungan ini jauh lebih kecil, dengan pengecualian satu sifat kepribadian (ketelitian).

GMA memprediksi tingkat pekerjaan tertinggi yang dicapai seseorang, tetapi tidak memprediksi pekerjaan mana di tingkat tersebut yang akan dimasuki seseorang. Peran ini jatuh pada minat.

Ada banyak bukti bahwa minat memprediksi pekerjaan tertentu (atau setidaknya keluarga pekerjaan) yang akan dipilih seseorang (Holland, 1985, 1996; Savickas & Spokane, 1999). Namun, minat merupakan prediktor yang buruk terhadap kinerja setelah seseorang memasuki suatu pekerjaan (Schmidt & Hunter, 1998).

GMA dan Kinerja dalam Pekerjaan dan Jabatan

Tabel 1: Skor Standar Rata-Rata GCT, Deviasi Standar, dan Rentang Skor dari 18.782 Pria Kulit Putih yang Terdaftar di AAF Berdasarkan Pekerjaan Sipil

Pekerjaan N Rata-Rata (M) Median (Mdn) Deviasi Standar (SD) Rentang Skor
Akuntan 172 128,1 128,1 11,7 94–157
Pengacara 94 127,6 126,8 10,9 96–157
Insinyur 39 126,6 125,8 11,7 100–151
Hubungan Masyarakat 42 126,0 125,5 11,4 100–149
Auditor 62 125,9 125,5 11,2 98–151
Ahli Kimia 21 124,8 124,5 13,8 102–153
Wartawan 45 124,5 125,7 11,7 100–157
Kepala Pegawai 165 124,2 124,5 11,7 88–153
Guru 256 122,8 123,7 12,8 76–155
Juru Gambar 153 122,0 121,7 12,8 74–155
Juru Ketik 147 121,0 121,4 12,5 66–151
Apoteker 58 120,5 124,0 15,2 76–149
Operator Mesin Penjumlah 140 120,1 119,8 13,3 80–151
Pembukuan 272 120,0 119,7 13,1 70–157
Manajer Penjualan 42 119,0 120,7 11,5 90–137
Agen Pembelian 98 118,7 119,2 12,9 82–153
Manajer Produksi 34 118,1 117,0 16,0 82–153
Fotografer 95 117,6 119,8 13,9 66–147
Pegawai Umum 496 117,5 117,9 13,0 68–155
Pegawai Juru Ketik 468 116,8 117,3 12,0 80–147
Manajer Miscellaneous 235 116,0 117,5 14,8 60–151
Teknisi Instalasi-Perbaikan Tel. & Tel. 77 107,1 108,8 15,5 70–133
Perakit 498 106,3 106,6 14,6 48–145
Mekanik 421 106,3 108,3 16,0 60–155
Operator Mesin 486 104,8 105,7 17,1 42–151
Pelayan Mobil 539 104,2 105,9 16,7 30–141
Tukang Rivet 239 104,1 105,3 15,1 50–141
Tukang Kayu 48 103,5 104,7 15,9 66–127
Tukang Pelapis 59 103,3 105,8 14,5 68–131
Tukang Daging 259 102,9 104,8 17,1 42–147
Tukang Pipa 128 102,7 104,8 16,0 56–139
Bartender 98 102,2 105,0 16,6 56–137
Tukang Kayu Konstruksi 451 102,1 104,1 19,5 42–147
Tukang Pipa-Pasangan 72 101,9 105,2 18,0 56–139
Tukang Las 493 101,8 103,7 16,1 48–147
Mekanik Mobil 466 101,3 101,8 17,0 48–151
Pencetak 79 101,1 105,5 20,2 48–137
Sopir 194 100,8 103,0 18,4 46–143
Pengemudi Traktor 354 99,5 101,6 19,1 42–147
Tukang Cat Umum 440 98,3 100,1 18,7 38–147
Operator Crane 99 97,9 99,1 16,6 58–147
Koki dan Tukang Roti 436 97,2 99,5 20,8 20–147
Penenun 56 97,0 97,3 17,7 50–135
Sopir Truk 817 96,2 97,8 19,7 16–149
Buruh 856 95,8 97,7 20,1 26–145
Tukang Cukur 103 95,3 98,1 20,5 42–141
Penebang Kayu 59 94,7 96,5 19,8 46–137
Petani 700 92,7 93,4 21,8 24–147
Buruh Tani 817 91,4 94,0 20,7 24–141
Penambang 156 90,6 92,0 20,1 42–139
Tukang Gerobak 77 87,7 89,0 19,6 46–145
Catatan. GCT = General Classification Test; AAF = Army Air Force; tel. & tel. = telepon dan telegraf.

Di dunia kerja, dan terutama dalam perekrutan karyawan, pengukuran GMA telah digunakan sejak akhir Perang Dunia I (Yerkes, 1921). Tes yang digunakan biasanya adalah tes berbasis kertas dan pensil yang berisi pertanyaan dan masalah yang terkait dengan materi verbal, kuantitatif, spasial, dan terkadang mekanik.

Meskipun ada berbagai instrumen seperti itu, yang mungkin paling representatif—dan tentu saja yang paling banyak digunakan saat ini—adalah Wonderlic Personnel Test (Hunter, 1989; Wonderlic, 1992). Tes ini diberikan dengan batas waktu 10 menit dan terdiri dari 50 item jawaban bebas, dengan materi verbal, kuantitatif, dan spasial yang terwakili secara hampir sama.

Tes Wonderlic memiliki banyak bentuk psikometris paralel yang tersedia, dan dilengkapi dengan data norma yang luas. Berdasarkan instrumen-instrumen semacam ini, ribuan studi validitas telah terkumpul sejak awal abad ke-20.

Telah lama diyakini baik di kalangan psikolog maupun masyarakat umum bahwa GMA penting untuk kinerja akademis tetapi memiliki sedikit hubungan dengan kinerja di dunia nyata setelah sekolah selesai.

Secara khusus, diyakini bahwa GMA memiliki sedikit kaitan dengan kinerja dalam pekerjaan (misalnya, Jencks, 1972). Dalam psikologi industri-organisasi, keyakinan terkait tetapi tidak identik dominan antara tahun 1910 hingga sekitar 1980: teori yang disebut situational specificity.

Teori ini menyatakan bahwa GMA memang memprediksi kinerja kerja tetapi hanya secara sporadis; yaitu, teori ini menyatakan bahwa validitas GMA (dan ukuran lainnya) untuk memprediksi kinerja kerja sangat bersifat situasional: GMA mungkin memprediksi untuk satu pekerjaan dalam satu lingkungan kerja tetapi gagal melakukannya untuk pekerjaan yang tampaknya sama di organisasi lain.

Teori ini didukung oleh temuan bahwa koefisien validitas yang diamati untuk tes dan pekerjaan yang serupa bervariasi secara substansial di berbagai studi validitas, dan temuan bahwa beberapa (sekitar setengah) dari koefisien validitas ini signifikan secara statistik, sementara sisanya tidak. Penjelasan yang ditawarkan untuk variabilitas yang membingungkan ini adalah bahwa pekerjaan yang tampaknya sama sebenarnya berbeda dalam hal yang penting tetapi halus dalam apa yang diperlukan untuk melakukannya.

Karena itu, validitas harus diestimasi kembali di setiap lingkungan yang terpisah. Selama 25 tahun terakhir, penerapan metode meta-analisis (Hunter & Schmidt, 1990) pada basis data validitas telah membantah teori ini dan menunjukkan bahwa variabilitas dalam temuan validitas sebagian besar disebabkan oleh artefak statistik dan pengukuran seperti varian kesalahan pengambilan sampel, kesalahan pengukuran dalam ukuran kinerja pekerjaan, pembatasan rentang pada skor GMA, dan artefak lainnya.

Artefak ini memiliki dua efek di luar penciptaan variabilitas dalam validitas yang diamati: Mereka mengurangi kekuatan statistik menjadi sekitar 0,50 dan mereka menurunkan estimasi validitas (kecuali untuk kesalahan pengambilan sampel, yang tidak memberikan bias penurunan).

Setelah koreksi untuk efek dari artefak metodologis ini, ditemukan bahwa ada sedikit atau tidak ada variasi dalam temuan validitas (cf. Schmidt et al., 1993) dan bahwa ukuran GMA memprediksi kinerja pekerjaan (dalam berbagai tingkat) untuk semua pekerjaan. (Temuan serupa dari minimal variabilitas aktual di bawah kondisi variabilitas yang tampak besar juga telah dilaporkan dalam bidang penelitian lain; cf. Schmidt, 1992).

Ratusan meta-analisis semacam ini (disebut studi validity generalization) sekarang telah dilakukan (Schmidt & Hunter, 1998) dan telah mencakup berbagai ukuran yang digunakan untuk memprediksi kinerja kerja: bakat, sifat kepribadian, dan ukuran lainnya, selain ukuran GMA.

Hasil untuk GMA dicontohkan oleh temuan dari studi besar yang dilakukan oleh Hunter (1980; Hunter & Hunter, 1984) untuk U.S. Employment Service menggunakan basis data General Aptitude Test Battery (GATB). Berdasarkan 425 studi validitas (N = 32.124) yang dilakukan pada pekerjaan sipil yang mencakup spektrum pekerjaan, Hunter dan Hunter (1984) serta Hunter (1980) melaporkan hasil yang ditunjukkan dalam Tabel 2. Hunter menugaskan setiap pekerjaan ke salah satu dari lima keluarga pekerjaan berdasarkan kompleksitas (yaitu, persyaratan pemrosesan informasi dari pekerjaan, diukur menggunakan data analisis pekerjaan dari Departemen Tenaga Kerja AS untuk setiap pekerjaan). Ini adalah basis data terbesar yang tersedia menggunakan ukuran kinerja dalam pekerjaan (diukur menggunakan penilaian supervisi terhadap kinerja pekerjaan).

Seperti yang dapat dilihat, validitas untuk memprediksi kinerja dalam pekerjaan berkisar dari 0,58 untuk pekerjaan dengan kompleksitas tertinggi (pekerjaan profesional, ilmiah, dan manajemen tingkat atas) hingga 0,23 pada tingkat kompleksitas terendah (pekerjaan pengumpanan/pemeliharaan). Keluarga Pekerjaan 2 (2,5% dari semua pekerjaan dalam ekonomi) terdiri dari pekerjaan teknis yang kompleks seperti troubleshooting sistem komputer atau pekerjaan setup manufaktur yang kompleks. Keluarga Pekerjaan 3, dengan hampir 63% dari semua pekerjaan dalam ekonomi, mencakup pekerja terampil, teknisi, administrator tingkat menengah, paraprofesional, dan pekerjaan serupa. Keluarga Pekerjaan 4 adalah pekerjaan semi-terampil.

Jelas, GMA memprediksi kinerja pada pekerjaan tingkat tinggi lebih baik daripada untuk pekerjaan tingkat rendah. Namun, ada validitas yang substansial untuk semua tingkat pekerjaan. Secara khusus, GMA memprediksi kinerja bahkan untuk pekerjaan yang paling sederhana (2,4% dari pekerjaan; Keluarga Pekerjaan 5).

Tabel 2: Validitas GMA dalam Memprediksi Kinerja

Tingkat Kompleksitas Pekerjaan % Tenaga Kerja Validitas GMA untuk Kinerja Pekerjaan Validitas GMA untuk Kinerja Pelatihan
1 (Tertinggi) 14,7% 0,58 0,59
2 2,5% 0,56 0,65
3 62,7% 0,51 0,57
4 17,7% 0,40 0,54
5 (Terendah) 2,4% 0,23 Tidak Relevan (NR)
Catatan. Untuk kategori pekerjaan dengan kompleksitas terendah, tidak ada studi kinerja pelatihan yang dilaporkan. Kinerja di pekerjaan diukur menggunakan penilaian supervisi terhadap kinerja pekerjaan secara keseluruhan. Kinerja pelatihan biasanya dinilai menggunakan tes yang mengukur jumlah pembelajaran selama pelatihan. Terdapat 425 studi kinerja pekerjaan (N = 32.124) dan 90 studi kinerja dalam program pelatihan (N = 6.496). Korelasi dikoreksi untuk kesalahan pengukuran pada variabel dependen dan untuk pembatasan rentang, tetapi tidak dikoreksi untuk kesalahan pengukuran dalam ukuran GMA; oleh karena itu, ini adalah perkiraan validitas operasional, bukan korelasi tingkat konstruk. Korelasi tingkat konstruk sekitar 8,5% lebih besar. Semua nilai yang dilaporkan adalah nilai rata-rata; setelah koreksi untuk artefak, variabilitas di sekitar nilai rata-rata ini terbatas, dan hampir semua nilai dalam setiap distribusi positif dan substansial. NR = tidak dilaporkan. Diadaptasi dari Hunter (1980) dan dari “Validity and Utility of Alternate Predictors of Job Performance,” oleh J. E. Hunter dan R. F. Hunter, 1984, Psychological Bulletin, 96, Tabel 2, hlm. 82. Hak cipta 1984 oleh American Psychological Association. a 1 = tertinggi; 5 = terendah.

Temuan lainnya dilaporkan dalam Tabel 3. Berdasarkan 194 studi (N = 17.539) tentang kinerja dalam pekerjaan administrasi, Pearlman, Schmidt, dan Hunter (1980) melaporkan validitas rata-rata GMA untuk kinerja pekerjaan sebesar 0,52. Untuk pekerjaan penegakan hukum, Hirsh, Northrup, dan Schmidt (1986) melaporkan validitas rata-rata untuk kinerja pekerjaan sebesar 0,38.

Dalam sebuah studi militer berskala besar dan multi-tahun pada personel Angkatan Darat yang terdaftar (disebut “Project A”), McHenry, Hough, Toquam, Hanson, dan Ashworth (1990) melaporkan bahwa GMA memprediksi “Kemahiran Teknis Inti” dengan validitas sebesar 0,63 dan “Kinerja Keprajuritan Umum” dengan validitas sebesar 0,65.

Kedua ukuran kinerja pekerjaan ini didasarkan pada ukuran sampel kerja praktis. (Validitas tidak setinggi itu untuk penilaian “Usaha dan Kepemimpinan” [0,31], “Disiplin Pribadi” [0,16], dan “Kebugaran Fisik dan Sikap Militer” [0,20], yang merupakan ukuran kriteria sekunder dengan tuntutan kognitif lebih sedikit.)

Menggunakan ukuran sampel pekerjaan yang serupa, Ree, Earles, dan Teachout (1994) melaporkan nilai rata-rata sebesar 0,45 pada tujuh pekerjaan Angkatan Udara.

Validitas untuk prediksi kinerja dalam program pelatihan bahkan lebih besar. Seperti yang dapat dilihat dalam Tabel 2, dalam basis data pelatihan GATB (90 studi; N = 6.496) yang digunakan oleh Hunter dan Hunter (1984), GMA memprediksi kinerja dalam program pelatihan pekerjaan untuk semua keluarga pekerjaan yang datanya ada dengan korelasi di atas 0,50.

Basis data untuk kinerja pelatihan lebih besar untuk pekerjaan militer. Hunter (1986) melakukan meta-analisis terhadap basis data militer yang totalnya lebih dari 82.000 trainee dan melaporkan validitas rata-rata sebesar 0,63 untuk GMA.

Berdasarkan 77.958 trainee Angkatan Udara, Ree dan Earles (1991) melaporkan nilai yang sangat mirip sebesar 0,60. Berdasarkan 65 studi dengan N sebesar 32.157, Pearlman et al. (1980) melaporkan validitas rata-rata sebesar 0,71 untuk GMA dalam memprediksi kinerja pelatihan pekerja administrasi, sedangkan Hirsh et al. (1986) menemukan nilai rata-rata sebesar 0,76 untuk memprediksi kinerja dalam akademi pelatihan untuk trainee penegak hukum. Temuan-temuan ini dan lainnya ditunjukkan dalam Tabel 3. Data tambahan semacam ini disajikan dalam Schmidt (2002).

Ringkasan kasar dapat diperoleh dengan merata-rata temuan yang ditunjukkan dalam Tabel 3. Di seluruh meta-analisis yang dilaporkan di sana, rata-rata validitas GMA tanpa pembobotan adalah 0,55 untuk memprediksi kinerja dalam pekerjaan dan 0,63 untuk memprediksi kinerja dalam program pelatihan pekerjaan.

Sifat dan Variabel Lain yang Mempengaruhi Kinerja Pekerjaan

Tabel 3: Hubungan Antara GMA dan Kinerja dalam Pelatihan Pekerjaan dan di Pekerjaan

Studi Pekerjaan Validitas GMA untuk Kinerja Pekerjaan Validitas GMA untuk Kinerja Pelatihan
Hunter dan Hunter (1984) Pekerjaan kompleksitas sedang 0,51 0,57
Pearlman et al. (1980) Administrasi 0,52 0,71
Hirsh et al. (1986) Penegak hukum 0,38 0,76
McHenry et al. (1990) Militer—terdaftar 0,63 (Kemahiran Teknis Inti) NR
McHenry et al. (1990) Militer—terdaftar 0,65 (Kemahiran Keprajuritan Umum) NR
Hunter (1986) Militer—terdaftar NR 0,63
Ree et al. (1994) Militer—terdaftar 0,45 NR
Ree dan Earles (1991) Militer—terdaftar NR 0,60
Schmidt et al. (1979) Supervisor lini pertama 0,64 NR
Schmidt et al. (1979) Pegawai administrasi 0,67 NR
Schmidt et al. (1980) Pemrogram komputer 0,73 NR
Callender dan Osburn (1981) Pekerja kilang 0,31 0,50
Catatan. McHenry et al. (1990) dan Ree et al. (1994) menggunakan ukuran sampel pekerjaan untuk mengukur kinerja pekerjaan. Studi lainnya mengukur kinerja pekerjaan menggunakan penilaian supervisi terhadap kinerja pekerjaan secara keseluruhan. Kinerja pelatihan biasanya diukur menggunakan tes untuk mengetahui jumlah yang dipelajari dalam program pelatihan. Korelasi dikoreksi untuk kesalahan pengukuran pada variabel dependen dan untuk pembatasan rentang, tetapi tidak dikoreksi untuk kesalahan pengukuran dalam ukuran GMA; oleh karena itu, ini adalah perkiraan validitas operasional, bukan korelasi tingkat konstruk. Korelasi tingkat konstruk adalah 8% hingga 12% lebih besar. Semua nilai yang dilaporkan adalah nilai rata-rata; setelah koreksi untuk artefak, variabilitas di sekitar nilai rata-rata ini terbatas dan hampir semua nilai dalam setiap distribusi positif dan substansial. NR = tidak dilaporkan (yaitu, hubungan tersebut tidak diperiksa dalam studi). a Hasil untuk pekerjaan dengan kompleksitas sedang (63% dari pekerjaan). Hasil untuk tingkat kompleksitas pekerjaan lainnya diberikan di Tabel 2. b Kriteria adalah “kemahiran teknis inti.” c Kriteria adalah “kemahiran keprajuritan umum.”

Variabel-variabel selain GMA yang diperkirakan mempengaruhi kinerja pekerjaan dan pelatihan termasuk bakat khusus (misalnya, kemampuan verbal, kemampuan kuantitatif, dll.), pengalaman kerja, dan sifat kepribadian.

Bakat Khusus dan Teori Bakat Khusus

Kemampuan kognitif yang lebih sempit dari GMA disebut bakat khusus, atau sering hanya disebut bakat. Contohnya termasuk bakat verbal, bakat spasial, dan bakat numerik. Teori diferensial atau bakat khusus menghipotesiskan bahwa kinerja pada pekerjaan yang berbeda memerlukan bakat kognitif yang berbeda dan, oleh karena itu, persamaan regresi yang dihitung untuk setiap pekerjaan dan memasukkan ukuran dari beberapa bakat khusus akan mengoptimalkan prediksi kinerja pekerjaan dan pelatihan.

Dalam 10 tahun terakhir, penelitian telah dengan kuat membantah teori ini. Pembobotan diferensial pada tes bakat khusus menghasilkan sedikit atau tidak ada peningkatan validitas dibandingkan dengan penggunaan ukuran GMA. Penjelasan untuk temuan ini telah ditemukan. Diketahui bahwa tes bakat khusus mengukur GMA; di samping GMA, masing-masing mengukur sesuatu yang spesifik untuk bakat tersebut (misalnya, bakat numerik khusus, di atas GMA).

Komponen GMA tampaknya bertanggung jawab untuk prediksi kinerja pekerjaan dan pelatihan, sedangkan faktor-faktor khusus pada bakat tampaknya tidak memberikan kontribusi apa pun atau hanya sedikit terhadap prediksi. Penelitian yang menunjukkan hal ini disajikan dan diulas dalam Hunter (1986); Jensen (1986); Thorndike (1986); Olea dan Ree (1994); Ree dan Earles (1992); Ree et al. (1994); Schmidt, Ones, dan Hunter (1992); dan Sackett dan Wilk (1994), di antara sumber lainnya.

Sebuah penolakan yang sangat dramatis terhadap teori bakat khusus datang dari penelitian militer dengan sampel besar yang dilakukan oleh Hunter (1983b) untuk Departemen Pertahanan mengenai kinerja personel militer dalam program pelatihan pekerjaan. Empat sampel besar dianalisis secara terpisah: 21.032 personel Angkatan Udara, 20.256 Marinir, dan dua sampel Angkatan Darat yang masing-masing terdiri dari 16.618 dan 79.926 orang. Dalam semua sampel, data tes diperoleh beberapa bulan sebelum pengukuran kinerja dalam program pelatihan pekerjaan.

Dalam semua sampel, model analisis kausal (dengan koreksi untuk kesalahan pengukuran dan pembatasan rentang) digunakan untuk mempertentangkan teori bakat khusus dengan GMA dalam memprediksi kinerja. Dalam kasus semua empat sampel, model dengan panah kausal dari bakat khusus ke kinerja pelatihan gagal menyesuaikan data. Namun, dalam semua sampel, model hierarkis yang menunjukkan satu jalur kausal dari GMA ke kinerja—dan tidak ada jalur dari bakat khusus ke kinerja—menyesuaikan data dengan baik.

Gambar 1 menunjukkan temuan untuk sampel Marinir. Model kausal yang sesuai dengan data menunjukkan bahwa GMA adalah penyebab dari bakat khusus kuantitatif, verbal, dan teknis (yaitu, bakat khusus ini adalah indikator—atau ukuran—dari GMA). Subtes khusus dari Armed Services Vocational Aptitude Battery (ASVAB, Form 6/7) pada gilirannya disebabkan oleh tiga bakat khusus ini (yaitu, mereka adalah indikator dari bakat ini).

Misalnya, subtes Math Knowledge dan Arithmetic Reasoning adalah indikator dari bakat kuantitatif. Tidak ada panah kausal dari salah satu bakat atau subtes ke kinerja pelatihan. Kinerja pelatihan ditentukan hanya oleh GMA, dengan koefisien jalur standar dari GMA ke kinerja sangat besar (0,62). Temuan untuk tiga sampel lainnya pada dasarnya identik (Hunter, 1983b).

Diketahui dengan baik bahwa analisis model kausal dengan data korelasional tidak dapat membuktikan sebuah teori. Namun, analisis semacam itu—terutama ketika sampelnya sangat besar, seperti di sini—dapat membantah teori. Teori-teori yang tidak sesuai dengan data terbantahkan. Dalam studi ini, teori bakat khusus dengan kuat terbantahkan.

Pengalaman Kerja, GMA, dan Kinerja Pekerjaan

Pembelajaran, dan dengan demikian pengalaman kerja, memainkan peran utama dalam menentukan kinerja pekerjaan. Pengalaman memberikan media untuk belajar, dan dengan demikian, orang dengan lebih banyak pengalaman memiliki lebih banyak kesempatan untuk belajar dan mencapai tingkat kinerja pekerjaan yang lebih tinggi (Schmidt, Hunter, & Outerbridge, 1986).

Namun, perbedaan individu dalam pembelajaran juga penting. Jika satu pekerja belajar lebih cepat daripada yang lain, jumlah pengalaman yang sama akan menghasilkan tingkat kinerja yang lebih tinggi pada pelajar cepat daripada pada pelajar lambat. GMA-lah yang mengubah pengalaman menjadi peningkatan pengetahuan pekerjaan dan karenanya kinerja yang lebih tinggi.

Perbedaan Kemampuan Seiring Waktu

Seseorang mungkin menghipotesiskan bahwa validitas GMA menurun seiring waktu ketika pekerja memperoleh lebih banyak pengalaman kerja. Namun, penelitian tidak mendukung hipotesis ini. Schmidt, Hunter, Outerbridge, dan Goff (1988) menganalisis data untuk empat pekerjaan militer di mana pekerja telah dinilai untuk pengetahuan pekerjaan, kinerja yang diukur secara objektif, dan penilaian kinerja.

Data mereka memungkinkan perbandingan rata-rata antara kelompok GMA tinggi dan rendah (bagian atas dan bawah distribusi) untuk setiap tahun pengalaman hingga 5 tahun. Untuk pengetahuan pekerjaan, Schmidt et al. (1988) menemukan perbedaan besar dan konstan antara kedua kelompok kemampuan pada semua tingkat pengalaman selama periode 5 tahun. Untuk kinerja pekerjaan yang diukur secara objektif, temuan yang sama diamati.

Untuk penilaian kinerja, Schmidt et al. menemukan perbedaan yang jelas tetapi lebih kecil antara kedua kelompok kemampuan pada semua tingkat pengalaman hingga 5 tahun. Sekali lagi, ukuran perbedaan tetap sama setelah 5 tahun seperti setelah 1 tahun pengalaman.

McDaniel (1985) menganalisis data United States Employment Services (USES) untuk kelompok yang tingkat pengalaman kerjanya melampaui 5 tahun. Mengendalikan perbedaan variabilitas GMA di seluruh kelompok, McDaniel mengorelasikan GMA dengan penilaian kinerja untuk setiap tingkat pengalaman hingga 12 tahun atau lebih. Hasilnya dirangkum dalam Tabel 4.

Seiring dengan peningkatan tingkat pengalaman, validitas prediktif tidak menurun. Validitas meningkat dari 0,36 untuk 0–6 tahun, menjadi 0,44 untuk 6–12 tahun, hingga 0,59 untuk lebih dari 12 tahun (meskipun nilai terakhir didasarkan pada sampel yang sangat kecil). Jika ada, data McDaniel menyarankan peningkatan validitas GMA untuk memprediksi penilaian kinerja seiring dengan meningkatnya tingkat pengalaman pekerja.

Temuan ini menunjukkan bahwa validitas prediktif GMA setidaknya stabil seiring waktu dan tidak menurun. Pekerjaan Ackerman (1986, 1987, 1988, 1990, 1992) telah menjadi dasar untuk prediksi penurunan validitas GMA seiring waktu. Ackerman membedakan antara tugas konsisten dan tugas tidak konsisten.

Tugas konsisten cukup sederhana (atau cukup tidak kognitif) sehingga kinerjanya dapat diotomatisasi; oleh karena itu, setelah beberapa waktu, tugas semacam itu menarik minimal pada sumber daya kognitif dan kinerja pada tugas-tugas semacam itu seiring waktu menunjukkan korelasi rendah dengan GMA (misalnya, mengendarai sepeda). Tugas tidak konsisten adalah kebalikan totalnya: Mereka cukup kompleks sehingga tidak peduli berapa lama mereka dilakukan, mereka terus menarik sumber daya kognitif (dan memerlukan pemrosesan informasi yang terkendali), dan oleh karena itu mereka terus menunjukkan korelasi besar dengan GMA seiring waktu.

Menggunakan berbagai tugas dalam penelitian laboratorium, Ackerman (1987) telah memberikan bukti untuk mendukung teorinya tentang pemrosesan informasi terkendali dan otomatis. Berdasarkan teori dan penelitian Ackerman, Murphy (1989) mengajukan teori yang memprediksi penurunan validitas GMA seiring waktu dalam memprediksi kinerja pekerjaan. (Ackerman sendiri tidak membuat prediksi semacam itu.)

Teori Murphy mengajukan tahapan pemeliharaan, di mana tugas pekerjaan dipelajari dengan baik dan dapat dilakukan dengan upaya mental minimal (pemrosesan informasi otomatis), menghasilkan validitas GMA yang rendah atau nol. Bukti empiris yang dirangkum di atas membantah teori ini dan menyarankan bahwa ketika ukuran yang dipertanyakan adalah kinerja pekerjaan secara keseluruhan, tugas tersebut tetap cukup kompleks sehingga tidak dapat diotomatisasi; itu terus memerlukan pemrosesan informasi terkendali dan oleh karena itu terus berkorelasi dengan GMA (Schmidt et al., 1992).

Mungkin ada godaan di area ini untuk menggeneralisasi secara tidak tepat dari tugas yang sempit dan dapat diotomatisasi ke komposit kinerja pekerjaan dunia nyata yang lebih luas, lebih kompleks, dan kurang dapat diotomatisasi.

Validitas Prediktif Pengalaman Kerja

Tabel 4: Korelasi Antara GMA dan Penilaian Kinerja Pekerjaan untuk Karyawan dengan Berbagai Tingkat Pengalaman Kerja

Tahun Pengalaman Total Ukuran Sampel Korelasi GMA dengan Kinerja
0–3 4.424 0,35
3–6 3.297 0,37
6–9 570 0,44
9–12 84 0,44
12+ 22 0,59
Catatan. Dari The Evaluation of a Causal Model of Job Performance: The Interrelationships of General Mental Ability, Job Experience, and Job Performance (hlm. 76), oleh M. A. McDaniel, 1985, disertasi doktor yang tidak dipublikasikan, George Washington University. Diadaptasi dengan izin dari penulis.
Tahun Pengalaman Total Ukuran Sampel Korelasi Pengalaman dengan Kinerja
0–3 4.490 0,49
3–6 5.088 0,32
6–9 3.588 0,25
9–12 1.274 0,19
12+ 1.618 0,15
Catatan. Perbedaan dalam variabilitas pengalaman di berbagai kategori pengalaman telah dikendalikan. Dari “Job Experience Correlates of Job Performance,” oleh M. A. McDaniel, F. L. Schmidt, dan J. E. Hunter, Journal of Applied Psychology, 73, hlm. 329. Hak cipta 1988 oleh American Psychological Association.

Kepribadian dan Kinerja Pekerjaan

Dalam pengalaman kami, masyarakat umum menganggap kepribadian sebagai penentu kinerja pekerjaan yang lebih penting daripada GMA. Sangat mudah untuk memikirkan individu yang mengalami kesulitan di tempat kerja karena konflik kepribadian dengan atasan atau karena kegagalan untuk menjadi terorganisir dan berorientasi pada pencapaian di tempat kerja.

Banyak orang juga mungkin percaya bahwa kepribadian lebih penting daripada GMA dalam menentukan tingkat pekerjaan akhir. Namun, penelitian mendukung kesimpulan bahwa kepribadian kurang penting daripada GMA dalam kedua bidang tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar penelitian kepribadian telah diorganisasikan di sekitar model Lima Besar kepribadian (Goldberg, 1990). Bukti yang cukup besar telah terkumpul yang menunjukkan bahwa sebagian besar ukuran kepribadian yang dimaksudkan untuk individu tanpa psikopatologi dapat diserap di bawah payung model lima faktor.

Lima sifat yang termasuk dalam model ini adalah Ekstraversi, Keterbukaan terhadap Pengalaman, Kestabilan Emosional, Kesesuaian, dan Ketelitian. Lima faktor kepribadian ini telah ditemukan dalam analisis kata sifat sifat dalam berbagai bahasa yang berbeda, studi analitik faktor dari inventaris kepribadian yang ada, dan keputusan mengenai dimensionalitas ukuran yang ada yang dibuat oleh juri ahli (McCrae & John, 1992).

Struktur lima faktor ini telah ditemukan dalam berbagai budaya (McCrae & Costa, 1997; Pulver, Allik, Pulkkinen, & Hamalainen, 1995; Salgado, 1997; Yoon, Schmidt, & Ilies, 2002) dan tetap stabil seiring waktu (Costa & McCrae, 1988, 1991). Meskipun model kepribadian lima faktor memiliki kritik (misalnya, lihat Block, 1995; Butcher & Rouse, 1996), model ini secara luas diterima saat ini.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Judge et al. (1999) menemukan bahwa tiga dari lima sifat kepribadian Lima Besar yang diukur pada masa kanak-kanak memprediksi tingkat pekerjaan dan pendapatan dewasa.

Untuk Ketelitian, korelasi longitudinal ini masing-masing adalah 0,49 dan 0,41; nilai-nilai ini hanya sedikit lebih kecil dari korelasi yang sesuai dalam studi ini untuk GMA (dibahas dalam bagian Studi Longitudinal di atas) yaitu masing-masing 0,51 dan 0,53. Untuk Keterbukaan terhadap Pengalaman (yang berkorelasi positif dengan GMA), korelasi masing-masing adalah 0,32 dan 0,26. Akhirnya, Neurotisme menghasilkan korelasi longitudinal sebesar –0,26 dan –0,34, masing-masing untuk tingkat pekerjaan dan pendapatan.

Karena sifat unik dari studi Judge et al. (1999), kami melakukan analisis tambahan terhadap data dari studi ini. Karena tingkat pekerjaan dan pendapatan sangat berkorelasi (r = 0,83) dan dimuat pada faktor yang sama, kami menggabungkannya menjadi satu ukuran kesuksesan karier dengan bobot yang sama.

Setelah mengoreksi efek bias dari kesalahan pengukuran, kami menemukan bahwa tiga sifat kepribadian Lima Besar memprediksi indeks kesuksesan karier ini dengan korelasi berganda (shrunken) sebesar 0,56.

Menarik untuk memeriksa bobot regresi terstandar (beta). Untuk Neurotisme, β = –0,05 (SE = 0,096); untuk Keterbukaan, β = 0,16 (SE = 0,10); dan untuk Ketelitian, β = 0,44 (SE = 0,123). Oleh karena itu, dalam persamaan regresi,

Ketelitian sejauh ini merupakan variabel kepribadian yang paling penting, dan Neurotisme tampaknya memiliki dampak yang kecil setelah mengendalikan dua sifat kepribadian lainnya.

Namun, penting juga untuk mengendalikan efek dari GMA. Ketika GMA ditambahkan ke dalam persamaan regresi, korelasi berganda (shrunken) naik menjadi 0,63. Sekali lagi, menarik untuk memeriksa bobot beta: Neurotisme, β = –0,05 (SE = 0,096); Keterbukaan, β = –0,03 (SE = 0,113); Ketelitian, β = 0,27 (SE = 0,128); dan GMA, β = 0,43 (SE = 0,117).

Dari angka-angka ini, tampaknya beban prediksi sebagian besar ditanggung oleh GMA dan Ketelitian, dengan GMA 59% lebih penting daripada Ketelitian (yaitu, 0,43/0,27 = 1,59). Faktanya, ketika hanya GMA dan Ketelitian yang dimasukkan dalam persamaan regresi, korelasi berganda (shrunken) tetap sama, yaitu 0,63. Bobot regresi terstandar kemudian adalah 0,29 untuk Ketelitian (SE = 0,102) dan 0,41 untuk GMA (SE = 0,096). Analisis ini menunjukkan bahwa Ketelitian mungkin satu-satunya sifat kepribadian yang berkontribusi pada kesuksesan karier.

Sejauh yang kami ketahui, tidak ada set data lain yang sebanding dengan data Judge et al. (1999); yaitu, set data yang mengaitkan ukuran kepribadian dan kemampuan dengan kesuksesan karier dan bersifat longitudinal.

Faktanya, bahkan set data cross-sectional yang mengaitkan kepribadian dan GMA dengan kesuksesan karier jarang ada. Ini sangat disayangkan; akan sangat diinginkan untuk membandingkan temuan di berbagai set data longitudinal yang berbeda semacam ini.

Dalam prediksi kinerja pekerjaan, hanya satu dari lima sifat kepribadian Lima Besar—Ketelitian—yang ditemukan dalam studi meta-analitik berfungsi seperti GMA, yaitu secara konsisten memprediksi kinerja pekerjaan di semua keluarga pekerjaan yang dipelajari (Barrick & Mount, 1991; Mount & Barrick, 1995).

Tingkat validitas lebih tinggi ketika Ketelitian dinilai menggunakan penilaian oleh orang lain daripada inventarisasi kepribadian yang dilaporkan sendiri (Mount, Barrick, & Strauss, 1994). Ketelitian juga memprediksi kinerja dalam program pelatihan pekerjaan (Mount & Barrick, 1995; Schmidt & Hunter, 1998). Dalam satu studi primer, Barrick dan Mount (1993) menemukan bahwa validitas

Ketelitian lebih tinggi untuk manajer dalam pekerjaan dengan otonomi tinggi daripada untuk mereka dalam pekerjaan dengan otonomi rendah. Barrick, Mount, dan Strauss (1993) mengusulkan bahwa Ketelitian memengaruhi keadaan motivasi dan merangsang penetapan tujuan serta komitmen tujuan. Mereka menemukan dalam studi primer mereka, yang dirancang untuk menguji model kausal ini, bahwa Ketelitian memiliki efek langsung dan tidak langsung (melalui penetapan dan komitmen tujuan) pada kinerja.

Mereka menyimpulkan bahwa Ketelitian berfungsi sebagai kontribusi motivasional terhadap kinerja pekerjaan. Sifat Ekstraversi dan Kesesuaian bersifat valid secara sporadis: Mereka memprediksi kinerja pada jenis pekerjaan tertentu dalam kondisi tertentu tetapi tidak terkait dengan pekerjaan untuk sebagian besar pekerjaan (Barrick & Mount, 1993; Barrick, Mount, & Judge, 2001; Barrick, Stewart, Neubert, & Mount, 1998). Misalnya, Barrick et al. (1998) menemukan bahwa dalam tim kerja di mana anggota harus bekerja sama secara erat, Kesesuaian, Ekstraversi, dan Kestabilan Emosional, selain Ketelitian, berkaitan dengan penilaian kinerja tim oleh supervisor.

Estimasi meta-analitik terbaik untuk validitas Ketelitian, yang diukur dengan skala yang dapat diandalkan, untuk memprediksi kinerja pekerjaan adalah 0,31 (Mount & Barrick, 1995). Oleh karena itu, validitas GMA adalah 60% hingga 80% lebih besar (tergantung pada estimasi validitas GMA yang digunakan) daripada validitas Ketelitian. Namun, ukuran Ketelitian berkontribusi terhadap validitas di atas dan di luar validitas GMA, karena keduanya tidak berkorelasi (Schmidt & Hunter, 1998).

Seperti yang disebutkan di atas, Hunter dan Hunter (1984) memperkirakan validitas GMA untuk pekerjaan dengan kompleksitas menengah (63% dari semua pekerjaan) adalah 0,51. Korelasi berganda yang dihasilkan oleh penggunaan ukuran GMA dan Ketelitian dalam persamaan regresi untuk pekerjaan semacam itu adalah 0,60, peningkatan validitas sebesar 18% dibandingkan dengan GMA saja (Schmidt & Hunter, 1998). Estimasi meta-analitik terbaik untuk validitas Ketelitian dalam memprediksi kinerja dalam pelatihan pekerjaan adalah 0,30 (Mount & Barrick, 1995). Korelasi berganda yang dihasilkan oleh penggunaan simultan ukuran GMA dan Ketelitian adalah 0,65 (vs. 0,56 untuk GMA saja; Schmidt & Hunter, 1998).

Tes integritas juga dapat dianggap sebagai ukuran kepribadian karena mereka telah ditemukan mengukur Ketelitian terutama, dengan beberapa representasi dari Kesesuaian dan Neurotisme (dihitung mundur; Ones, 1993). Tes integritas telah terbukti memiliki validitas untuk semua pekerjaan yang dipelajari (Ones, Viswesvaran, & Schmidt, 1993) dan memiliki validitas yang sedikit lebih tinggi daripada ukuran Ketelitian (0,41 untuk kinerja pekerjaan dan 0,38 untuk kinerja pelatihan).

Namun, validitas ini masih jauh lebih kecil daripada untuk GMA. Untuk memprediksi kinerja pekerjaan, tes integritas menghasilkan peningkatan validitas sebesar 27% dibandingkan dengan GMA saja (menjadi korelasi berganda sebesar 0,65). Untuk kinerja pelatihan, peningkatannya adalah 20% (menjadi korelasi berganda sebesar 0,67; Schmidt & Hunter, 1998).

Temuan-temuan ini, yang didasarkan pada ratusan studi yang menjadi subjek meta-analisis, menunjukkan bahwa meskipun kepribadian (seperti yang dikonseptualisasikan dalam model Lima Besar) memang penting dalam kinerja pekerjaan dan pelatihan, itu kurang penting daripada GMA. Bertentangan dengan apa yang mungkin menjadi intuisi umum, kemampuan lebih penting daripada kepribadian di tempat kerja (Ree & Carretta, 1998; Schmidt & Hunter, 1998).

Seorang peninjau bertanya apakah kinerja pekerjaan bersifat unidimensional. Kinerja pada pekerjaan apa pun dapat dipecah secara analitik dan rasional menjadi berbagai dimensi komponennya. Campbell dan rekan-rekannya (misalnya, Campbell, McCloy, Oppler, & Sager, 1992) telah mengidentifikasi dimensi kinerja pekerjaan yang bersifat umum di berbagai pekerjaan. Seperti yang mereka akui, kinerja pada dimensi-dimensi ini kemungkinan besar berkorelasi positif.

Namun, bahkan jika ini tidak terjadi, seseorang masih bisa membuat dan menggunakan indeks komposit kinerja pekerjaan yang mewakili kinerja pekerjaan keseluruhan (Schmidt & Kaplan, 1971), seperti yang dilakukan dalam studi validitas yang diulas dalam artikel ini. Selain itu, ada bukti empiris bahwa ada faktor umum dalam kinerja pekerjaan. Viswesvaran, Schmidt, dan Ones (2002) mengembangkan metode statistik untuk menghilangkan dari penilaian kinerja pekerjaan kesalahan halo yang meningkatkan korelasi di antara dimensi kinerja pekerjaan yang dinilai. Mereka menemukan bahwa bahkan setelah bias ini dihilangkan, masih ada faktor umum yang besar dalam kinerja pekerjaan. Fakta bahwa GMA dan Ketelitian mempengaruhi kinerja pada semua dimensi kinerja pekerjaan hampir pasti menjadi bagian dari penjelasan untuk faktor umum ini.

Mengapa GMA Begitu Penting untuk Kinerja Pekerjaan?

Mungkin sulit bagi orang untuk menerima fakta dan temuan yang tidak mereka sukai jika mereka tidak melihat alasan mengapa temuan tersebut seharusnya atau dapat benar. Ketika Alfred Wegener mengajukan teori lempeng tektonik pada awal abad ke-20, ahli geologi tidak dapat memikirkan cara yang memungkinkan lempeng benua atau kontinental bisa bergerak.

Karena tidak mengetahui mekanisme atau penjelasan yang masuk akal untuk pergerakan benua, mereka menganggap teori Wegener tidak masuk akal dan menolaknya. Banyak orang memiliki reaksi yang sama terhadap temuan empiris yang menunjukkan bahwa GMA sangat memprediksi kinerja pekerjaan.

Temuan ini tidak tampak masuk akal bagi mereka karena mereka tidak dapat memikirkan alasan mengapa hubungan yang kuat seperti itu seharusnya ada. Faktanya, intuisi mereka mungkin memberi tahu mereka bahwa kepribadian dan sifat nonkognitif lainnya lebih penting daripada GMA (Hunter & Schmidt, 1996). Namun, seperti dalam kasus teori lempeng tektonik, ada penjelasan. Analisis kausal dari penentu kinerja pekerjaan menunjukkan bahwa efek utama GMA adalah pada akuisisi pengetahuan pekerjaan: Orang yang memiliki GMA lebih tinggi memperoleh lebih banyak pengetahuan pekerjaan dan memperolehnya lebih cepat.

Jumlah pengetahuan terkait pekerjaan yang diperlukan bahkan pada pekerjaan yang kurang kompleks jauh lebih besar daripada yang umumnya disadari. Tingkat pengetahuan pekerjaan yang lebih tinggi mengarah pada tingkat kinerja pekerjaan yang lebih tinggi. Dilihat dari sisi negatifnya, tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan—atau bahkan tidak mengetahui semua yang seharusnya diketahui tentang apa yang seharusnya dilakukan—merugikan kinerja pekerjaan. Selain itu, mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya sangat bergantung pada GMA.

Penelitian yang menunjukkan bahwa hubungan perantara utama antara GMA dan kinerja pekerjaan adalah pengetahuan pekerjaan dijelaskan dalam Borman, Hanson, Oppler, dan Pulakos (1993); Borman, White, Pulakos, dan Oppler (1991); Hunter (1983a); Hunter dan Schmidt (1996); Schmidt (2002); Schmidt dan Hunter (1992); dan Schmidt et al. (1986).

Kami mengilustrasikan penelitian ini menggunakan temuan yang dilaporkan oleh Hunter dan Schmidt (1996) secara terpisah untuk pekerjaan militer dan sipil. Gambar 2 menunjukkan hasil dasar dari analisis jalur. (Perbedaan antara pekerjaan militer dan sipil bersifat kuantitatif daripada kualitatif dan tidak dibahas di sini.) Seperti yang dapat dilihat, dalam kedua set data, efek utama GMA adalah pada akuisisi pengetahuan pekerjaan, dan pengetahuan pekerjaan pada gilirannya merupakan penentu utama dari kinerja pekerjaan (diukur menggunakan tes sampel kerja praktis).

GMA memang memiliki efek langsung pada kinerja pekerjaan yang independen dari pengetahuan pekerjaan dalam kedua set data, tetapi efek ini lebih kecil daripada efek tidak langsungnya melalui pengetahuan pekerjaan (efek langsung sebesar 0,31 untuk pekerjaan sipil dibandingkan dengan efek tidak langsung sebesar 0,80 × 0,56 = 0,45; efek langsung sebesar 0,15 untuk pekerjaan militer dibandingkan dengan efek tidak langsung sebesar 0,63 × 0,61 = 0,38).

Hasil ini juga menunjukkan bahwa penilaian supervisi terhadap kinerja pekerjaan ditentukan dalam kedua set data oleh pengetahuan pekerjaan dan kinerja sampel kerja. Hunter dan Schmidt (1996) serta Schmidt dan Hunter (1992) menyajikan teori yang diperluas yang memprediksi dan menjelaskan temuan-temuan seperti ini.

Untuk tujuan praktis prediksi dalam seleksi personel, tidak masalah mengapa GMA memprediksi kinerja pekerjaan. Namun, pemahaman ilmiah memerlukan penjelasan teoretis. Penjelasan teoretis juga diperlukan untuk mendapatkan penerimaan temuan dari mereka yang mempertanyakan keabsahan peran sentral GMA dalam menentukan kinerja pekerjaan. Lebih mudah menerima temuan empiris ketika ada penjelasan teoretis untuk temuan tersebut.

Ringkasan
Sudah hampir 100 tahun sejak Spearman (1904) mendefinisikan konstruksi GMA dan mengusulkan peran sentralnya dalam kognisi dan pembelajaran manusia. Selama bagian tengah abad ke-20, minat terhadap konstruksi GMA menurun di beberapa bidang psikologi, tetapi dalam 20 hingga 25 tahun terakhir, ada kebangkitan minat pada GMA dan perannya di berbagai bidang kehidupan.

Artikel ini berfokus pada dunia pekerjaan dan telah menyajikan bukti penelitian, sebagian besar yang baru-baru ini, yang menunjukkan bahwa GMA memprediksi baik tingkat pekerjaan yang dicapai oleh individu maupun kinerja mereka dalam pekerjaan yang dipilih. GMA berkorelasi di atas 0,50 dengan tingkat pekerjaan yang dicapai kemudian, kinerja dalam program pelatihan pekerjaan, dan kinerja dalam pekerjaan. Hubungan sebesar ini jarang terjadi dalam penelitian psikologis dan dianggap “besar” (Cohen & Cohen, 1988).

Sifat lainnya, terutama sifat kepribadian, juga mempengaruhi tingkat pekerjaan yang dicapai dan kinerja pekerjaan, tetapi hubungan ini umumnya tidak sekuat hubungan dengan GMA. Bukti diringkas yang menunjukkan bahwa kombinasi berbobot dari bakat khusus (misalnya, bakat verbal, spasial, atau kuantitatif) yang disesuaikan dengan pekerjaan individual tidak memprediksi kinerja pekerjaan lebih baik daripada ukuran GMA saja, sehingga membantah teori bakat khusus.

Diajukan bahwa pengalaman kerja adalah prediktor kinerja pekerjaan yang lebih baik daripada GMA, tetapi temuan penelitian yang disajikan dalam artikel ini mendukung kesimpulan yang berlawanan. Pengalaman kerja (yaitu, jumlah kesempatan untuk mempelajari pekerjaan) memang berkaitan dengan kinerja pekerjaan, tetapi hubungan ini lebih lemah daripada hubungan dengan GMA dan menurun seiring waktu, tidak seperti hubungan GMA–kinerja pekerjaan.

Fakta empiris tentang hubungan penting, tetapi tidak memuaskan secara ilmiah tanpa penjelasan teoretis. Artikel ini menggambarkan teori yang menjelaskan peran sentral GMA dalam program pelatihan pekerjaan dan kinerja pekerjaan serta mengutip bukti penelitian yang mendukung teori ini.

Hampir 100 tahun yang lalu, Spearman (1904) mengusulkan bahwa konstruksi GMA adalah pusat dari urusan manusia. Penelitian yang disajikan dalam artikel ini mendukung usulannya di dunia kerja, sebuah bidang kehidupan yang penting bagi individu, organisasi, dan ekonomi secara keseluruhan.

References

Ackerman, P. L. (1986). Individual differences in information processing: An investigation of intellectual abilities and task performance during practice. Intelligence, 10, 101–139.

Ackerman, P. L. (1987). Individual differences in skill learning: An integration of psychometric and information processing perspectives. Psychological Bulletin, 102, 3–27.

Ackerman, P. L. (1988). Determinants of individual differences during skill acquisition: Cognitive abilities and information processing. Journal of Experimental Psychology: General, 117, 288 –318.

Ackerman, P. L. (1990). A correlational analysis of skill specificity: Learning, abilities, and individual differences. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory, and Cognition, 16, 883–901.

Ackerman, P. L. (1992). Predicting individual differences in complex skill acquisition: Dynamics of ability determinants. Journal of Applied Psychology, 77, 598 – 614.

Ball, R. S. (1938). The predictability of occupational level from intelligence. Journal of Consulting Psychology, 2, 184 –186.

Barrick, M. R., & Mount, M. K. (1991). The Big Five personality dimensions and job performance: A meta analysis. Personnel Psychology, 41, 1–26.

Barrick, M. R., & Mount, M. K. (1993). Autonomy as a moderator of the relationships between the big five personality dimensions and job performance. Journal of Applied Psychology, 78, 111–118.

Barrick, M. R., Mount, M. K., & Judge, T. A. (2001). The FFM personality dimensions and job performance: Meta-analysis of meta-analyses. International Journal of Selection and Assessment, 9, 9 –30.

Barrick, M. R., Mount, M. K., & Strauss, J. P. (1993). Conscientiousness and performance of sales representatives: Test of the mediation effects of goal setting. Journal of Applied Psychology, 78, 715–722.

Barrick, M. R., Stewart, G. L., Neubert, M. J., & Mount, M. K. (1998). Relating member ability and personality to work-team processes and team effectiveness. Journal of Applied Psychology, 83, 377–391.

Block, J. (1995). A contrarian view of the five factor approach to personality. Psychological Bulletin, 117, 226 –229.

Borman, W. C., Hanson, M. A., Oppler, S. H., & Pulakos, E. D. (1993). The role of early supervisor experience in supervisor performance. Journal of Applied Psychology, 78, 443– 449.

Borman, W. C., White, E. D., Pulakos, E. D., & Oppler, S. H. (1991). Models evaluating the effects of ratee ability, knowledge, proficiency, temperament, awards, and problem behavior on supervisor ratings. Journal of Applied Psychology, 76, 863– 872.

Bouchard, Jr., T. J. (1998). Genetic and environmental influences on adult intelligence and special mental abilities. Human Biology, 70, 257–279. Bouchard, Jr., T. J., Lykken, D. T., McGue, M., Segal, N. L., & Tellegen, A. (1990, October 12). Sources of human differences: The Minnesota study of twins reared apart. Science, 250, 223–228.

Brown, W. W., & Reynolds, M. O. (1975). A model of IQ, occupation, and earnings. American Economic Review, 65, 1002–1007.

Butcher, J. N., & Rouse, S. V. (1996). Personality: Individual differences and clinical assessment. Annual Review of Psychology, 47, 87–111.

Callender, J. C., & Osburn, H. G. (1981). Testing the constancy of validity with computer generated sampling distributions of the multiplicative model variance estimate: Results for the petroleum industry validation research. Journal of Applied Psychology, 66, 274 –281.

Campbell, J. P., McCloy, R. A., Oppler, S. H., & Sager, C. E. (1992). A theory of performance. In N. Schmitt & W. Borman (Eds.), New developments in selection and placement (pp. 49 –56). San Francisco: Jossey-Bass.

Carroll, J. B. (1993). Human cognitive abilities. Cambridge, England: Cambridge University Press.

Center for Human Resource Research. (1989). The future of NLS research. Columbus, OH: Center for Human Resource Research, The Ohio State University.

Cohen, J., & Cohen, P. (1988). Applied multiple regression/correlation analysis for the behavioral sciences (2nd ed.). Hillsdale, NJ: Erlbaum. Costa, P. T., Jr., & McCrae. R. R. (1988). Personality in adulthood: A six-year longitudinal study of self-reports and spouse ratings on the NEO Personality Inventory. Journal of Personality and Social Psychology, 54, 853– 863.

Costa, P. T., Jr., & McCrae, R. R. (1991). Four ways five factors are basic. Personality and Individual Differences, 13, 653– 665.

Dawis, R. V. (1994). Occupations. In R. T Sternberg (Ed.), Encyclopedia of human intelligence, Vol. 2 (pp. 781–785). New York: Macmillan. Deary, I. J., Whalley, L. J., Lemmon, H., Crawford, J. R., & Starr, J. M. (2000). The stability of individual differences in mental ability from childhood to old age: Follow-up of the 1932 Scottish mental survey. Intelligence, 28, 49 –55.

Dreher, G. F., & Bretz, R. D. (1991). Cognitive ability and career attainment: The moderating effects of early career success. Journal of Applied Psychology, 76, 392–397.

Goldberg, L. R. (1990). An alternative “description of personality”: The Big Five factor structure. Journal of Personality and Social Psychology, 59, 1216 –1229.

Gottfredson, L. S. (1997). Why g matters: The complexity of everyday life. Intelligence, 24, 79 –132.

Gottfredson, L. S., & Crouse, J. (1986). Validity versus utility of mental tests. Examples of the SAT. Journal of Vocational Behavior, 29, 363– 378.

Hamer, D., & Copeland, P. (1998). Living with our genes: Why they matter more than you think. New York: Doubleday.

Harrell, T. W., & Harrell, M. S. (1945). Army general classification test scores for civilian occupations. Educational and Psychological Measurement, 5, 229 –239.

Herrnstein, R. J., & Murray, C. (1994). The bell curve. New York: The Free Press.

Hirsh, H. R., Northrup, L., & Schmidt, F. L. (1986). Validity generalization results for law enforcement occupations. Personnel Psychology, 39, 399 – 420.

Holland, J. L. (1985). Making vocational choices: A theory of vocational personalities and work environments. Odessa, FL: Psychological Assessment Resources.

Holland, J. L. (1996). Exploring careers with a typology. American Psychologist, 51, 397– 406.

Howard, A., & Bray, D. W. (1990). Predictions of managerial success over time: Lessons from the Management Progress Study. In K. E. Clark & M. B. Clark (Eds.), Measures of leadership (pp. 113–130). West Orange, NJ: Leadership Library of America.

Hunter, J. E. (1980). Test validation for 12,000 jobs: An application of synthetic validity and validity generalization to the General Aptitude Test Battery (GATB). Washington, DC: U.S. Department of Labor.

Hunter, J. E. (1983a). A causal analysis of cognitive ability, job knowledge, job performance, and supervisor ratings. In F. Landy, S. Zedeck, & J. Cleveland (Eds.), Performance measurement and theory (pp. 257– 266). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Hunter, J. E. (1983b). The prediction of job performance in the military using ability composites: The dominance of general cognitive ability over specific aptitudes. Report for Research Applications in partial fulfillment of Department of Defense Contract F41689-83-C-0025.

Hunter, J. E. (1986). Cognitive ability, cognitive aptitudes, job knowledge, and job performance. Journal of Vocational Behavior, 29, 340 –362.

Hunter, J. E. (1989). The Wonderlic Personnel Test as a predictor of training success and job performance. Libertyville, IL: Wonderlic.

Hunter, J. E., & Hunter, R. F. (1984). Validity and utility of alternate predictors of job performance. Psychological Bulletin, 96, 72–98.

Hunter, J. E., & Schmidt, F. L. (1990). Methods of meta-analysis: Correcting error and bias in research findings. Newbury Park, CA: Sage. Hunter, J. E., & Schmidt, F. L. (1996). Intelligence and job performance: Economic and social implications. Psychology, Public Policy, and Law, 2, 447– 472.

Jencks, C. (1972). Inequality: A reassessment of the effect of family and schooling in America. New York: Harper & Row.

Jensen, A. R. (1980). Bias in mental testing. New York: Free Press. Jensen, A. R. (1986). g: Artifact or reality? Journal of Vocational Behavior, 29, 301–331.

Jensen, A. R. (1998). The g factor: The science of mental ability. Westport, CT: Praeger.

Judge, T. A., Higgins, C. A., Thoresen, C. J., & Barrick, M. R. (1999). The Big Five personality traits, general mental ability, and career success across the life span. Personnel Psychology, 52, 621– 652.

Lubinski, D. (2000). Scientific and social significance of assessing individual differences: “Sinking shafts at a few critical points.” Annual Review of Psychology, 51, 405– 444.

Lubinski, D., & Humphreys, L. G. (1997). Incorporating general intelligence into epidemiology and the social sciences. Intelligence, 24, 159 – 201.

McCrae, R. R., & Costa, Jr., P. T. (1997). Personality trait structure as a human universal. American Psychologist, 52, 509 –516.

McCrae, R. R., & John, O. P. (1992). An introduction to the five-factor model and its applications. Journal of Personality, 60, 175–215.

McDaniel, M. A. (1985). The evaluation of a causal model of job performance: The interrelationships of general mental ability, job experience, and job performance. Unpublished doctoral dissertation, George Washington University.

McDaniel, M. A., Schmidt, F. L., & Hunter, J. E. (1988). Job experience correlates of job performance. Journal of Applied Psychology, 73, 327– 330.

McGue, M., & Bouchard, Jr., T. J. (1998). Genetic and environmental influences on human behavioral differences. Annual Review of Neuroscience, 21, 1–14.

McHenry, J. J., Hough, L. M., Toquam, J. L., Hanson, M. A., & Ashworth, S. (1990). Project A validity results: The relationship between predictor and criterion domains. Personnel Psychology, 43, 335–354.

Mount, M. K., & Barrick, M. R. (1995). The big five personality dimensions: Implications for research and practice in human resources management. In G. Ferris (Ed.), Research in personnel and human resources management (Vol. 13, pp. 153–200). Greenwich, CT: JAI Press.

Mount, M. K., Barrick, M. R., & Strauss, J. P. (1994). Validity of observer ratings of The Big Five personality dimensions. Journal of Applied Psychology, 79, 272–280.

Murphy, K. R. (1989). Is the relationship between cognitive ability and job performance stable over time? Human Performance, 2, 183–200.

Murray, C. (1998). Income and inequality. Washington, DC: AEI Press. Olea, M. M., & Ree, M. J. (1994). Predicting pilot and navigator criteria: Not much more than g. Journal of Applied Psychology, 79, 845– 851.

Ones, D. S. (1993). The construct validity of integrity tests. Unpublished doctoral dissertation, University of Iowa.

Ones, D. S., Viswesvaran, C., & Schmidt, F. L. (1993). Comprehensive meta-analysis of integrity test validities: Findings and implications for personnel selection and theories of job performance. Journal of Applied Psychology, 78, 679 –703.

Pearlman, K., Schmidt, F. L., & Hunter, J. E. (1980). Validity generalization results for tests used to predict job proficiency and training criteria in clerical occupations. Journal of Applied Psychology, 65, 373– 407.

Pulver, A., Allik, J., Pulkkinen, L., & Hamalainen, M. (1995). A Big Five personality inventory in two non-Indo-European languages. European Journal of Personality, 9, 109 –124.

Ree, M. J., & Carretta, T. R. (1998). General cognitive ability and occupational performance. In C. Cooper & I. Robertson (Eds.), International review of industrial organizational psychology, 1998 (pp. 159 –184). New York: Wiley.

Ree, M. J., & Earles, J. A. (1991). Predicting training success: Not much more than g. Personnel Psychology, 44, 321–332.

Ree, M. J., & Earles, J. A. (1992). Intelligence is the best predictor of job performance. Current Directions in Psychological Science, 1, 86 – 89.

Ree, M. J., Earles, J. A., & Teachout, M. (1994). Predicting job performance: Not much for than g. Journal of Applied Psychology, 79, 518 –524.

Sackett, P. R., & Wilk, S. L. (1994). Within-group norming and other forms of score adjustment in pre-employment testing. American Psychologist, 49, 929 –954.

Salgado, J. F. (1997). The five factor model of personality and job performance in the European Community (EC). Journal of Applied Psychology, 82, 30 – 43.

Savickas, M. L., & Spokane, A. R. (1999). Vocational interests: Their meaning, measurement, and use in counseling. Palo Alto, CA: Davies-Black.

Schmidt, F. L. (1992). What do data really mean? Research findings, meta-analysis, and cumulative knowledge in psychology. American Psychologist, 47, 1173–1181.

Schmidt, F. L. (2002). The role of general cognitive ability and job performance: Why there can be no debate. Human Performance, 15, 187–210.

Schmidt, F. L., Gast-Rosenberg, I. F., & Hunter, J. E. (1980). Validity generalization results for computer programmers. Journal of Applied Psychology, 65, 643– 661.

Schmidt, F. L., & Hunter, J. E. (1992). Causal modeling of processes determining job performance. Current Directions in Psychological Science, 1, 89 –92.

Schmidt, F. L., & Hunter, J. E. (1998). The validity and utility of selection methods in personnel psychology: Practical and theoretical implications of 85 years of research findings. Psychological Bulletin, 124, 262–274.

Schmidt, F. L., Hunter, J. E., & Outerbridge, A. N. (1986). The impact of job experience and ability on job knowledge, work sample performance and supervisory ratings of job performance. Journal of Applied Psychology, 71, 432– 439.

Schmidt, F. L., Hunter, J. E., Outerbridge, A. N., & Goff, S. (1988). The joint relation of experience and ability with job performance: A test of three hypotheses. Journal of Applied Psychology, 73, 46 –57.

Schmidt, F. L., Hunter, J. E., Pearlman, K., & Shane, G. S. (1979). Further tests of the Schmidt–Hunter Bayesian validity generalization model. Personnel Psychology, 32, 257–281.

Schmidt, F. L., Hunter, J. E., & Pearlman, K. (1981). Task differences and validity of aptitude tests in selection: A red herring. Journal of Applied Psychology, 66, 166 –185.

Schmidt, F. L., & Kaplan, L. B. (1971). Composite vs. multiple criteria: A review and resolution of the controversy. Personnel Psychology, 24, 419 – 434.

Schmidt, F. L., Law, K., Hunter, J. E., Rothstein, H. R., Pearlman, K., & McDaniel, M. (1993). Refinements in validity generalization methods: Implications for the situational specificity hypothesis. Journal of Applied Psychology, 78, 3–13.

Schmidt, F. L., Ones, D. S., & Hunter, J. E. (1992). Personnel selection. Annual Review of Psychology, 43, 627– 670.

Siegel, J. P., & Ghiselli, E. E. (1971). Managerial talent, pay, and age. Journal of Vocational Behavior, 1, 129 –135.

Spearman, C. (1904). “General intelligence,” objectively determined and measured. American Journal of Psychology, 15, 201–293.

Stewart, N. (1947). AGCT scores of Army personnel grouped by occupation. Occupations, 26, 5– 41.

Thorndike, R. L. (1986). The role of general ability in prediction. Journal of Vocational Behavior, 29, 332–339.

Thorndike, R. L., & Hagen, E. (1959). Ten thousand careers. New York: Wiley.

Viswesvaran, C., Schmidt, F. L., & Ones, D. S. (2002). Is there a general factor in job performance ratings independent of halo error? Manuscript submitted for publication. Florida International University.

Wilk, S. L., Desmarais, L. B., & Sackett, P. R. (1995). Gravitation to jobs commensurate with ability: Longitudinal and cross-sectional tests. Journal of Applied Psychology, 80, 79 – 85.

Wilk, S. L., & Sackett, P. R. (1996). Longitudinal analysis of ability-job complexity fit and job change. Personnel Psychology, 49, 937–967.

Wonderlic, E. F. (1992). Wonderlic Personnel Test user’s manual. Libertyville, IL: Wonderlic.

Yerkes, R. M. (Ed.). (1921). Psychological examining in the U.S. Army: Memoirs of the National Academy of Sciences (Vol. 15). Washington, DC: U.S. Government Printing Office.

Yoon, K., Schmidt, F. L., & Ilies, R. (2002). Cross-cultural construct validity of the five-factor model of personality among Korean employees. Journal of Cross-Cultural Psychology, 33, 217–235.



Kembali ke daftar isi

Dua Atribut Ini dapat Menjelaskan 35% Kinerja Manusia di Tempat Kerja

dari Jaime Potter

Berikut ini adalah terjemahan dari sebuah artikel yang berjudul These Two Attributes Can Explain More Than 35% Of Your Work Performance karya Jaime Potter.

 

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Dua Atribut Ini Dapat Menjelaskan Lebih dari 35% Kinerja Kerja Anda

Jaime Potter

Pekerjaan menempati bagian yang tidak proporsional dari kehidupan kita. Dan tentu saja, kita ingin menjadi baik dalam hal-hal yang kita habiskan banyak waktu untuk melakukannya, sehingga kinerja kerja menjadi perhatian utama bagi banyak orang.

Namun, dengan sistem manajemen kinerja yang terus berubah yang ditambah dengan penilaian pra-perekrutan baru yang tampaknya diperkenalkan setiap hari, bisa dimaklumi jika memahami kinerja kerja seseorang terasa sia-sia.

Tentu saja, dengan tugas yang sulit seperti memahami dan mengukur kinerja kerja, sepertinya tidak mungkin lebih dari 35% kinerja kerja di berbagai peran yang memerlukan keterampilan dapat dijelaskan oleh hanya dua faktor yang sebenarnya dapat diukur hanya dalam 13 menit.

Ini mungkin terdengar tidak masuk akal jika bukan karena fakta bahwa Frank Schmidt dan John Hunter, dua peneliti terkenal di bidang Psikologi Industri-Organisasi, bekerja sama untuk mencari tahu apa yang menjadi kesepakatan dari hampir satu abad penelitian tentang penilaian pra-perekrutan.

Sebagai latar belakang, metode penilaian pra-perekrutan dapat mencakup berbagai teknik yang sudah dikenal seperti pemeriksaan referensi hingga teknik yang lebih tidak biasa seperti grafologi (lebih lanjut tentang ini nanti).

Tujuan dari penilaian ini umumnya adalah untuk memprediksi kinerja kerja di masa depan—yaitu, untuk melihat apakah seorang calon karyawan akan berkinerja baik jika dia akhirnya direkrut. Sementara manajer perekrutan mungkin tidak hanya ingin memprediksi kinerja kerja, tentu saja masuk akal bahwa ini akan menjadi salah satu dimensi utama yang mereka perhatikan sebelum membuat keputusan perekrutan, karena kinerja kerja yang baik dapat berdampak pada metrik penting lainnya seperti lebih banyak promosi, peningkatan kepuasan kerja, dan masa kerja yang lebih lama.

Jadi, apa atribut pertama yang menjelaskan kinerja kerja dengan cara yang cepat dan biaya rendah di berbagai pekerjaan yang memerlukan keterampilan?

Jawabannya mungkin mengejutkan bagi sebagian orang: kemampuan mental umum (general mental ability atau GMA) yang biasa disebut sebagai IQ.

Schmidt dan Hunter dalam makalah terpisah lebih lanjut menjelaskan bahwa alasan mengapa kecerdasan mengarah pada kinerja kerja yang lebih baik adalah karena orang yang lebih cerdas, menurut definisi, memperoleh pengetahuan kerja lebih cepat.

Berdasarkan studi sebelumnya terhadap lebih dari 32.000 karyawan, penulis menyimpulkan bahwa kecerdasan dapat menjelaskan sekitar 26% perbedaan kinerja kerja antara orang-orang dalam pekerjaan dengan “kompleksitas menengah”. Mungkin tidak mengherankan, semakin kompleks pekerjaan (misalnya ilmuwan roket), semakin besar peran kecerdasan dalam kinerja kerja.

Selain kecerdasan, atribut kedua yang di atas IQ membantu memprediksi kinerja kerja dengan efektif dan efisien adalah ketelitian (conscientiousness). Ketelitian secara sederhana adalah kerja keras, meskipun dapat dipecah menjadi dimensi tambahan (misalnya dapat diandalkan, keteraturan).

Dengan menambahkan ukuran ketelitian di atas IQ, kita dapat menjelaskan sekitar 36% dari kinerja kerja calon karyawan baru di pekerjaan dengan kompleksitas menengah!

Tetapi tentunya untuk mendapatkan pengukuran IQ dan ketelitian ini, seseorang perlu duduk di ruangan tanpa jendela hanya dengan pensil #2 selama 3 jam… bukan?! Salah.

Meskipun tes IQ “sebenarnya” yang dilakukan oleh psikolog terlatih dapat dengan mudah memakan waktu lebih dari satu jam, ada opsi yang lebih cepat yang tidak banyak mengalami penurunan dalam hal akurasi (atau keandalan dan validitas secara statistik).

Untuk mengukur IQ, kita hanya perlu 12 menit berkat tes menarik yang disebut Wonderlic, sebuah tes pilihan ganda 50 pertanyaan yang waktunya terbatas, yang sebenarnya telah terbukti oleh beberapa peneliti berkorelasi tinggi dengan skor pada tes IQ resmi.

Bagian terbaik dari Wonderlic bukan hanya bahwa Anda dapat menyelesaikannya sebelum episode favorit Anda dari The Office selesai, tetapi juga bahwa Anda dapat membandingkan skor Anda dengan beberapa pemain NFL favorit Anda.

Untuk mengukur ketelitian dengan andal, kita tentu saja dapat menggunakan tes kepribadian normatif seperti Hogan Personality Inventory yang telah diuji dan digunakan di ribuan organisasi dan penelitian selama lebih dari 30 tahun terakhir.

Tetapi kita juga bisa menggunakan hanya empat pertanyaan yang memerlukan waktu kurang dari satu menit secara total, berkat kerja cerdik sekelompok peneliti di Michigan State yang ingin membantu legiun mahasiswa yang mencari beberapa dolar tambahan di laboratorium dengan menghemat beberapa menit waktu mereka. (Banyak kuesioner kepribadian dasar mengalami apa yang disebut social desirability bias yang berarti responden dapat memanipulasi tes dengan memberikan jawaban yang “benar”, tetapi ini sering diatasi dalam penelitian dengan skala pendek.)

Kembali ke titik yang menimbulkan rasa ingin tahu yang diungkapkan di awal artikel ini: Apakah grafologi (yaitu analisis tulisan tangan) memprediksi kinerja kerja dengan cara yang bermakna? Ternyata, analisis tulisan tangan seseorang telah terbukti dalam beberapa studi berkorelasi sekitar 0,20 dengan kinerja kerja di masa depan (dibandingkan dengan sekitar 0,5 untuk teknik yang sangat valid seperti contoh kerja).

Namun, di sinilah masalahnya; grafologi hanya terbukti memiliki kekuatan prediktif jika orang tersebut menulis tentang topik yang mereka pilih dan mereka ketahui. Apa yang ini tunjukkan lebih dari bagaimana seseorang menulis sebagai prediktor adalah apa yang seseorang tulis dapat membantu untuk memahami orang tersebut.

Dengan kata lain, saya bisa mengetahui sangat sedikit tentang kepribadian dan kinerja kerja Anda berdasarkan kebersihan atau kekacauan tulisan tangan Anda. Tetapi jika saya melihat bahwa Anda mengetahui dan bersemangat tentang biologi, saya mungkin bisa menyimpulkan bahwa Anda cerdas dan bisa bekerja dengan baik di berbagai pekerjaan.

Meskipun tentu saja mengesankan bahwa konsep yang sebingung dan setidakpastian seperti kinerja kerja dapat diprediksi dalam waktu singkat, penting untuk diingat bahwa meskipun memprediksi 36% dari kinerja kerja itu baik, 64% sisanya juga sangat penting—dan 64% itu mungkin adalah bagian yang membuat kita menjadi manusia dan tidak bisa ditangkap secara bermakna oleh tes berbasis kertas yang sederhana.

 

Kembali ke daftar isi

Kecerdasan Emosional Terlalu Dilebih Lebihkan

dari Adam Grant

Berikut ini adalah terjemahan dari sebuah artikel yang berjudul Emotional Intelligence Is Overrated karya Adam Grant.

 

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Kecerdasan Emosional Terlalu Dilebih-lebihkan
Diterbitkan pada 30 September 2014

Adam Grant, Psikolog Organisasi di Wharton, penulis buku terlaris, dan pembawa acara podcast TED WorkLife

Belum lama ini, CEO sebuah perusahaan penjualan menyebutkan bahwa ia menghabiskan jutaan dolar untuk melatih karyawannya dalam kecerdasan emosional.

Ia bertanya apakah mungkin menilai kecerdasan emosional selama proses wawancara, yang akan memungkinkan dia untuk merekrut tenaga penjual yang sudah unggul dalam area ini.

Saya berkata ya, itu bisa dilakukan—tetapi saya tidak akan merekomendasikan melakukannya.

Peringatan: jika Anda adalah anggota setia kultus kecerdasan emosional, Anda mungkin akan bereaksi negatif terhadap data dalam pos ini. Jika itu terjadi, saya telah menawarkan beberapa panduan di bagian bawah tentang cara merespons.

Untuk memastikan kita berada di halaman yang sama, mari kita jelaskan apa itu kecerdasan emosional. Para ahli sepakat bahwa kecerdasan emosional memiliki tiga elemen utama: mengenali, memahami, dan mengatur emosi. Mengenali emosi adalah kemampuan Anda untuk mengenali perasaan yang berbeda.

Saat melihat wajah seseorang, apakah Anda tahu perbedaan antara kebahagiaan dan kepuasan, kecemasan dan kesedihan, atau kejutan dan penghinaan?

Memahami emosi adalah seberapa baik Anda mengidentifikasi penyebab dan konsekuensi dari perasaan yang berbeda. Misalnya, bisakah Anda mengetahui apa yang akan membuat rekan kerja Anda frustrasi dibandingkan marah?

Frustrasi terjadi ketika orang terhalang dari mencapai tujuan; marah adalah respons terhadap perlakuan tidak adil atau kesalahan. Mengatur emosi adalah seberapa efektif Anda dalam mengelola apa yang Anda dan orang lain rasakan. Jika Anda mengalami hari yang buruk tetapi perlu memberikan pidato yang menginspirasi, bisakah Anda menyemangati diri sendiri dan memotivasi audiens Anda?

Saya memberi tahu CEO bahwa meskipun keterampilan ini dapat berguna dalam penjualan, ia lebih baik menilai kemampuan kognitif. Itu adalah kecerdasan tradisional: kemampuan untuk menalar dan memecahkan masalah verbal, logis, dan matematis.

Tenaga penjual dengan kemampuan kognitif tinggi akan dapat menganalisis informasi tentang kebutuhan pelanggan dan berpikir cepat untuk membuat pelanggan tetap datang kembali. CEO itu yakin bahwa kecerdasan emosional akan lebih penting.

Untuk melihat siapa yang benar, kami merancang sebuah studi. Bekerja dengan Dane Barnes dari Optimize Hire, kami memberi ratusan tenaga penjual dua tes kecerdasan emosional yang divalidasi yang mengukur kemampuan mereka untuk mengenali, memahami, dan mengatur emosi.

Kami juga memberi mereka tes kemampuan kognitif lima menit, di mana mereka harus memecahkan beberapa masalah logika. Kemudian, kami melacak pendapatan penjualan mereka selama beberapa bulan.

Kemampuan kognitif lebih dari lima kali lebih kuat daripada kecerdasan emosional. Rata-rata karyawan dengan kemampuan kognitif tinggi menghasilkan pendapatan tahunan lebih dari $195.000, dibandingkan dengan $159.000 bagi mereka yang kemampuan kognitifnya sedang dan $109.000 bagi mereka yang kemampuan kognitifnya rendah. Kecerdasan emosional tidak menambah apa pun setelah mengukur kemampuan kognitif.

CEO itu tidak yakin: mungkin mereka tidak mengambil tes kecerdasan emosional dengan cukup serius.

Kami menjalankan studi itu lagi—kali ini dengan ratusan pelamar pekerjaan, yang tahu bahwa hasil mereka bisa mempengaruhi apakah mereka dipekerjakan. Sekali lagi, kemampuan kognitif secara dramatis mengungguli kecerdasan emosional.

Kebetulan saya merasa kecerdasan emosional itu menarik; saya mengajarkan topik ini di kelas dan telah menerbitkan penelitian saya sendiri tentangnya.

Namun, meskipun saya menyukainya, saya percaya itu adalah kesalahan untuk mendasarkan keputusan perekrutan atau promosi padanya.

Beberapa tahun yang lalu, para peneliti Dana Joseph dan Dan Newman ingin mengetahui seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja kerja.

Mereka mengumpulkan setiap studi sistematis yang pernah menguji kecerdasan emosional dan kemampuan kognitif di tempat kerja—puluhan studi dengan ribuan karyawan dalam 191 pekerjaan yang berbeda.

Ketika Daniel Goleman mempopulerkan kecerdasan emosional pada tahun 1995, ia berargumen dengan provokatif bahwa “itu bisa lebih penting daripada IQ.” Tetapi seperti yang saya temukan dengan tenaga penjual, setiap studi yang membandingkan keduanya menunjukkan sebaliknya.

Dalam analisis komprehensif Joseph dan Newman, kemampuan kognitif menyumbang lebih dari 14% kinerja kerja. Kecerdasan emosional menyumbang kurang dari 1%.

Ini tidak berarti bahwa kecerdasan emosional tidak berguna. Itu relevan untuk kinerja dalam pekerjaan di mana Anda harus berurusan dengan emosi setiap hari, seperti penjualan, real estat, dan konseling. Jika Anda menjual rumah atau membantu orang mengatasi tragedi, sangat berguna untuk mengetahui apa yang mereka rasakan dan merespons dengan tepat.

Tetapi dalam pekerjaan yang tidak memiliki tuntutan emosional ini—seperti teknik, akuntansi, atau sains—kecerdasan emosional memprediksi kinerja yang lebih rendah. Jika pekerjaan Anda terutama tentang menangani data, benda, dan ide daripada orang dan perasaan, tidaklah menguntungkan untuk terampil dalam membaca dan mengatur emosi.

Jika pekerjaan Anda adalah memperbaiki mobil atau menyeimbangkan angka dalam spreadsheet, memperhatikan emosi mungkin mengalihkan perhatian Anda dari bekerja secara efisien dan efektif.

Bahkan dalam pekerjaan yang menuntut secara emosional, ketika berkaitan dengan kinerja kerja, kemampuan kognitif masih terbukti lebih penting daripada kecerdasan emosional. Kemampuan kognitif adalah kapasitas untuk belajar. Semakin tinggi kemampuan kognitif Anda, semakin mudah bagi Anda untuk mengembangkan kecerdasan emosional ketika Anda membutuhkannya. (Ini adalah salah satu alasan mengapa kecerdasan emosional dan kemampuan kognitif ternyata berkorelasi positif, bukan negatif.)

Seiring dengan desain tes kecerdasan emosional yang lebih baik, pengetahuan kita mungkin akan berubah. Tetapi untuk saat ini, bukti terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa kecerdasan emosional bukanlah obat mujarab.

Mari kita mengakuinya apa adanya: serangkaian keterampilan yang dapat bermanfaat dalam situasi di mana informasi emosional sangat penting atau vital.

Jika Anda merasakan emosi negatif yang intens saat membaca pos ini, ini adalah kesempatan yang baik untuk menerapkan kecerdasan emosional.

Langkah 1: kenali emosi tersebut. Apakah itu jijik? Mungkin tidak—itu biasanya diperuntukkan bagi makanan, pemandangan, dan bau yang menjijikkan. Apakah itu permusuhan? Lebih mungkin: permusuhan adalah kemarahan yang diarahkan pada orang lain.

Langkah 2: analisis penyebab emosi tersebut. Mengapa Anda merasa bermusuhan? Bertahun-tahun yang lalu, psikolog George Kelly berpendapat bahwa permusuhan terjadi ketika kita berusaha “memaksa konfirmasi hipotesis pribadi yang sudah terbukti tidak valid.” Dengan kata lain, Anda mungkin merasa bermusuhan karena data menunjukkan bahwa kecerdasan emosional telah dilebih-lebihkan, tetapi Anda tidak ingin mengakuinya.

Langkah 3: atur emosi tersebut. Mungkin ini tidak seburuk yang tampak. Anda pernah mengubah keyakinan yang tidak valid sebelumnya. Napoleon tidak pendek. Pluto secara teknis bukan planet. Berenang setelah makan tidak berbahaya. Miley Cyrus sebenarnya bukan panutan yang baik. Para penulis (drama TV) LOST tidak benar-benar memiliki rencana induk.

 

Kembali ke daftar isi

Menelusuri Proses Wawancara Rekrumen di Google, Tesla dan PayPal

Chandra Natadipurba

Beberapa perusahaan teknologi terkemuka seperti PayPal, Tesla, dan Google telah mengembangkan metode wawancara yang unik dan inovatif untuk memastikan bahwa mereka merekrut individu-individu terbaik yang dapat membawa perusahaan mereka menuju puncak kesuksesan.

Dalam esai ini, kita akan membahas pendekatan yang digunakan oleh masing-masing perusahaan dalam wawancara rekrutmen mereka, serta menganalisis bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat membantu mengidentifikasi kandidat yang paling cocok.

Selain itu, kita juga akan memberikan rekomendasi yang tajam bagi pembaca yang tertarik untuk mengaplikasikan metode ini dalam proses rekrutmen di perusahaan mereka.

PayPal, yang didirikan oleh tokoh teknologi terkenal Peter Thiel, memiliki pendekatan wawancara yang fokus pada kemampuan kandidat untuk berpikir secara kontrarian, atau berbeda dari kebanyakan orang.

Pertanyaan utama yang sering diajukan adalah: “Apa kebenaran penting yang hanya sedikit orang yang setuju dengan Anda?”

Pertanyaan ini, yang dikenal sebagai “Thiel Question,” dirancang untuk mengungkap pandangan yang tidak lazim dan mengidentifikasi kandidat yang dapat melihat peluang di mana orang lain melihat hambatan.

Tujuan dari Thiel Question: Thiel Question bertujuan untuk menggali pemikiran orisinal dan keberanian kandidat dalam mengungkapkan pandangan yang mungkin tidak populer.

Seorang karyawan yang mampu berpikir berbeda dapat mengidentifikasi peluang yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang, dan ini sangat berharga di lingkungan startup yang bergerak cepat.

Di sisi lain, di perusahaan yang lebih besar dan lebih mapan, kandidat yang lebih konservatif mungkin lebih sesuai untuk melindungi perusahaan dari risiko yang tidak perlu.

Analisis Jawaban: Jawaban yang baik terhadap Thiel Question menunjukkan bahwa kandidat berpikir secara unik, memiliki pikiran terbuka, dan cukup berani untuk membahas pandangan yang tidak populer. Sebaliknya, jawaban yang buruk mungkin mengindikasikan bahwa kandidat tidak menyadari bahwa pandangan mereka sudah umum, atau mereka tidak memiliki pemikiran orisinal yang kuat. Lebih parah lagi, mereka mungkin takut untuk menjual ide-ide orisinal mereka kepada orang lain.

Rekomendasi: Bagi perusahaan yang ingin menerapkan metode ini, penting untuk memastikan bahwa lingkungan perusahaan mendukung kebebasan berpikir dan inovasi.

Pertanyaan seperti Thiel Question sangat efektif untuk startup atau perusahaan yang bergerak cepat, di mana pemikiran kontrarian dapat menjadi kunci kesuksesan.

Tesla dan SpaceX, dua perusahaan besar yang dipimpin oleh Elon Musk, terkenal dengan proses wawancara yang menantang dan berfokus pada kemampuan kandidat dalam memecahkan masalah yang kompleks.

Beberapa pertanyaan yang sering diajukan oleh Elon Musk adalah: “Ceritakan tentang salah satu masalah paling sulit yang pernah Anda kerjakan dan bagaimana Anda menyelesaikannya,”

dan

“Anda berdiri di permukaan bumi. Anda berjalan satu mil ke selatan, satu mil ke barat, dan satu mil ke utara. Anda berakhir tepat di tempat Anda mulai. Di mana Anda berada?”

Fokus pada Pemecahan Masalah: Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Musk dirancang untuk menguji kemampuan kandidat dalam menghadapi tantangan nyata yang mungkin tidak memiliki jawaban langsung atau jelas.

Ini bukan hanya tentang menemukan solusi yang benar, tetapi juga tentang bagaimana kandidat mendekati masalah, berpikir secara kritis, dan menavigasi ketidakpastian.

Pemikiran Kreatif dan Inovasi: Pertanyaan hipotetis seperti yang diajukan oleh Musk bertujuan untuk menilai sejauh mana kandidat dapat berpikir kreatif dan keluar dari kerangka berpikir konvensional.

Dalam industri yang bergerak cepat seperti otomotif dan eksplorasi ruang angkasa, kemampuan untuk berinovasi dan menemukan solusi yang belum pernah dicoba sebelumnya sangatlah penting.

Rekomendasi: Perusahaan yang ingin merekrut individu yang inovatif dan memiliki keterampilan pemecahan masalah yang luar biasa dapat mengadopsi pendekatan wawancara ini.

Namun, penting untuk diingat bahwa pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan wawasan yang mendalam dari pewawancara untuk menilai jawaban dengan tepat.

Google mengevaluasi kandidat mereka berdasarkan empat atribut utama: Pengetahuan Terkait Peran (Role-Related Knowledge – RRK), Kemampuan Kognitif Umum (General Cognitive Ability – GCA), Kepemimpinan (Leadership), dan Googleyness (kecocokan budaya).

Berikut adalah gambaran dari masing-masing atribut ini:

  • Pengetahuan dan Pengalaman Terkait Peran (Role-Related Knowledge – RRK): Perusahaan ingin memastikan bahwa kandidat memiliki pengalaman yang tepat, keahlian dalam bidang yang relevan, dan kompetensi yang sesuai untuk posisi yang mereka lamar.
  • Kemampuan Kognitif Umum (General Cognitive Ability – GCA): Perusahaan ingin merekrut karyawan yang cerdas yang dapat belajar dan beradaptasi dengan situasi baru. Pewawancara akan mencoba memahami bagaimana kandidat menyelesaikan masalah sulit dan bagaimana mereka belajar.
  • Kepemimpinan (Leadership): Google mencari jenis kepemimpinan khusus yang disebut “kepemimpinan yang muncul” (emergent leadership). Kandidat biasanya akan bekerja dalam tim lintas fungsi di Google, dan diharapkan anggota tim yang berbeda akan muncul dan memimpin pada berbagai waktu dalam siklus hidup proyek ketika keterampilan mereka dibutuhkan.
  • Googleyness (kecocokan budaya): Perusahaan ingin memastikan bahwa Google adalah lingkungan yang tepat bagi karyawan. Pewawancara akan memeriksa apakah kandidat secara alami menunjukkan nilai-nilai perusahaan, termasuk: merasa nyaman dengan ketidakpastian, memiliki kecenderungan untuk bertindak cepat, dan sifat kolaboratif.

Pengetahuan dan pengalaman terkait peran (RRK) terdiri dari tiga jenis pertanyaan umum yang muncul di berbagai peran:

  • Pertanyaan perilaku (semua peran), biasanya dimulai dengan “ceritakan tentang suatu waktu…”, yang menguji keselarasan Anda dengan peran berdasarkan contoh-contoh dari pengalaman masa lalu Anda.
  • Pertanyaan hipotetis (semua peran), yang mengeksplorasi bagaimana Anda akan bereaksi terhadap skenario hipotetis yang kemungkinan akan muncul dalam pekerjaan.
  • Pertanyaan teknis (peran teknis), yang berfokus pada kemampuan Anda untuk memahami konsep teknis dan menyelesaikan masalah teknis.

Contoh pertanyaan wawancara Kemampuan Kognitif Umum (GCA) di Google:

Perilaku:

  • Ceritakan tentang suatu waktu ketika Anda memimpin sebuah tim.
  • Ceritakan tentang suatu waktu ketika Anda berkomunikasi dengan efektif.
  • Ceritakan tentang suatu waktu ketika Anda gagal.
  • Ceritakan tentang suatu waktu ketika Anda harus berubah.
  • Ceritakan tentang pencapaian terbesar Anda dalam bekerja.
  • Ceritakan tentang suatu waktu ketika Anda menciptakan sesuatu dari nol.
  • Ceritakan tentang produk Google favorit Anda.
  • Ceritakan tentang tantangan atau konflik yang Anda hadapi di pekerjaan Anda sebelumnya atau saat ini.
  • Ceritakan tentang suatu waktu ketika Anda harus menemukan solusi kreatif untuk menyelesaikan masalah.

Google mengajukan pertanyaan perilaku untuk mendapatkan gambaran tentang pengalaman masa lalu kandidat dan bagaimana kandidat akan menjadi sebagai karyawan di Google.

Mereka akan memperhatikan bahwa dalam sebagian besar pertanyaan ini, Google ingin memahami lebih banyak tentang motivasi mereka, dan bagaimana mereka bertindak untuk menyelesaikan masalah ambigu di masa lalu. Ini adalah pertanyaan yang baik bagi mereka untuk menunjukkan keselarasan mereka dengan Google dengan menunjukkan kualitas seperti kenyamanan dengan ketidakpastian atau kecenderungan untuk bertindak.

Mereka ingin melihat bahwa mereka telah belajar dari kesalahan masa lalu dan bahwa mereka telah melakukan penelitian tentang Google itu sendiri.

Contoh pertanyaan wawancara Kemampuan Kognitif Umum (GCA) di Google:

Hipotetis:

  • Bayangkan Anda bertanggung jawab mengorganisir acara pembukaan besar untuk kantor baru Google. Bagaimana Anda akan merencanakan acara ini?
  • Bagaimana Anda akan meyakinkan pelanggan GCP untuk memperluas layanan cloud mereka?
  • Bagaimana Anda akan membuka toko kue?
  • Bagaimana Anda akan mengukur efektivitas program rujukan karyawan kami?
  • Ada 2 juta bisnis di Apps/GSuite. Katakanlah Anda ditugaskan untuk merancang dan membangun operasi dukungan pelanggan untuk pelanggan Apps/GSuite kami. Bagaimana Anda akan melakukannya?
  • Jika Anda adalah kepala petugas lalu lintas di Kota New York dan seseorang meminta Anda untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, bagaimana Anda akan menyelesaikannya?

Software Engineer / Engineering Manager:

  • Bagaimana Anda akan merancang solver boggle?
  • Bagaimana Anda akan merancang fungsi yang menjadwalkan pekerjaan pada rak mesin dengan mengetahui bahwa setiap pekerjaan membutuhkan sejumlah CPU & RAM tertentu, dan setiap mesin memiliki jumlah CPU & RAM yang berbeda? Beberapa pekerjaan dapat dijadwalkan pada mesin yang sama selama dapat mendukungnya.

Product Manager:

  • Bagaimana Anda akan menjelaskan konsep “rekursi” kepada nenek saya?
  • Berapa banyak uang yang dihabiskan untuk bahan bakar di AS setiap tahun?

Technical Program Manager:

  • Bagaimana cara kerja cloud?
  • Bagaimana Anda akan menulis program untuk memilih dua angka yang jumlahnya lebih rendah dari angka target?

Data Scientist:

  • Dalam situasi apa Anda akan memilih mean daripada median?
  • Bagaimana Anda akan membuat koin yang tidak adil menjadi adil?

Fokus pada Adaptasi dan Kecerdasan Kognitif: Google mencari kandidat yang tidak hanya memiliki keterampilan teknis yang kuat, tetapi juga mampu beradaptasi dengan tantangan yang terus berkembang di masa depan.

Pertanyaan hipotetis yang sering diajukan bertujuan untuk melihat bagaimana kandidat berimprovisasi di bawah tekanan dan memecah masalah yang tidak familiar menjadi langkah-langkah yang dapat ditindaklanjuti.

Kesesuaian Budaya: Google sangat peduli dengan kesesuaian budaya kandidat, yang mereka sebut sebagai “Googleyness.”

Ini mencakup kenyamanan dengan ketidakpastian, kecenderungan untuk bertindak cepat, dan sifat kolaboratif. Google ingin memastikan bahwa kandidat yang mereka rekrut tidak hanya pintar, tetapi juga cocok dengan nilai-nilai perusahaan.

Rekomendasi: Pendekatan wawancara Google sangat efektif untuk perusahaan yang ingin membangun tim yang adaptif dan inovatif.

Perusahaan harus mempertimbangkan untuk mengevaluasi kecerdasan kognitif dan kesesuaian budaya calon karyawan, karena ini dapat menjadi indikator kuat tentang bagaimana mereka akan berkontribusi dalam jangka panjang.

Selain pertanyaan-pertanyaan tradisional, banyak perusahaan teknologi juga menggunakan brain teaser atau teka-teki otak dalam wawancara untuk menilai kecerdasan dan kreativitas kandidat.

Misalnya, pertanyaan seperti “Sebuah raket dan bola tenis seharga $1,10. Jika raket harganya $1 lebih mahal dari bola tenis, berapa harga bolanya?” atau “Seekor katak jatuh ke dalam sumur sedalam 30 kaki. Setiap hari ia berhasil naik 3 kaki, tetapi kemudian tergelincir kembali 2 kaki. Berapa hari yang dibutuhkan katak untuk keluar dari sumur?” sering diajukan untuk melihat bagaimana kandidat berpikir di bawah tekanan.

Tujuan Brain Teaser: Brain teaser tidak selalu memiliki jawaban yang intuitif atau mudah. Sebaliknya, mereka dirancang untuk mengejutkan kandidat dan memaksa mereka untuk berpikir secara lateral atau mencari solusi kreatif yang mungkin tidak segera jelas.

Kreativitas dan Pemikiran Cepat: Dalam banyak kasus, brain teaser tidak hanya menguji kecerdasan logis, tetapi juga kemampuan kandidat untuk tetap tenang dan berpikir cepat di bawah tekanan.

Ini adalah keterampilan yang sangat berharga dalam industri teknologi, di mana masalah kompleks sering muncul tanpa peringatan.

Rekomendasi: Brain teaser dapat menjadi alat yang efektif untuk mengidentifikasi kandidat yang memiliki potensi untuk berpikir di luar kebiasaan dan menemukan solusi yang inovatif.

Namun, penting untuk menggunakannya dengan hati-hati dan memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini relevan dengan posisi yang sedang direkrut.

Daftar brain teaser yang dapat Anda gunakan untuk mewawancarai kandidat:

  • Di sebuah toko, sebuah raket dan bola tenis seharga $1,10. Jika raket harganya $1 lebih mahal dari bola tenis, berapa harga bolanya?

Jawaban cepat dan intuitif yang pertama kali terlintas: 10 sen.

Jawaban yang benar: lima sen.

  • Di sebuah pabrik tekstil, lima mesin membutuhkan waktu lima menit untuk membuat lima kemeja. Berapa menit yang diperlukan untuk 100 mesin memproduksi 100 kemeja?

Jawaban cepat dan intuitif yang pertama kali terlintas: 100 menit.

Jawaban yang benar: lima menit.

  • Sebuah kolam memiliki bunga teratai yang tumbuh di dalamnya. Bunga-bunga tersebut berkembang biak dengan cepat, setiap hari menggandakan luas area yang mereka tempati. Jika membutuhkan 48 hari agar kolam tersebut sepenuhnya tertutup oleh bunga teratai, berapa hari yang diperlukan agar kolam tersebut setengah tertutup?

Jawaban cepat dan intuitif yang pertama kali terlintas: 24 hari.

Jawaban yang benar: 47 hari.

  • Anda bepergian dari A ke B. Dalam perjalanan ke sana, Anda mengemudi dengan kecepatan 100 kilometer per jam dan dalam perjalanan kembali, dengan kecepatan 50 kilometer per jam. Berapa kecepatan rata-rata Anda?

Jawaban cepat dan intuitif yang pertama kali terlintas: 75 kilometer per jam.

Jawaban yang benar: 320/3 kilometer per jam.

  • Seorang showman bepergian di pedesaan dalam tur bersama serigala, kambing, dan kubis. Dia sampai di tepi sungai dan satu-satunya cara untuk menyeberang adalah dengan perahu kecil yang hanya dapat menampung dia dengan salah satu dari serigala, kambing, atau kubis. Sayangnya, dia tidak berani meninggalkan serigala sendirian dengan kambing atau kambing sendirian dengan kubis karena serigala akan memakan kambing dan kambing akan memakan kubis. Setelah beberapa saat berpikir, showman menyadari bahwa dia bisa menggunakan perahu untuk mengangkut dirinya dan semua barangnya dengan aman melintasi sungai.

Jawaban: Showman harus terlebih dahulu membawa kambing ke seberang. Kemudian dia membawa serigala dan membawa kambing kembali. Selanjutnya, dia membawa kubis dan akhirnya kembali untuk mengambil kambing.

  • Sebuah pasukan yang sedang berbaris melalui hutan tiba di sungai yang lebar, dalam, dan dipenuhi buaya. Di tepi seberang mereka bisa melihat dua anak pribumi dengan kano. Kano dapat menampung satu orang dengan senapan dan perlengkapannya atau dua anak. Bagaimana pasukan menyeberangi sungai?

Jawaban: Solusi di sini bergantung pada kenyataan bahwa kano dapat menampung dua anak tetapi hanya membutuhkan satu anak untuk membawa kano melintasi sungai. Satu anak mendayung kano ke tentara di tepi kiri. Seorang tentara kemudian mendayung dirinya dan perlengkapannya ke tepi kanan tempat dia tinggal. Anak kedua sekarang mendayung perahu ke tepi kiri, mengambil anak pertama, dan kembali ke tepi kanan. Proses ini diulangi sampai setiap tentara menyeberangi sungai.

  • Dalam pencarian airnya, seekor katak jatuh ke dalam sumur sedalam 30 kaki. Kemajuan katak keluar dari sumur sangat tidak menentu. Setiap hari ia berhasil memanjat 3 kaki, tetapi pada malam berikutnya ia tergelincir kembali 2 kaki. Berapa hari yang diperlukan katak untuk keluar dari sumur?

Jawaban: 28 hari.

  • Seorang petani dan temannya membeli sebuah tong berisi 8 galon air. Mereka ingin berbagi air tersebut secara merata di antara mereka tetapi hanya memiliki wadah 5 galon dan 3 galon.

Jawaban: Isi 5 dari 8. Isi 3 dari 5, menyisakan 2 di dalam 5. Kosongkan 3 ke dalam 8. Tuangkan 2 dari 5 ke dalam 3. Isi 5 dari 5. Tuangkan dari 5 ke dalam 3 hingga penuh, menyisakan 4 di dalam 5. Kosongkan 3 ke dalam 5, sehingga membuat 4 dalam 5 juga.

  • Mengapa penutup lubang got selalu bulat, bukan persegi?

Jawaban: Penutup lubang got yang berbentuk persegi dapat jatuh ke dalam lubang jika diputar secara diagonal ke lubang tersebut, sedangkan penutup yang berbentuk bulat tidak bisa jatuh ke dalam lubang got.

  • Di sistem kereta bawah tanah Chicago, ada dua eskalator untuk naik tetapi hanya satu untuk turun ke kereta bawah tanah. Mengapa demikian?

Jawaban: Orang yang masuk ke kereta bawah tanah cenderung datang pada waktu yang berbeda, sehingga aliran orang yang turun ke eskalator lebih merata. Sebaliknya, ketika orang turun dari kereta bawah tanah, mereka biasanya tiba di eskalator pada waktu yang hampir bersamaan. Akibatnya, dua eskalator diperlukan untuk menangani orang yang meninggalkan kereta bawah tanah, sedangkan hanya satu yang diperlukan untuk orang yang tiba.

Dari wawancara di PayPal, Tesla, hingga Google, satu benang merah yang dapat kita tarik adalah fokus mereka pada pemecahan masalah, kreativitas, dan kesesuaian budaya. Masing-masing perusahaan memiliki pendekatan yang unik dalam mengidentifikasi kandidat terbaik, tetapi semuanya menekankan pentingnya berpikir kritis, kemampuan beradaptasi, dan kecocokan dengan nilai-nilai perusahaan.

PayPal mencari individu yang dapat berpikir secara kontrarian dan membawa perspektif baru yang mungkin tidak dipikirkan oleh orang lain. Tesla dan SpaceX menekankan pada kemampuan untuk memecahkan masalah kompleks dan berpikir kreatif di bawah tekanan. Sementara itu, Google berfokus pada kecerdasan kognitif dan kesesuaian budaya, dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji kemampuan adaptasi kandidat terhadap tantangan yang terus berkembang.

Rekomendasi:

  1. Fokus pada Pemecahan Masalah dan Kreativitas: Perusahaan harus mengadopsi pertanyaan wawancara yang dirancang untuk menguji kemampuan kandidat dalam memecahkan masalah kompleks dan berpikir secara kreatif. Ini akan membantu mengidentifikasi individu yang tidak hanya mampu menghadapi tantangan saat ini, tetapi juga beradaptasi dengan perubahan di masa depan.
  2. Evaluasi Kesesuaian Budaya: Selain keterampilan teknis, kesesuaian budaya sangat penting. Pastikan kandidat cocok dengan nilai-nilai perusahaan dan memiliki sifat-sifat yang mendukung kolaborasi, inovasi, dan fleksibilitas.
  3. Gunakan Brain Teaser dengan Hati-hati: Brain teaser dapat menjadi alat yang ampuh untuk menguji kecerdasan dan kreativitas, tetapi mereka harus relevan dengan posisi yang dilamar dan tidak boleh digunakan sebagai satu-satunya indikator kompetensi.
  4. Pertimbangkan Kebutuhan Spesifik Perusahaan: Tidak semua perusahaan membutuhkan pendekatan yang sama. Startup yang bergerak cepat mungkin lebih membutuhkan pemikir kontrarian, sementara perusahaan besar yang lebih mapan mungkin lebih fokus pada stabilitas dan pengelolaan risiko. Sesuaikan pertanyaan wawancara dengan kebutuhan spesifik perusahaan Anda.

Dengan mengikuti rekomendasi ini, perusahaan dapat memperkuat proses rekrutmen mereka dan memastikan bahwa mereka memilih individu yang benar-benar mampu berkontribusi pada kesuksesan jangka panjang organisasi.

Proses wawancara bukan hanya tentang menemukan seseorang yang memenuhi syarat secara teknis, tetapi juga tentang menemukan seseorang yang cocok dengan budaya perusahaan dan memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis dan kreatif dalam menghadapi tantangan yang tidak terduga.

 

Kembali ke daftar isi

Artikel Terkait

01 Mengapa Anda Mesti Belajar Keterampilan Penyelesaian Masalah

02 Cara Teruji dan Paling Efisien Menyelesaikan Masalah

03 Cara Menyelesaikan Masalah Penjualan dan Marketing yang Lesu

error: Content is protected !!