Kenaikan lahan perkebunan kelapa sawit mampu menurunkan kemiskinan karena perkebunan sawit menyerap banyak lapangan kerja, terutama tenaga kerja yang berketerampilan dan berpendidikan rendah, sesuai dengan karakteristik mayoritas angkatan kerja Indonesia, 60% adalah lulusan SMP ke bawah (72 juta dari 121 total pekerja Indonesia).
Setiap penambahan jumlah luasan lahannya bertambah pula tenaga kerja yang dibutuhkan.
Setiap tambahan 1% luas lahan kelapa sawit per tahunnya mampu menyerap sekitar 31.000 lapangan kerja baru.
Mengapa demikian? Perkebunan sawit termasuk ekonomi padat karya (upah pekerja adalah 30-35% dari total biaya produksi). Secara rata-rata, lahan sawit menyerap 0,3 pekerja per hektar (ha), terutama di pedesaan dimana 62% dari penduduk miskin berada.
Pemeliharaan yang relatif mudah, hasil panen yang terus menerus dalam jangka panjang (antara 15-25 tahun) serta permintaan atas kelapa sawit yang terus meningkat baik dari pasar domestik dan luar negeri menjadikan rasio hasil dan lahan bernilai tinggi.
Luas lahan sawit bertambah signifikan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2016, luas lahan diperkirakan mencapai 11,67 hektar (ha), terdiri dari perkebunan rakyat (4,76 juta ha), perkebunan swasta 6,15 juta ha, dan perkebunan negara 756 ribu Ha (meningkat 5,9 persen/tahun dalam 10 tahun terakhir).
Karena kondisi tanah dan iklimnya yang mendukung, Indonesia secara alamiah merupakan negeri yang sangat cocok bagi tanaman sawit dan sejak 2016 telah menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia (34,5 juta ton), dua kali lipat dibandingkan pesaing terdekat Malaysia (17,3 juta ton).
Indonesia tepat sekali jika berspesialisasi dalam produksi kelapa sawit. Setiap penggunaan lahan untuk tanaman non-kelapa sawit, berarti kehilangan kesempatan menambah lahan kelapa sawit lebih banyak lagi.
Bukti:
Dengan mengontrol variabel-variabel seperti jenis tanah, budaya, sejarah, demografi, struktur ekonomi, waktu, pertumbuhan ekonomi, krisis keuangan, harga internasional, pemilu, guncangan perekonomian nasional, bantuan sosial pemerintah, investasi infrastruktur, bencana, perubahan iklim , pendapatan per kapita, pendapatan daerah bruto, tingkat melek huruf, pemilihan kepala daerah, pemekaran daerah serta menggunakan data dari 3.386 lokasi perkebunan sawit yang tersebar di 341 kabupaten antara tahun 2001-2009, penelitian berjudul “Is plantation agriculture good for the poor? Evidence from Indonesia’s palm oil expansion” oleh Ryan Edwards (2015), menunjukkan bahwa setiap 10% kenaikan porsi lahan kelapa sawit terhadap lahan total di suatu kabupaten berkorespondensi dengan penurunan 10% tingkat kemiskinan di kabupaten tersebut.
Efek penurunan ini lebih terasa lagi di Sumatera, sebab sebagian besar perkebunan kelapa sawit dimiliki dan dikelola oleh rakyat, yang menyerap lebih banyak lapangan kerja dibandingkan dengan perkebunan perusahaan besar.
Pertanyaan:
Bukankah kelapa sawit adalah tanaman yang paling banyak menyerap air sehingga akan menimbulkan krisis air jika tanaman ini terus berkembang?
Jawaban:
Pertanyaan ini sama sekali tidak berdasar. Berdasarkan data World Wildlife Fund (WWF) dalam laporannya yang berjudul Living Waters dan penelitian yang berjudul Water Footprint Assesment of Oil Palm in Malaysia: A Preliminary Study oleh A. Muhammad-Muaz dan M. H. Maria (2014).
Berikut ini adalah konsumsi air tujuh komoditas pertanian (dalam meter kubik per ton hasil panen):