Keadilan untuk Pertumbuhan oleh Arief Anshory Yusuf

Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Keadilan untuk Pertumbuhan oleh Arief Anshory Yusuf.

Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.

Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

KEADILAN UNTUK PERTUMBUHAN

Arief Anshory Yusuf

Cetakan 2, 2018
Diterbitkan oleh Unpad Press
Graha Kandaga, Gedung Perpustakaan Unpad Jatinangor, Lantai I
Jl. Ir. Soekarno km 21 Bandung 45363
Telp. (022) 84288888 ext 3806
e-mail : press@unpad.ac.id/pressunpad@gmail.com
http://pressunpad.ac.id
Anggota IKAPI dan APPTI

Tata Letak : Afandi

Desainer Sampul : Elpanovies

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Arief Anshory Yusuf

Keadilan untuk petumbuhan/ penulis,  Arief Anshory Yusuf; –Cet. 2 –Bandung Unpad press;
2018

x, 126 h., 14.8 x 21 cm

ISBN : 978-602-439-278-9

(hlm.1)
Pendahuluan
Keadilan untuk pertumbuhan adalah paradigma pembangunan ekonomi yang pada intinya menempatkan keadilan ekonomi dahulu sebelum pertumbuhan ekonomi.

(hlm.5,7)
Kemiskinan, Ketimpangan, dan Pertumbuhan
Pertama, pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan pengurangan kemiskinan kalau minimal kelompok masyarakat yang termiskin juga meningkat pendapatannya.
Kedua, pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan ketimpangan kalau pertumbuhan ekonomi tersebut lebih banyak disebabkan oleh kenaikan pendapatan kelompok kaya dibandingkan miskin.

(hlm.8)
Ketiga, pertumbuhan ekonomi bisa juga diikuti dengan pengurangan ketimpangan. Ini terjadi jika aktivitas ekonomi yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi adalah sektor-sektor yang lebih menguntungkan kelompok menengah bawah, misalnya sektor pertanian, atau manufaktur yang padat karya.
Keempat, ketimpangan bisa saja meningkatkan pertumbuhan ekonomi jika ketimpangan yang terjadi adalah hasil dari sistem insentif untuk peningkatan produktivitas, penghargaan dari entrepreneurship atau akumulasi modal.
Kelima, bertolak belakang dengan keempat, ketimpangan bisa dan sangat mungkin menurunkan pertumbuhan ekonomi melalui banyak faktor.
Keenam, ketimpangan tinggi bisa meningkatkan kemiskinan jika ketimpangan tersebut cenderung disebabkan lebih banyaknya populasi orang miskin dan bukan lebih banyaknya populasi orang kaya.
Ketujuh, ketimpangan yang tinggi membuat kekuatan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan menjadi melemah.

(hlm.10,11)
Kemiskinan di Indonesia dalam Perspektif Komparatif
Bandingkan misalnya di awal tahun 1970-an di mana lebih dari 60% penduduk Indonesia masuk kategori miskin, dengan kondisi di tahun 2017 di mana hanya 11% penduduk Indonesia yang miskin.
Pertama, tingkat kemiskinan tersebut dihitung dengan menggunakan standar garis kemiskinan nasional sebesar rata-rata Rp 400.000 per orang per bulan, yang kalau diekuivalenkan dengan standar internasional sebenarnya tidak jauh dari garis kemiskinan ekstrem sebesar PPP$1,9 per kapita per hari.
Bank Dunia sendiri mempunyai standar yang relatif lebih manusiawi yaitu sebesar PPP$3,1 per hari yang sering dikenal sebagai garis kemiskinan moderat. Dengan standar ini, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 36% di tahun 2015.
Kedua, walaupun proporsi penduduk miskin hanya 11%, proporsi penduduk Indonesia yang hampir miskin juga besar sekali. Misalnya, kalau batas hampir miskin itu adalah 1,2 kali garis kemiskinan, maka proporsi penduduk yang miskin dan hampir miskin meningkat menjadi dua kali proporsi penduduk miskin. Ini masalah serius karena artinya hanya dengan sedikit gejolak saja dalam ekonomi, orang-orang yang hampir miskin ini bisa mudah terjatuh ke jurang kemiskinan.
Kemudian, sama seperti kondisi kemiskinan ekstrem, dibandingkan dengan ASEAN lain, dengan proporsi miskin moderat sebesar 24,6%, kembali Indonesia hanya lebih baik dari Laos.

(hlm.12)

Kondisi Kemiskinan di IndonesiaKemiskinan Ekstrim (%)Miskin Moderate (%)Rentan (%)Secure (%)Kelas Menengah (%)
Indonesia7,5%24,6%35,9%27,7%4,3%

(hlm.13)
Salah satu argumen untuk mencari penjelasan dari melambatnya laju penurunan kemiskinan ini adalah argumen the last mile problem yang menyatakan bahwa sudah sewajarnya penurunan kemiskinan akan lebih pelan jika tingkat kemiskinan sudah relatif rendah.
Argumen di atas bermasalah dari setidaknya dua sisi. Pertama, seberapa rendah tingkat kemiskinan yang wajar mengalami masalah last mile? Apakah 11% yang dialami sekarang di Indonesia masuk kategori itu? Jika iya, apa yang menjadi dasarnya?
Kedua, apakah sulitnya tingkat kemiskinan untuk menurun, setelah tingkat tertentu tercapai, dihadapi juga oleh negara-negara lain yang pernah atau sedang mengalami masalah yang sama seperti di Indonesia? Untuk menjawab ini, mari kita lihat Gambar 2 di bawah yang datanya bersumber dari Bank Dunia.

(hlm.15)
Gambar 2 di atas memberikan kita beberapa catatan penting. Pertama, masalah last mile nampaknya tidak dialami oleh Thailand dan Malaysia. Setelah tingkat kemiskinan-nya lebih kecil dan tingkat kemiskinan ekstrem kedua negara tersebut sudah mendekati nol saat ini.

(hlm.17)
Sementara itu, tingkat kemiskinan Indonesia di tahun 2016 setara dengan Vietnam sekitar tahun 2008-2010 bahkan pada tingkat pendapatan per kapita Vietnam yang hanya 42% pendapatan per kapita Indonesia saat ini.

(hlm.18,19)
Seriuskah Masalah Ketimpangan di Indonesia?
Hampir semua orang tidak percaya dan kaget ketika saya sampaikan bahwa rata-rata penghasilan orang Indonesia, tahun 2016 misalnya, adalah Rp 11 juta per bulan per keluarga. Di beberapa kota besar bahkan bisa jauh lebih dari itu. Di kota Bandung, misalnya, angkanya bisa mencapai Rp 26 juta per bulan.
Upah minimum saja masih di kisaran Rp 2-3 juta per bulan. Bahkan kalau Anda sarjana dan pertama masuk kerja di Jakarta, kisaran gajinya sekitar 4-5 juta per bulan.
Jadi siapa yang berpenghasilan Rp 11 juta per bulan itu?
Inilah yang disebut dalam statistik sebagai the tyranny of the average.
Data dari survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) yang dilakukan BPS menunjukkan bahwa hanya 26% dari orang Indonesia yang penghasilannya di atas rata-rata. Ini artinya 74% orang Indonesia penghasilannya di bawah Rp 11 juta. Jadi kekagetan tersebut wajar sekali.
Bukankah pada dasarnya orang sangat heterogen dalam produktivitas, misalnya, sehingga ketimpangan adalah suatu keniscayaan?
Tentunya betul, ketimpangan bukan masalah ada atau tidak, tapi masalah seberapa besar.
Ketimpangan tinggi bisa berujung pada keresahan sosial, kejahatan, dan konflik. Tapi yang paling mendasar ketimpangan yang tinggi sedikit banyak mencerminkan ketidakadilan di masyarakat.

(hlm.22,23)
Profesor Henry Aaron dari Brookings Institution, sebuah think tank ternama di Amerika Serikat, pernah berkata bahwa mengamati ketimpangan seperti mengamati rumput tumbuh. Ketimpangan cenderung bergerak pelan. Oleh karena itu, pergerakan ketimpangan yang relatif cepat bisa jadi problem serius yang harus segera direspons dengan baik.
Giovanni Cornia (2004), misalnya, ahli ekonomi pembangunan dari Italia, mengemukakan, jika angka gini sudah menyentuh 0,45%, ketimpangan bisa membuat pertumbuhan ekonomi jadi lebih pelan. Jika koefisien gini Indonesia dihitung dengan menggunakan pendapatan, angkanya sudah mencapai 0,46.

(hlm.24,25)
Ketika Data Tidak Sepakat
Dahulu sepakat di awal tahun 2000-an, dengan angka koefisien Gini sebesar 0,32, Indonesia berarti sejajar dengan negara-negara bekas komunis (seperti Slowakia, Belarusia, dan Hongaria), negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia), atau negara-negara yang menerapkan sistem welfare-state (Belanda, Belgia).

(hlm.26)
Penyebab pertama, angka ketimpangan di Indonesia diukur dari angka pengeluaran rumah tangga, bukan angka pendapatan.
Penyebab yang kedua adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya. Hal ini bisa disebabkan budaya orang Indonesia yang “Low profile” sehingga melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya.
Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga (SUSENAS) kurang mewakili golongan pendapatan tinggi.

(hlm.27)
Pengeluaran rumah tangga dari tabel Input-Output angkanya jauh lebih tinggi daripada angka yang dihitung dari SUSENAS.
Penulis menghitung, misalnya untuk tahun 2002, angka koefisien Gini di perkotaan hampir mencapai angka 0,6, jauh lebih tinggi daripada yang tercatat saat ini, yaitu 0,35. Menariknya lagi, hasil perhitungan penulis juga menunjukkan bahwa sumbangan ketidakterwakilan golongan kaya di Jakarta ternyata sangat dominan.

(hlm.28)
Jika dengan memasukkan Jakarta, koefisien Gini Indonesia terhitung sebesar 0,59, koefisien Gini Indonesia tanpa memasukkan Jakarta terhitung sebesar 0,42.

(hlm.29,30)
Pertumbuhan Inklusif: Multi-Dimensi, Multi Interpretasi
Pada tahun 1970-an, ekonom Irma Adelman dan Hollis Chenery, misalnya, dikenal sebagai pelopor dari konsep pertumbuhan dan pemerataan.

(hlm.31)
Salah satu yang mempopulerkannya adalah artikel yang ditulis David Dollar dan Aart Kraay (2002), ekonom dari Bank Dunia di tahun 2002 dengan judul “Growth is Good for the Poor”.

(hlm.32)
Dengan demikian, suatu episode pertumbuhan ekonomi bisa dikatakan inklusif jika (1) diikuti dengan peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur dasar dari semua penduduk tak terkecuali, (2) diikuti dengan peningkatan hal-hal di atas untuk kelompok penduduk yang termiskin, (3) diikuti dengan berkurangnya pengangguran atau setengah pengangguran di kalangan masyarakat termiskin, (4) diikuti dengan pengurangan intensitas dari pekerjaan informal terutama dari kalangan masyarakat bawah.

(hlm.34,35)
Kemiskinan Multi-Dimensi
Richard Easterlin, misalnya, pakar ekonomi kebahagiaan dari University of Southern California, Amerika Serikat, menunjukkan apa yang kemudian dikenal sebagai Paradoks Easterlin. Paradoks ini menunjukkan anomali yang terjadi di berbagai negara, terutama di negara Amerika Serikat dan Jepang. Data-data di negara-negara tersebut menunjukkan bahwa walaupun selama puluhan tahun pendapatan masyarakat di negara-negara tersebut meningkat pesat, tingkat kepuasan hidup atau kebahagiaannya relatif tidak mengalami peningkatan berarti. Ini membuktikan bahwa ada faktor-faktor lain selain pendapatan yang berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan.

(hlm.36)
Orang yang kebetulan tidak masuk kriteria miskin karena pendapatannya melebihi garis kemiskinan bisa saja pendidikannya sangat rendah, tidak punya akses terhadap air dan sanitasi layak, hidup di rumah yang tidak layak. Apakah orang ini disebut tidak miskin? Pertanyaan inilah yang ingin dijawab dengan konsep yang disebut dengan kemiskinan multi-dimensi.
Jika individu mengalami deprivasi (ketidakpunyaan dari sesuatu yang sangat mendasar untuk hidup) dari satu atau beberapa dimensi tersebut maka individu tersebut bisa dikategorikan miskin.

(hlm.37)
Tingkat kemiskinan multi-dimensi jauh lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan pendapatan. Akan tetapi, ini hanya terjadi di pedesaan. Di perkotaan, tingkat kemiskinan multi-dimensi dan kemiskinan pendapatan tidak begitu jauh berbeda (Gambar 4).

(hlm.38)
Pertama, pembangunan yang mengurangi deprivasi di berbagai dimensi terjadi begitu seimbang antara perkotaan dan pedesaan. Kedua, terdapat banyak faktor non-pendapatan, misalnya akses terhadap infrastruktur-infrastruktur dasar seperti air dan sanitasi yang relatif terabaikan di pedesaan padahal hal ini adalah kunci dari pengurangan deprivasi.
Kedua, dari berbagai dimensi deprivasi yang diperhitungkan, dimensi ketenagakerjaanlah yang kemajuannya pelan setidaknya selama 10 tahun terakhir.

(hlm.43,44)
Pertumbuhan yang Menyengsarakan
Pertama, pertumbuhan ekonomi tinggi mencerminkan tumbuhnya balas jasa faktor produksi yang tidak mengenal lokasi.
Kedua, pertumbuhan ekonomi adalah indikator rata-rata, bukan indikator kebanyakan.
Pertama adalah bahwa kecenderungan tersebut tidak selalu berlaku.
Kedua, kekuatan hubungan antara keduanya sangat bervariasi ada yang hubungannya kuat ada yang tidak.

(hlm.45)
Analisis statistik periode yang sama untuk seluruh Indonesia menemukan bahwa hipotesis adanya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan tidak terbukti untuk sampel daerah perkotaan (Gambar 7).

(hlm.46)
GEP mengukur berapa persen penurunan kemiskinan setiap 1% pertumbuhan ekonomi. Data menunjukkan bahwa GEP pada era ketimpangan tinggi (tahun 2011 – 2015, ketika koefisien Gini di atas 0,4) adalah sekitar 0,05. Artinya setiap 1% pertumbuhan ekonomi, kemiskinan menurun 0,05%. Ini ternyata hanya setengah dari nilai GEP pada periode ketimpangan yang lebih rendah (2005-2010) di mana setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menghasilkan sekitar 0,1% penurunan kemiskinan.

(hlm.47)
Ketimpangan justru akan menimbulkan under-investment dalam akumulasi modal manusia (misalnya melalui tidak sempurnanya akses terhadap pasar kredit).
Akan tetapi, negara wajib mengurangi ketimpangan yang disebabkan oleh keadaan (circumstances) di luar kendali individu yang bersangkutan.

(hlm.48)
Peningkatan infrastruktur adalah penting untuk pertumbuhan, tetapi dengan sendirinya tidak menjamin pengurangan ketimpangan. Peningkatan anggaran sosial, terutama yang bersasaran, harus segera ditingkatkan porsinya.

(hlm.50,51)
Menyambut SDGs
Meskipun pada awalnya, cukup banyak skeptisisme terkait efektivitas dari agenda-agenda global, fokus perhatian kolektif dan mobilisasi sumber daya untuk ditujukan pada pencapaian MDGs membuktikan bahwa umat manusia setidaknya bisa punya satu kata dan bekerja mencapai agenda bersama.
Agenda-agenda global seperti MDGs bisa membantu pembentukan skala prioritas sehingga kita dapat memusatkan perhatian pada agenda-agenda yang mendesak.
MDGs dan SDGs sangat jelas dalam menyusun target dan indikator.
Ketiga, dan yang paling penting, agenda global seperti MDGs dan SDGs relatif lebih kebal terhadap siklus politik yang sifatnya miopik, cenderung kurang berpandangan ke depan.

(hlm.54)
Dari tahun 2009 sampai 2011, koefisien Gini meningkat dari 0,37 menjadi 0,41, tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia.
Meminjam sebuah teori oleh seorang filsuf terkenal, John Roemer dari Universitas Yale di Amerika, ketimpangan pendapatan kelompok masyarakat bukan hanya merupakan hasil perbedaan kerja keras atau bakat di antara individu (ketimpangan karena sifatnya sunatullah), tetapi juga ketimpangan karena faktor di luar kendali individu tersebut.

(hlm.56)
Pemerataan Kesempatan dan Mobilitas Sosial
“Pilihan yang paling penting dalam hidup adalah memilih orang tua”. Tentu saja, tidak ada satu pun yang bisa memilih orang tua. Kita tidak dapat memilih di mana kita dilahirkan.
Sayangnya, jika Anda dilahirkan dalam keluarga yang termasuk 20% termiskin, Anda mempunyai kemungkinan 50 persen mengalami stunting, sementara kemungkinan itu hanya 30 persen jika Anda lahir pada keluarga dalam kelompok 20% terkaya (Bank Dunia, 2017).

(hlm.57)
Seperti yang dikatakan oleh Prof. Robert Frank dari Universitas Cornell dalam bukunya Success and Luck: Good Fortune and the Myth of Meritocracy, keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam hidup lebih banyak disebabkan oleh keberuntungan.

(hlm.58,59)
Sebuah survei yang unik (Indonesian Family Life Survey) karena mensurvei individu dan melacak individu yang sama setidaknya selama 21 tahun, menunjukkan bahwa jika seorang anak dilahirkan pada keluarga yang termasuk 20 persen terkaya, peluangnya untuk menjadi mahasiswa perguruan tinggi adalah 49 persen. Jika ia lahir di keluarga yang termasuk kelompok 20 persen termiskin, peluang itu turun menjadi hanya 7 persen.
Penulis menganalisis data 15 tahun terakhir dari berbagai sumber dan menemukan bukti-bukti empiris terjadinya peningkatan ketimpangan kesempatan di Indonesia di berbagai sektor, seperti kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja (Lihat Tabel 3). Analisis ini dipublikasikan sebagai laporan United Nations Economics and Social Commissions for Asia and the Pacific (UNESCAP), sebuah lembaga PBB yang berbasis di Bangkok, Thailand, dengan judul “Equality of Opportunity in Indonesia”.

(hlm.60)
Ketiga, kita perlu meningkatkan beberapa program pengentasan kemiskinan yang sudah terbukti berhasil, misalnya Program Keluarga Harapan (PKH) yang selain bersifat transfer tunai juga dapat meningkatkan pengembangan SDM. Bukti ilmiah efektivitasnya sudah banyak menjadi temuan-temuan penelitian.

(hlm.64,65)
Presiden Harapan Rakyat
Berbagai data ukuran ketimpangan menunjukkan bahwa periode 2000-an adalah masa peningkatan ketimpangan yang sangat spektakuler.

(hlm.66)
Kemenangan Jokowi dalam pemilu salah satunya adalah karena rekam jejak kebijakan kesehatan dan pendidikan yang inovatif sebagai Walikota Solo dan Gubernur Jakarta.

(hlm.67)
Dalam masa kampanyenya, janji Joko Widodo untuk memperluas program KJP menjadi program nasional telah menarik jutaan orang Indonesia untuk memilihnya.
Indonesia pada prinsipnya mempunyai sumber daya yang cukup untuk mengurangi kemiskinan sampai sekecil-kecilnya.

(hlm.68)
Pangan dan Kemiskinan
Semakin tinggi pendapatan semakin rendah proporsinya, demikian juga sebaliknya.

(hlm.69)
Idealnya, ketika kebutuhan konsumsi makanan rakyat Indonesia masih cukup tinggi, seharusnya harga-harga makanan, terutama makanan pokok, cukup terjangkau. Sayangnya, ini tidak terjadi. Profesor Stephen Mark (2017), misalnya, menemukan (Lihat Gambar 8) harga-harga makanan kebutuhan pokok di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga internasional. Untuk beras misalnya, konsumen Indonesia harus membayar 64% lebih mahal, gula 48% lebih mahal, daging 37% lebih mahal, dan buah-buahan 24% lebih mahal.

(hlm.70,71)
Karena tingkat kemiskinan di Indonesia sangat sensitif terhadap inflasi dan inflasi sangat sensitif terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok.
Setiap 1% kenaikan harga beras, misalnya, terdapat potensi kenaikan jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak hampir 300 ribu orang ini.
Lihat saja perkembangan indeks harga konsumen dari tahun 2013 sampai tahun 2017 dan bandingkan dengan garis kemiskinan (Lihat Gambar 9). Nampak bahwa garis kemiskinan selalu meningkat lebih cepat daripada inflasi.

(hlm.72)
Padahal ketahanan pangan mencakup juga aksesibilitas dan keterjangkauan pangan. Negara-negara dengan indeks ketahanan pangan yang tinggi tidak hanya mengandalkan produksi dalam negeri (Lihat misalnya peringkat food security index antar negara).

(hlm.73,74)
Nilai tukar petani adalah rasio dari nilai komoditi yang dijual dengan nilai barang yang dibeli petani untuk dikonsumsi. Tingginya harga produk-produk pertanian baik bagi petani, tetapi petani juga harus membeli barang.
Data SUSENAS, misalnya, menunjukkan bahwa sebagian besar petani di Indonesia adalah net-konsumen beras, artinya kalau harga beras naik terlalu tinggi sebagian besar petani akan berkurang kesejahteraannya. Bahkan sekitar 26% petani beras sendiri mereka adalah net-konsumen beras. Tak sedikit petani yang hanya bekerja sebagai buruh dan bukan pemilik lahan.
Produktivitas yang rendah terjadi karena setidaknya dua hal: produktivitas lahannya rendah dan lahan yang dikuasainya sedikit.

(hlm.76)
Tarifikasi impor dengan mekanisme impor terbuka, misalnya, dibandingkan dengan kuota impor atau bahkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) seperti yang dilakukan saat ini, mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, karena sifatnya yang terbuka melalui importir umum, tidak perlu ada pemberian izin alokasi impor. Ini berbeda dengan sistem kuota yang rentan kolusi. Siapa saja bisa mengimpor asal membayar tarif. Dengan demikian, kolusi dan pemburuan rente dengan sendirinya akan bisa diminimalisir sekaligus dampak negatifnya berupa harga tinggi yang dibebankan secara berlebihan kepada konsumen. Pemerintah malahan dapat memperoleh pemasukan penerimaan negara dari tarif dan bukan “mafia” yang diuntungkan.

(hlm.78)
Ketimpangan di Jawa Barat
Lebih jauh disebutkan penurunan ketimpangan di Indonesia tersebut terjadi hanya di perkotaan, tidak di pedesaan.

(hlm.80)
Pada periode tersebut, Jawa Barat adalah satu-satunya provinsi di pulau Jawa yang mengalami kenaikan kemiskinan.

(hlm.81,82)
Karena pendapatan per kapita sedikit banyak dipengaruhi oleh orang-orang berpendapatan sangat tinggi, hipotesis bahwa tingginya ketimpangan di Jawa Barat lebih disebabkan oleh adanya penduduk super-kaya di Jawa Barat, tidak begitu didukung fakta ini.
Jika kita ingin ketimpangan di Jawa Barat berkurang, strategi mengangkat penghasilan kelompok masyarakat termiskin akan jauh lebih efektif dan harus jadi prioritas daripada mengurangi penghasilan bersih golongan sangat kaya.
Dengan mengambil anggaran sebesar 450 miliar rupiah per tahun, 170 ribu siswa miskin (anak-anak dari keluarga 30% termiskin) Kota Bandung dapat menerima bantuan biaya pendidikan sebesar 260 ribu rupiah per bulan. Potensi dampak langsungnya adalah penurunan rasio gini dari 0,43 dan kemiskinan menjadi tinggal 2% dari 5%. Dan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kecukupan anggaran. Mengingat sumber ketimpangan di Jawa Barat, seperti yang dicatat oleh BPS, adalah di perkotaan, program ini berpotensi besar mengurangi kesenjangan pendapatan di Jawa Barat.
Mengapa biaya pendidikan? Pertama, orang tua baik dari golongan kaya ataupun miskin sangat memprioritaskan pendidikan anaknya sehingga pengeluaran untuk pendidikan, terutama di luar SPP, seperti seragam, buku, alat tulis, transportasi, relatif cukup tinggi dan memberatkan masyarakat. Kedua, bantuan pendidikan pemerintah yang ada sekarang, seperti BOS, BSM, dan lain-lain, tidak mencukupi baik dari aspek besarnya dana maupun cakupan target penerima. Ketiga, dan yang lebih penting, di banyak perkotaan di Jawa Barat, seperti di Kota Bandung, pertumbuhan ekonomi sudah cukup tinggi tapi ketimpangan dan kemiskinan masih tinggi pula.

(hlm.83)
Bandung, Kota Makmur yang Belum Adil
Pertumbuhan ekonominya selama 5 tahun terakhir (sekitar 8% per tahun) selalu lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional (6%).

(hlm.84)
Dari sini jelas, mengalir ke mana keuntungan tersebut, apakah ke warga Bandung atau yang bukan warga Bandung, sama sekali tidak terlihat karena isi sangat tergantung dari kepemilikan aset-aset produksi di kota Bandung.
Baru-baru ini, BPS melaporkan hasil survei biaya hidup (SBH) 5 tahunan di 88 kota di Indonesia. Kota Bandung tentunya adalah salah satu yang disurvei. Dari survei ini, BPS dapat menghitung berapa pengeluaran konsumsi rata-rata warga Bandung karena yang menjadi objek survei adalah rumah tangga yang berdomisili di kota Bandung. Survei ini sifatnya sangat berbeda dengan survei perhitungan PDRB karena yang menjadi objek bukan aktivitas ekonomi atau sektor-sektor produksi, tetapi masyarakat yang tinggal di Bandung.

(hlm.85)
Dari tahun 2008 sampai tahun 2012, jumlah orang miskin di kota Bandung malah meningkat dari 103 ribu orang menjadi 111 ribu orang.

(hlm.88)

GINI RASIORANKING
20132014201520162013201420152016
Kota Bandung0.420.480.440.442131

(hlm.89)
Ketimpangan Memperlambat Pertumbuhan: Teori dan Empiris
Simon Kuznets menyatakan bahwa karena pertumbuhan ekonomi memerlukan transformasi dari aktivitas berbasis pedesaan (ketimpangan rendah) ke aktivitas berbasis perkotaan (ketimpangan tinggi), maka ketimpangan tidak bisa dihindari dari awal-awal pembangunan ekonomi. Dalam proses ini pertumbuhan ekonomi terjadi karena orang berpindah dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi.

(hlm.90)
Nicolas Kaldor malahan menyebutkan bahwa ketimpangan mempunyai sifat growth-enhancing atau faktor pendorong pertumbuhan. Ini terjadi karena orang kaya mempunyai kecenderungan menabung (marginal propensity to save) lebih tinggi.
Dengan menggunakan data pertumbuhan antar negara dari tahun 1960-1985 dan ketimpangan di tahun 1960-an, penelitian tersebut menemukan bahwa ketimpangan pendapatan dan kepemilikan lahan yang tinggi justru memperlambat pertumbuhan ekonomi. Temuan ini dikonfirmasikan oleh penelitian Torsten Persson dan Guido Tabellini (1994) yang menyimpulkan dengan menggunakan data yang sama bahwa tingkat pemerataan – yang diukur dengan proporsi pendapatan yang dimiliki kelompok kelas menengah – malah berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada lagi studi yang dilakukan Roberto Perotti (1996) di era yang sama dan menghasilkan kesimpulan serupa.

(hlm.94)
Ketiga, sebagai implikasi dari kedua poin sebelumnya, maka satu-satunya sumber dari pertumbuhan ekonomi jangka panjang adalah perubahan teknologi, atau kenaikan produktivitas.

(hlm.95)
Pertama, di dalam perekonomian dengan ketimpangan tinggi, proporsi orang yang tidak punya akses terhadap pinjaman cenderung lebih besar.
Ketimpangan tinggi cenderung dibarengi dengan rusaknya stabilitas dan solidaritas sosial.

(hlm.97,98)
Ketimpangan dan Darurat Nutrisi Anak
Pertama, garis kemiskinan yang digunakan pemerintah terlalu rendah. Hal ini, misalnya, dikemukakan baru-baru ini oleh Chris Hoy (2016) yang menunjukkan bahwa garis kemiskinan resmi Indonesia saat ini hanya sedikit lebih tinggi dari garis kemiskinan 15 negara termiskin.

(hlm.101)
Salah satu studi yang meyakinkan (karena sifat studinya yang longitudinal selama hampir 30 tahun) di Guatemala menunjukkan bahwa intervensi asupan protein terhadap anak-anak miskin terbukti meningkatkan penghasilan mereka ketika dewasa sebanyak 46% (Alderman dkk, 2006).

(hlm.103,105)
Prinsip Keberpihakan Anggaran Publik
Anggaran publik untuk sektor pendidikan di Jawa Barat ternyata lebih banyak dinikmati kalangan menengah atas. Anggaran pemerintah di Jawa Barat yang digelontorkan untuk sektor pendidikan menengah (SMP dan SMA) hanya 10%-nya saja yang dinikmati oleh 25% golongan paling kaya, menikmati secara tidak proporsional sebesar hampir 40%-nya. Apalagi untuk pendidikan tinggi. Golongan 25% terkaya menikmati sebagian besar anggaran pemerintah untuk pendidikan tinggi (65%-nya).

(hlm.106)
Walaupun saat ini, jumlah pengangguran terbuka kita hanya sekitar 8 juta orang, jumlah yang bekerja tidak penuh berjumlah 4 kali lipatnya, yaitu sekitar 34 juta orang. Pengangguran terselubung adalah akar dari kemiskinan di Indonesia.

(hlm.107)
Kartu Jakarta Pintar dan Ketimpangan
Hasil simulasi menunjukkan bahwa program KJP berpotensi mengurangi ketimpangan (indeks Gini) sebesar 1,6 persen. Mengingat rata-rata setiap tahun indeks Gini Jakarta naik 3 persen, pengurangan 1,6 persen itu bisa dikatakan spektakuler.

(hlm.111)
Sekali lagi: Ketimpangan dan Pertumbuhan
Dengan menggunakan data 92 negara, mereka menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan masyarakat 20 persen termiskin selalu naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah senjata ampuh untuk mengurangi kemiskinan. Benarkah?

(hlm.114)
Selama periode ketimpangan meningkat, sektor manufaktur tumbuh relatif lambat.

(hlm.116)
Penutup: Keadilan Untuk Pertumbuhan
Robert Lucas – ekonom peraih Nobel dari University of Chicago – dalam sebuah artikelnya “The Making of Miracle” (1993), menemukan bahwa kondisi perekonomian Korea Selatan dan Filipina pada tahun 1960 memiliki banyak kemiripan. Struktur ekonomi, pendapatan per kapita, jumlah penduduk, tingkat urbanisasi, serta tingkat pendidikan penduduknya hampir serupa.

(hlm.117)
Ternyata distribusi pendapatan di Korea dan Filipina di tahun 1960 sangat berbeda.

(hlm.119)
Kita menyadari bahwa mekanisme pasar memang menjanjikan efisiensi, tetapi tidak menawarkan keadilan.

(hlm.121)
Ketimpangan pada tingkatan tertentu yang disebabkan perbedaan usaha individu tidak dapat dihindari. Akan tetapi, karena individu tidak bisa memilih di mana harus dilahirkan, negara perlu menjamin tidak terjadi ketimpangan dalam prakondisi dengan memberikan pemerataan kesempatan, terutama akses terhadap kebutuhan dasar dalam rangka akumulasi human capital.

Artikel Terkait

Menemukan Kembali Liberalisme oleh Ludwig von Mises #3

Jalan Menuju Perbudakan oleh Friedrich A. Hayek

Problem Domestik Bruto oleh Lorenzo Fioramonti

error: Content is protected !!