Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Kebijakan Fiskal.
Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.
Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.
Selamat membaca.
Chandra Natadipurba
===
KEBIJAKAN FISKAL
PEMIKIRAN, KONSEP, DAN IMPLEMENTASI
Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Buku Kompas, Februari 2004
PT Kompas Media Nusantara
KMN 91004007
Editor: Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat
Desain sampul: A. Novi Rahmawanta
Penata teks: Ratno dan Irwan Suhanda
ISBN: 979-709-120-1
Cetakan ke-1, Februari 2004
Cetakan ke-2, Oktober 2004
(hlm.1)
Bab I Pendahuluan
(hlm.3)
Pendahuluan
Berawal dari pengamatan empiris dan pemikiran tentang peran pemerintah dalam perekonomian dan pembangunan ekonomi, para ahli ekonomi kemudian merumuskan teori kebijakan fiskal.
(hlm.5)
Tanpa seluruhnya disadari oleh banyak pihak, rangkaian langkah-langkah perubahan/deregulasi di sektor keuangan (APBN & pasar uang), perdagangan (khususnya perdagangan luar negeri), dan investasi ternyata merupakan langkah besar yang mengarah pada pergantian “kemudi ekonomi Indonesia” dari pihak pemerintah ke mekanisme pasar. Sekaligus membawa perekonomian Indonesia pada posisi yang sangat terbuka terhadap perekonomian dunia yang penuh dengan gejolak dan ketidakpastian.
(hlm.11)
Bab II Pembangunan Ekonomi dan Reformasi Kebijakan Fiskal
(hlm.13)
Reformasi Ekonomi di Indonesia: Transisi dari Ketergantungan Sumber Daya ke Daya Saing Internasional
ALI WARDHANA
Peningkatan pertumbuhan ekonomi mendorong peningkatan lapangan kerja, di mana kontribusi terbesar pada penciptaan lapangan kerja terjadi di industri padat karya yang berorientasi ekspor.
(hlm. 14)
Pengantar
Pemerintahan Orde Baru berkomitmen pada trilogi pembangunan: pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas.
(hlm. 15)
Reformasi Utama
Reformasi Stabilisasi
Meskipun reformasi utama yang mendukung transisi Indonesia ke pertumbuhan ekspor manufaktur dilakukan pada tahun 1980-an, benih-benih perubahan telah ditanam lebih awal. Pemerintahan Orde Baru yang berkuasa setelah pemberontakan tahun 1965 menghadapi situasi politik dan ekonomi yang kacau.
Program stabilisasi pertama diumumkan pada bulan September 1966, setelah tercapai kesepakatan awal dengan para kreditor Barat mengenai keringanan utang dan pinjaman baru. Pada saat itu, sejumlah langkah diambil untuk memperketat pasokan uang, mengakhiri subsidi untuk barang konsumsi “utama”, menghapus semua pembatasan kuantitatif pada impor, dan mendevaluasi rupiah.
Dua ciri manajemen makroekonomi yang diadopsi selama periode stabilisasi telah menjadi panduan ekonomi sejak saat itu. Pertama, Pemerintah Orde Baru membatasi kebijakannya dengan mewajibkan anggaran seimbang setiap tahun.
(hlm. 16)
Kedua, pada tahun 1970, pemerintah menyatakan rupiah sebagai mata uang yang sepenuhnya dapat dikonversi, tanpa pembatasan aliran devisa masuk atau keluar dari Indonesia.
(hlm. 17)
Mobilisasi sumber daya juga ditekankan sebagai cara untuk mengurangi tekanan pada neraca pembayaran. Berbagai program kredit terarah dihentikan, dan Bank Negara diizinkan menetapkan sendiri suku bunganya, yang sebelumnya dibebaskan dari regulasi suku bunga. Namun, reformasi paling signifikan yang diperkenalkan saat itu adalah reformasi pajak Desember 1983.
Sering dikatakan bahwa reformasi pajak merupakan respons terhadap penurunan harga minyak tahun 1983. Pajak baru mengurangi jumlah tarif pajak menjadi tiga—15%, 25%, dan 35%—dan beralih ke sistem pajak penghasilan yang dilaporkan sendiri. Untuk memudahkan penegakan, batas pendapatan kena pajak digandakan, sehingga mengurangi proporsi populasi yang dikenai pajak penghasilan dari 15% menjadi 10%.
Pada April 1985, reformasi awal ini diikuti dengan pengenalan pajak pertambahan nilai sebesar 10%. Di sini juga, Indonesia merupakan pelopor. Ini bukan hanya negara berkembang pertama yang mengadopsi prinsip-prinsip pajak modern, tetapi juga negara pertama yang memperkenalkan sistem pajak pertambahan nilai. Dampak dari langkah-langkah ini adalah menghilangkan pengecualian pemborosan yang didistribusikan. Beberapa tahun kemudian, reformasi ini diikuti dengan pengenalan undang-undang pajak properti baru yang secara menyeluruh merevisi pajak tersebut, menempatkannya pada pijakan yang lebih adil.
(hlm. 18)
Reformasi Perdagangan
Perilaku mencari rente merajalela, dan otoritas bea cukai menjadi korup dan tidak efisien, yang semakin berkontribusi pada tingginya biaya impor, sementara perubahan nilai tukar jarang terjadi dan seringkali mendadak.
Inefisiensi ini, yang dikenal sebagai “ekonomi berbiaya tinggi,” dapat ditoleransi selama pendapatan minyak menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk investasi dan pertumbuhan.
Keseriusan upaya untuk mengurangi, atau setidaknya mengurangi, hambatan terhadap peningkatan kinerja ekspor dicontohkan oleh INPRES (Instruksi Presiden) No. 4, yang dikeluarkan pada April 1985. Keputusan ini secara drastis mengurangi dan menyederhanakan prosedur administratif untuk impor dan ekspor, memungkinkan penggunaan kapal asing yang lebih besar, memperpanjang operasi pelabuhan hingga 24 jam sehari, dan membawa perusahaan swasta Swiss, Societe General de Surveillance (SGS), untuk menyediakan izin bea cukai bagi semua pengiriman yang bernilai lebih dari $5.000. Dalam beberapa bulan, pelabuhan menjadi lancar, dan pendapatan tarif meningkat, sementara biaya impor turun secara signifikan.
(hlm. 19)
Pada tahun 1985, produk primer seperti karet, kopi, teh, timah, dan aluminium menyumbang hampir setengah dari total ekspor non-migas; pada tahun 1994, pangsa mereka turun menjadi sekitar seperempat, meskipun nilai absolutnya meningkat.
(hlm. 22)
Reformasi Sektor Keuangan
Bank-bank negara ini terus mendominasi sistem perbankan, sementara suku bunga dikendalikan dan kredit secara langsung dialokasikan ke berbagai bank dan sektor.
(hlm. 25)
Sejak akhir 1984, tahun pertama reformasi, hingga Desember 1995, volume kredit pedesaan yang beredar dari Unit Desas telah berkembang 29 kali lipat. Unit Desas kini menjadi operasi BRI yang paling menguntungkan, memobilisasi tabungan substansial sambil menyediakan dana yang dibutuhkan oleh petani kecil dan peminjam pedesaan.
(hlm. 27)
Lapangan Kerja dan Upah
Lapangan kerja di sektor manufaktur tumbuh pada tingkat tahunan 5,6 persen selama periode 1971 hingga 1985, tetapi meningkat menjadi 7,2 persen selama lima tahun berikutnya.
Peningkatan Kesejahteraan dan Pengurangan Kemiskinan
Beberapa perkiraan menunjukkan bahwa hampir 60 persen penduduk, sekitar 70 juta orang, hidup dalam kemiskinan absolut pada tahun 1970. Sejak saat itu, kemiskinan telah menurun secara signifikan dan konsisten. Memang, selama tahun 1970 hingga 1987, Indonesia mencatat penurunan tahunan rata-rata tertinggi dalam insiden kemiskinan di antara negara-negara yang dipelajari oleh Bank Dunia.
(hlm. 29)
Pemikiran Akhir
Ada dua pertanyaan yang masih perlu dijawab. Apa yang memungkinkan Indonesia melakukan proses reformasi ekonomi sambil mempertahankan catatan yang relatif baik dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan pertanian? Dan apa agenda reformasi yang tersisa?
Sudah ada jawaban parsial untuk pertanyaan mengapa proses reformasi berhasil di Indonesia. Pertama, tim ekonomi memenangkan kepercayaan para politisi, dan bahkan masyarakat, dengan berhasil menstabilkan ekonomi setelah kekacauan tahun 1965. Kedua, kebijakan tersebut mempertahankan keseimbangan relatif antara sektor pertanian dan industri, serta antara populasi pedesaan dan perkotaan. Sebagian, hal ini mencerminkan fakta bahwa Indonesia adalah, dan hingga batas tertentu masih merupakan, masyarakat agraris pedesaan. Namun, hal ini juga mencerminkan akar pertanian yang kuat dari kepemimpinan nasional, yang perhatiannya terhadap masyarakat miskin pedesaan sangat mendalam dan tulus. Ketiga, proses reformasi dilakukan selama periode waktu yang relatif panjang. Meskipun mode saat ini lebih menyukai terapi “kejutan” yang lebih dramatis, konteks sosial Indonesia lebih mendukung pendekatan bertahap, yang lebih bisa diterima daripada serangkaian reformasi yang mendadak.
Berdasarkan per kapita, cadangan minyak (dan gas) Indonesia menempatkannya di antara yang paling miskin di antara negara-negara penghasil minyak dan gas utama.
(hlm. 32)
Isu-isu Mengenai Pembiayaan Pembangunan Indonesia
J.B. SUMARLIN
Hubungan ekonomi antara Jepang dan Indonesia pasti merupakan salah satu hubungan bilateral terkuat di dunia saat ini.
(hlm. 33)
Jepang merupakan pasar tunggal terbesar untuk ekspor Indonesia, dan dengan margin yang sangat lebar.
(hlm. 34)
Selama 19 tahun yang telah berlalu sejak proses perencanaan pembangunan ekonomi yang teratur dimulai pada tahun 1969 dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I) yang pertama, manajemen ekonomi di Indonesia didorong oleh beberapa tujuan dasar:
- Pertama, mempertahankan dan memperkuat basis ekonomi pertanian negara melalui investasi publik yang stabil dalam infrastruktur dan teknologi yang lebih baik.
- Kedua, mengembangkan kemampuan domestik dalam manufaktur primer, sekunder, dan tersier yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumen domestik serta memproduksi barang untuk ekspor.
- Ketiga, menginvestasikan dana publik dalam persyaratan infrastruktur pembangunan nasional yang mencakup perhatian yang sama pada kesejahteraan manusia (melalui pendidikan, perumahan, dan kesehatan masyarakat) dan pada pertumbuhan ekonomi (melalui transportasi, komunikasi, utilitas, jasa keuangan, dan lainnya).
- Keempat, memanfaatkan sebaik mungkin sumber daya alam negara dengan eksploitasi dan pemasaran yang kompeten dan, jika memungkinkan, dengan menambahkan nilai pada produk-produk ini melalui operasi pemrosesan sekunder.
(hlm. 38)
Tiga langkah khusus—reformasi pajak, reorganisasi bea cukai, dan penggantian hambatan non-tarif (NTB) dengan struktur tarif yang adil—tidak hanya berfungsi sebagai stimulus yang berharga bagi pertumbuhan bisnis sektor swasta tetapi juga membantu meningkatkan pendapatan pemerintah.
(hlm. 39)
Proyeksi negara menunjukkan bahwa selama tahun anggaran berjalan, arus masuk modal resmi total yang diperlukan (kesenjangan pembiayaan) dalam bentuk pencairan tidak kurang dari US$5,3 miliar.
(hlm. 40)
Berdasarkan contoh-contoh nyata, alternatif kebijakan utama bagi negara-negara donor saat ini dapat mencakup tiga alternatif pembiayaan utama:
- Pertama, konversi seluruh, atau sebagian, portofolio pinjaman yang ada dari utang menjadi hibah—sebagai bentuk penghapusan utang yang telah terjadi pada tanggal tertentu.
- Kedua, pergeseran komitmen masa depan dari pinjaman—seberapa pun menariknya ketentuan pinjaman tersebut—ke hibah langsung, tanpa ketentuan pembayaran kembali dan tanpa syarat yang menentukan bagaimana hibah tersebut harus digunakan.
- Ketiga, dalam kasus dana yang masih disediakan sebagai pinjaman, opsi pembayaran dengan mata uang—setara dengan fasilitas “swap” mata uang—yang menetapkan nilai tetap pada pinjaman saat pinjaman tersebut diterbitkan.
(hlm. 43)
Bab III: Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya
BOEDIONO
Abstraksi
Makalah ini mengulas apa yang sedang dihadapi oleh pengelola fiskal saat ini, dan menjelaskan upaya-upaya yang harus ditempuh untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Strategi utama yang harus ditempuh untuk keluar dari krisis adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan. Kepercayaan merupakan faktor sentral di bidang ekonomi pada umumnya, demikian pula secara khusus dalam pengelolaan kebijakan fiskal. Selanjutnya dilakukan reformasi fiskal yang lebih mengakar: reformasi perpajakan, reformasi kepabeanan, reformasi anggaran, dan reformasi Departemen Keuangan.
Selangkah demi selangkah kita mulai keluar dari krisis yang berawal lebih dari 6 tahun yang lalu. Peringatan Tahun Baru 2004 ini ditandai dengan berakhirnya program ekonomi kita dengan IMF. Pada awal Februari nanti, BPPN, salah satu institusi penting dalam menangani krisis, akan mengakhiri tugasnya. Sementara itu, dalam dua tahun terakhir ini hampir semua indikator ekonomi makro Indonesia terus menunjukkan perbaikan yang mantap. Semua ini menunjukkan bahwa secara simbolis dan substantif, krisis telah berlalu.
(hlm. 44)
Keuangan Negara dan Krisis
Beban Utang Meningkat. Pada tahun 1998, tahun yang paling kelabu dalam krisis, Indonesia mengalami kombinasi dua penyakit ekonomi yang paling fatal: sektor riil yang macet dan hiperinflasi.
Pada tahun 2000, sewaktu proses rekapitalisasi perbankan rampung, utang pemerintah mencapai Rp 1.226,1 triliun (setara USD 60,8 miliar pada waktu itu) atau sekitar 96% dari PDB. Melonjaknya beban utang itu hampir seluruhnya karena timbulnya utang dalam negeri dalam jumlah besar sebagai akibat dari upaya kita untuk menyelamatkan sektor perbankan yang berantakan dilanda krisis.
(hlm. 45)
Jumlah utang dalam negeri sebesar Rp 643 triliun itu merupakan akumulasi dari biaya yang timbul dari tiga kebijakan pokok untuk menopang perbankan nasional selama krisis. Ketiga kebijakan tersebut dilaksanakan secara hampir berurutan sejalan dengan tahap perkembangan krisis.
Kebijakan BLBI
Kebijakan yang pertama adalah untuk mengatasi situasi darurat berupa kelangkaan likuiditas yang akut akibat dari arus dana keluar yang tidak terbendung dan makin membesar dari sistem perekonomian kita…
Kebijakan Penjaminan Bank
Kebijakan pokok yang kedua mulai dilaksanakan sekitar bulan Maret 1998, yaitu kebijakan penjaminan bank.
(hlm. 46)
Kebijakan Rekapitalisasi Kebijakan pokok yang ketiga adalah kebijakan rekapitalisasi bank yang dimulai pada pertengahan tahun 1999. Rekapitalisasi dilakukan untuk memperkuat permodalan bank-bank yang diidentifikasi sebagai bank-bank yang masih layak diselamatkan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memulihkan kesehatan bank-bank nasional, sehingga mereka bisa kembali beroperasi secara normal dan membantu pemulihan perekonomian nasional.
Pada tahun 1999 dan 2000, pemerintah mengeluarkan obligasi rekapitalisasi dengan total nominal sebesar Rp 430 triliun. Ini merupakan beban yang sangat besar bagi APBN, terutama karena pemerintah harus membayar bunga obligasi ini setiap tahunnya.
(hlm. 47)
Penyusutan Utang Meskipun beban utang pemerintah masih tinggi, beberapa tahun terakhir ini kita telah berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB. Pada akhir tahun 2003, rasio utang terhadap PDB telah turun menjadi sekitar 67%. Ini adalah pencapaian yang signifikan mengingat bahwa pada puncaknya pada tahun 2000, rasio ini mencapai hampir 100%. Penurunan ini terutama disebabkan oleh dua faktor: pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan kebijakan fiskal yang hati-hati sehingga mampu menghasilkan surplus anggaran primer.
(hlm. 49)
Bab IV: Kebijakan Moneter dalam Krisis dan Tantangan ke Depan
Miranda S. Goeltom
Pendahuluan Makalah ini mencoba mengulas kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Indonesia sejak krisis terjadi hingga saat ini. Krisis yang diawali pada pertengahan tahun 1997 segera meluas menjadi krisis yang tidak hanya melanda sistem keuangan tetapi juga sistem perekonomian secara keseluruhan. Berbagai kebijakan moneter yang diterapkan selama krisis ini difokuskan untuk menanggulangi dampak krisis terhadap stabilitas moneter dan perbankan nasional.
(hlm. 50)
Pada tahap awal krisis, kebijakan moneter diarahkan untuk meredam dampak negatif krisis terhadap sistem perbankan dan pasar keuangan. Namun, pada tahap selanjutnya, kebijakan moneter mulai diarahkan untuk memulihkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah dan sistem keuangan nasional.
(hlm. 51)
Mekanisme Penyesuaian Salah satu kebijakan utama yang diterapkan oleh Bank Indonesia selama krisis adalah kebijakan pengetatan moneter melalui kenaikan suku bunga. Kebijakan ini diambil untuk mencegah lebih lanjutnya depresiasi rupiah dan untuk meredam inflasi. Namun, kebijakan ini juga memiliki dampak negatif terhadap perekonomian, terutama terhadap sektor riil yang semakin tertekan oleh tingginya biaya pinjaman.
(hlm. 53)
Langkah-Langkah Pemulihan Setelah fase awal pengetatan moneter, Bank Indonesia mulai mengambil langkah-langkah pemulihan. Salah satu langkah penting adalah menurunkan suku bunga secara bertahap seiring dengan mulai stabilnya kurs rupiah dan terkendalinya inflasi. Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan upaya untuk memperkuat likuiditas perbankan nasional, melalui berbagai instrumen moneter seperti operasi pasar terbuka dan fasilitas diskonto.
(hlm. 54)
Kebijakan-kebijakan ini berhasil memulihkan stabilitas moneter, meskipun pemulihan penuh dari dampak krisis membutuhkan waktu yang cukup panjang. Pada tahun-tahun berikutnya, Bank Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas moneter dengan tetap memperhatikan perkembangan ekonomi global dan domestik.
(hlm. 57)
Bab V: Tantangan Pembangunan Jangka Panjang
Sofyan Djalil
Pengantar Pembangunan ekonomi Indonesia dalam beberapa dekade terakhir telah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Namun, tantangan yang dihadapi ke depan tetap besar. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi perlu terus dijaga agar dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada saat yang sama, kita juga harus menghadapi tantangan globalisasi, perubahan teknologi, dan isu-isu lingkungan yang semakin mendesak.
(hlm. 58)
Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, di mana semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat dari pertumbuhan tersebut. Selain itu, kita juga harus mampu menjaga stabilitas ekonomi makro agar tidak mudah terpengaruh oleh guncangan eksternal.
(hlm. 60)
Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah salah satu konsep yang harus menjadi dasar dalam perencanaan pembangunan jangka panjang Indonesia. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kemajuan ekonomi yang dicapai tidak merusak sumber daya alam yang kita miliki. Pembangunan yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan akan berdampak buruk bagi generasi mendatang.
(hlm. 61)
Pemerintah harus terus memperkuat kebijakan-kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan, termasuk di antaranya adalah pengelolaan sumber daya alam yang lebih efisien, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan investasi dalam teknologi ramah lingkungan.
Konsolidasi Fiskal serta Stabilisasi Politik, Sosial, dan Keamanan
Di sisi lain, jika subsidi dibiarkan, maka akan muncul disparitas harga dalam dan luar negeri, yang dapat mendorong terjadinya penyelundupan, dan pada gilirannya akan menyebabkan kelangkaan pasokan di dalam negeri, serta dampak akhirnya adalah inflasi. Apa pun kebijakan pemerintah yang diambil mengenai subsidi, akan dapat berakibat pada inflasi.
(hlm. 62)
Penutup
Pemilu 1999 telah menggeser posisi tawar berbagai partai politik. Posisi tawar militer melemah terhadap sipil. Posisi tawar daerah menguat terhadap pusat. Posisi tawar lembaga legislatif menguat terhadap lembaga eksekutif, seiring dengan menguatnya posisi tawar masyarakat di hadapan negara. Posisi tawar kelas sosial bawah menguat terhadap kelas menengah, dan itu menerangkan anomali di pasar tenaga kerja yang telah diungkapkan di muka.
(hlm. 65)
Bab III: Kebijakan Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(hlm. 67)
1. Kebijakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Berimbang dan Dinamis
FRANS SEDA
Sebagai sistem kebijakan fiskal yang diperkenalkan oleh Kabinet Ampera di awal pemerintahan Orde Baru (Orba), kebijakan anggaran berimbang dan dinamis merupakan kebijakan yang unik. Selain berbeda dengan standar teori keuangan negara, karena memasukkan pinjaman luar negeri sebagai bagian dari penerimaan negara, keunikan tersebut muncul dari maksud dan tujuan digunakannya kebijakan tersebut. Kebijakan anggaran berimbang dan dinamis, pada awalnya ditujukan untuk mengatasi masalah hiperinflasi yang mencapai 650% pada pertengahan tahun 1966, yang terjadi karena adanya pencetakan uang untuk mengatasi defisit APBN.
(hlm. 68)
APBN Berimbang dan Dinamis dalam Sejarah
APBN berimbang dan dinamis diperkenalkan oleh Kabinet Ampera (Kabinet Orba) yang pertama di bawah pimpinan Presiden Soekarno dan Panglima Keamanan Nasional Jenderal Soeharto, sebagai pemegang pimpinan pemerintahan harian. APBN berimbang dan dinamis menggantikan anggaran moneter. APBN berimbang dan dinamis dibuat dalam rangka penerbitan keuangan negara dan usaha menumpuk dana negara secara sehat guna membiayai pembangunan.
(hlm. 69)
Bagaimana Sistem Kerjanya?
Struktur APBN terdiri dari anggaran penerimaan dan anggaran belanja. Pada sisi penerimaan dicatat penerimaan dari dalam negeri dan penerimaan dari luar negeri (pinjaman). Sedangkan pada sisi pengeluaran terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan. Kedua mata anggaran di kedua sisi APBN tersebut dikonfrontasikan satu sama lain. Penerimaan dalam negeri digunakan untuk membiayai belanja rutin, sedangkan penerimaan luar negeri digunakan untuk membiayai belanja pembangunan.
(hlm. 70)
Pemikiran Mengenai Internal Balance dan Internal Saving
Pemikiran mengenai internal balance dan internal saving di dalam APBN berimbang dan dinamis diilhami oleh formula dari national income Y = C + I dan Y = C + S, di mana:
- Y adalah Pendapatan Negara dari Dalam Negeri
- Y¹ adalah Pendapatan Negara dari Luar Negeri
- C adalah Pengeluaran/Belanja Rutin
- I adalah Pengeluaran/Belanja Pembangunan
- S adalah Tabungan (Negara)
(hlm. 85-86)
Penutup
Teringat kami suatu kejadian, ketika kami membawakan APBN berimbang dan dinamis tahun 1968 untuk disetujui Presiden di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Beliau telah dikerumuni Jenderal-Jenderal TNI, yang menjadi menteri, baik Kopkamtib maupun Bakin. Setelah mendengar uraian kami, semua Jenderal menganjurkan Presiden untuk menolak kenaikan harga BBM yang kami usulkan itu.
(hlm. 88)
2. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia
DONO ISKANDAR DJOJOSUBROTO
I. Pendahuluan
Secara umum terdapat empat permasalahan ekonomi makro yaitu: (1) tingkat harga agregat (inflasi); (2) produk domestik bruto (PDB); (3) penyerapan tenaga kerja (employment); dan (4) neraca pembayaran atau balance of payment (BOP). Keempat permasalahan ekonomi makro tersebut dapat dipengaruhi oleh pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter, yang umumnya dilaksanakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu, institusi fiskal (Departemen Keuangan) dan institusi moneter (Bank Indonesia). Dengan demikian, koordinasi antara dua institusi ini sangat diperlukan untuk mencapai target-target ekonomi makro yang sudah ditetapkan.
(hlm. 89)
Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Di Indonesia, dan juga di banyak negara lain, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter selalu menjadi masalah. Sumber-sumber dari permasalahan tersebut, antara lain:
- Ketidakjelasan penugasan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada Departemen Keuangan dan Bank Sentral
- Kedudukan Bank Sentral dalam pemerintahan, yaitu sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan yang independen dari pemerintah
- Persepsi dari pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Departemen Keuangan mengenai koordinasi yang harus dilakukan
- Instrumen yang dipakai oleh Bank Sentral dalam operasi pasar
- Tingkat kemajuan pasar modal.
(hlm. 89)
Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Di Indonesia, dan juga di banyak negara lain, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter selalu menjadi masalah. Sumber-sumber dari permasalahan tersebut, antara lain:
- Ketidakjelasan penugasan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada Departemen Keuangan dan Bank Sentral
- Kedudukan Bank Sentral dalam pemerintahan, yaitu sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan yang independen dari pemerintah
- Persepsi dari pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Departemen Keuangan mengenai koordinasi yang harus dilakukan
- Instrumen yang dipakai oleh Bank Sentral dalam operasi pasar
- Tingkat kemajuan pasar modal.
(hlm. 94)
Instrumen Kebijakan Moneter
Instrumen kebijakan moneter Bank Sentral secara umum terdiri dari tiga jenis, yaitu:
- Open Market Operation (OMO)
Operasi pasar terbuka dalam bentuk jual-beli surat berharga negara (SBN) untuk menyerap atau menyuntikkan likuiditas. - Discount Rate
Bank Sentral menetapkan tingkat bunga diskonto yang mempengaruhi tingkat bunga di pasar. - Reserve Requirement
Bank Sentral dapat menentukan tingkat cadangan minimum yang harus dipenuhi oleh perbankan.
(hlm. 95)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koordinasi
Faktor utama yang mempengaruhi koordinasi kebijakan fiskal dan moneter adalah persepsi dari pimpinan institusi yang terkait mengenai peran masing-masing kebijakan dalam perekonomian. Selain itu, kemajuan teknologi dalam pasar keuangan dan perkembangan ekonomi global juga dapat mempengaruhi koordinasi kebijakan ini.
(hlm. 100)
Bab IV: Krisis Ekonomi dan Kebijakan Pemerintah
(hlm. 102)
1. Krisis Ekonomi 1997-1998 di Indonesia
Pada pertengahan tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat besar. Krisis ini bermula dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang kemudian menyebar ke seluruh sektor perekonomian. Pada puncaknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelumnya mencapai 7-8 persen per tahun, terperosok menjadi -13 persen pada tahun 1998.
(hlm. 103)
Penyebab Krisis
Penyebab utama dari krisis ekonomi ini adalah kombinasi antara kelemahan struktural dalam perekonomian Indonesia, ketergantungan pada utang luar negeri, dan kurangnya pengawasan dalam sektor perbankan. Krisis ini juga diperparah oleh spekulasi mata uang di pasar internasional dan lemahnya respons kebijakan pemerintah pada awal krisis.
(hlm. 110)
Kebijakan Pemerintah dalam Menghadapi Krisis
Pemerintah Indonesia, dengan bantuan dari International Monetary Fund (IMF), mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk menangani krisis. Kebijakan tersebut meliputi:
- Reformasi sektor keuangan, termasuk penutupan beberapa bank yang tidak sehat
- Pengendalian inflasi melalui kebijakan moneter yang ketat
- Restrukturisasi utang luar negeri
- Penyediaan paket stimulus untuk memulihkan sektor riil.
(hlm. 120)
Dampak Krisis Terhadap Masyarakat
Krisis ekonomi ini berdampak sangat besar pada masyarakat Indonesia, terutama kelompok ekonomi bawah. Tingkat kemiskinan meningkat tajam, dan banyak perusahaan yang terpaksa mem-PHK karyawannya. Krisis ini juga menyebabkan ketidakstabilan politik yang akhirnya menggulingkan rezim Orde Baru pada tahun 1998.
(hlm. 140)
Bab V: Reformasi Ekonomi di Era Pasca Krisis
(hlm. 150)
Reformasi Kebijakan Moneter
Setelah krisis ekonomi, Bank Indonesia menjalani reformasi besar-besaran, termasuk di dalamnya adalah kebijakan independensi Bank Sentral. Independensi ini bertujuan untuk memastikan bahwa kebijakan moneter lebih fokus pada pengendalian inflasi dan stabilitas ekonomi, tanpa intervensi dari pemerintah.
(hlm. 160)
Kebijakan Fiskal Pasca Krisis
Di sektor fiskal, pemerintah Indonesia melakukan berbagai reformasi untuk memperkuat anggaran negara, termasuk perbaikan dalam pengelolaan utang luar negeri dan peningkatan penerimaan negara melalui reformasi pajak. Reformasi ini berhasil membawa perekonomian Indonesia kembali ke jalur pertumbuhan pada awal 2000-an.
(hlm. 180)
Bab VI: Tantangan Perekonomian Indonesia di Masa Depan
(hlm. 190)
1. Ketergantungan pada Sumber Daya Alam
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah ketergantungan pada ekspor sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi. Ketergantungan ini membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.
(hlm. 200)
2. Pembangunan Sumber Daya Manusia
Indonesia perlu meningkatkan investasi dalam pendidikan dan kesehatan untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Tanpa tenaga kerja yang terdidik dan sehat, perekonomian Indonesia akan kesulitan untuk bersaing di pasar global.
(hlm. 210)
3. Penguatan Infrastruktur
Investasi besar dalam infrastruktur sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah Indonesia telah memulai berbagai proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam implementasinya.
(hlm. 220)
4. Diversifikasi Ekonomi
Untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam, Indonesia perlu mendiversifikasi perekonomiannya ke sektor-sektor lain, seperti manufaktur dan jasa. Diversifikasi ini akan membantu meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap guncangan global.
(hlm. 240)
Penutup
Perekonomian Indonesia telah melalui berbagai tantangan besar, mulai dari krisis ekonomi hingga reformasi kebijakan. Di masa depan, Indonesia harus fokus pada pembangunan sumber daya manusia, penguatan infrastruktur, dan diversifikasi ekonomi untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif.
(hlm. 250)
Bab VII: Reformasi Sektor Keuangan di Indonesia
(hlm. 251)
1. Kondisi Sebelum Reformasi
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997-1998, sektor keuangan di Indonesia masih didominasi oleh perbankan yang beroperasi dengan pengawasan yang minim. Akibatnya, banyak bank yang mengalami masalah likuiditas ketika krisis terjadi. Ini menunjukkan bahwa pengaturan dan pengawasan yang ketat sangat penting untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
(hlm. 252)
2. Kebijakan Setelah Krisis
Setelah krisis, pemerintah Indonesia memperkenalkan sejumlah reformasi di sektor keuangan, termasuk:
- Penguatan Pengawasan Perbankan: Bank Indonesia diberi wewenang yang lebih besar untuk mengawasi perbankan dan memastikan kesehatan lembaga keuangan.
- Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK): OJK dibentuk untuk mengawasi sektor keuangan secara lebih luas, termasuk perbankan, pasar modal, dan asuransi.
- Penjaminan Simpanan: Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dibentuk untuk menjamin simpanan nasabah di perbankan, yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan.
(hlm. 255)
3. Tantangan di Masa Depan
Meskipun reformasi telah berhasil memperkuat sektor keuangan, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti:
- Inklusi Keuangan: Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki akses ke layanan perbankan. Untuk mencapai inklusi keuangan yang lebih luas, diperlukan kebijakan yang mendorong akses ke layanan keuangan digital.
- Pengembangan Pasar Modal: Pasar modal Indonesia masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Pengembangan pasar modal penting untuk mendukung pendanaan bagi sektor swasta dan infrastruktur.
(hlm. 260)
4. Digitalisasi Sistem Keuangan
Dengan kemajuan teknologi, sektor keuangan Indonesia harus bersiap menghadapi digitalisasi. Bank dan lembaga keuangan lainnya perlu beradaptasi dengan inovasi digital, seperti fintech, untuk meningkatkan efisiensi dan memperluas jangkauan layanan keuangan. Pada saat yang sama, regulator perlu memperketat pengawasan terhadap risiko yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi keuangan.
PERMANA AGUNG
Sentral dari makalah ini adalah ekposisi grafis Laffer Curve. Karena itu, lingkup materi tulisan ini terbatas pada penjabaran variabel atau besaran ekonomis yang berkaitan dengan konstruksi atau postur dari kurva Laffer tersebut. Besaran ekonomis yang dimaksud adalah money income dan tingkat tarif pada sumbu vertikal serta variabel incentive to work dan tingkat penerimaan negara pada sumbu horisontal. Dari konstruksi korelasi positif dan negatif antarbesaran itu, terdapat konsepsi ekonomis lainnya, dan salah satu di antaranya disebut sebagai prohibitive range for government. Rentang yang terlarang bagi pemerintah untuk memiliki tingkat tarif pada range ini akan menjadi fokus bahasan penulis dalam mengevaluasi struktur tarif cukai tembakau, khususnya untuk periode 1989, 1990, dan 1991. (hlm.255)
Cukai merupakan salah satu bentuk pajak tidak langsung, namun ternyata memiliki karakteristik yang berbeda, yang khusus, yang tidak dimiliki oleh jenis-jenis pajak lainnya, bahkan tidak serupa dengan jenis pajak yang sama-sama tergolong kategori pajak tidak langsung.
Pengertian dari sifat eksklusif yang melekat pada cukai terlihat dari tiga karakteristik berikut: pertama, selectivity di dalam coverage. Karakteristik ini mengakibatkan bahwa cukai merupakan selective taxes. Cukai dikenakan terhadap beberapa jenis barang tertentu, dan setiap barang yang “wajib cukai” diatur secara individu di dalam undang-undangnya. Selanjutnya, sifat dari selektivitas ini juga mengisyaratkan bahwa tingkat tarif ditentukan secara terpisah untuk masing-masing barang wajib cukai.
Kedua, terdapat aneka ragam argumentasi untuk pembenaran pungutan cukai. Pada dasarnya, argumentasi itu bervariasi di dalam latar belakang, dasar pertimbangan, rancangan konsep yang dianut, dan kriteria sasaran yang ingin dicapainya. Keanekaragaman argumentasi ini, antara lain: (i) pengawasan tingkat konsumsi dari barang-barang tertentu, (ii) internalize negative externalities, (iii) meningkatkan derajat efisiensi di dalam penggunaan resources, (iv) mendorong growing high yielding plant, (v) mendorong employment creation, dan (vi) kepentingan penerimaan negara. Begitu bervariasinya alasan pemungutan cukai ini sehingga argumentasi penerimaan negara tidak menjadi dasar utama penetapan tingkat tarif, sebagaimana halnya untuk jenis-jenis pajak lainnya.
Ketiga, cukai secara implisit mengisyaratkan perlunya bentuk kontrol yang bersifat fisik dalam rangka penentuan excise liability dan untuk meyakinkan bahwa implementasi aspek yuridis dengan totalitas perangkat peraturan perundang-undangannya dapat terlaksana. (hlm.257)
Kelemahan Kurva Laffer
Penyajian kelemahan dari kurva Laffer dimaksudkan untuk meningkatkan awareness para pembaca atau para policy designer terhadap perlunya pendekatan lainnya yang sifatnya melengkapi eksposisi kurva Laffer. Di Amerika, “The Tax Reductions Act of 1977” yang lebih dikenal sebagai Kemp/Roth Tax Cut Bill telah menjadi subjek yang sangat populer di Kongres dan tingkat nasional. Bill itu sendiri mempunyai dasar filosofi yang bersumber pada mekanisme korelatif yang digambarkan oleh suatu kurva yang disebut kurva Laffer. Pada tahun 1981, kurva Laffer telah menjadi fondasi teoretis empiris dari apa yang disebut Economic Recovery Tax Act of 1981 (ERTA). Namun, sebagai suatu konsep, kurva Laffer masih tidak terhindar dari berbagai kelemahan. Beberapa di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut: pertama, respon suatu kebijakan fiskal tergantung pada state of the economy dalam arti luas, bukan industri per industri dan bukan pabrik per pabrikan. Tax reduction dalam konteks perekonomian yang excess capacity akan mempunyai efek terutama pada tingkat produksi dan employment. Pressure terhadap inflasi ini pada gilirannya akan merugikan low dan middle income groups. Kurva Laffer tidak memperhatikan sampai derajat kondisi ekonomi seluas itu.
Kedua, Kurva Laffer merupakan eksposisi grafis yang terlalu sederhana dan mencoba merangkum totalitas aspek makroekonomis ke dalam satu garis kurva. (hlm.258)
Ketiga, kurva Laffer pada kerangka konsepsinya lebih memusatkan perhatian pada masalah incentive dan supply side effects. Kurva Laffer mengabaikan mekanisme yang sebenarnya tidak kalah pentingnya yaitu demand side effects. (hlm.260)
Umumnya, suatu analisis pajak tidak langsung tidak pernah menguji asumsi fundamental yang dipergunakan, yakni asumsi pergeseran ke depan (forward shifting assumption). Sekalipun penulis telah pernah secara formal, teoretis, membuktikan dengan data empiris, untuk periode observasi tahun 1984 sampai dengan tahun 1989, beban dari cukai hasil tembakau adalah fully shifted forward (Agung, 1989), namun perkembangan terakhir, khususnya era di sekitar kebijakan cukai hasil tembakau tanggal 1 April 1991, sudah menjadi fenomena umum bahwa sebagian beban cukai hasil tembakau juga bergeser ke belakang (backward shifted).
Gambar 1, dengan konstruksi tarif 0 (nol) persen, para pekerja akan mempunyai motivasi bekerja yang terbesar. Mereka dapat memperoleh 100 persen dari apa yang diproduksi. Tidak terdapat governmental wedge antara pendapatan sebelum pajak dan pendapatan setelah pajak. Dengan perkataan lain, tidak terdapat suatu governmental barrier dalam produksi. Jumlah waktu kerja akan penuh sebesar AB dan produksi akan maksimum. Jumlah money income yang diterima pun maksimum sebesar BC. Pada sisi yang lain, dengan konstruksi tarif 100 persen, para pekerja tidak mempunyai insentif sama sekali untuk bekerja. Semua produksi akan berhenti (zero production). Para pekerja tidak akan bekerja jika seluruh jerih payahnya diambil oleh negara.
Struktur fenomena yang tercermin dari ekposisi grafis pada Gambar 1, terutama dalam kaitannya dengan korelasi antara besar-besaran atau variabel-variabel dimaksud, terdapat beberapa hal mendasar yang perlu mendapatkan perhatian sebelum memasuki analisis grafis berikutnya.
Pertama, terdapat korelasi negatif antara tingkat tarif dari cukai hasil tembakau dan insentif untuk bekerja, dan dengan demikian sampai tingkat tertentu, juga pada tingkat agregat produksi di sektor rokok.
Kedua, bahwa tingkat tarif yang semakin tinggi tidak terlalu berarti akan menghasilkan tingkat penerimaan (cukai hasil tembakau) yang semakin tinggi pula.
(hlm. 265)
Analisis Tarif Cukai Tembakau
Sebagai dasar analisis dipergunakan perubahan struktur tingkat tarif cukai tembakau yang terjadi dari Tahun 1989 vide Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 244/KMK.00/1989 tanggal 13 Maret 1989 ke 1990 vide Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 319/KMK.00/1989 tanggal 9 Maret 1990. Adanya perubahan struktur tarif ini, yang sangat penting sebagai “impetus” evaluasi, sudah disadari jauh pada tahun 1950-an di mana John F. Due (1954) yang pertama kali melakukan penelitian atas respons dari harga barang-barang dan gas kebutuhan rumah tangga sebagai akibat dari adanya “1954 Legislation” yang menurunkan tax rate dari 10 persen menjadi 5 persen (Due, 1954). Adapun perbandingan struktur tarif dan strata produksi berdasarkan keputusan-keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas dapat dilihat di Tabel 1.
Dalam tulisan ini besarnya tingkat tarif cukai tembakau dari hasil tembakau jenis sigaret kretek tangan (SKT) kurang relevan untuk diobservasi, khususnya dalam rangka konstruksi kurva Laffer. Hal ini disebabkan karena dari tahun 1989 ke tahun 1990, masing-masing vide surat-surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, struktur tarif SKT secara umum tidak mengalami perubahan.
(hlm. 266)
Tabel 2, pabrikan SKM seperti: PT Djarum, PT HM. Sampoerna, PT Noyorono dan PT Sukun adalah representatif pabrikan yang mempunyai beban tingkat tarif cukai tembakau yang mengalami kenaikan dari tahun 1989 ke Tahun 1990, masing-masing dan berturut-turut dari 35 persen menjadi 37,5 persen, 32,5 persen menjadi 35 persen; dari 30 persen menjadi 32,5 persen dan dari 27,5 persen menjadi 30 persen. Sedangkan PT Rothmans adalah representatif pabrikan SPM yang untuk periode yang sama mengalami penurunan tingkat tarif cukai tembakau dari 30 persen menjadi 27,5 persen.
Untuk individu pabrikan ini tampak bahwa struktur tarif yang dibebankan kepada mereka (untuk pabrikan SKM dan untuk pabrikan SPM) adalah konstruksi tingkat tarif cukai tembakau yang sudah berada pada prohibitive range for government. Pada PT Djarum, kenaikan tingkat tarif dari 35 persen menjadi 37,5 persen telah mengakibatkan terjadinya penurunan produksi dari 33.557.175.000 batang pada tahun 1989 menjadi 32.653.388.000 batang pada tahun 1990, suatu tingkat penurunan jumlah kurang lebih 2,69 persen. Dalam periode yang sama telah terjadi penurunan pembayaran cukai tembakau dari jumlah Rp446,60 miliar menjadi Rp434,28 miliar (penurunan sebesar lebih 27,5 persen).
(hlm. 267)
Pada pihak yang lain, pabrikan SPM (PT Rothmans) telah menjalani penurunan tingkat tarif dari 30 persen pada tahun 1989 menjadi 27,5 persen pada tahun 1990. Dengan adanya tambahan insentif yang dialaminya dalam periode tersebut, telah mengakibatkan terjadinya penambahan produksi sebesar 70,87 persen. Angka-angka di atas merupakan pembuktian empiris dari konstruksi kurva Laffer.
(hlm. 273)
Sumber Daya Tanah
Suatu Tinjauan tentang Pentingnya Pengelolaan
Sumber Daya Tanah secara Terintegrasi
KARSONO SURJOWIBOWO
Makalah ini ditujukan untuk mengangkat salah satu agenda penting dalam desentralisasi fiskal dan otonomi daerah, yaitu pemanfaatan sumber daya tanah sebagai salah satu potensi sumber daya ekonomi dan pendapatan daerah baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan yang sampai saat ini belum dioptimalkan.
(hlm. 275)
Pendahuluan
Sebagai bahan kajian perlu diketahui bahwa menurut kajian, dari 45% sampai dengan 75% kekayaan negara yang sedang berkembang berada dalam tanah dan aset realestat (Ibotson, et al., 1985). Aset-aset tersebut memiliki karakteristik yang unik dan merupakan input yang signifikan dalam aktivitas produksi (pertanian, industri, dan jasa), dan konsumsi oleh penghuni rumah tangga/real estate serta jasa infrastrukturnya. Dalam kegiatan pertanian, tanah merupakan faktor produksi yang paling penting. Bagi perusahaan manufaktur, khususnya yang berukuran kecil dan sedang, tanah dan realestat merupakan biaya terbesar kedua setelah biaya buruh. Bagi rumah tangga kalangan miskin, tanah dan realestat adalah satu-satunya kendaraan yang paling signifikan sebagai tabungan serta merupakan pengeluaran terbesar.
Dalam kasus Mesir contohnya, di sektor realestat informal terhitung 94% bangunan rumah terdapat di daerah perkotaan dan 87% terletak di pedesaan. Nilai dari aset mati ini diestimasikan sebesar US$240 miliar, dibandingkan dengan GDP yang bernilai US$75 miliar (De Soto, 1997).
(hlm. 276)
Permasalahan
Dari paparan di atas dapatlah dikatakan ada beberapa permasalahan berkaitan dengan sumber daya tanah dalam konteks pembangunan, yakni:
- Belum tersedianya database sumber daya tanah yang merupakan data penting dalam pengambilan keputusan di bidang pembangunan baik regional, maupun interregional dalam konteks pembangunan yang menggunakan sumber daya tanah.
- Permasalahan kelembagaan.
- Belum optimal penggunaan sumber daya tanah sebagai faktor modal guna pemasukan (revenue) bagi negara.
- Belum optimal pemanfaatan sumber daya tanah sebagai aset, sehingga diperlukan sekali suatu mekanisme land management and land valuation atas sumber daya.
(hlm. 278)
Database Pertanahan (Sistem Informasi Pertanahan)
Untuk membentuk sistem database pertanahan yang baik harus diawali dan diinventarisasi:
- Institusi yang memiliki dan berkepentingan dengan sumber daya tanah.
- Identifikasi lembaga mana yang menjadi Main Custodian Data dan mana yang Supporting Custodian Data.
- Identifikasi karakteristik dan atribut tanah apa saja yang secara umum diperlukan oleh setiap custodian data, baik data alfanumerik maupun data grafis.
- Berdasar kepada karakteristik dan atribut di atas, dibangun sebuah format isian yang baku/standar sebagai alat koleksi data sumber daya tanah bagi seluruh institusi custody, tanpa menutup kemungkinan data tambahan sesuai dengan fungsi lembaga/data custodian.
- Identifikasi apa yang wajib dilakukan dan apa yang dapat diperoleh oleh masing-masing custodian data, dan siapa melakukan apa, untuk jalannya updating dan maintenance data.
(hlm. 279)
Dari pengalaman Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan dan sesuai dengan kerangka teoritis, dalam pembentukan dan pemeliharaan basis data nilai tanah, dilakukan tiga tahapan kerja yaitu, pertama kegiatan pendaftaran obyek tanah oleh subyek (pemilik) bertujuan untuk mendapatkan informasi dan registrasi obyek maupun subyek yang akan dikenakan pajak atas tanah dan bangunan. Untuk kepentingan yang lebih luas, pendaftaran dan pendataan dapat dilakukan bagi semua obyek/persil tanah yang ada. Kedua, kegiatan pendataan obyek fisik dan subyek atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang bertujuan melakukan registrasi atau pembukuan terhadap obyek dan subyek atas tanah dan bangunan. Ketiga, kegiatan penilaian tanah bertujuan untuk menentukan atas nilai tanah. Dalam sistem kadaster dan penilaian tanah terdapat suatu hubungan yang tertutup yang menyangkut kebutuhan sistem pemetaan skala besar dan hubungan yang terbuka dalam sistem pendataan atau pencatatan tanahnya. Penggunaan peta skala besar untuk kegiatan pemetaan di bidang tanah dalam sistem kadaster hak adalah sangat urgen.
(hlm. 280)
Kelembagaan
Untuk diketahui bahwa sampai dengan tahun 2002, data pada Direktorat PBB tercatat 82,5 juta bidang obyek pajak, dan 1.545.462 bidang obyek pajak di antaranya berada di wilayah DKI Jakarta.
(hlm. 281)
Penilaian (Valuation)
Penilaian realestat atau real properti/aset merupakan jantung kegiatan dalam proses manajemen properti atau manajemen realestat/aset. Berapa banyak jumlah aset/kekayaan daerah yang berbentuk tanah dan bangunan, berapa nilainya, dan apa yang dihasilkan atau manfaat yang diperoleh dari nilai yang dimiliki aset tersebut. Hingga kini belum ada satu daerah pun yang mengetahui nilai asetnya dalam kerangka mengelola aset daerahnya.
(hlm. 282)
Untuk diketahui bahwa pada dasarnya di dalam wilayah suatu pemerintahan, terdapat dua jenis properti (khususnya real properti yang berbentuk tanah dan bangunan), yakni:
- Properti Privat.
- Properti Publik.
Sebagai contoh, nilai suatu lahan yang diperuntukkan untuk parkir dapat dijadikan dasar berapa tarif parkir yang ekonomis dapat diterapkan. Apakah layak suatu lahan parkir kendaraan roda empat yang memerlukan kurang lebih 5 m2 lahan di Jalan Sabang, yang nilai per meter perseginya 15 juta, hanya dikenakan tarif Rp1.000 per jam? Suatu ketidakadilan yang mencolok, karena Pemerintah Daerah DKI telah mensubsidi para pemilik kendaraan roda empat pribadi yang kaya, sementara paras jalan yang digunakan kendaraan umum terganggu karena kemacetan parkir.
(hlm. 285)
Optimalisasi Kinerja DJPLN
Upaya Peningkatan Kontribusi DJPLN dalam Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan dan Perekonomian secara Umum
ACHMAD ROCHJADI
Tulisan ini memaparkan tentang: (i) bidang tugas Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) serta komparasinya dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) & Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) selaku sesama unit yang berkontribusi dalam penerimaan negara/APBN, (ii) peran DJPLN dalam peningkatan penerimaan pajak & perekonomian umum, dan (iii) langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam upaya meningkatkan kinerja.
DJPLN mengemban dua tugas: pengurusan piutang negara dan pelayanan lelang pada masyarakat. Penulis berpendapat bahwa kontribusi DJPLN terhadap penerimaan negara tidak dapat diperbandingkan dengan kontribusi DJP ataupun DJBC, karena tidak semua hasil kerja DJPLN merupakan penerimaan negara. Selain itu, objek tagihan DJPLN adalah pihak-pihak yang dalam kondisi insolvent, ini berkebalikan dengan kondisi pihak yang ditagih oleh DJP/DJBC.
(hlm. 286)
Pendahuluan
Dari sekian banyak perbedaan alamiah, dua yang paling mendasar adalah:
- Baik DJP maupun DJBC, melakukan penagihan piutang negara kepada pihak-pihak yang pada umumnya dalam keadaan solvent, kalau tidak dapat dikatakan dalam keadaan membukukan laba. Sementara, DJPLN melakukan penagihan piutang negara kepada pihak-pihak yang umumnya dalam keadaan insolvent. Perbedaan keadaan ini menyebabkan perbedaan optimalisasi hasil kerja masing-masing institusi.
- Seluruh hasil kerja DJP dan DJBC ditatausahakan sebagai penerimaan negara dalam APBN. Sementara itu, hanya sebagian kecil dari hasil kerja DJPLN yang disetorkan sebagai penerimaan negara. Apabila dirinci, maka alokasi hasil kerja DJPLN adalah sebagai berikut:
a. Hasil pembayaran/pelunasan utang oleh debitor dikembalikan kepada kreditor (yaitu instansi pemerintah, lembaga negara, dan atau BUMN/D yang menyerahkan pengurusan piutang macetnya kepada DJPLN);
b. Hasil pelaksanaan lelang diberikan kepada yang berhak, yaitu pemohon lelang.
(hlm. 287)
c. Hasil lainnya yang disetorkan ke kas negara adalah:
(i) Biaya administrasi pengurusan piutang negara sebesar 10% dari jumlah utang debitor, yang dibayar debitor sebagai tambahan atas utangnya; dan
(ii) Bea lelang yang dipungut dari setiap pelaksanaan lelang.
Selain itu, konstituen masing-masing bidang tugas juga tidak sama. Secara umum, konstituen DJPLN dalam tugas pengurusan piutang negara adalah para kreditor, para debitor, negara, dan masyarakat umum lainnya yang berhubungan dengan proses pengurusan piutang negara. Sedangkan konstituen DJPLN dalam tugas pelayanan lelang adalah pemohon/penjual lelang, pembeli lelang, negara, dan masyarakat umum lainnya yang berhubungan dengan pelayanan lelang.
(hlm. 289)
DJPLN Menjawab Tantangan
A. Kebijakan yang menyangkut organisasi DJPLN
- Reorganisasi DJPLN
- Pembentukan Citra Baru DJPLN
- Pengembangan sumber daya
Selain mengembangkan sumber daya manusia, DJPLN juga mengembangkan visi dan misi baru. Yang dilakukan DJPLN adalah, mulai dari pengembangan kuantitas dan upgrading perangkat keras komputer sampai dengan pembangunan perangkat lunak yang berupa Sistem Administrasi dan Informasi Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (SAIPPLN), mulai dari peningkatan daya dukung operasional sampai pada pembangunan kantor-kantor operasional baru.
(hlm. 293)
C. Kebijakan yang menyangkut permasyarakatan lelang
Upaya-upaya di atas diharapkan dapat meningkatkan daya saing lelang sehingga di masa yang tidak terlalu lama lagi, lelang menjadi budaya baru di masyarakat dalam jual-beli barang. Pada akhirnya, analog dengan yang terjadi di masyarakat seluruh dunia saat ini, apabila membicarakan komputer, yang mana tergambar di kepala adalah “intel”, diharapkan, apabila membicarakan jual-beli barang, yang tergambar di kepala adalah “lelang”. Dengan demikian, motto “sales mean auctions” akan dapat diwujudkan.
(hlm. 295)
Kebijakan Efisiensi Belanja Negara
A. ANSHARI RITONGA
Kebijakan efisiensi belanja negara mencakup kebijakan penerapan sistem biaya dan pergeseran APBN dalam anggaran pembangunan, yang menyangkut upaya-upaya optimalisasi pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan APBN. Upaya-upaya tersebut antara lain: (i) penetapan kebijakan dasar; (ii) penetapan asumsi makro; (iii) penetapan langkah-langkah perencanaan yang memadai; dan (iv) penetapan ketentuan pelaksanaan. Menurut pemikiran penulis, keempat upaya itu harus dilaksanakan secara sinergis dalam rangka menunjang keberhasilan efisiensi. Optimalnya pelaksanaan APBN sangat ditentukan oleh bagaimana pelaksana/pengguna anggaran menetapkan langkah-langkah perencanaan yang memadai dan melibatkan organisasi perencanaan anggaran (Departemen Keuangan, Departemen/Lembaga Pemerintah non Departemen Teknis, dan Pemerintah Daerah), melalui kebijakan dalam menerapkan sistem biaya (belanja negara sesuai standarisasi komponen kegiatan termasuk harga satuannya).
Akan tetapi pergeseran tidak dapat dilakukan dari (a) belanja modal ke belanja penunjang, (b) belanja modal fisik ke non-fisik, dan (c) pengecualian butir a dan b seizin Menteri Keuangan.
(hlm. 297)
Hakikat dan Upaya Efisiensi dalam Pelaksana APBN/APBD
Hakikat efisiensi dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD menyangkut nilai uang (value of money), yang meliputi tidak hanya efisien tetapi juga ekonomis dan efektif.
Ekonomis, yaitu suatu cara kerja yang hemat dan bijaksana, atau setiap tindakan/kebijakan disebut ekonomis apabila penggunaan sumber dana yang tersedia dapat memperoleh manfaat dengan kualitas dan kuantitas yang maksimal.
(hlm. 298)
Efisien, yaitu aspek manfaat atau hasil yang optimal harus dapat dicapai dengan biaya (cost) yang relatif lebih kecil. Jadi, anggaran dapat meningkatkan efisiensi apabila dengan biaya yang relatif kecil dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan, atau dengan biaya yang sama dapat meningkatkan hasil yang dicapai.
Efektif, yaitu hasil yang dicapai dari suatu pengeluaran dana sehingga dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Jadi, efektivitas mencerminkan kemampuan untuk mencapai ‘tepat sasaran’.
(hlm. 299)
Penetapan Langkah-langkah Perencanaan yang Memadai
Langkah-langkah yang dimaksud antara lain melalui kebijakan dalam menerapkan sistem biaya, yaitu dalam melaksanakan belanja negara dilakukan standarisasi komponen kegiatan termasuk harga satuannya, antara lain:
- Standardisasi harga satuan sebagaimana dimaksud di atas digunakan untuk menyusun pembiayaan kegiatan-kegiatan yang diusulkan dalam dokumen anggaran.
- Dalam penyusunan standardisasi harga satuan, sedapat mungkin menggunakan data dasar yang bersumber dari penerbitan resmi Badan Pusat Statistik, departemen/lembaga, dan pemerintah daerah.
- Penetapan standardisasi perlu dilakukan secara berkala oleh:
a. Menteri Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan menteri/pimpinan lembaga terkait untuk standardisasi harga satuan umum, satuan biaya langsung personel dan non-personel untuk kegiatan jasa konsultasi;
b. Menteri/pimpinan lembaga untuk standardisasi harga satuan pokok kegiatan departemen/lembaga yang bersangkutan;
c. Gubernur/bupati/walikota dengan memperhatikan pertimbangan dari instansi terkait untuk standardisasi harga satuan pokok kegiatan daerah provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan; dan
d. Bupati/walikota untuk standardisasi harga satuan bangunan gedung negara untuk keperluan dinas seperti kantor, rumah dinas, gudang, rumah sakit, gedung sekolah, pagar, dan bangunan fisik lainnya.
(hlm. 300)
4. Dalam hal dijumpai besaran harga pembiayaan kegiatan proyek pada loan agreement atau bagian dari loan agreement (misalnya cost table) yang melebihi HSU, HSPK, dan billing rate, maka yang dipergunakan adalah besaran yang terdapat dalam HSU, HSPK, dan billing rate atau ketentuan lain yang berlaku.
Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan APBN, dan untuk lebih meningkatkan kelancaran pelaksanaan proyek baik di pusat maupun di daerah, diatur pula ketentuan mengenai perubahan/pergeseran DIP atau dokumen lain yang disamakan yaitu melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran Tanggal 14 Oktober 2002 Nomor SE-176/A/2002 yang isinya antara lain mengatur kewenangan dan ketentuan lain-lain mengenai revisi anggaran pembangunan.
(hlm. 301)
a. Kewenangan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran:
- Apabila adanya tambahan dana termasuk tambahan dana yang bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN);
- Perubahan pergeseran biaya yang mengakibatkan:
- Perubahan fungsi kegiatan atau tujuan/sasaran yang akan dicapai,
- Penambahan/pengurangan pagu rupiah murni baik karena realokasi maupun Anggaran Biaya Tambahan (ABT),
- Penambahan/pengurangan pagu dalam daftar Isian Proyek Perbantuan-Luar Negeri (DIPP-LN), dan
- Penambahan rupiah murni pendamping.
- Mengurangi dana pendamping PHLN, termasuk local cost, dan
- Penambahan dana untuk gaji/upah, honorarium, dan perjalanan dinas.
b. Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran:
- Perubahan dana non-pendamping ke dana pendamping;
- Penambahan/pengurangan bagian proyek/tolak ukur/kegiatan;
- Penyesuaian terhadap volume kegiatan/sasaran proyek; b.2 dan b.3 sepanjang tidak mengubah tujuan proyek; dan
- Perubahan karena kesalahan teknis administrasi (angka maupun huruf), atau perubahan KPKN jika lokasi proyek berada dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran setempat.
(hlm. 302)
c. Ketentuan lain:
- Pimpro/bagpro dapat melaksanakan proyek sepanjang telah menerima SK revisi;
- Keputusan terhadap usul revisi diselesaikan paling lambat 2 (dua) minggu; dan
- Usul revisi disertai alasan dan data pendukung yang lengkap.
Kebijakan Pemberian Uang yang Harus Dipertanggungjawabkan (UYHD)
Melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 217/KMK.03/1990 tanggal 22 Februari 1990 Tentang Mekanisme Pembayaran Dengan Pelaksanaan APBN yang diubah dan disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 531/KMK.03/2000 tanggal 21 Desember 2000 yang antara lain mengatur tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara yang pada pokoknya mengatur sebagai berikut:
- Pembayaran atas beban anggaran belanja negara dilakukan dengan:
a. Pembayaran langsung kepada yang berhak untuk:
i. Pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa termasuk pengadaan barang dan bahan untuk pekerjaan yang dilaksanakan sendiri (swakelola/yang nilainya di atas Rp5.000.000,00 baik untuk anggaran belanja rutin maupun pembangunan);
ii. Subsidi dan bantuan, subsidi/perimbangan keuangan, serta angsuran dan bunga utang; dan
iii. Belanja pegawai dan uang pesangon perjalanan dinas melalui bendaharawan.
b. Pembayaran melalui UYHD dilakukan untuk:
i. Pengadaan barang/jasa s.d. Rp5.000.000,00 untuk tiap jenis barang/jasa/tiap penyedia barang/jasa;
ii. Keperluan lain selain tersebut pada butir i). dan ii). Pada pembayaran langsung di atas; dan
iii. Biaya perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. - (hlm. 303)
2. Batas penyediaan UYHD:
a. Anggaran belanja rutin:
i. Sebesar keperluan satu bulan sesuai rincian rencana penggunaannya, tidak boleh melampaui seperempat pagu belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan, dan diberikan setinggi-tingginya Rp250.000.000,00;
ii. Untuk keperluan pembiayaan kapal negara yang berlayar terus menerus lebih dari satu bulan, UYHD dapat diberikan untuk keperluan lebih dari satu bulan;
iii. Di luar keperluan tersebut dapat diberikan tambahan UYHD (TU) sebagai berikut:
• Keperluan biaya perjalanan dinas (MAK.5410), tagihan langganan daya dan jasa (MAK 5320) s.d. Rp200.000.000,00 dan tidak melampaui dana triwulan, harus mendapat persetujuan dari Kanwil DJA setempat;
• Untuk keperluan lain di luar perjalanan dinas dan langganan daya dan jasa, harus mendapat persetujuan dari Kanwil DJA setempat;
• Khusus untuk TU guna belanja barang lain-lain (MAK.5350) bagi unit eselon I kantor pusat departemen/lembaga pemerintah non-departemen di Jakarta terlebih dahulu harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Anggaran. - b. TU untuk anggaran pembangunan dapat diberikan di luar ketentuan pada angka 2 huruf a di atas:
i. Untuk keperluan satu bulan;
ii. Dana TU tidak digunakan untuk membiayai pengeluaran yang menurut ketentuan yang berlaku harus dengan cara penerbitan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS);
iii. Apabila dana tersebut tidak habis dipakai harus disetor ke rekening kas negara sebagai penerimaan transito. - c. Penggunaan dana UYHD:
i. Untuk pembayaran kepada satu rekanan tidak diperkenankan melebihi jumlah sebesar Rp5.000.000,00 kecuali untuk pembayaran biaya pengadaan bahan bakar minyak (BBM) melalui Pertamina;
ii. Untuk keperluan pembayaran tunai sehari-hari, setiap bendaharawan rutin/proyek diizinkan mempunyai uang tunai setinggi-tingginya sebesar Rp10.000.000,00. Dalam ketentuan ini tidak termasuk uang tunai keperluan gaji dan sejenisnya, perjalanan dinas, dan pembebasan tanah. - (hlm. 307)
Pedoman Negosiasi Bantuan Luar Negeri
Perencanaan Pinjaman
Dalam rangka menyusun perencanaan yang utuh terhadap kebutuhan pinjaman luar negeri, maka diatur sebagai berikut:
a. Menteri/Ketua Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND), Kepala Daerah, Direksi BUMN mengajukan usulan proyek-proyek yang akan dibiayai sebagian atau seluruhnya dari pinjaman luar negeri dalam rangka mencapai sasaran tahunan dan sasaran jangka menengah langsung kepada Menteri Keuangan;
b. Dalam hal proyek atau kegiatan akan dibiayai seluruh atau sebagian dengan hibah luar negeri, Menteri Ketua LPND, Kepala Daerah, Direksi BUMN atau penerima hibah mengajukan usulan langsung kepada Menteri Keuangan;
c. Untuk proyek-proyek yang dilaksanakan pemerintah daerah/BUMN, usulan proyek diajukan oleh kepala daerah/direksi BUMN setelah mendapatkan persetujuan:
• DPRD untuk pemerintah daerah;
• Dewan komisaris untuk BUMN;
• Usulan proyek-proyek sebagaimana dimaksud dalam butir a memuat keterangan dan penjelasan secara rinci mengenai proyek yang diusulkan disertai dengan kerangka acuan kerja dan studi kelayakan yang bentuk dan isinya ditentukan oleh Menteri Keuangan. - (hlm. 310)
Sumber Pinjaman Hibah Luar Negeri
Berdasarkan sumbernya, pinjaman luar negeri dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Lembaga multilateral, yaitu lembaga/badan keuangan internasional/regional, baik Indonesia menjadi anggota maupun tidak. Lembaga multilateral yang Indonesia menjadi salah satu anggotanya antara lain:
1) IBRD (International Bank for Reconstruction and Development);
2) IDA (International Development Association);
3) IMF (International Monetary Fund);
4) ADB (Asian Development Bank);
5) UNDP (United Nations Development Programme);
6) IFAD (International Fund for Agricultural Development);
7) IDB (Islamic Development Bank).
Lembaga multilateral yang Indonesia tidak menjadi anggotanya antara lain:
1) NIB
2) EIB - b. Negara kreditur adalah negara pemberi pinjaman baik melalui pemerintah maupun melalui lembaga keuangan yang dibentuk oleh negara tersebut.
c. Lembaga keuangan lainnya adalah lembaga keuangan internasional yang dibentuk baik oleh pemerintah maupun oleh swasta dalam rangka memberi pinjaman/bantuan keuangan. - (hlm. 311)
Jenis Pinjaman Hibah Luar Negeri
Berdasarkan jenisnya, pinjaman luar negeri dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Pinjaman lunak adalah pinjaman yang dapat berasal dari lembaga multilateral maupun negara bilateral yang dananya berasal dari iuran anggota (untuk multilateral) atau dari anggaran negara yang bersangkutan (untuk bilateral) dan ditujukan untuk meningkatkan pembangunan. Oleh karena itu, tingkat bunganya rendah, jangka waktu pengembalian dan masa tenggang (grace period) cukup panjang. Biasanya yang dianggap sebagai pinjaman lunak jika:
– Suku bunga maksimum 3,5% per tahun atau kurang;
– Grace period (masa tenggang) sekurang-kurangnya 7 tahun atau lebih; dan
– Jangka waktu pengembalian sekurang-kurangnya 25 tahun atau lebih.
Selain penetapan persyaratan seperti tersebut di atas, pinjaman dianggap lunak jika pinjaman tersebut mengandung grant element sekurang-kurangnya 35% atau lebih.
(hlm. 311)
Pinjaman komersial adalah pinjaman yang bersumber dari bank/lembaga keuangan dengan persyaratan yang berlaku di pasar uang internasional pada umumnya. Tingkat bunga yang berlaku di pasar antara lain LIBOR (London Interbank Offered Rate) ditambah dengan margin sekitar 0,5% sampai dengan 1,5%.
Pinjaman komersial ini dapat berupa antara lain:
- Pinjaman siaga (Standby Loan) yang digunakan dalam rangka berjaga-jaga;
- Pinjaman sindikasi, yaitu pinjaman yang diterima dari sindikat bank-bank internasional dalam bentuk uang tunai (devisa) untuk membiayai suatu proyek atau pembiayaan lainnya; dan
- Leasing (sewa-beli) atau Installment Sale Financing, dan sebagainya.
Perbedaan prinsip antara pinjaman komersial dan fasilitas kredit ekspor adalah:
- Fasilitas kredit ekspor adalah pinjaman bergaransi (guaranteed loan), sedangkan pada pinjaman komersial tidak ada jaminan;
- Bunga yang digunakan dalam fasilitas kredit ekspor adalah CIRR (Commercial Interest Reference Rate) yang bersifat fixed, sedangkan suku bunga pinjaman komersial mengacu pada suku bunga pasar seperti LIBOR, SIBOR, dan bersifat floating (mengambang);
- Fasilitas kredit ekspor digunakan untuk pengadaan barang modal, sedangkan pinjaman komersial dapat digunakan secara bebas;
- Cakupan fasilitas kredit ekspor maksimal 85% dari foreign content, sedangkan pinjaman komersial 100%.
(hlm. 312)
Penutup
Dari uraian-uraian di atas, disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
- Hakikat efisiensi dalam rangka pelaksanaan APBN, pada dasarnya adalah optimasi APBN menyangkut nilai uang (value of money), di mana di dalamnya meliputi tidak hanya nilai efisien tetapi juga ekonomis dan efektif.
- Berkenaan dengan hakikat efisiensi dalam rangka pelaksanaan APBN dikaitkan dengan penganggaran, maka efisiensi akan menyangkut pada empat alur tahapan, yaitu (i) perencanaan, (ii) pelaksanaan, (iii) perhitungan, dan (iv) penyesuaian.
(hlm. 313)
3. Dari keempat level penganggaran di atas, maka hakikat efisiensi dikaitkan dengan materi “Kebijakan Efisiensi Dalam Belanja Negara” yang mencakup kebijakan penerapan sistem biaya dan pergeseran APBN dalam rangka anggaran pembangunan akan menyangkut upaya-upaya optimalisasi pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan APBN.
4. Dalam rangka mencapai efisiensi dalam belanja negara, upaya-upaya yang harus dilakukan adalah:
- Penetapan kebijakan dasar;
- Penetapan asumsi makro;
- Penetapan langkah-langkah perencanaan yang memadai; dan
- Penetapan ketentuan-ketentuan pelaksanaan.
- Kebijakan pemerintah dalam bidang pengeluaran APBN yang kemudian diimplementasikan oleh Menteri Keuangan dalam Keputusan Menteri dan ditindaklanjuti dengan SE-DJA yang kemudian dijadikan acuan oleh KPKN dalam meneliti dan kemudian melakukan pembayaran terhadap tagihan kepada negara yang diajukan oleh berbagai departemen/lembaga non-departemen/kementerian dapat disimpulkan mengarah agar pada kas bendaharawan departemen/lembaga non-departemen hanya tersimpan dana yang secara riil dibutuhkan.
(hlm. 314)
Berutang Melampaui Ambang Kemiskinan: Mencari Solusi Kolaboratif bagi Krisis Uang Indonesia
RADIUS PRAWIRO
Terhimpit Gunung Utang
Tumpukan laporan statistik dari Bank Indonesia dan Biro Pusat Statistik tak sanggup menggambarkan parahnya bencana ekonomi Indonesia.
(hlm. 315)
Selain miskin dan bangkrut, negara Indonesia juga menanggung beban utang yang menghimpit Indonesia untuk tetap berada di bawah kemiskinan selama beberapa dekade mendatang. Pada waktu itu, pembayaran pertama dari pinjaman selama dua puluh tahun mulai jatuh tempo. Negara tak sanggup membayar. Dengan demikian, Indonesia tidak bisa mendapat pinjaman baru. Investasi baru terpaksa dipotong dan negara berangsur-angsur bertambah miskin. Indonesia telah jatuh ke dalam jebakan utang yang telah melilit begitu banyak negara lain.
Penghasilan ekspor Indonesia di tahun 1966 besarnya $679 juta. Ini hampir tidak cukup untuk membayar cicilan utang yang jatuh tempo, sementara itu impor Indonesia dalam tahun yang sama besarnya $527 juta, ini harus dibayar juga.
Dilema Bantuan Luar Negeri
Indonesia mau menerima pinjaman namun tidak mampu membayarnya. Selama dekade lima puluhan dan enam puluhan, banyak negara yang memberi pinjaman kepada Indonesia berlagak sebagai pahlawan penyelamat, namun tak memperhatikan dampak dari utang tersebut terhadap kesehatan ekonomi negara. Baru pada saat utang jatuh tempo terkuak implikasi dari ketidakmampuan membayar.
(hlm. 316)
Sejak didirikan tahun 1945, Indonesia adalah peserta sukarela dalam permainan ekonomi dan politik yang rumit dari bantuan luar negeri. Wakil Presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta, merumuskan petunjuk untuk memastikan bahwa pinjaman-pinjaman dapat berguna bagi usaha-usaha pembangunan nasional. Beliau berkata:
“Bantuan luar negeri cuma bisa dipandang sebagai bantuan pembangunan,” kata beliau, “bila bantuan itu berbunga 3 sampai 3,5 persen per tahun dan jangka pembayarannya panjang. Untuk berbagai industri, jangka pembayaran pinjaman tersebut harus 10 sampai 20 tahun. Jangka waktu pembayaran pinjaman untuk prasarana seperti bendungan, irigasi, dan tenaga listrik harus lebih dari 20 tahun. Bantuan dengan jangka pembayaran kurang dari 10 tahun dan dengan bunga lebih dari 5 persen per tahun tidak bisa diklasifikasikan sebagai bantuan pembangunan. Bantuan luar negeri bisa diklasifikasikan sebagai bantuan pembangunan hanya jika pinjaman ini benar-benar menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan… pinjaman itu harus bebas dari embel-embel politik dalam bentuk apa pun dan pemberian pinjaman tidak boleh diikuti dengan campur tangan luar negeri dalam urusan dalam negeri negara penerima bantuan… sebagai prinsip, pembangunan ekonomi nasional dari sebuah negara berkembang harus terutama berdasarkan sumber dayanya sendiri seiring dengan tujuan berdikari… pembayaran cicilan berikut bunga pinjaman harus bisa terbayar dengan hasil-hasil pertumbuhan ekonomi. Bantuan itu dapat digunakan secara efisien jika implementasi dari proyek yang dibiayainya sejalan dengan strategi ekonomi umum Indonesia…”
(hlm. 317)
Mencari Jalan Aman untuk Keluar dari Kemelut Uang
Delegasi ke negara-negara Barat dipimpin oleh ekonom Profesor Widjojo Nitisastro, karena fokusnya adalah pinjaman pemerintah dan utang komersial untuk kebutuhan sipil. Pada awalnya, delegasi ke negara Blok Timur dipimpin oleh Jenderal Suprayogi, yang menjadi Menteri Produksi dalam kabinet Soekarno yang terakhir, karena pinjaman-pinjaman diperuntukkan bagi peranti keras dan dukungan militer. Solusi-solusi yang akhirnya muncul dari usaha-usaha ini dan lainnya merupakan hasil dari proses evolusi. Untuk merumuskan persyaratan utang negara, Indonesia harus berjuang dengan definisi dan batasan utang negara yang layak, setelah itu baru dapat ditentukan prosedur yang tepat untuk menangani utang tersebut.
Membayar atau Tidak? Menentukan Kriteria Kelayakan Penyelesaian Utang Negara
Ketika tim ekonomi berhadapan langsung dengan parahnya problem utang Indonesia, dilema kebijakan pertama yang harus diatasi adalah pilihan untuk membayar atau tidak membayar utang tersebut. Tim ekonomi mempertimbangkan berbagai jenis pilihan.
(hlm. 318-319)
Ada empat alternatif utama bagi problem ini:
- Tidak Bayar Semua Utang Lama
Namun bagi Indonesia, melarikan diri dari tanggung jawab membayar utang tidaklah konsisten dengan karakter dari pemerintah baru yang merupakan pengganti yang konstitusional dan sah dari pemerintah lama. - Tidak Bayar Utang kepada Negara Blok Komunis
- Penyelesaian Utang dengan Cara Berbeda-beda
- Diskon Utang
(hlm. 321)
Dahulu maupun sekarang, ada dua kubu dalam pencarian penyelesaian masalah utang internasional: The London Club, yang berfokus pada resolusi sengketa yang melibatkan utang pemerintah nasional. Jepang dan negara-negara Barat kepada siapa Indonesia berutang dikenal sebagai “negara-negara Paris Club”. Delegasi Indonesia mula-mula bertemu dengan grup ini di Tokyo pada tanggal 16 September 1966. Negara yang hadir bersama Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman Barat, Italia, dan Belanda. IMF dan Australia mengirim delegasi, sementara Kanada, Selandia Baru, dan Swiss mengirim pengamat. Negara-negara komunis diundang untuk menghadiri pertemuan, namun mereka memilih untuk tidak hadir, karena lebih suka untuk mengadakan seri pertemuan mereka sendiri tanpa negara-negara Paris Club.
(hlm. 322)
Penekanan utama pada rencana itu adalah perang besar-besaran terhadap hiperinflasi. Sesuatu yang tak kalah pentingnya juga mendasari rencana itu: pemerintah baru membuat garis besar pendekatan bagi manajemen ekonomi dengan anggaran berimbang dan prioritas rencana diberikan kepada investasi yang menjanjikan pembangunan ekonomi yang maksimum dengan biaya yang minimum.
Pertemuan bulan Desember 1966 terlaksana sesuai rencana. Indonesia telah memperkenalkan program stabilisasinya, dan tanda-tanda awal dari perbaikan mulai bermunculan. Dalam pertemuan itu, kreditor Indonesia setuju untuk menjadwal ulang pembayaran dari utang Indonesia yang jatuh tempo di tahun 1966 dan 1967. Persyaratan baru memberi tiga tahun grace period, setelah itu Indonesia mesti membayar utang dalam tempo delapan tahun.
(hlm. 323)
Pembentukan IGGI
Salah satu kekuatan menonjol dari organisasi ini adalah suasananya yang relatif informal. IGGI tidak punya anggaran dasar yang resmi. Organisasi ini tidak dimapankan dengan persetujuan hukum yang mengikat, tidak punya sekretariat yang permanen atau piranti institusional lainnya yang mencerminkan status sebagai organisasi resmi. IGGI juga tidak dirancang untuk menjadi institusi internasional penagih utang luar negeri.
Menurut perkiraan IGGI saat itu, Indonesia memerlukan bantuan luar negeri $200 juta untuk menutupi perkiraan defisit devisa untuk tahun 1967. Amerika Serikat membuat komitmen untuk menyediakan sepertiga dari jumlah tersebut bila para anggota lain setuju untuk menyediakan sisanya. Tentang hal ini, menurut Posthumus, “Formula sepertiga ini secara sepihak diumumkan oleh AS, kemudian Jepang menerima tantangan ini dengan implikasi menyediakan bantuan berjumlah sama. Jadi berkembanglah formula kasar penanggungan beban bersama untuk bantuan internasional kepada Indonesia. Sejak saat itu, formula ini memainkan peranan penting. Setelah beberapa saat, alokasi bantuan tidak mengikuti formula semua ini lagi. Namun, melalui perjanjian ini, Indonesia bersama para kreditor mencapai sebuah terobosan dalam mengatur masalah utang Indonesia.”
(hlm. 325)
Dalam pendekatan ke IGGI, Indonesia tidak berperan sebagai pion dari politik Perang Dingin, dan tidak juga berlagak jagoan memainkan kartu anti-komunis untuk kepentingan finansialnya. Kedua belah pihak (Indonesia dan Kreditor) menangani krisis utang secara pragmatis dengan kepala dingin. Bagi Indonesia, taruhannya terlalu besar untuk main kucing-kucingan dan tipu muslihat. Pemerintah baru mempertaruhkan eksistensinya pada pemikiran bahwa kebijakan ekonomi yang sehat bisa memulihkan ekonomi meskipun telah ditelantarkan selama berpuluh-puluh tahun. Untuk mewujudkan tujuan stabilisasi dan rehabilitasi, perumus kebijakan Indonesia benar-benar percaya bahwa Indonesia perlu mencari jalan keluar dari beban utang yang menghimpit. Untuk itu, para juru runding Indonesia berusaha membangun solidaritas dan kepercayaan dari para calon kreditor. Mereka sangat jujur dan tidak mencla-mencle pada saat pembahasan masalah utang negara, rencana pemulihan situasi, dan prospek perbaikan. Para kreditor memberikan reaksi positif, sehingga tidak ada lagi diskusi yang membosankan dan berkepanjangan cuma untuk manuver-manuver kritis taktis.
Indonesia lebih cenderung untuk memilih Bank Dunia sebagai ketua IGGI karena kenetralannya secara politik, keahliannya dalam teknis, dan komitmennya terhadap pembangunan ekonomi. Sayangnya, Bank Dunia tidak bisa menjadi pemimpin IGGI karena Indonesia tidak memenuhi persyaratan, misalnya dari segi kelayakan mendapat pinjaman dari Bank Dunia. Calon lain yang mungkin adalah Bank Pembangunan Asia (ADB). Namun ADB belum lama dibentuk dan belum siap untuk memikul tanggung jawab sebesar ini. Meski hubungan Indonesia dengan AS diminta duduk sebagai ketua, penunjukan AS sebagai ketua IGGI bisa merusak citra Indonesia sebagai negara non-blok. Jadi hanya tersisa dua calon utama: Jepang dan Belanda. Jepang pada mulanya kurang bersemangat untuk mendukung usaha penjadwalan ulang utang Indonesia. Secara ekonomi, Jepang telah menjadi negara dominan di Asia. Pada tahun 1966, belum jelas bagaimana Jepang akan memainkan perannya sebagai negara adikuasa di bidang ekonomi. Belanda adalah negara kecil yang baru saja kehilangan koloni-koloninya dan sedang berusaha mencari pijakan baru untuk menjadi pemain dunia yang signifikan. Indonesia yakin bahwa Belanda akan menjadi pemimpin yang simpatik dan berkomitmen penuh.
(hlm. 327)
Mencari Penyelesaian Tuntas untuk Krisis Utang Indonesia
Untuk mencapai penyelesaian, Indonesia, didukung oleh kreditor IGGI, meminta bantuan seorang bankir andal dari Jerman: Herman J. Abs untuk bertindak sebagai penengah dan perantara jujur. Abs pernah menjabat sebagai Presdir dari Deutsche Bank. Beliau berperan penting dalam penyelesaian utang Perang Jerman dan pernah menangani masalah rumit lain menyangkut utang internasional. Beliau sangat hebat dan punya nama harum sehingga semua pihak merasa yakin bahwa beliau bisa menemukan penyelesaian yang dapat diterima semua pihak.
Pada bulan Juli 1969, Abs membuat laporan yang menjadi basis bagi penyelesaian utang Indonesia. Menggunakan data dari Bank Indonesia, Abs memulai laporannya dengan membuat perkiraan jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar $3,1 miliar. Tentang ini beliau berkomentar:
“Meskipun menggunakan asumsi yang sangat optimis tentang neraca pembayaran dan perkembangan anggaran Indonesia, dan ditambah dengan asumsi bantuan luar negeri yang besar dan berkelanjutan, saya tidak bisa tidak setuju dengan kesimpulan umum dari IMF dan International Bank for Reconstruction and Development bahwa pembayaran utang dengan skala sebesar ini sampai beberapa tahun mendatang pun tetap di luar jangkauan kapasitas keuangan Indonesia.”
Kepiawaian Abs terbukti dari kemampuannya untuk memahami masalah utang Indonesia dengan segala kerumitannya dan bersamaan dengan itu mengambil intisarinya dalam bentuk yang sangat sederhana. Beliau mengidentifikasi tujuan fundamental yang mesti diadopsi oleh semua pihak, yaitu:
“Tujuan pokok pertama dan utama dari penjadwalan ulang utang mestinya adalah pemulihan kelayakan kredit Indonesia. Negosiasi penjadwalan ulang yang telah berlangsung dari tahun ke tahun mulai tahun 1966 sampai sekarang, demikian juga halnya dengan negosiasi penjadwalan ulang dengan negara-negara blok Timur, belum mencantumkan hal itu sebagai tujuan pokok. Yang selama ini diutamakan adalah pemberian kelegaan sementara kepada negara pengutang pada saat pemulihan kelayakan kredit tampaknya belum mungkin.”
(hlm. 328)
- Memulihkan kebebasan dan kedaulatan Pemerintah Indonesia tentang hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan ekonomi.
- Membuat Indonesia layak menerima pinjaman dari lembaga kredit internasional.
- Memungkinkan Indonesia untuk mengalokasikan porsi yang lebih besar dari penggunaan kredit untuk membiayai perdagangan luar negeri.
- Memulihkan Indonesia sebagai mitra penting dalam perdagangan dunia, yang pada gilirannya akan menurunkan keperluan bantuan luar negeri.
Untuk mencapai tujuan ini, Abs mengusulkan tiga pedoman umum:
- Penyelesaian utang secara final dan berjangka panjang harus menggantikan negosiasi utang tahunan.
- Penyelesaian harus memulihkan kelayakan kredit Indonesia.
- Penyelesaian harus berdasarkan prinsip non-diskriminasi, yaitu persyaratan harus berlaku untuk semua kreditor Indonesia.
Pada April 1970, Indonesia dan para kreditornya mencapai persetujuan atas persyaratan sebagai berikut:
- Pokok dari utang akan dicicil selama 30 tahun mulai dari 1970 sampai 1999.
- Bunga sebagaimana tersebut dalam kontrak akan dibayar selama 15 tahun dimulai 1985.
- Tidak dikenakan bunga terhadap pembayaran yang telah tertunda.
- Indonesia boleh menunda cicilan pokok yang jatuh tempo dalam periode delapan tahun pertama ke periode delapan tahun terakhir, 1992-1999.
(hlm. 329)
Menurut Bitterman (hal 220), Indonesia adalah satu-satunya kasus di mana seluruh utangnya sebelum tanggal tertentu (sebelum Orde Baru)—tidak hanya pembayaran untuk periode tahun-tahun tertentu—dicakup dalam sebuah persetujuan. Namun, utang pasca-Soekarno tidak termasuk dalam perjanjian itu.
(hlm. 330)
Sementara IGGI sedang berusaha menata ulang fungsinya, masih ada persoalan Indonesia yang lebih kecil namun tak bisa diabaikan, yaitu utang komersialnya. Sehubungan dengan rentetan pertemuan Klub London untuk menyelesaikan hal ini, Indonesia memperkenalkan program yang kemudian dikenal sebagai program DICS (Debt for Investment Conversion Scheme) atau skema konversi utang menjadi investasi. Meski Indonesia tidak punya devisa untuk membayar utang kepada investor komersial, Indonesia punya banyak sumber daya alam dan peluang komersial lain yang bisa ditransformasikan menjadi kredit-kredit investasi. Di bawah program DICS, kreditor atau yang bertindak untuk keperluan kreditor akan mendapat pembayaran utang dalam rupiah asalkan uang tersebut langsung diinvestasikan kembali di Indonesia di bawah kondisi yang dicanangkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing 1967. Daftar kreditor diumumkan terbuka untuk menciptakan pasar bagi utang-utang ini. Sistem DICS sangat menolong kreditor. Tanpa ini, mereka terpaksa harus menghapus utang itu dari pembukuan mereka atau menjualnya dengan sangat murah. Memang benar hasil investasi kreditor akan datang terlambat dan lebih kecil dari yang diharapkan semula, namun yang penting masalah utang bisa terselesaikan. Bagi pemerintah, hal ini juga menguntungkan karena utang-utang cukup dibayar dengan rupiah dan tidak perlu dengan devisa asing. Dalam prosesnya, investasi-investasi ini mengucurkan modal segar serta keterampilan yang sangat dibutuhkan negara.
(hlm. 332)
Bantuan Luar Negeri dan Pembangunan Ekonomi
Dari sudut pandang negara penerima bantuan, masalah-masalah yang berhubungan dengan bantuan luar negeri pada umumnya bisa dibagi ke dalam tiga kategori:
- Bantuan diberikan dengan terlalu banyak persyaratan politik. Dalam situasi semacam ini, kedaulatan dari negara penerima bantuan bisa terusik oleh pemberian bantuan itu.
- Bantuan diberikan tanpa banyak panduan atau kepedulian tentang penggunaannya. Bila negara penerima bantuan menggunakan bantuan tersebut untuk kegiatan non-produktif, maka besar kemungkinan negara itu akan jatuh ke dalam kesulitan utang bila waktu pembayaran tiba.
- Bantuan diberikan cuma untuk memuaskan kepentingan bisnis pihak-pihak tertentu di dalam negara penerima bantuan, dan tidak digunakan untuk keperluan ekonomi rakyat banyak.
(hlm. 334)
Tabungan pemerintah masih sangat rendah karena rendahnya tingkat pendapatan per kapita dari rakyat Indonesia dan ketidakmampuan negara untuk menagih pajak. Pada tahun 1967, Indonesia mencanangkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing untuk merangsang aliran investasi luar negeri langsung (foreign direct investment). Investasi portofolio (lewat bursa efek) luar negeri belum bisa dilakukan sampai bulan Desember 1987. Tabungan masyarakat dan pemerintah serta investasi asing semuanya belum bisa mencukupi kebutuhan modal negara. Pemerintah mencari bantuan luar negeri untuk menutupi kekurangan ini.
Bappenas: Menciptakan Kapasitas Institusional untuk Pemanfaatan Utang
Sejak semula, Bappenas bertanggung jawab atas bagian dari anggaran pemerintah untuk pembangunan ekonomi, suatu sokoguru untuk proses perencanaan. Selama bertahun-tahun, sebagian besar dari anggaran berasal dari bantuan luar negeri. Bantuan-bantuan ini terdiri dari berbagai bentuk, namun pada umumnya bisa dibagi ke dalam dua kategori: bantuan program dan bantuan proyek. Bantuan program tidak terkait pada proyek-proyek tertentu, biasanya diberikan oleh kreditor untuk menutupi kekurangan cadangan devisa. Sebaliknya, bantuan proyek umumnya terkait pada proyek-proyek tertentu. Negara donor sering menyediakan bantuan dengan syarat barang dan jasa yang digunakan dalam proyek tersebut berasal dari negara donor (tied aid).
(hlm. 335)
Pada tahap analisis ekonomi makro, pemerintah memulai dengan memperkirakan laju pertumbuhan realistis yang akan meningkatkan pendapatan riil per kapita. Hasil estimasi laju pertumbuhan ini menjadi target yang digunakan dalam perencanaan pemerintah. Untuk mencapai target ini, analisis pemerintah perlu menetapkan laju pengembangan modal atau pengeluaran investasi sebagai persentase dari pendapatan nasional. Investasi yang diperlukan harus disesuaikan dengan tabungan masyarakat dan pemerintah. Kekurangannya diambil dari investasi atau pinjaman luar negeri.
Perencanaan menurut model Bappenas berbeda sekali dengan model Soviet. Soviet juga menggunakan peranti analisis yang canggih untuk merencanakan ekonomi. Namun ada perbedaan mendasar, yaitu Bappenas tidak pernah mencoba untuk merencanakan ekonomi. Sebaliknya, Bappenas percaya bahwa ekonomi umumnya bergerak mengikuti dorongan gaya-gaya ekonomi. Bappenas mencoba untuk mengidentifikasi bidang-bidang ekonomi yang paling membutuhkan investasi dan di mana dampak dari investasi akan paling terasa manfaatnya. Bappenas mencoba mengidentifikasi bidang-bidang ekonomi di mana intervensi strategis dan selektif bisa dilaksanakan untuk menghilangkan hambatan pembangunan. Berdasarkan hal ini, sebagian besar dari pekerjaan Bappenas terfokus pada prasarana fisik dan sosial, seperti pembangunan sekolah, sistem irigasi untuk para petani, dan pembangunan jalan. Melalui investasi semacam ini, Bappenas dapat merangsang pembangunan ekonomi tanpa harus mengganti pasar bebas dengan pasar terkontrol negara di mana Bappenas berfungsi sebagai penengah ekonomi.
(hlm. 336)
Model Indonesia untuk Penyelesaian Utang dan Pemanfaatan Bantuan
Para kreditor Indonesia menunjukkan dukungan mereka dengan kesediaan mereka untuk menghadapi krisis utang secara kreatif, inisiatif, dan murah hati. Dalam hal ini, penyelesaian ala Abs, seperti tersebut di atas, merupakan terobosan penting dalam kerja sama internasional di bidang manajemen krisis.
Penyelesaian ini menawarkan model baru untuk penyelesaian utang dengan menghindari penyangkalan utang secara sepihak atau kepatuhan berlebihan terhadap persyaratan yang terlalu memberatkan. Namun, penyelesaian ini mengandung kontroversi. Satu hal yang dituntut oleh negara-negara Klub Paris adalah agar penyelesaian utang Indonesia tidak menjadi preseden untuk diterapkan secara luas. Hal ini bisa dimengerti, karena penyelesaian ini bisa memberikan banyak keringanan dibandingkan persyaratan aslinya. Kalau penjadwalan ulang utang menjadi sesuatu yang lumrah, seluruh proses pinjam-meminjam akan berantakan.
(hlm. 337)
Poin ini penting sekali. Perilaku Indonesia waktu itu dan sekarang, patut disebut secara khusus. Setelah penyelesaian pada tahun 1970 ini, Indonesia tidak pernah lagi menjadwal ulang utangnya atau merunding ulang persyaratan dari pinjaman multilateral ataupun bilateral. Sampai saat-saat terakhir dari abad ke-20 ini, Indonesia tetap patuh dengan aturan tertulis dan jiwa dari persetujuan Abs. Penyelesaian ini telah mencapai tujuannya. Penyelesaian ini memberi kesempatan bagi Indonesia untuk membangun kembali ekonominya yang pada gilirannya memampukan Indonesia untuk membayar utang-utang tersebut meski memang lebih kecil dari yang dicanangkan dalam perjanjian aslinya. Namun, yang penting, semua pinjaman terbayar.
(hlm. 338)
Banyak pelajaran lain yang diperoleh Indonesia dari usaha mencapai penyelesaian krisis utangnya. Berikut ini adalah beberapa alasan pokok Indonesia berhasil keluar dari krisis utangnya:
- Persetujuan “satu kali untuk seterusnya” (once and for all) adalah kondisi mutlak untuk penyelesaian yang dapat bertahan lama. Kalau Indonesia harus melaksanakan beberapa seri perundingan ulang dan perpanjangan pelunasan utangnya, mungkin sekali proses yang berkepanjangan tersebut bisa berantakan karena terlalu meletihkan.
- Indonesia sangat berhati-hati untuk mencegah kejatuhan kembali ke dalam jerat utang. Indonesia mencapai ini dengan kebijakan yang sederhana: pinjaman mesti menghasilkan pemasukan yang lebih tinggi dari biaya dana.
- Meskipun sangat terpusat, model perencanaan Bappenas jauh lebih berhasil dibandingkan model serupa dari ekonomi sosialis. Alasan keberhasilannya adalah: Bappenas memperoleh banyak manfaat dari kemajuan di bidang analisis ekonomi mikro dan makro, termasuk model input-output Leontif dan estimasi ICOR (incremental capital output ratio).
(hlm. 339)
Oleh karena ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda, atas prakarsa Indonesia, IGGI dibubarkan pada tahun 1992 dan diganti dengan organisasi serupa yang dikenal dengan “Consultative Group on Indonesia” (CGI) yang diketuai oleh Bank Dunia.
(hlm. 340)
Prinsip ini juga berlaku pada tingkat ekonomi mikro. Sebagaimana halnya masyarakat internasional harus mengadakan usaha khusus untuk menyediakan akses kredit lunak bagi negara-negara termiskin, pemerintah nasional juga harus melaksanakan usaha khusus untuk membuat modal tersedia bagi segmen masyarakat miskin. Golongan miskin sering kali mempunyai ambisi dan kemampuan untuk memperbaiki kehidupan mereka, namun tak punya akses terhadap modal. Penyediaan pinjaman lunak bagi golongan miskin namun kaya gagasan dan ambisi adalah suatu teladan intervensi pasar yang tak ada dalam perekonomian kapitalis dengan persaingan bebas secara penuh. Intervensi seperti inilah yang akan mempercepat laju pembangunan.
(hlm. 341)
Kredibilitas dan Stabilitas
Perbedaan antara perkataan dan tindakan bukanlah semata-mata persoalan kejujuran dan ketulusan. Hal ini lebih berurusan dengan kemahiran. Bila pemerintah tidak bisa menciptakan dan melaksanakan anggaran nasional dengan hati-hati (prudent), maka membuat rencana yang baik dan sehat menjadi tidak mungkin, dan kredibilitas pemerintah akan rusak.
(hlm. 342)
Pragmatisme
Komitmen terhadap pragmatisme harus diimbangi dengan komitmen penuh terhadap prinsip-prinsip ekonomi mikro dan makro yang baik. Sejauh mungkin, kebijakan ekonomi harus diarahkan pada kesejahteraan rakyat. Keberhasilan dari kebijakan ekonomi Indonesia memperkuat gagasan bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi sejauh mungkin harus dilindungi dari pengaruh politik yang tidak pada tempatnya. Selanjutnya, konsep alternatif perusahaan kebijakan ekonomi seperti komunisme, sosialisme, dan bahkan supply-side economics telah gagal. Sementara itu, bidang ekonomi neoklasik berkembang secara pasti. Dari bidang inilah para perumus kebijakan harus mencari tuntunan dalam menciptakan kebijakan.
(hlm. 343)
Membangun Masa Depan Indonesia
Pelajaran-pelajaran dari pembangunan selama empat dekade ini telah dibayar dengan, meminjam kata-kata Churchill, “blood, sweat, toil and tears” (darah, keringat, kerja keras, dan air mata). Hal ini layak mendapat perhatian dari rakyat Indonesia dan asing. Selama negara-negara masih berusaha untuk mencapai kemajuan pembangunan ekonomi, pelajaran pembangunan Indonesia tetap akan berharga.
(hlm. 345)
Perubahan Peranan Pemerintah, Lembaga Hukum, dan Bisnis
Reformasi hukum diperlukan untuk mengamankan perekonomian dari distorsi yang diciptakan oleh praktik-praktik bisnis yang tidak benar, dan sebagai bagian dari lingkungan peraturan yang memungkinkan perekonomian bebas dan terbuka untuk berkembang pesat.
(hlm. 346)
Informasi, Pendidikan, dan Pembangunan
Bagi setiap perekonomian dalam setiap tahap pembangunan, ada paling sedikit satu industri, komoditas atau aktivitas yang menjadi titik pusat setiap tahap pembangunan. Selama periode kolonial Indonesia, inti ekonomi adalah komoditi pertanian negara, khususnya karet, gula, tembakau, teh, dan kopi. Dalam dekade 1970-an, pusatnya adalah minyak, dan dalam dekade 1980-an dan 1990-an, pusatnya bergeser ke ekspor barang-barang manufaktur non-migas, seperti elektronik dan tekstil. Dalam setiap periode ini, unsur-unsur ekonomi yang utama ini juga menjadi jantung model ekonomi pembangunan pada saat itu.
(hlm. 347)
Untuk masa depan Indonesia, dari proyeksi saat ini diperkirakan bahwa menjelang 2005, sumber devisa utama negara adalah pariwisata. Hal ini mungkin bisa membuat orang beranggapan bahwa pariwisata akan menduduki posisi pusat pembangunan ekonomi Indonesia dalam abad ke-21. Namun, dalam hal ini masih ada calon lain. Pariwisata tentu saja bisa menduduki tempat teratas dalam peringkat industri. Namun, semakin nyata bahwa pembangunan ekonomi Indonesia tidak lagi didasarkan pada satu industri atau komoditas. Sebaliknya, kita sedang memasuki periode pembangunan yang dipimpin oleh informasi.
Untuk mempertahankan laju pembangunan dan meningkatkan standar hidup masyarakat, pusat perekonomian seharusnya adalah informasi, dan model pembangunan Indonesia adalah sebuah perekonomian yang dijalankan/digerakkan oleh informasi. Informasi selalu penting bagi pembangunan, tetapi perubahan dalam perekonomian modern yang terjadi sekarang adalah hasil terobosan dalam teknologi informasi.
(hlm. 348)
Untuk sukses dalam abad informasi, Indonesia harus terus memberikan prioritas utama kepada pendidikan dalam arti luas. Komitmen nasional terhadap pendidikan harus termanifestasi bukan hanya dalam total tahun sekolah yang tersedia bagi semua siswa, tetapi juga dalam hal mutu dan isi dari kurikulum. Pemerintah dan dunia usaha perlu bahu-membahu memastikan bahwa jasa pendidikan yang sesuai dan cukup maju tersedia bagi dewasa dan anak-anak. Dalam tahun-tahun mendatang, semua anak Indonesia harus lulus sekolah dengan kemampuan menggunakan dan memahami komputer.
(hlm. 350)
Peran Bank Dunia dan IMF dalam Perekonomian Indonesia
JANNES HUTAGALUNG
Makalah ini mengulas sejauh mana peran Bank Dunia dan IMF terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Selama kurun waktu 1967-1998, pinjaman Bank Dunia dalam pembiayaan pembangunan telah mencapai US$ 25 milyar, yang sebagian besar dialokasikan pada sektor infrastruktur. Pada tahun 2000-2003, pinjaman Bank Dunia terfokus pada penurunan tingkat kemiskinan dan pendekatan desentralisasi. Peran IMF di Indonesia menjadi menonjol pada masa krisis moneter. Indonesia menyepakati kerja sama restrukturisasi ekonomi dalam kerangka Letter of Intent (LOI) dengan IMF. Proses pemulihan ekonomi berjalan lambat dan sulit, salah satu penyebabnya adalah kapasitas pemerintah yang terbatas karena terjadinya pergantian pemerintah serta kurangnya dukungan publik terhadap program reformasi ekonomi yang tercantum dalam LOI.
(hlm. 351)
Bank Dunia dan IMF didirikan pada saat dan tempat yang sama, yaitu pada tahun 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, USA, sehingga keduanya sering juga disebut the Bretton Woods Institution (BWIs).
IMF dibentuk khusus untuk menangani sistem moneter internasional, terutama sistem pembayaran dan nilai tukar berbagai mata uang dunia, sedemikian rupa yang memungkinkan terjadinya transaksi keuangan antar negara dapat berjalan dengan baik. Di sisi lain, IMF juga merupakan sebuah “fund-institution” yang dapat dimintai bantuan dalam bentuk penyediaan pembiayaan sementara (temporary financing) bagi negara-negara anggotanya, khususnya dalam mengatasi kesulitan neraca pembayaran (balance of payment).
Sedangkan Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and Development/IBRD), dibentuk pada awalnya untuk membiayai pembangunan kembali ekonomi Eropa pasca-Perang Dunia II. Fungsi tersebut kemudian berkembang menjadi lebih luas, tidak lagi terbatas pada upaya rekonstruksi akibat perang, namun juga meliputi pembiayaan rehabilitasi akibat bencana alam, pendidikan, kesehatan, infrastruktur serta rehabilitasi ekonomi setelah masa konflik antar negara.
(hlm. 352)
Pada dekade 1980-an, Bank Dunia mulai mengawali program bantuannya bagi restrukturisasi sektor keuangan, sejalan dengan upaya pemerintah menderegulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Sedangkan pada kurun waktu 1990-98, Bank Dunia memberi perhatian yang lebih besar pada masalah lingkungan hidup. Dalam beberapa kasus, Bank Dunia menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai prasyarat pinjaman di sektor tertentu.
(hlm. 354)
Periode 1968-1979
Forum IGGI pada awalnya melakukan pertemuan dua kali dalam setahun untuk membahas Rencana Pembangunan Ekonomi Indonesia secara umum serta memperkirakan berapa besar bantuan yang diperlukan Indonesia. Pinjaman luar negeri mulai diberikan tahun 1967 dengan jumlah total sebesar US$ 167,3 juta.
Pada masa rehabilitasi dan stabilisasi ini, semua bantuan luar negeri diberikan dalam bentuk bantuan program (program aid) yang disalurkan ke perekonomian Indonesia melalui mekanisme yang disebut Bonus Ekspor (BE). Sertifikat BE yang tadinya hanya dijual oleh Bank Sentral kepada pemegangnya untuk mengimpor sesuai dengan daftar impor BE, kemudian dapat diperjualbelikan dengan bebas sesuai dengan nilai tukar rupiah.
(hlm. 355)
Periode 1980-1990
Kerangka dan karakteristik program bantuan Bank Dunia kemudian berubah sejalan dengan kemajuan yang dicapai dan prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah. Setelah Pelita I (1969-1974) menunjukkan beberapa kemajuan yang berarti terutama pada neraca pembayaran, maka dirasakan perlunya pembangunan yang lebih cepat dan meluas. Indonesia telah dianggap lebih “creditworthy” untuk memperoleh pinjaman Bank Dunia yang konvensional/biasa (IBRD loan), daripada memperoleh pinjaman sangat lunak dengan skema IDA.
(hlm. 356)
Di bidang moneter, pemerintah melakukan dua tahap deregulasi. Paket Juni 1983 (Pakjun 83) ditujukan untuk menghilangkan kendala terhadap suku bunga dan pagu kredit bagi seluruh bank, mengurangi kredit likuiditas, menggantikan penetapan pagu kredit yang tidak efektif dengan berbagai instrumen moneter dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Memudahkan syarat-syarat pendirian bank. Prioritas dan dukungan Bank Dunia dalam deregulasi sektor keuangan antara lain diindikasikan dengan kenaikan persentase pinjaman untuk sektor tersebut dari 6,6% menjadi 10,4% atau naik hampir 5% dari jumlah yang dialokasikan dekade sebelumnya.
(hlm. 357)
Periode 1990-1999
Pada masa krisis moneter, Bank Dunia menyetujui permintaan Indonesia untuk membatalkan pinjaman yang tidak terserap sebesar US$ 1,5 miliar dan menyesuaikan (realokasi) pinjaman US$ 1 miliar lainnya untuk membiayai program mendesak seperti bantuan biaya sekolah dan beasiswa serta jaring pengaman sosial.
(hlm. 358)
Periode 2000-2003
Dalam tahun fiskal 2000-2003, program Bank Dunia di Indonesia terfokus pada penurunan tingkat kemiskinan dengan pendekatan desentralisasi. Tiga area utamanya adalah:
- Melanjutkan pemulihan ekonomi,
- Menciptakan pemerintahan yang bertanggung jawab dan transparan,
- Menyediakan pelayanan umum yang lebih baik terutama untuk kelompok miskin.
(hlm. 359)
Tabel 3. Fokus Bantuan Bank Dunia (Tahun 2004-2007)
Fokus | Capaian |
Perbaikan iklim investasi | Menjaga stabilitas makro (debt/GDP < 60%, inflasi < 7%, pendapatan non-migas naik 1%). |
Perbaikan iklim investasi di daerah | Memperkuat dan mendiversifikasi sektor keuangan dengan akses yang lebih merata. |
Menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. | |
Perbaikan infrastruktur bisnis: pembenahan pengelolaan infrastruktur (jalan, produksi dan pemasaran migas, privatisasi infrastruktur kunci di BUMN, dan sebagainya). | |
Menciptakan sumber pendapatan yang berlanjut bagi kelompok miskin. | |
Pelayanan publik berkualitas untuk | Percepatan tercapainya target MDG di bidang kesehatan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat. |
kelompok miskin | Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan untuk kaum miskin dengan memperbesar akses untuk menyelesaikan wajib belajar 6 tahun dan lanjut sekolah tingkat menengah (SMP), serta dengan meningkatkan kualitas dan akses ke air bersih, menyediakan tenaga kesehatan terlatih, memperbaiki kualitas gizi balita dan kelompok miskin. |
Good governance | Membuat sistem perencanaan yang lebih dapat diakses oleh semua kelompok. |
Menciptakan peraturan bagi sistem keuangan publik yang transparan di semua tingkat pemerintahan. | |
Desentralisasi yang lebih efektif. | |
Menciptakan sistem hukum dan peradilan yang lebih kredibel dengan memperbaiki langkah pencegahan korupsi, pengawasan kekayaan pejabat, memperbaiki sistem peradilan, dan sebagainya. |
(hlm. 360)
Peran IMF dalam Stabilisasi Ekonomi Makro Indonesia
Tahun 1967 Indonesia bergabung kembali dengan IMF, dengan kuota sekitar SDR 2 miliar. Sebelumnya, IMF pernah memberikan pinjaman sejumlah US$ 102 juta kepada Pemerintah Orde Lama. Dukungan IMF kepada Indonesia selama tiga dasawarsa selanjutnya pada umumnya adalah menyediakan fasilitas Stand-By Credit (jangka menengah) agar cadangan devisa di Bank Indonesia cukup untuk dapat melakukan manuver berbagai kebijakan moneter dalam mengantisipasi gejolak dan menjaga stabilisasi nilai tukar Rupiah.
(hlm. 361)
Dengan adanya jaminan IMF serta komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi di berbagai bidang seperti dituangkan dalam beberapa Letter of Intent (LOI), maka negosiasi penjadwalan kembali utang luar negeri yang jatuh tempo dapat dilakukan; baik melalui skema Paris Club (utang pemerintah) maupun London Club (utang pemerintah/Bank Indonesia kepada swasta).
(hlm. 367)
11. Ketahanan Fiskal dan Manajemen Utang Dalam Negeri Pemerintah
A. FUAD RAHMANY
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas secara umum mengenai fiscal sustainability dalam kaitannya dengan tekanan fiskal akibat terlalu besarnya beban bunga dan cicilan utang yang harus dibayar pemerintah. Penulis lebih memfokuskan pada masalah tekanan fiskal sebagai akibat pembayaran bunga utang dalam negeri yang sangat besar tersebut di atas.
(hlm. 368)
I. Pendahuluan
Kurs rupiah terhadap dolar AS yang pada tanggal 6 Juli 1997 masih berkisar Rp 2.430 telah melemah sekitar Rp 15.300 pada tanggal 10 Juli 1998. Sebagai akibatnya, tingkat inflasi melonjak mencapai 77,5% pada tahun 1998, padahal dalam tahun 1997 berkisar 10,3% dan tahun 1996 hanya 7,9%. Aktivitas produksi juga mengalami penurunan yang sangat drastis, yang ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dalam tahun 1998 yang negatif 13,2%, padahal dalam tahun 1997 masih meningkat sebesar 4,9%.
(hlm. 369)
Saat ini, surat utang yang diterbitkan kepada Bank Indonesia bernilai nominal sebesar Rp 219,2 triliun dan obligasi negara yang diterbitkan untuk membiayai program rekapitalisasi perbankan bernilai Rp 404,8 triliun.
(hlm. 370)
II. Pengertian “Fiscal Sustainability”
Di dalam literatur ilmu ekonomi, tidak dapat ditemukan satu definisi yang sama mengenai fiscal sustainability. Namun demikian, dalam tulisan ini dicoba untuk diperkenalkan pengertian fiscal sustainability dari kerangka model yang sederhana, tetapi yang mendasari pengembangan lebih lanjut dari model-model yang lebih canggih. Dalam Bab II ini, akan dibahas dua pendekatan yang mendefinisikan fiscal sustainability, yakni: accounting approach dan present value constraint approach. Pengertian fiscal sustainability dapat ditarik dari perumusan tentang government fiscal financing constraint sebagai berikut:
Bₜ = (1 + rₜ) Bₜ₋ₙ – SURPBₙ ……………………………… (1)
di mana:
Bₜ = jumlah utang (bonds) pemerintah yang beredar (outstanding) pada tahun
rₜ = tingkat bunga
SURPBₙ = Surplus pada primary balance
(hlm. 372)
PVC memperkenalkan kondisi No Ponzi Game (NPG) untuk menerangkan tentang sustainability.
Apabila term terakhir dari persamaan (7) di atas diambil limitnya menuju tak terhingga dan sama dengan nol:
lim N B N+1
————— = 0 ……………………………… (8)
(1 + r)ᶥ+1
Maka persamaan (8) di atas adalah kondisi No Ponzi Game (NPG).
Kondisi NPG di atas menyatakan bahwa present value dari utang pemerintah di masa depan secara tak terhingga menuju nihil (converges to zero). Hal ini hanya dapat terjadi bila pertumbuhan utang secara riil lebih lambat daripada tingkat bunga riil.
B t-1 = (rumus) SURPB t+j
—————————————— (9)
(1 + r) j+1
Penerapan (9) di atas disebut juga intertemporal government financing constraint.
Persamaan (9) menyatakan bahwa jumlah utang pemerintah pada saat tertentu harus sama dengan present value dari surplus primary balance di masa mendatang.
(hlm. 373)
Obligasi negara yang akan jatuh tempo terkonsentrasi dalam periode 2004 s.d. 2009. Jelas apabila struktur jatuh tempo tidak diseimbangkan dan primary balance surplus tidak mampu mengikuti lonjakan tersebut, maka dalam periode ini pemerintah harus melakukan refinancing (menerbitkan obligasi untuk membiayai obligasi yang akan jatuh tempo) secara cukup signifikan sehingga dapat berdampak negatif pada perekonomian Indonesia, misalnya antara lain tingkat bunga pasar akan terdorong lebih tinggi dan terjadi crowding-out effect terhadap sektor swasta di pasar finansial.
(hlm. 378)
Selain itu, tekanan finansial juga bisa timbul sebagai akibat adanya contingent liabilities. Sebagaimana diketahui, banyak perusahaan negara (BUMN) yang terlibat utang. Kegagalan perusahaan-perusahaan ini dalam memenuhi kewajiban utangnya dapat mengikat pemerintah untuk menanggungnya, khususnya bagi perusahaan-perusahaan di bidang public utilities yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang biasanya tidak dapat dibiarkan bangkrut. Contingent liabilities juga muncul dari program penjaminan yang diterapkan pemerintah dalam kerangka program penyehatan perbankan nasional.
(hlm. 380)
IV. Manajemen Utang dalam Negeri Pemerintah
Berdasarkan pembahasan dalam Bab III di atas, di mana tekanan fiskal yang diakibatkan bukan hanya karena besarnya beban pembayaran bunga tetapi juga karena rentannya APBN kita terhadap interest rate risk dan refinancing risk serta contingent liabilities, maka manajemen utang dalam negeri mencakup tiga langkah kebijakan:
- Merestruktur profil jatuh tempo utang dalam negeri pemerintah (obligasi pemerintah) sehingga dicapai struktur yang lebih sesuai dengan kemampuan absorbsi pasar modal kita di masa depan dengan memperhitungkan surplus primary balance yang dapat diciptakan pemerintah di masa depan;
- Mengurangi jumlah pokok obligasi yang beredar dengan melakukan pembelian kembali (buy-back) obligasi di pasar sekunder dengan menggunakan sumber dana dari penjualan aset yang saat ini dikelola BPPN serta hasil privatisasi;
- Melakukan debt switching yang dimaksudkan untuk memperpanjang rata-rata jatuh tempo portofolio utang pemerintah; dan
- Memperkecil contingent liabilities.
(hlm. 384)
Desentralisasi Fiskal: Agenda Kebijakan untuk Indonesia MACHFUD SIDDIK
Pengantar
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menguraikan tujuan, prinsip, dan strategi untuk pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Berbagai opsi untuk reformasi dalam desain dan operasi program pemerintah saat ini disoroti sepanjang makalah ini. Diharapkan bahwa makalah ini akan menjadi dasar untuk koordinasi dan diskusi dengan semua pemangku kepentingan dan pengamat terkait, baik di dalam maupun di luar negeri, dalam rangka merumuskan rekomendasi kebijakan untuk keberhasilan desentralisasi fiskal, termasuk kemungkinan revisi terhadap dasar hukum dan kebijakan desentralisasi fiskal di Republik Indonesia.
Tujuan, Sasaran, dan Status Desentralisasi Fiskal
Tujuan umum dari program desentralisasi fiskal di Indonesia adalah untuk membantu:
- Meningkatkan efisiensi alokatif nasional dan efisiensi operasional pemerintah daerah;
- Memenuhi aspirasi daerah, memperbaiki struktur fiskal secara keseluruhan, dan memobilisasi pendapatan daerah dan nasional;
- Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, serta partisipasi konstituen dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah, sehingga mendorong demokratisasi;
- Mengurangi kesenjangan fiskal di antara pemerintah daerah, memastikan penyediaan layanan publik dasar bagi warga negara di seluruh negeri, serta mempromosikan tujuan efisiensi pemerintahan;
- Meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia; dan
- Mendukung stabilitas makroekonomi dan fiskal.
(hlm. 385)
Masih terlalu dini untuk memberikan evaluasi yang komprehensif dan ketat terkait desentralisasi di Indonesia dibandingkan dengan tujuan-tujuan di atas. Namun, status desentralisasi di Indonesia setidaknya dapat diuraikan secara garis besar. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa desentralisasi pengeluaran nasional telah berkembang cukup jauh di Indonesia dan dianggap sebagai perubahan radikal dari negara yang secara terpusat mengelola pengeluaran dan penyediaan layanan, menjadi negara di mana pada tahun 2003 pemerintah subnasional melakukan sekitar 35 persen dari total pengeluaran nasional.
(hlm. 386)
Kerangka Hukum dan Kelembagaan
Baik desain maupun implementasi inisiatif desentralisasi pemerintah sejauh ini menderita karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga utama. Instrumen hukum utama desentralisasi, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dikembangkan secara terpisah oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Akibatnya, muncul sejumlah masalah teknis, seperti ketidakcocokan antara penugasan pengeluaran dan pendapatan. Dalam beberapa kasus, perkembangan independen dari kedua undang-undang ini menghasilkan kewenangan hukum yang tampaknya tumpang tindih bagi kedua kementerian, terutama terkait dengan masalah fiskal dan keuangan.
Akhirnya, disarankan agar pemerintah tingkat tertinggi dan Parlemen mendefinisikan dengan lebih tepat dan sesuai pembagian kewenangan di antara lembaga-lembaga yang bertugas merancang dan melaksanakan program desentralisasi di Indonesia.
(hlm. 387)
Kami mendesak agar revisi Undang-Undang No. 22 dan No. 25 didasarkan pada pendekatan yang dipimpin pengeluaran, dengan fungsi pengeluaran yang ditentukan dalam daftar positif, yang tercantum secara rinci dalam revisi Undang-Undang No. 22 itu sendiri, daripada diserahkan pada peraturan bawahan. Selain itu, akan berguna jika revisi terhadap Undang-Undang No. 22 menetapkan rezim “ultra vires” untuk menentukan legalitas tindakan pemerintah daerah serta pengeluaran dan pendapatan terkait.
Penugasan Pendapatan
Sebagian besar berpendapat bahwa, untuk memberikan layanan yang ditugaskan secara efisien, efektif, dan akuntabel, pemerintah daerah harus memiliki keleluasaan yang memadai atas penggunaan instrumen pendapatan asli mereka sendiri (terutama terkait kontrol tarif) dan bahwa instrumen pendapatan tersebut, jika dikelola dengan baik, harus mampu menghasilkan jumlah pendapatan asli yang memadai.
(hlm. 388)
Di sisi lain, pemerintah daerah tampaknya kekurangan sumber daya yang memadai untuk memberikan wewenang yang diinginkan di margin. Pemerintah Kabupaten dan Kota memerlukan satu atau lebih pendapatan lokal tambahan yang substansial dengan keleluasaan luas dalam menetapkan tarif. Usulan di sini adalah untuk mengubah pajak bumi dan bangunan (PBB) di pedesaan, perkotaan, dan perkebunan, serta pajak peralihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) menjadi pajak daerah. Pemerintah daerah harus diberikan kewenangan atas tarif dalam kisaran tertentu untuk kedua pajak ini, meskipun administrasi bisa tetap terpusat, setidaknya untuk sementara waktu.
(hlm. 391)
Kontribusi positif terhadap pengurangan kesenjangan fiskal vertikal telah dibuat melalui skema bagi hasil pendapatan. Namun, satu kesulitan adalah sebagian besar pendapatan yang dibagikan hanya jatuh ke beberapa pemerintah daerah saja. Hal ini menimbulkan masalah terkait dengan keadilan distribusi transfer. Secara teoritis, sifat ketidakadilan dari transfer ini dapat diatasi dengan pemberian hibah kesetaraan. Namun, harus diakui bahwa transfer semacam itu mungkin tidak sepenuhnya dapat mengompensasi daerah-daerah yang tidak memiliki akses ke pendapatan bagi hasil yang signifikan (kecuali jika menggunakan “hibah negatif”), dan masalah ketidakadilan kemungkinan besar akan tetap ada.
DAU dimaksudkan, sebagian, untuk merespons aspirasi daerah akan akses yang lebih besar dan lebih banyak kendali atas pendapatan.
(hlm. 392)
DAK dimaksudkan untuk membantu mendanai kebutuhan penting yang tidak dapat diestimasi dalam formula DAU dan untuk membantu pendanaan pengeluaran yang terkait dengan prioritas nasional.
(hlm. 393)
Pinjaman Jangka Panjang Daerah
RDA (Rekening Dana Alokasi) telah memberikan lebih banyak pinjaman (52 persen dari total), namun SLA (Subsidi Langsung Anggaran) telah mencairkan lebih banyak dalam istilah Rupiah (66 persen dari total). Secara agregat, jumlah total pinjaman cukup kecil, hanya mencapai kurang dari setengah persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam istilah nominal tahun 1999.
(hlm. 395)
Revisi terhadap Undang-Undang No. 25 seharusnya dengan jelas menyatakan bahwa pinjaman pemerintah daerah dapat digunakan untuk seluruh pengembangan modal.
(hlm. 401)
Sistem Informasi Keuangan Pemerintah Daerah
Sistem informasi keuangan pemerintah daerah yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 telah dibentuk, namun masih dalam tahap pengembangan awal. Pekerjaan lebih lanjut yang substansial diperlukan, termasuk penguraian analisis pendapatan, pengeluaran, dan pembiayaan; perluasan untuk mencakup indikator kinerja dalam bidang layanan utama, seiring dengan pekerjaan yang sedang berlangsung untuk mengembangkan standar nasional; dan perbaikan mekanisme pengumpulan data yang lebih teratur dan tepat waktu dari setiap pemerintah daerah.
(hlm. 404)
Ketidakseimbangan Desentralisasi di Indonesia dan Arah Masa Depan untuk Meningkatkan Kekuatan Pemungutan Pajak bagi Pemerintah Subnasional
MACHFUD SIDDIK
I. Pengantar
Ekonomi Indonesia tumbuh secara mengesankan selama tahun 1980-an dan sebagian besar tahun 1990-an, terutama karena kekayaan sumber daya alamnya, yang mencakup populasi besar, cadangan energi yang kuat, deposit mineral yang substansial, dan lahan pertanian yang subur. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai US$142,5 miliar pada tahun 1999. PDB per kapitanya adalah US$690. Antara tahun 1985 dan 1995, PDB tumbuh sekitar 95 persen, sementara inflasi tahunan tetap di bawah 10 persen.
(hlm. 406)
Kedua undang-undang tersebut menandai perubahan radikal kebijakan desentralisasi dari dominasi pemerintah pusat terhadap pengaturan pemerintah daerah menuju pemberian arahan yang lebih tinggi bagi pemerintah daerah dalam mengelola urusan lokal.
(hlm. 408)
II. Fenomena Desentralisasi
Risiko yang paling umum adalah peningkatan hambatan masuk karena kolusi di antara kelompok kepentingan dapat lebih kohesif di tingkat lokal daripada di tingkat nasional, dan biasanya lebih sulit diatasi.
(hlm. 409)
Selain masalah yang telah disebutkan di atas, Bank Dunia (2001) juga memperingatkan bahwa risiko desentralisasi dapat mengarah pada hal-hal berikut:
- Stabilitas makroekonomi terancam oleh kurangnya disiplin fiskal di tingkat desentralisasi, yang menyebabkan peningkatan utang pemerintah.
- Penyediaan layanan yang tidak efisien di tingkat lokal akibat desentralisasi korupsi, staf yang tidak berkualifikasi, dan pengeluaran yang tidak terkendali oleh otoritas lokal.
- Kesempatan pembangunan yang tidak merata di berbagai wilayah (dan untuk kelompok penduduk individu di wilayah tersebut) karena biaya penyediaan layanan yang berbeda di wilayah-wilayah tersebut, meskipun basis pendapatan pajaknya sama, serta kurangnya komitmen oleh badan pemerintah desentralisasi terhadap pengurangan kemiskinan dan pembayaran transfer sosial yang kompensasi.
- Pengembangan demokrasi, penjagaan perdamaian, dan pencarian solusi jangka panjang untuk konflik terancam oleh klienelisme dan konsolidasi elite lokal, peningkatan korupsi lokal, kurangnya perhatian terhadap pihak yang kalah dalam proses desentralisasi, ketidakpuasan dalam masyarakat akibat penurunan layanan lokal, serta perpetuasi pembagian etnis, penguatan gerakan otonomi, dan pelemahan pemerintah pusat, garis konflik baru atau eskalasi konflik yang sedang berlangsung, bahkan permusuhan.
(hlm. 419)
III. Implementasi Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Penugasan Pendapatan
Undang-Undang No. 34/2000 menetapkan beberapa kategori pajak dan retribusi, yang menjadi milik provinsi dan pemerintah daerah dengan tarif batas maksimum untuk setiap pajak dan retribusi daerah. Selain itu, undang-undang ini memungkinkan pemerintah daerah untuk menciptakan pajak baru selama tidak melanggar kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan disetujui olehnya. Namun, pada kenyataannya, sebagaimana dilaporkan oleh beberapa pengamat, banyak pajak bermasalah yang diperkenalkan oleh pemerintah daerah. Dalam studi kasus di Lombok Tengah, pemerintah memperkenalkan pajak atas perdagangan komoditas antar-pulau bekerja sama dengan pemerintah daerah tetangga, yang jelas bertentangan dengan kriteria pajak daerah.
(hlm. 420)
Dua pajak lainnya, yaitu pajak bahan bakar minyak dan pajak eksploitasi air, berkontribusi sangat sedikit. Pada tingkat kabupaten/kota, terdapat tujuh pajak lokal, yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan (pajak konsumsi listrik), pajak penggalian bahan mineral golongan C (pajak atas mineral yang tidak strategis dan tidak vital), dan pajak parkir. Namun, hanya beberapa yang berkontribusi signifikan terhadap total pendapatan daerah, dan kontribusi tersebut bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
(hlm. 421)
Karakteristik Pajak Daerah yang Baik
Berikut ini adalah kriteria yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang diterima secara luas, yang digunakan dalam mengevaluasi pajak pemerintah daerah kandidat untuk dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997/Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, dan dari mana kriteria untuk pajak tambahan yang ditentukan dalam undang-undang tersebut dirumuskan:
- Pajak harus sesuai sebagai pajak pemerintah daerah—yaitu, dasar pajak harus jelas berada di dalam atau berasal dari dalam wilayah pemerintah daerah dan berkaitan terutama dengan aktivitas ekonomi dari dalam wilayah pemerintah daerah.
- Pajak harus dapat diterima secara politis baik di tingkat nasional maupun daerah.
- Dasar pajak tidak boleh tumpang tindih dengan pajak pusat atau pajak daerah lainnya atau biaya lisensi yang memiliki karakteristik pajak (pajak ganda).
- Potensi hasil dari sumber pendapatan baru harus mewakili kontribusi tambahan yang substansial terhadap total pendapatan daerah saat ini; juga harus didasarkan pada basis pendapatan yang berkembang.
- Biaya bruto (yaitu, biaya sebelum dikurangi hibah terkait staf) dari pengumpulan pendapatan harus dapat diterima dibandingkan dengan hasil pendapatan.
- Pajak tidak boleh merugikan kebijakan ekonomi nasional.
- Pajak tidak boleh secara serius mengubah alokasi sumber daya ekonomi dalam wilayah pemerintah daerah atau antar-wilayah, atau mengganggu perdagangan intra- atau antar-wilayah.
- Beban pajak harus dapat diterima, baik oleh sebagian besar dari mereka yang berkewajiban langsung untuk membayarnya, maupun oleh mereka yang pada akhirnya akan terkena dampaknya (melalui pengaruhnya pada harga barang dan jasa yang relevan).
- Pajak tidak boleh regresif (yaitu, bagian dampak akhirnya yang tidak proporsional tidak boleh jatuh pada mereka yang kurang mampu).
- Pajak tidak boleh secara tidak adil mendiskriminasi bagian tertentu dari masyarakat.
- Pemerintah daerah harus dapat mengelola pendapatan tersebut secara efektif (yaitu, dapat mengidentifikasi semua atau setidaknya sebagian besar wajib pajak; menilai kewajiban setiap wajib pajak dengan mudah dan akurat; dan menegakkan pengumpulan pendapatan secara efektif yang dinilai sebagai wajib bayar).
- Pajak tidak boleh mencegah pembayar pajak mengambil tindakan yang tepat untuk mematuhi kebutuhan pelestarian lingkungan.
(hlm. 427)
VI. Transfer Antar Pemerintah
Jenis Transfer Antar Pemerintah
Sistem transfer antar pemerintah di Indonesia mencakup tiga jenis skema transfer dasar. Ini adalah bagi hasil pendapatan, hibah dengan tujuan umum (Dana Alokasi Umum – DAU), dan hibah untuk tujuan khusus (Dana Alokasi Khusus – DAK). Undang-undang juga menyediakan hibah darurat, tetapi ini berada di luar lingkup diskusi kebijakan saat ini dan tidak dibahas lebih lanjut.
Sistem ini memiliki enam tujuan utama. Tujuan dari sistem ini adalah untuk:
- Mengatasi ketidakseimbangan fiskal vertikal antar tingkat pemerintahan (bagi hasil, DAU);
- Menyamaratakan kapasitas fiskal pemerintah daerah untuk memberikan layanan (DAU);
- Mendorong pengeluaran daerah untuk prioritas pembangunan nasional (DAK);
- Mempromosikan pencapaian standar infrastruktur minimum (DAK);
- Mengkompensasi manfaat/biaya limpahan di bidang prioritas (DAK);
- Mendorong komitmen daerah (DAK); dan
- Mendorong mobilisasi pendapatan (bagi hasil, DAU, DAK).
(hlm. 428)
Tabel 3: Instrumen dan Distribusi Bagi Hasil, Mulai Tahun Anggaran 2001
Pendapatan yang Dibagi
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB: Pajak Bumi dan Bangunan)
- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
- Levy Hak Pengoperasian Kehutanan
- Komisi Sumber Daya Kehutanan
- Sewa Tanah Sektor Pertambangan
- Royalti Sektor Pertambangan
- Pendapatan Pajak atas Operasi Perikanan
- Pendapatan Pajak atas Hasil Perikanan
- Pendapatan Minyak
- Pendapatan Gas Alam
- Pajak Penghasilan Pribadi
Sumber: Berdasarkan Peraturan Pemerintah 104/2000
(hlm. 431)
Masalah Redistribusi Pendapatan Bagi Hasil
Masalah terbesar adalah dalam pencairan pendapatan bagi hasil dari sumber daya alam. Pada prinsipnya, 25 persen dari bagian daerah harus dicairkan pada kuartal kedua (April) dan ketiga (Juli), dan 50 persen sisanya pada kuartal terakhir (Oktober dan Desember). Namun, pada Tahun Anggaran 2001, karena Pemerintah tidak dapat mengeluarkan Keputusan Menteri untuk bagi hasil sumber daya alam, pencairan sebenarnya dilakukan pada tahun fiskal terakhir. Secara khusus, pendapatan terkait kehutanan untuk Tahun Anggaran 2001 dialokasikan pada Tahun Anggaran 2002.
(hlm. 437)
Dana Alokasi Umum (DAU)
Terlepas dari poin-poin tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa analisis terbaru, kinerja DAU mungkin masih di bawah standar dalam hal tujuan kesetaraan. Masalah masih ada, misalnya, dalam spesifikasi formula, terutama terkait dengan pengukuran kebutuhan pengeluaran, meskipun perbaikan dapat dilakukan pada pengukuran kapasitas fiskal.
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Selain hibah tujuan umum DAU, Undang-Undang 25 Tahun 1999 memungkinkan pembayaran hibah dengan tujuan khusus (DAK) dalam dua kategori utama:
- Untuk membantu mendanai kebutuhan penting yang tidak dapat diestimasi dalam formula DAU; dan
- Untuk membantu pendanaan pengeluaran yang terkait dengan prioritas atau komitmen nasional
(hlm. 438)
Kategori ketiga hanya merupakan mekanisme untuk berbagi dengan daerah-daerah tentang pungutan negara atas perusahaan eksploitasi kehutanan, yang khusus untuk reboisasi, dan tidak dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
Karena kebutuhan pengeluaran berulang untuk kegiatan operasional, pemeliharaan, administrasi, dan dukungan, pada prinsipnya, dapat diestimasi dengan tepat oleh formula DAU yang dirancang dengan baik, dan mengingat ukuran dana yang tersedia kemungkinan kecil relatif terhadap DAU, tujuan DAK terutama terbatas pada pembiayaan investasi modal fisik.
(hlm. 441)
Konsep “Uang Mengikuti Fungsi”
Konsep otonomi daerah bukanlah hal baru bagi Indonesia. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 5/1974, pemberian kekuasaan otonomi yang lebih besar kepada daerah telah menjadi perhatian utama pemerintah pusat.
Kebijakan desentralisasi saat ini yang diadopsi oleh pemerintah pusat sangat berbeda dari kebijakan masa lalu. Undang-Undang No. 22/1999, yang menjadi dasar kebijakan devolusi, disertai dengan Undang-Undang No. 25/1999, yang menyediakan ketersediaan dana untuk membiayai fungsi yang didistribusikan ke daerah. Oleh karena itu, konsep “uang mengikuti fungsi” tercermin dalam kedua undang-undang tersebut.
(hlm. 442)
Ketidakstabilan Politik setelah Desentralisasi
Motivasi ekonomi didorong oleh adanya jumlah “lump sum” dalam formula DAU yang menjamin setiap pemerintah daerah akan menerima sejumlah DAU, bukan alokasi nol.
(hlm. 443)
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Filipina juga memiliki cerita yang serupa. Sepuluh tahun setelah adopsi kebijakan desentralisasi mereka, jumlah pemerintah daerah di Filipina juga meningkat secara dramatis. Sebagai contoh, jumlah total provinsi meningkat dari 35 menjadi 88.
Belajar dari kasus Indonesia, pemerintah pusat harus mengadopsi aturan tertentu untuk memeriksa pertumbuhan jumlah pemerintah daerah baru. Salah satu caranya adalah dengan merancang skema disinsentif fiskal yang tertuang dalam undang-undang.
(hlm. 448)
IX. Kesimpulan Umum
- Sentralisasi otoritas di Indonesia secara tradisional dipandang sebagai sarana untuk menjaga kesatuan nasional dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi.
- Masalah yang ditinjau secara singkat dalam makalah ini harus dilihat sebagai tantangan bagi para optimis yang percaya bahwa desentralisasi fiskal adalah solusi bagi banyak masalah.
(hlm. 449) - Indonesia telah memulai program desentralisasi yang radikal dan cepat.
- Hubungan antara desentralisasi dan penugasan pajak serta pengeluaran adalah fitur sentral dari desentralisasi fiskal.
(hlm. 450) - Transfer antar pemerintah adalah sumber pendapatan dominan bagi pemerintah subnasional di sebagian besar negara berkembang dan ekonomi transisi.
(hlm. 451) - Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip desentralisasi fiskal, “mendapatkan harga yang benar” atau bahkan “mendapatkan aturan permainan yang benar”, adalah keputusan yang diperlukan.
- Harus diakui bahwa pembuatan kebijakan desentralisasi di Indonesia lebih banyak diadopsi sebagai reaksi “dari bawah” terhadap bertahun-tahun kendali pusat yang ekstensif dan urgensi fiskal.
- Pembagian pendapatan memang memberikan kontribusi positif terhadap pengurangan ketidakseimbangan vertikal.
(hlm.455)
Bab V
Faktor-faktor Pendukung Kebijakan Fiskal
(hlm.457)
1 Aspek Hukum dalam Penetapan Kebijakan Keuangan Negara
AGUS HARYANTO
(hlm.458)
Setelah menunggu selama 58 tahun, akhirnya Indonesia memiliki sebuah undang-undang produk nasional untuk mengisi “kekosongan” pengaturan pengelolaan keuangan negara. Sebulan setelah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada tanggal 5 April 2003, secara resmi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) diundangkan. Selama ini, pengelolaan keuangan negara hanya didasarkan pada ketentuan perundang-undangan warisan kolonial Belanda yaitu ICW (Indische Comptabiliteitswet), RAB (Regelen Voor Het Administratief Beheer) dan IAR (Instructie en Verdere Bepalingen Voor de Algemene Rekenkamer) yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945.
Tercatat setidaknya 14 tim sejak tahun 1945, telah dibentuk untuk menyusun draf UU Keuangan Negara. Namun sayangnya, sejak konsep Rancangan UU Keuangan Republik Indonesia yang pertama yang dihasilkan oleh Panitia yang dipimpin oleh Achmad Natanegara sampai dengan draf Rancangan UU yang dihasilkan oleh tim yang ke-13, draf tersebut berhenti dan hanya menjadi wacana di lingkungan eksekutif dan tidak pernah sampai ke DPR.
(hlm.459)
UU warisan kolonial tersebut disusun dalam perspektif kepentingan penjajah sehingga tentu saja mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan anggaran yang baik. Sedangkan dari dimensi waktu, sistem pengelolaan kas dan utang dalam ICW hanya tepat digunakan untuk suatu masa di mana sarana informasi dan komunikasi terbatas.
(hlm.460)
Reformasi Keuangan Negara
Dengan diundangkannya UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara serta paket perundang-undangan di bidang keuangan negara lainnya, yaitu RUU Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang telah disetujui oleh DPR RI menjadi Undang-Undang pada tanggal 21 Juni 2004 untuk menggantikan ICW warisan Belanda, diharapkan tercipta milestone (tonggak) reformasi hukum Indonesia. Hal tersebut merupakan satu langkah maju yang dapat menjepis pomeo selama ini yang menganggap bahwa para perancang undang-undang kita belum mampu menyusun perundang-undangan untuk menggantikan “masterpiece” peraturan peninggalan zaman kolonial.
Saat ini, meskipun dengan beberapa modifikasi, melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, kita masih memakai perangkat hukum kolonial seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel). Upaya menyusun perangkat hukum nasional untuk mengganti berbagai UU warisan kolonial tersebut sampai saat ini masih terus berlanjut.
(hlm.462)
Pokok-pokok Kebijakan Keuangan Negara
Selain itu, dalam Pasal 35 UU Keuangan Negara diatur bahwa setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, baik langsung atau tidak langsung, yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud. Hal ini merupakan penerapan prinsip yang berlaku universal bahwa “barangsiapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan, membayar dan atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggung jawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya.”
Sedangkan di sisi lain, adanya duplikasi dan tumpang tindih pengeluaran anggaran yang selama ini dirasakan oleh para penyelenggara negara, dapat dihindari dengan menerapkan klasifikasi anggaran yang dirancang sesuai dengan gagasan sistem penganggaran terpadu (unified budget) yang memuat belanja operasional dan belanja modal.
(hlm.463)
Struktur dan Posisi Hukum UU Pengelolaan Keuangan Negara
Salah satu wujud transparansi dan akuntabilitas pengelolaan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum. Dalam UU Keuangan Negara secara jelas diatur tenggang waktu penyampaian laporan dari pemerintah kepada DPR dan laporan dari pemerintah daerah kepada DPRD. Laporan keuangan pemerintah (pusat) yang telah diperiksa oleh BPK harus disampaikan kepada DPR paling lambat 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Demikian pula dengan laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh BPK harus disampaikan kepada DPRD paling lambat 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
(hlm.465)
Undang-undang tentang Keuangan Negara mengatur ketentuan pokok pengelolaan keuangan negara yang sifatnya melengkapi, menjelaskan dan sebagai pelaksana prinsip-prinsip dasar yang telah diatur dalam Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945. Meskipun Indonesia tidak mengenal adanya UU Pokok atau yang sering disebut sebagai raamwet, basiswet ataupun moederwet yaitu UU yang merupakan induk dari UU lain (mengingat semua UU di Indonesia mempunyai hierarki yang sama). Diharapkan UU Keuangan Negara dapat menjadi acuan bagi penyusunan undang-undang yang terkait dalam bidang keuangan negara dan ketentuan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaannya.
(hlm.468)
2 Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia di Bidang Keuangan Negara
NOOR FUAD
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, penerimaan negara dari sektor pajak merupakan ujung tombak dalam neraca APBN Indonesia. Hal ini terlihat dari time series data selama kurun waktu 10 tahun terakhir yang menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan selalu di atas 50% dari total penerimaan negara.
(hlm.469)
Dalam hal ini, Boundreau & Ramstad (1997) berpendapat bahwa organisasi yang berhasil adalah organisasi yang selalu menempatkan sumber daya manusianya sebagai “aset yang paling berharga.”
(hlm.471)
Pendekatan Teoretis dan Tinjauan Literatur
Pentingnya Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam Suatu Organisasi
Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, satu kerangka pikir yang sangat populer dewasa ini, khususnya di antara para peneliti di bidang strategic human resources management, adalah the “value-based” theory of competitive advantage yang akan dapat dibentuk melalui sumber daya manusia yang “VRIO” (Valuable, Rare, difficult to Imitate, dan didukung oleh Organizational Structures yang akan mengeksploitasinya secara efektif) (Barney & Wright, 1998). Faktor-faktor ini dibutuhkan sebagai alat untuk menciptakan competitive advantage suatu organisasi, yang tidak dengan mudah ditiru oleh para pesaingnya. Barney & Wright (1998) demikian juga Coff (1997) memberikan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa bagaimana suatu sumber daya manusia yang berkualitas akan memberikan kontribusi dalam terciptanya competitive advantage.
(hlm.473)
Tabel 2
Persentase Komposisi SDM Departemen Keuangan berdasarkan tingkat pendidikan
Pelatihan (Training)
Diklat prajabatan adalah pelatihan yang diberikan kepada para Calon Pegawai Negeri Sipil yang baru direkrut oleh Departemen Keuangan dengan harapan para pegawai baru akan mendapatkan pengertian atau landasan cukup memadai untuk bekerja di Departemen Keuangan. Diklat karier adalah pelatihan yang diberikan kepada para pegawai untuk meningkatkan skill di bidang manajerial. Dalam pelaksanaannya, diklat karier ini dilaksanakan oleh Pusdiklat Pegawai. Diklat teknis dan fungsional merupakan pelatihan yang diberikan oleh Departemen Keuangan kepada para pegawai untuk meningkatkan kinerja para pegawainya. Selain ketiga jenis diklat tersebut di atas, Departemen Keuangan juga menyelenggarakan pendidikan tinggi kedinasan, yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), di mana output dari pendidikan tinggi kedinasan tersebut nantinya akan mengisi formasi golongan II pegawai negeri sipil di Departemen Keuangan.
(hlm.477)
Pendidikan (Education)
Menurut pengamatan PPSDM, untuk alumni dari luar negeri, master akan menjabat eselon IV dalam jangka waktu 1-3 tahun dan doktor akan menjabat eselon III dalam jangka waktu 1-3 tahun. Dari sini dapat dilihat bahwa proyek pengembangan sumber daya manusia yang dikelola oleh PPSDM-BPPK memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam mensuplai pimpinan-pimpinan di lingkungan Departemen Keuangan.
(hlm.480)
Beberapa Permasalahan dalam Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Keuangan
Tabel 5
Komposisi dengan Latar Belakang S3 Berdasarkan Kelompok Usia dan Eselonisasi
Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah pegawai dengan latar belakang pendidikan S3 semakin lama semakin mengalami penurunan.
(hlm.483)
Kesimpulan dan Saran
Untuk itu diperlukan suatu upaya sedini mungkin untuk mencari alternatif pembiayaan untuk pengembangan sumber daya manusia, baik dari loan, grant, dan juga jika dimungkinkan melalui dana APBN.
(hlm.485)
3 Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara
AGUS MUHAMMAD
Pendahuluan
Orde Baru yang dibangun Pemerintah Soeharto sejak 1966 telah menghasilkan prestasi yang luar biasa. Di tahun 1966—atau 30 tahun kemudian—sebagai hasil dari pembangunan, Indonesia mengalami dua kali quantum leap, dari negara miskin ke negara berkembang, dan dari negara berkembang menjadi negara berpendapatan menengah.
(hlm.486)
Indonesia memacu pertumbuhannya tidak saja dari pinjaman melainkan dari arus investasi asing yang masuk ke Indonesia. Bersamaan dengan itu, pemerintah sepakat untuk menjadikan swasta sebagai lokomotif pembangunan dengan memberikan beban kepada mereka untuk menyerap 75% dari tenaga kerja, yang berarti melakukan 75% dari total investasi yang diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi ledakan pengangguran.
(hlm.487)
Sebagai contoh, sepuluh tahun masa berlakunya kebijakan deregulasi perbankan (Pakto 88) ternyata telah menimbulkan dead-end bagi keyakinan perencanaan pembangunan Indonesia. Pada tahun 1992, terdapat sekitar 200 bank swasta yang bukan saja lahir dan melayani masyarakat, melainkan menjadi alat dari kelompok-kelompok usaha-usaha sendiri untuk menggenjot investasi (Dwijowijoto, 2001). Sampai 31 Desember 1997, total pinjaman luar negeri swasta adalah US$73,932 miliar—lebih besar dari pinjaman pemerintah (termasuk BUMN) yakni US$63,462 miliar. Jika pinjaman pemerintah mengalir dalam tempo 30 tahun, maka pinjaman swasta justru terjadi selama 5 tahun.
Temuan dari McKinsey & Co menunjukkan bahwa sebagian besar nilai pasar dari perusahaan-perusahaan Indonesia sekitar 90% nilainya ditentukan oleh growth expectation, sedangkan sisanya 10%, oleh current earning stream. Padahal, lazimnya perusahaan publik yang baik dan sehat, nilai pasarnya lebih ditentukan oleh kinerja riil (70%), dan sisanya baru ditentukan oleh harapan kemajuan usaha (30%).
Sementara itu, sebagian besar investasi yang kebanyakan diperoleh dari utang luar negeri tersebut ditempatkan pada jalur yang keliru. Pertama, untuk investasi yang kurang produktif dan berjangka panjang (seperti sektor properti), padahal sumber pembiayaannya berasal dari utang jangka pendek. Kedua, untuk investasi yang sebagian besar revenue-nya berupa Rupiah, sehingga sangat rentan terhadap perubahan nilai tukar mata uang.
(hlm.493)
Pengawasan Keuangan Negara di Masa Krisis
Krisis ekonomi 1997/98 ternyata telah mengubah secara signifikan “peta” pengawasan atas pengelolaan keuangan negara. Jika semasa Orde Baru, kekuasaan eksekutif dikatakan sangat dominan dan aparat pengawasan seolah tak berkutik, maka hal tersebut sudah tidak lagi sedominan seperti pada masa Orde Baru dan aparat pengawasan kini lebih kuat dibandingkan dengan masa Orde Baru. Ini terlihat, kini aparat pengawasan, baik itu BPK maupun APIP, seolah “berpacu” untuk menunjukkan eksistensinya dengan banyak melaporkan hasil pemeriksaannya secara terbuka.
Belakangan ini, BPK misalnya, banyak sekali melaporkan hasil pemeriksaannya kepada DPR tentang berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dari berbagai kriteria yang penulis ikuti, setidaknya terdapat beberapa hasil pemeriksaan BPK yang perlu dicermati, yaitu:
- Audit BPK atas penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Audit BPK tentang BLBI menyimpulkan bahwa dari total Rp144,5 triliun dana BLBI yang dikeluarkan dari awal krisis sampai dengan 29 Januari 1999, senilai Rp84,4 triliun telah terjadi penyimpangan dalam penggunaan BLBI. Menurut BPK, dana BLBI yang salah penggunaannya tersebut digunakan untuk memberikan pinjaman kepada perusahaan terafiliasi dengan bank (Rp20,5 triliun), transaksi derivatif (Rp22,5 triliun), ekspansi kredit tanpa dukungan jaminan (Rp16,8 triliun), pembayaran pihak ketiga yang melanggar aturan (Rp4,5 triliun), dan lain-lain.
(hlm.494)
2. BPK menemukan penyimpangan dalam pengelolaan anggaran negara senilai Rp46,638 triliun dari anggaran yang diperiksa selama tahun 2000, 2001, dan 2002 sampai Juni senilai Rp985,62 triliun. Realisasi anggaran selama kurun waktu (tiga tahun anggaran) tersebut mencapai Rp1.171,437 triliun.
3. BPK menemukan penyimpangan dalam pengelolaan restitusi pajak senilai Rp2,05 triliun atau 21,60% dari total Rp9,5 triliun yang diperiksa dalam periode 1999 dan 2000.
4. BPK mengungkapkan adanya dugaan penyimpangan pengelolaan penerimaan, pengeluaran, dan kekayaan negara sebesar Rp456,4 triliun dalam tahun anggaran 2001 dan 2002. Rincian penyimpangan itu yakni Rp387,12 triliun (17,34% dari total cakupan pemeriksaan) pada tahun anggaran 2001 dan Rp69,28 triliun (30,02%) pada tahun anggaran 2002.
5. BPK mengumumkan hasil audit BPK pada semester I tahun 2002 yang menemukan adanya sejumlah kontraktor bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) yang merugikan negara hingga jutaan US$.
6. BPK menemukan penyimpangan penggunaan dana penjaminan perbankan di Rekening 502 sebesar Rp20,908 triliun. Jumlah ini merupakan 46,69% dari nilai yang diperiksa, yakni Rp44,778 triliun. Dari total angka penyimpangan tersebut, sebanyak Rp17,762 triliun dilakukan oleh Bank Indonesia, sedangkan sisanya dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
(hlm.496)
Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara di Era Reformasi
Hal yang sangat penting dalam pengelolaan keuangan negara setelah reformasi adalah adanya desentralisasi pemerintahan, yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan adanya kedua undang-undang di bidang otonomi daerah ini, maka semua unit kerja departemen di daerah, telah diintegrasikan ke pemerintah daerah. Dengan demikian, kantor-kantor Wilayah Departemen dan Satuan Kerja Departemen di daerah telah diintegrasikan ke pemerintah daerah. Pada tingkat Pemerintah Pusat, terdapat departemen yang mempunyai unit struktural di bawah seperti Departemen Keuangan, Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan HAM. Dan lebih banyak lagi terdapat departemen yang tidak punya unit struktural di daerah.
Dengan adanya otonomi daerah tersebut, maka sifat dari pengawasan pun berubah, yang tadinya sentralistis menjadi desentralistis. Pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, telah membentuk Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) sebagai pengganti Inspektorat Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kotamadya. Untuk mengatur penyelenggaraan pengawasan di daerah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
(hlm.497)
Sementara itu, dalam kegiatan, Daerah lebih meningkatkan peranan Bawasda sebagai satu-satunya unit pengawas fungsional di Daerah. Sehingga dalam beberapa hal, kehadiran APIP kurang dapat diterima. Untuk kegiatan yang bersifat “desentralisasi”, Daerah “tidak bersedia” lagi diperiksa (diaudit) oleh aparat pengawas dari pusat (Itjen dan BPKP). Dengan kata lain, pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah (central government control) menjadi melemah.
(hlm.500)
Mengacu pada landasan pokok tersebut, maka penulis mengusulkan beberapa skenario pengawasan atas pengelolaan keuangan negara. Pertama, BPK adalah satu-satunya aparat pengawas ekstern di bidang pengelolaan keuangan negara.
Kedua, institusi pengawasan intern di tingkat pusat (dalam hal ini Inspektorat Jenderal) melakukan pemeriksaan terhadap departemen/LPND dan bertanggung jawab kepada pejabat berwenang di masing-masing instansi.
Ketiga, karena BPKP adalah mata dan telinga presiden, maka BPKP memang sudah selayaknya jika melakukan pemeriksaan terhadap seluruh instansi pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Menurut hemat penulis, peran BPKP sebagai aparat pengawasan selayaknya dibatasi sebagai Koordinator atas Aparat Pengawas Intern. Dengan demikian, BPKP tidak perlu melakukan tugas-tugas teknis pemeriksaan terhadap seluruh instansi yang ada di setiap Departemen. Fungsi pemeriksaan teknis di setiap Departemen cukup dilakukan oleh Irjen Departemen/LPND, dan BPKP memperoleh salinan hasil pemeriksaan tersebut untuk di-review dan kemudian dijadikan sebagai bahan pertanggungjawaban kepada Presiden. Agar terjadi kesamaan terhadap standar pemeriksaan, maka BPKP selaku Koordinator atas Aparat Pengawas Intern perlu membuat standar pemeriksaan yang berlaku bagi setiap Irjen Departemen/LPND.
(hlm.501)
Keempat, di tingkat daerah, Aparat Pengawasan Intern Pemeriksaan dilakukan oleh Badan Pengawas Daerah (Bawasda), baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten. Bawasda inilah yang akan menjadi mata dan telinga bupati/walikota serta gubernur. Sedangkan aparat pengawasan ekstern, sesuai dengan mandat konstitusi dan UU, peran tersebut dijalankan oleh BPK.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat misalnya, Pemerintah di tingkat federal memiliki institusi pemeriksaan eksternal yaitu The United States General Accounting Office (the GAO). The GAO ini adalah agen nonpartisan dalam lembaga legislatif dari pemerintah federal. The GAO dipimpin oleh seorang the Comptroller General, yang melaporkan dan bertanggung jawab kepada Kongres. Kebanyakan tanggung jawab dari the GAO ini sama dengan Kantor Akuntan Publik. The GAO memeriksa sebagian besar informasi keuangan yang disiapkan oleh berbagai agen pemerintah. Fokus dari tugas the GAO adalah mengevaluasi efisiensi dan keefektifan operasional dari berbagai program pemerintah federal.
Sementara itu, di tingkat State (negara bagian), juga memiliki institusi pemeriksaan sendiri yang tugasnya mirip dengan the GAO, yaitu the State Accounting Office (the SAO).
(hlm.502)
Mengambil contoh pengalaman di Amerika Serikat ini, ada baiknya memang untuk tugas-tugas pemeriksaan terhadap aspek-aspek keuangan badan-badan usaha yang dimiliki negara (BUMN/D) diserahkan kepada Akuntan Publik untuk diberikan opini. Dengan kata lain, dalam konteks ini, patut pula dipertimbangkan jika pemberian opini atas pemeriksaan unit bisnis yang dimiliki negara (BUMN) tidak selalu dilakukan oleh aparat pemeriksaan ekstern pemerintah, dalam hal ini BPK.
(hlm.504)
4. Teknologi Informasi untuk Menunjang Penetapan Kebijakan Fiskal
DAENG M. NAZIER
Suatu kebijakan strategis sangat memerlukan tersedianya informasi yang akurat dan terpadu dari berbagai aspek. Perlu kita sadari bahwa fungsi utama dari suatu informasi adalah untuk mendukung perencanaan strategis, pengambilan keputusan (Decision Support System), penetapan kebijakan (sebagai Executive Information System), serta untuk pengawasan dan pengendalian.
(hlm.506)
Peranan Teknologi Informasi
Secara garis besar, ada empat periode atau era perkembangan sistem informasi, yang dimulai dari pertama kali ditemukannya komputer hingga saat ini. Keempat era tersebut terjadi tidak hanya karena dipicu oleh perkembangan teknologi komputer yang sedemikian pesat, namun juga didukung oleh teori-teori baru mengenai manajemen organisasi modern. Ahli-ahli manajemen dan organisasi seperti Peter Drucker, Michael Hammer, dan Porter sangat mewarnai pandangan manajemen terhadap teknologi informasi di era modern.
Era Komputerisasi
Era Teknologi Informasi
(hlm.506)
Era Sistem Informasi
(hlm.507)
Era Globalisasi Informasi
Sistem Informasi yang Menunjang Kebijakan Pemerintah
Perancangan, penerapan, dan pengoperasian suatu sistem informasi manajemen adalah mahal dan sulit. Upaya dan biaya yang diperlukan harus ditimbang-timbang. Ada beberapa faktor yang membuat hal ini menjadi semakin diperlukan dibandingkan dua atau tiga dekade yang lalu.
(hlm.508)
Tahapan Kebijakan-Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan penerimaan (pendapatan), pengeluaran (belanja), dan pembiayaan negara. Kebijakan fiskal pada suatu negara memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong pertumbuhan perekonomian negara yang bersangkutan.
(hlm.512)
Hampir seluruh data yang akan dipakai sebagai bahan untuk menentukan kebijakan fiskal diperoleh dari beberapa unit kerja di dalam dan di luar Departemen Keuangan. Oleh karena itu, Badan Analisa Fiskal (BAF), sebagai unit organisasi yang diberi tugas untuk menyusun kebijakan fiskal dan APBN, harus berkoordinasi secara efektif dengan unit lain yang terkait.
(hlm.513)
Perencanaan APBN
Departemen Keuangan bertugas membuat perencanaan APBN setiap tahunnya, yang secara struktural tugas ini menjadi tanggung jawab Badan Analisa Fiskal (BAF). Salah satu sistem komputerisasi yang sudah dipakai adalah MODFI atau MODKEU yang merupakan singkatan dari Model Keuangan atau Model Finance, yaitu sistem perencanaan ekonomi makro yang sudah lengkap dengan model-model dan data ekonomi makro serta seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi. Kemudian, untuk menunjang tugas menyusun perencanaan APBN setiap tahunnya, ada sebuah alat kerja berupa sistem aplikasi komputer yang diberi nama Sistem Perencanaan APBN (SIAPBN).
(hlm.519)
Bab VI Reformasi Sektor Keuangan, Pasar Modal, dan Tata Kelola (“Good Governance”) BUMN
(hlm.521)
1. Menuju Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Otoritas Pengawas Lembaga Keuangan: Konsepsi Pemikiran
DARMIN NASUTION
(hlm.526)
Isu-Isu Fundamental dalam Rangka Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
Isu fundamental pertama, sistem keuangan yang terlalu bertumpu pada satu sektor jasa keuangan tertentu berpotensi dan rentan terhadap systemic risk. Adalah fakta, bahwa peta financial assets di sektor jasa keuangan Indonesia terlalu didominasi oleh dan tersentralisasi dalam industri perbankan (banking-centric). Pada saat sebelum krisis, jumlah lembaga keuangan bank lebih-kurang 240 bank dengan total kekayaan sekitar Rp600 triliun, dan jumlah lembaga keuangan bukan bank lebih-kurang 1.300 lembaga keuangan dengan total kekayaan sekitar Rp53 triliun.
(hlm.527)
Isu fundamental kedua, kelemahan regulasi dan supervisi terhadap konglomerasi di sektor jasa keuangan. Struktur regulasi di sektor jasa keuangan yang lemah telah membuka jalan bagi pertumbuhan perusahaan konglomerasi yang bergerak dalam beragam usaha, baik di sektor jasa keuangan maupun sektor riil. Dana pinjaman dari luar negeri, yang biasanya dalam mata uang asing dan berjangka waktu pendek (short-term loan), sering kali digunakan untuk membiayai aktivitas usaha sektor riil yang berjangka panjang.
(hlm.528)
Isu fundamental ketiga, tuntutan globalisasi perdagangan di sektor jasa keuangan. Indonesia telah berpartisipasi dan menempati posisi dalam beragam kesepakatan di bidang perdagangan bebas yang diselenggarakan berbagai institusi internasional, misalnya WTO, APEC, AFTA, dan AFAS.
(hlm.529)
Isu fundamental keempat, kesepakatan dunia untuk memberantas, atau setidaknya meminimalisasi, tindak kejahatan di sektor jasa keuangan (financial crime) dalam segala bentuk dan metode. Sebagaimana direkomendasikan oleh Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering, seluruh regulasi di sektor jasa keuangan sebaiknya mengakomodasi upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang ini.
Isu fundamental kelima, hadirnya berbagai produk jasa keuangan yang semakin bervariasi. Variasi produk-produk jasa keuangan merupakan cermin dari evolusi pemikiran yang berkembang dalam industri jasa keuangan.
(hlm.530)
Dengan penjelasan fakta-fakta tersebut di atas, penyatuan pengawasan dan pengaturan terhadap semua sektor jasa keuangan diharapkan dapat menjawab hal-hal sebagai berikut:
- Pertama, lebih menyelaraskan cakupan dan kedalaman semua regulasi yang selama ini dipraktikkan di sektor jasa keuangan, termasuk dalam rangka pengelolaan struktur konglomerasi industri keuangan yang ada di Indonesia.
- Kedua, untuk menyeimbangkan penerapan ketentuan terhadap semua sektor utama pada industri jasa keuangan, yang sekaligus merupakan peluang yang berharga untuk membentuk budaya baru bagi regulator untuk mengawasi sektor keuangan.
- Ketiga, diharapkan akan lebih memungkinkan untuk menghasilkan pengaturan-pengaturan yang terkonsolidasi sesuai dengan harapan-harapan masyarakat, sebagai modal awal menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem keuangan di Indonesia.
(hlm.533)
Konsepsi Otoritas Jasa Keuangan
Tujuan Otoritas Jasa Keuangan
Dalam mencapai tujuan tersebut, OJK sepatutnya memiliki cakupan kewenangan yang meliputi perizinan (entry-exit), pengaturan dan pengawasan, penegakan hukum, serta perlindungan konsumen di bidang sektor jasa keuangan.
Konsistensi
- Salah satu prinsip pengaturan yang menjadi standar internasional adalah konsistensi kebijakan regulator dalam menerapkan peraturan (sering disebut juga sebagai “netralitas pengaturan”).
- Konsistensi peraturan membutuhkan harmonisasi pengaturan untuk memelihara persaingan yang sehat (a level playing field).
- Peraturan yang netral mensyaratkan hubungan antara institusi pengatur dan pengawas dengan industri keuangan yang sejajar dan harus diatur dengan standar obyektif serta bebas dari kepentingan politik, pribadi, maupun golongan.
(hlm.534)
Salah satu argumen yang digunakan secara luas untuk mendukung penyatuan pengaturan dalam suatu lembaga terpadu adalah bahwa penyatuan tersebut akan memfasilitasi netralitas pengaturan yang lebih baik.
Mengurangi Tingkat Kejahatan di Bidang Jasa Keuangan
- Prinsip-prinsip internasional yang berlaku dengan jelas menyatakan bahwa setiap institusi pengatur dan pengawas jasa keuangan harus bertanggung jawab untuk menegakkan hukum dalam rangka mengurangi tingkat kejahatan keuangan. Tanpa tanggung jawab tersebut, cita-cita untuk menumbuhkan sektor jasa keuangan yang sehat dan stabil mustahil dapat dicapai.
(hlm.535)
- Dalam rangka melaksanakan tindakan pengurangan tingkat kejahatan keuangan dimaksud, OJK semestinya memiliki instrumen-instrumen penting seperti kewenangan mendapatkan informasi, melakukan pemeriksaan dan penyidikan, menerbitkan perintah tertulis yang sifatnya “sangat segera”, khususnya untuk hal-hal yang sangat mendesak, termasuk instrumen untuk menetapkan pengelola statuter dalam rangka mengoreksi kesalahan yang serius dalam sektor jasa keuangan.
Transparansi dan Akuntabilitas
- Transparansi adalah konsep baru bagi banyak institusi pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan. Pertama, untuk membangun kepercayaan bagi lembaga keuangan yang diatur. Kedua, transparansi pengaturan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan (inherent) dari pertanggungjawaban suatu pengaturan. Ketiga, transparansi mengharuskan adanya kedisiplinan institusi pengatur dan pengawas untuk menaati ketentuan yang berlaku.
(hlm.536)
- Transparansi harus tercermin dalam segala aspek kegiatan Otoritas Jasa Keuangan, termasuk keuangan, pengambilan keputusan, dan operasionalnya.
- Keterbukaan adalah ukuran transparansi yang terpenting. OJK harus mampu bertindak, berdasarkan undang-undang, untuk menentukan ukuran atau batas yang dapat dilakukan untuk tujuan keterbukaan tanpa mencederai kerahasiaan informasi dari pihak atau kegiatan tertentu.
(hlm.536)
b. Transparansi harus tercermin dalam segala aspek kegiatan Otoritas Jasa Keuangan, termasuk keuangan, pengambilan keputusan, dan operasionalnya.
c. Keterbukaan adalah ukuran transparansi yang terpenting. Dengan kata lain, OJK harus mampu bertindak, berdasarkan undang-undang, untuk menentukan ukuran atau batas yang dapat dilakukan untuk tujuan keterbukaan tanpa mencederai suatu kerahasiaan informasi dari pihak atau kegiatan tertentu.
Meminimumkan Campur Tangan yang Tidak Proporsional terhadap Persaingan Usaha
a. Salah satu argumentasi dasar pemikiran pengaturan industri jasa keuangan adalah bagaimana memperbaiki kesalahan pasar, sehingga tercipta pasar yang efisien.
b. Prinsip yang perlu diperhatikan bagi intervensi minimum dalam persaingan usaha adalah adanya suatu mekanisme tertentu untuk mengendalikan para pejabat dan pegawai OJK secara terus-menerus, melalui pembentukan standar integritas bagi mereka, yang mengandung nilai-nilai pertanggungjawaban atas dampak dari keputusan mereka terhadap keseluruhan sistem keuangan.
c. Dalam penerapan prinsip konsistensi dalam pengaturan, sangat disadari bahwa prinsip meminimumkan intervensi adalah sesuatu yang mudah untuk dikatakan namun sulit diaplikasikan.
Peningkatan Pemahaman Publik
a. Peraturan dan kebijakan yang jelas harus diutamakan untuk memastikan lembaga keuangan yang diatur dapat mengerti tujuan dan isi dari kebijakan tersebut.
b. Dalam rangka perlindungan konsumen tersebut, OJK harus memiliki mekanisme yang lengkap untuk:
- Seawal mungkin melibatkan publik (obyek yang diawasi) dalam proses pembuatan peraturan-peraturan yang bersifat strategis dan berpengaruh luas terhadap keseluruhan industri jasa keuangan.
- Membuka seluas-luasnya kesempatan bagi publik untuk dapat mempertanyakan landasan yang melatarbelakangi pembuatan kebijakan-kebijakannya.
- Senantiasa dapat memberikan penjelasan-penjelasan untuk apa, kenapa, dan bagaimana pengaturan serta pengawasan diterapkan.
(hlm.538)
Fair dan Adil
a. Prinsip fair dan adil harus diterapkan untuk memastikan bahwa prinsip netralitas pengaturan berlaku bagi semua lembaga keuangan dan para pelaku pasar.
b. Prinsip keadilan harus dibangun untuk menjadi attitude utama dari OJK agar pengambilan kebijakan tidak hanya konsisten dan terbuka, tetapi juga memperhatikan hak dan kepentingan pihak-pihak terkait. Sejalan dengan itu, pengambilan keputusan tidak boleh dilakukan sewenang-wenang, dan seharusnya tidak menyebabkan tambahan biaya yang tidak perlu bagi lembaga-lembaga yang diawasi.
(hlm.539)
Ruang Lingkup Otoritas Jasa Keuangan
Ruang Lingkup Pengaturan dan Pengawasan
Secara garis besar, wewenang OJK meliputi hal-hal sebagai berikut:
- Pengaturan dan pengawasan aturan main pasar (market prudential).
- Pengaturan dan pengawasan kegiatan dari pelaku pasar (institutional prudential).
- Pengaturan dan pengawasan kegiatan penyedia jasa (market provider’s services).
(hlm.540)
Secara umum, kendala yang dihadapi setiap regulator, baik yang ruang lingkupnya luas maupun sempit, adalah masalah waktu dan sumber daya yang tidak memadai untuk mengatur dan mengawasi seluruh institusi yang menjadi tanggung jawabnya. Salah satu pendekatan yang disarankan untuk dipakai adalah pengawasan berdasarkan risiko (risk-based-supervision), di mana seluruh institusi dan kelompok industri diperingkat berdasarkan tingkat risiko yang berkenaan dengan pencapaian tujuan lembaga tersebut. OJK kemudian memprioritaskan sumber daya serta aktivitas pengaturan dan pengawasannya berdasarkan tingkat risiko masing-masing. Dalam hal ini, regulator harus memilih pendekatan pengawasan yang lebih preventif (early-warning-system) daripada kuratif.
Sehubungan dengan itu, pemberian tanggung jawab pembinaan lembaga keuangan mikro kepada OJK akan menyebabkan ketidakefisienan di dalam operasionalnya. Hal ini berkonsekuensi terhadap tidak hanya kepentingan keseluruhan industri jasa keuangan, tetapi juga kepentingan lembaga keuangan mikro itu sendiri. Jumlah lembaga keuangan mikro jauh melebihi lembaga keuangan lain, namun dari sisi kekayaan/kewajiban dan risiko, kelompok lembaga keuangan yang besar jauh melebihi kelompok lembaga keuangan mikro.
(hlm.543)
Model Australia
Keuntungan utama dari model Australia adalah model tersebut memaksimalkan fokus pengaturan. Dalam model ini, OJK akan diberi tanggung jawab pengaturan kebijakan, sedangkan Bapepam (di Australia ASIC) hanya akan diberi tanggung jawab untuk mengatur perilaku pasar. Sampai tingkat tertentu, sasaran tunggal dari otoritas ini membawa dampak positif berupa kejelasan dalam pengambilan keputusan dan akuntabilitas yang lebih baik. Boleh dikatakan pemisahan tersebut secara konseptual menjanjikan banyak hal. Jika institusi ini memiliki banyak sasaran, ada potensi salah satu dari beberapa sasaran tersebut tidak menjadi prioritas dalam jangka waktu tertentu, khususnya jika krisis di wilayah lain menyebabkan terkurasnya sumber daya institusi tersebut.
(hlm.544)
Melihat budaya institusi yang ada di Indonesia, di mana sistem koordinasi sangat sulit dioptimalkan, maka model Australia dipandang kurang tepat diadopsi di Indonesia.
Model Inggris
Model Inggris ini dinilai lebih sesuai dengan budaya regulator di Indonesia, karena beberapa alasan sebagai berikut:
- Pertama, kondisi perusahaan-perusahaan di Indonesia yang sebagian besar terdiri dari satu perusahaan induk yang membawahi berbagai jenis perusahaan, termasuk lembaga keuangan, sehingga membutuhkan pengawasan yang lebih fleksibel dalam menangani risiko yang terjadi.
- Kedua, penyatuan pengaturan kebijakan dan pengaturan pasar mengatasi masalah-masalah koordinasi yang lemah antara berbagai lembaga pengawasan yang selama ini menjadi kendala di Indonesia.
- Ketiga, sebagaimana disebutkan secara implisit dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia, pemindahan pengawasan atas perusahaan perantara perdagangan efek (seperti broker) dari Bapepam ke OJK tanpa adanya pemindahan pengawasan pasar modal secara umum akan mengurangi keefektifan Bapepam dalam melakukan pengawasan pasar modal. Pengertian ini secara implisit menunjukkan bahwa sistem yang diinginkan berbeda dengan sistem Australia.
- Keempat, pemisahan antara Bapepam dan OJK (apakah pengawasan atas broker surat berharga harus dipindahkan dari Bapepam ke OJK atau tidak) akan menghasilkan ketidakseimbangan antara pengawasan perusahaan perbankan dengan non-perbankan.
- Kelima, apabila Bapepam dipisahkan dari Otoritas Jasa Keuangan, kedua institusi ini tidak akan memiliki kredibilitas yang tinggi jika dibandingkan bila keduanya digabungkan ke dalam satu institusi.
(hlm.546)
A. Status dan Kedudukan
Kedudukan hukum dari OJK ini merupakan suatu keputusan sangat penting mengingat keefektifan lembaga ini sangat ditentukan oleh kedudukan hukumnya.
“OJK sebaiknya dibentuk sebagai suatu lembaga yang independen yang menyelenggarakan fungsi pemerintah, yang tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya diatur oleh Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.”
Berdasarkan model regulator yang ada di Indonesia, dapat diajukan beberapa model regulator sebagai acuan untuk model status hukum Otoritas Jasa Keuangan, yaitu:
- Pertama, OJK dibentuk sebagai suatu badan hukum yang independen, seperti Bank Indonesia, yang memiliki sifat independen pada tingkat kewenangan dan operasional.
- Kedua, OJK dibentuk sebagai badan hukum milik negara, mirip dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang memiliki tingkat independensi pada tingkat kewenangan dan operasional.
- Ketiga, OJK dibentuk sebagai suatu lembaga yang menyelenggarakan fungsi legislatif, mirip dengan Bapepam, yang memiliki sifat independen pada kewenangan dan tingkat operasional.
(hlm.547)
Adalah sangat mungkin untuk menciptakan suatu struktur mekanisme tertentu dalam statutory authority untuk menciptakan independensi dan akuntabilitas dari Otoritas Jasa Keuangan. Sebagai contoh, pendanaan dapat diisolasikan dari proses anggaran melalui pembebanan fee ke industri dan menyalurkan dananya secara langsung ke Otoritas Jasa Keuangan. Pada saat yang sama dapat dilakukan pembentukan sistem kepegawaian yang unggul dan sistem manajemen yang mampu (capable).
(hlm.548)
Dari berbagai praktik di berbagai negara tersebut, desain bagi OJK tampaknya menjadi suatu statutory authority model, yang di dalamnya diberikan kewenangan regulasi, pengawasan, penyidikan, dan pemberian sanksi.
(hlm.550)
Sejalan dengan independensi tersebut, OJK juga harus memiliki nilai akuntabilitas yang sebanding dengan cakupan independensinya. Adalah penting untuk mengakui dari awal bahwa independensi adalah suatu konsep tanpa akhir (is a means to an end – not an end within itself).
(hlm.551)
Secara universal, berdasarkan standar-standar global yang berlaku yang diterapkan BASLE, IOSCO, OECD, dan INPRS, bentuk independensi yang direkomendasikan yang sepatutnya dimiliki setiap regulator dan pengawas di sektor jasa keuangan adalah:
- Independensi pengaturan, termasuk independensi pemeriksaan (off-site examination).
- Perilaku independensi; dijabarkan dalam bentuk ketentuan, kode etik, standar kompetensi, dan level profesionalisme.
- Independensi sumber daya ditandai dengan infrastruktur, sistem tenaga kerja, dan keuangan yang otonom.
(hlm.552)
B. Akuntabilitas
Independensi tidak sama dengan bebas. Meskipun OJK harus independen agar dapat beroperasi secara efektif, OJK juga harus akuntabel terhadap pihak-pihak yang berkepentingan, seperti: pemerintah, pelaku sektor jasa keuangan, dan masyarakat.
(hlm.554)
E. Perlindungan Hukum (Legal Indemnities)
Satu aspek yang sering dilupakan dalam pengaturan independensi di banyak negara adalah tidak adanya legal indemnities bagi staf yang melakukan tindakan berdasarkan niat baik.
(hlm.555)
Kelemahan Argumen Pemisahan Pengaturan dan Pengawasan
Kelemahan dari pemisahan fungsi pengawasan prudensial di perbankan dapat dijelaskan secara filosofis dan praktis sebagai berikut:
- Kelemahan pertama dan paling mendasar adalah tidak tercapainya tujuan pendirian otoritas pengawasan tersebut.
- Kelemahan kedua adalah adanya proses disintegratif antara formulasi dan implementasi kebijakan pengaturan jasa keuangan.
- Kelemahan ketiga adalah penolakan secara alami terhadap pencapaian tujuan utama dari pengaturan jasa keuangan itu sendiri, yang secara ideal berperan memberikan keamanan, efisiensi, dan kestabilan sistem jasa keuangan.
- Kelemahan keempat adalah pemisahan pengaturan dan pengawasan perbankan akan menimbulkan ketidakkonsistenan wewenang yang signifikan di antara institusi BI dan OJK nantinya.
(hlm.558)
Cakupan Pemisahan Pengaturan dan Pengawasan Perbankan
Jenis Negara | Bank Sentral (%) | Di Luar Bank Sentral (%) |
Industrial Countries | 35 | 65 |
Developing Countries | 78 | 22 |
(hlm.559)
Pemisahan vs Penyatuan Pengaturan Perbankan dari Pengawasan (Kondisi di Indonesia)
Pembentukan OJK dengan pemisahan pengaturan dari pengawasan perbankan merupakan suatu pemikiran yang kurang efektif. Berdasarkan pandangan-pandangan yang kami rekam dari berbagai ahli perbankan di kalangan internasional, disebutkan bahwa kontribusi pengaturan prudensial perbankan ke Bank Sentral terhadap keefektifan kebijakan moneter dapat dikatakan sangat kecil.
(hlm.560)
Segregasi Tanggung Jawab antara OJK dan Bank Indonesia
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh kewenangan pengaturan perbankan dialihkan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan, kecuali otoritas yang berhubungan dengan sistem pembayaran, kebijakan moneter, dan aturan nilai tukar mata uang.
(hlm.567)
Konsep Wewenang OJK
9. Penanganan atas Pelanggaran
Untuk menangani secara efektif pelanggaran perundang-undangan sektor jasa keuangan, OJK harus memiliki beberapa wewenang sebagai berikut:
a. OJK harus memiliki wewenang untuk mengarahkan lembaga keuangan ataupun individu pelaku pasar yang telah terdaftar untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu dengan tujuan:
- Memastikan ketaatan terhadap perundangan sektor jasa keuangan; atau
- Menutup kerugian berkaitan dengan tidak ditaatinya ketentuan perundangan atau pelanggaran perundangan sektor jasa keuangan (termasuk tujuan pembentukan cadangan untuk kompensasi yang mungkin menjadi tanggung jawab akibat pelanggaran tersebut).
b. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, OJK harus memiliki kewenangan yang sangat luas untuk, antara lain: - Membekukan kekayaan yang berada di bawah pengelolaan lembaga atau individu tertentu;
- Mewajibkan lembaga atau individu tertentu untuk menerbitkan perbaikan material;
- Mewajibkan lembaga atau individu tertentu untuk berhenti melakukan kegiatan tertentu; dan
- Mewajibkan lembaga atau individu tertentu untuk menghentikan atau tidak meneruskan beberapa transaksi tertentu.
(hlm.569)
Terlalu dini untuk menilai model mana yang paling efektif untuk diterapkan di Indonesia. Namun demikian, elemen-elemen strategi pengalihan berikut ini dapat digunakan dalam pengkajian lebih lanjut:
- Struktur organisasi pertama (pada awal masa transisi) bagi OJK harus secara luas merupakan cerminan lembaga-lembaga pengawas sebelumnya.
- Struktur organisasi setelah masa transisi harus dikembangkan oleh Dewan Komisioner dan Tim Implementasi dengan tanggung jawab atas konglomerat keuangan (ini mungkin akhirnya akan dilebur ke dalam Divisi Pengaturan).
(hlm.574)
2. Peranan Pasar Modal dalam Memperkuat Eksistensi Keuangan Negara
HERWIDAYATMO
Peran pasar modal sebagai alternatif pembiayaan bagi dunia usaha setidaknya dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah perusahaan yang memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pembiayaannya.
Beberapa di antara kebijakan-kebijakan baru yang diambil pemerintah waktu itu antara lain berupa:
a. Penyederhanaan proses emisi efek baik saham maupun obligasi di Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) yang waktu itu masih menjalankan dualisme fungsi baik sebagai penyelenggara bursa;
b. Dihapuskannya biaya emisi efek yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam untuk tiap kali perusahaan melakukan emisi efek di pasar modal;
c. Dihapuskannya limit atau batasan fluktuasi harga saham di bursa efek sehingga pergerakan harga saham di pasar sekunder sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar;
d. Mulai diizinkannya asing untuk memiliki saham dengan batasan maksimal 49% dari total emisi yang tercatat di bursa efek;
e. Diperkenalkannya Bursa Paralel untuk memfasilitasi perusahaan menengah memperoleh sumber pembiayaan dari masyarakat melalui pasar modal;
f. Mulai diberlakukannya konsep legal lending limit bagi perbankan nasional;
g. Mulai dikenakannya pajak atas bunga deposito sehingga tercipta “the same level playing field” antara instrumen perbankan dengan instrumen pasar modal; dan
h. Mulai diperkenankannya swasta untuk menyelenggarakan bursa efek.
(hlm.578)
Pertumbuhan Nilai Kapitalis Pasar
Dari Tabel 3 terlihat bahwa nilai kapitalis pasar BEJ mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 61% setiap tahunnya dalam kurun waktu 1990 s/d 1997.
(hlm.581)
Permasalahan Fundamental Industri Pasar Modal Indonesia
Penurunan Nilai Transaksi & Imbasnya terhadap Kinerja Perusahaan Efek
Di tengah penurunan kinerja perusahaan efek tadi, dengan menggunakan data transaksi di BEJ sepanjang tahun 1999-2001, industri pasar modal Indonesia menghadapi pula dua permasalahan faktual berikut:
- 60% dari total nilai transaksi dilakukan oleh 28 perusahaan efek, atau dikuasai oleh hanya 14% dari total perusahaan efek yang ada;
- Sisanya sekitar 40% dari total nilai transaksi terbesar pada lebih 175 perusahaan efek.
(hlm.590)
Upaya untuk Meningkatkan Ketaatan terhadap Good Corporate Governance Principles.
Negara-negara berkembang di Asia diakui telah memiliki regulasi yang cukup memadai untuk menampung prinsip-prinsip utama dari GCG, khususnya aturan-aturan di sektor pasar modal negara-negara bersangkutan. Namun, seperti dicermati oleh seorang pengamat (Robert Becker dan Emanuel Pitsilis, “Less Regulation More Supervision,” The McKinsey Quarterly 2000 Number 4: Asian Revalued):
“Asian financial markets have traditionally been regulated but ineffectively supervised. The opposite is needed. Regulators should limit their attention to—but improve supervision of—three important areas: ensuring the market integrity, limiting systemic risks, and protecting investors from making badly informed investment decisions.”
(hlm.596)
Grand Strategy Stabilitas dan Sustainabilitas Industri Reksa Dana Indonesia
Industri reksa dana Indonesia telah berkembang dengan pesat dalam 1,5 tahun terakhir memberikan tantangan baru bagi regulator yaitu bagaimana menciptakan stabilitas industri guna mempertahankan dan menunjang pertumbuhan di masa depan. Untuk menjawab tantangan tersebut, Bapepam telah merumuskan suatu program kegiatan yang dinamakan “Grand Strategy Stabilitas dan Sustainabilitas Industri Reksa Dana Indonesia.” Grand Strategy ini adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menekan kemungkinan kegagalan/gangguan transaksi yang menyebabkan kesulitan likuiditas para individu dan industri reksa dana dalam rangka melindungi kepentingan investor.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dirumuskan tiga strategi dasar yang akan diambil. Ketiga strategi tersebut adalah:
- Menyempurnakan regulasi dan menciptakan standar perilaku di industri reksa dana;
- Meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan riset dan pemantauan (surveillance) di bidang reksa dana; dan
- Menciptakan mekanisme penyelesaian krisis sebagai langkah preventif untuk menekan efek dari kegagalan (krisis) pada industri reksa dana.
(hlm.600,601)
Asal-Usul BUMN
Sebelum mengupas peran yang dimainkan BUMN dalam kegiatan ekonomi dan usaha, terlebih dahulu perlu disimak sejarah terbentuknya BUMN. Asal-muasal kemunculan BUMN dalam tata ekonomi nasional tidak ada data pasti. Hal ini dipengaruhi situasi dan kondisi persiapan kemerdekaan, bahkan pasca-kemerdekaan, di mana persoalan stabilitas politik terus menghadapi ujian. Dengan adanya gangguan tersebut, sistem administrasi pemerintahan juga terpengaruhi. Walaupun tidak ada rujukan pasti, benih-benih kegiatan ekonomi yang dilakukan negara—maupun badan usaha yang terbentuk—telah tampak sejak Indonesia merdeka. Tepat setahun setelah proklamasi, pemerintah mendirikan Bank Nasional Indonesia (BNI), pada tahun 1946. Kelahiran BNI dimaksudkan untuk mendukung keuangan negara dalam pembiayaan pembangunan setelah revolusi. Hal ini mengingat, semua penguasaan penjajah Belanda. Kelahiran BNI menjadi “virus” positif, yang segera diikuti dengan pendirian bank-bank lainnya. Pada 1952, pemerintah mendirikan Bank Industri untuk menopang kredit dalam kegiatan industri. Kegiatan bank ini pada beberapa tahun selanjutnya diperluas cakupannya, tidak hanya menopang sektor industri, tetapi juga mendukung pembangunan yang dimotori negara. Seiring tantangan yang makin berat, Bank Industri diubah menjadi Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Selain dua bank tersebut, ada beberapa yang berasal dari pengambilalihan, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Bumi Daya (BBD), Bank Ekspor-Impor Indonesia (EXIM), dan Bank Tabungan Negara (BTN). Beberapa bank tersebut dikukuhkan menjadi perusahaan negara melalui Undang-Undang yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti UU No. 19 tahun 1960. Di luar sektor perbankan, melalui kebijakan nasionalisasi, pemerintah mendirikan Perusahaan Minyak Nasional (Permina), Perusahaan Pertambangan dan Minyak Negara (Pertamin), Perusahaan Minyak dan Gas Negara (Permigan), Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Perusahaan Negara Telekomunikasi (PN Telkom).
Gerak laju keterlibatan negara dalam ekonomi makin terlihat secara massif pada masa orde lama. Presiden Soekarno melalui kebijakan politiknya yang anti-Barat—di sisi lain dekat dengan blok Sosialis—mengharamkan kehadiran perusahaan asing di Indonesia. Buntut kebijakan luar negeri yang ke kiri tersebut, pada lapangan ekonomi dilakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing. Nasionalisasi pertama kali dijalankan pada tahun 1957. Kemudian, oleh pemerintah orde lama, diformalkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti Undang-Undang (UU) tentang Perusahaan Negara, 1960. Dari fakta tersebut, kesan yang mengemuka, pembentukan perusahaan negara tidak terencana dengan baik. Ditambah lagi, berbagai perusahaan hasil nasionalisasi tersebut tidak semuanya menguntungkan.
(hlm.604)
Campur tangan birokrasi pemerintah yang terlalu masuk pada wilayah manajemen membuat GIA kembali terpuruk. Tahun 1993, pemerintah memutuskan menunjuk direktur utama yang bukan berasal dari lingkungan industri penerbangan.
(hlm.605)
Menghadapi ancaman tersebut, pemerintah justru memastikan UU No. 8 Tahun 1971 dan menggantinya dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Penggantian UU ini bukanlah langkah maju, melainkan sinyal kuning yang mesti diperhatikan.
(hlm.611)
Inkonsistensi
Dilihat dari bentuk badan hukumnya, Pusri termasuk perusahaan perseroan yang profit oriented. Tetapi, jika menilik pada “hajat hidup orang banyak,” seharusnya pupuk tidak didirikan atas asumsi Persero melainkan Perum. Mengapa? Karena pupuk merupakan produk penopang utama pertanian. Sementara, jumlah petani di Indonesia termasuk mayoritas. Kontradiksi yang lain terjadi pada Perum Taspen. BUMN yang mengurusi dana pensiunan ini sangat dekat dengan hajat hidup orang banyak, khususnya pegawai negeri sipil. Tetapi, oleh pemerintah, statusnya diubah menjadi PT Taspen, tahun 1990-an.
(hlm.617)
Privatisasi
Hasilnya dapat dilihat pada privatisasi Indosat, tahun 1994. Pelepasan 35% saham Indosat tersebut merupakan hasil positif, di mana negara mengalami keuntungan, sementara kontrol tetap. Begitupun yang disarankan tim kerja privatisasi Indosat, di mana mereka mendapat keleluasaan kerja, tanpa adanya intervensi dari kekuasaan.
(hlm.618)
Pasar Bebas Bukan Jawaban
Sebagaimana dikampanyekan kelompok pendukung ekonomi pasar di atas, sebisa mungkin diusahakan oleh mereka agar ruang bagi negara dalam kegiatan usaha kian hari kian bertambah sempit. Negara—kata mereka—cukup sebagai regulator dan penyedia sarana dan prasarana. Jika ini dilakukan, maka peran negara hanya sebatas tukang kutip pajak, polisi, dan juru parkir. Keyakinan para pendukung pasar bebas akan membawa kesejahteraan dalam kehidupan manusia di masa depan. Tetapi, keyakinan de Windt tersebut langsung disanggah oleh Robert McNamara, mantan Presiden Bank Dunia, setahun berselang. Menurutnya, dengan pasar bebas, negara berkembang tetap terperangkap dalam kondisi melarat di bawah batas-batas rasional kewajaran manusia.
(hlm.622)
4. Penerapan Prinsip-Prinsip “Good Corporate Governance” pada BUMN
I NYOMAN TJAGER
(hlm.627)
Kebijakan Penerapan GCG di BUMN
Dengan memperhatikan latar belakang sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka Kementerian BUMN selaku lembaga pemerintah yang ditugaskan untuk melaksanakan fungsi sebagai pemegang saham/pemilik modal BUMN merasa perlu untuk mewajibkan seluruh BUMN menerapkan GCG. Langkah-langkah konkret yang telah dilakukan selama ini adalah:
- Membangun situs BUMN Online dengan alamat www.bumn-ri.com guna mendorong implementasi transparansi.
- Melakukan sosialisasi kepada BUMN mengenai prinsip-prinsip GCG dan pentingnya GCG bagi peningkatan kinerja usaha.
- Menerbitkan beberapa peraturan yang memuat prinsip-prinsip GCG, seperti: – UU No. 19/2003 tentang BUMN;
– Kep Menteri BUMN No. Kep-100/MBU/2002 tentang Komite Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN;
– Kep Menteri BUMN No. Kep-103/MBU/2002 tentang Komite Audit;
– Kep Menteri BUMN No. Kep-104/MBU/2002 tentang Penilaian Calon Anggota Direksi BUMN;
– Kep Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG pada BUMN;
– Memasukkan prinsip-prinsip GCG dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN;
– Memasukkan dalam setiap keputusan RUPS BUMN suatu kewajiban kepada Direksi dan Komisaris untuk melaksanakan GCG;
– Bekerja sama dengan PwC dan ADB serta BPKP untuk melakukan assessment penerapan GCG pada BUMN;
– Menyusun pedoman statement of corporate intent (SCI) dan appointment agreements dan menerapkannya bagi BUMN.
(hlm.628)
4. Merumuskan konsep public services obligation (PSO) pada BUMN.
5. Merumuskan konsep dan melakukan audit procurement bagi BUMN dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, efisiensi, inefektifan, dan fairness.
6. Menyusun konsep retrenchment bagi BUMN.
7. Dan lain-lain kegiatan yang mendorong terciptanya sistem pengelolaan perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip GCG.
Prinsip-Prinsip GCG di BUMN
Prinsip-prinsip penerapan GCG di BUMN diatur dalam SK Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:
- Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengembangkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
- Kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak mana pun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
- Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
- Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
- Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.
(hlm.632)
Bagan-1 Proses Pengkajian GCG BUMN
(hlm.635)
Tabel 6 GCG Berdasarkan Klasifikasi
Klasifikasi | Rentang Skor | Nama BUMN |
Baik | 75-90 | PT BNI Tbk, Pelindo, ASEI, KS, PTPN VIII, Adhi Karya |
(hlm.640)
Penutup
Keuangan negara (APBN) sebagai wadah dari kebijakan fiskal, dimantapkan pengelolaannya dengan diundangkannya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan rencana dilaksanakannya rancangan Undang-Undang Perbendaharaan Negara serta RUU Pemerintah Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara.
(hlm.641)
Dari pengalaman perjalanan kebijakan fiskal di Indonesia selama lebih dari empat dekade, terbukti benar bahwa baik dalam konsep maupun praktiknya, kebijakan fiskal telah mengalami perubahan yang mendasar. Dalam perkembangannya di masa depan, maka tantangan pengelolaan kebijakan fiskal tidaklah semakin ringan. Kesuksesan pengelolaan kebijakan fiskal tidak hanya dilihat dari level makro-ekonomi saja, tetapi juga harus mulai diperhatikan aspek-aspek mikroekonomi dan struktural lainnya, serta memperhatikannya dalam dimensi ruang dan waktu.
(hlm.645)
Indeks
(hlm.650)
I
Inpres No. 11 Tahun 1973 610, 611
(hlm.651)
K
Kep Menteri BUMN No. Kep-100/MBU/2002 627
Keppres No. 122 Tahun 2001 615
(hlm.654)
P
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 599, 611, 614
Peraturan Bapepam Nomor VIII.A.2 591
Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.10 591
Peraturan Daerah tentang APBD 187
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1974 308
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 496
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 293
(hlm.657)
S
Surat Edaran Direktorat Jenderal Anggaran Nomor 18 296
Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep 117/M.MBU/2002 628, 629, 630
(hlm.658)
U
Undang-Undang Lingkungan Hidup 352
(hlm.663)
Riwayat Penulis
A. ANSHARI RITONGA
AHMAD FUAD RAHMANY
(hlm.664)
ACHMAD ROCHJADI
AGUS HARYANTO
AGUS MUHAMMAD
(hlm.665)
ALI WARDHANA
ANGGITO ABIMANYU
(hlm.666)
BAMBANG SUBIANTO
BAMBANG SUDIBYO
BOEDIONO
(hlm.667)
DAENG MOCHAMAD NAZIER
DARMIN NASUTION
DONO ISKANDAR DJOJOSUBROTO
(hlm.668)
EDDY ABDURACHMAN
FRANS SEDA
(hlm.669)
FUAD BAWAZIER
HADI PURNOMO
HERWIDAYATMO
(hlm.670)
I NYOMAN TJAGER
J.B. SUMARLIN
(hlm.671)
JANNES HUTAGALUNG
KARSONO SURJOWIBOWO
M. ALI KADIR
(hlm.672)
MACHFUD SIDIK
MAR’IE MUHAMMAD
MARTIONO HADIANTO
(hlm.673)
MARZUKI USMAN
(hlm.674)
MULIA PANUSUNAN NASUTION
NOOR FUAD
(hlm.675)
R.B. PERMANA AGUNG
PRIJADI PRAPTOSUHARDJO, ALM.
RADIUS PRAWIRO