Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Logika Penemuan Ilmiah oleh Karl R. Popper.
Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.
Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.
Selamat membaca.
Chandra Natadipurba
===
LOGIKA PENEMUAN ILMIAH
The Logic if Scientific Discovery
Penulis: Karl R. Popper
Penerjemah: Saut Pasaribu & Aji Sastrowardoyo
Cetakan pertama, Juni 2008
Penerbit: PUSTAKA PELAJAR
ISBN: 978-602-8055-66-6
(hlm.vii)
PENGANTAR EDISI BAHASA INGGRIS, 1958
Para analis bahasa percaya bahwa tak ada persoalan-persoalan filosofis yang sejati (genuine), atau bahwa persoalan-persoalan filsafat, sekiranya ada, adalah persoalan-persoalan pemakaian linguistic atau makna kata-kata. Akan tetapi, saya percaya bahwa sedikitnya ada satu persoalan filosofis yang menarik bagi semua orang yang berpikir. Persoalan itu ialah persoalan kosmologi: persoalan pemahaman dunia – termasuk diri kita, dan pengetahuan kita, sebagai bagian dari dunia.
(hlm.viii)
Para filsuf sama bebasnya dengan orang lain untuk menggunakan metode apa saja dalam menyelidiki kebenaran. Tak ada metode yang khas bagi filsafat.
Persoalan utama epistemologi senentiasa dan tetap masih seputar persoalan pertumbuhan pengetahuan. Dan pertumbuhan pengetahuan dapat dipelajari paling baik dengan mempelajari pertumbuhan pengetahuan ilmiah.
Maksudnya,, manakala kita mencoba mengajukan suatu solusi atas sebuah persoalan, kita harus mencoba semampu kita menjatuhkan (overthrow) solusi kita, ketimbang mempertahankannya (defend).
(hlm.x)
Tak diragukan lagi Tuhan berbicara terutama kepada diriNya sendiri karena Ia tidak mempunyai suatu apa pun yang pantas untuk diajak bicara. Namun para filsuf harus mengetahui bahwa mereka tidak lebih ilahiah daripada orang lain.
Satu dari alasan tersebut adalah keyakinan yang tepat bahwa para–doks–paradoks logis, seperti paradoks si pendusta (‘sekarang saya sedang berbohong’) atau paradoks-paradoks yang ditemukan oleh Russell, Richard, dan filsuf lainnya, membutuhkan metode analisis linguistik untuk pemecahannya, bersama pembedaan yang terkenal antara ungkapan-ungkapan linguistik yang bermakna dan yang tak bermakna. Keyakinan yang tepat ini kemudian digabungkan dengan keyakinan yang keliru bahwa persoalan-persoalan tradisional filsafatmuncul dari usaha memecahkan paradoks-paradoks filosofis yang strukturnya analog dengan paradoks-paradoks logis itu, sehingga pembedaan antara pembicaraan yang bermakna (meaningful talk) dengan yang tak bermakna (meaningless) pastilah hal yang sangat penting juga bagi filsafat.
(hlm.xv)
Bahasa model yang kedua bekerja hanya selama kita tidak menambahkan padanya peralatan pembuktian teorema-teorema aritmetika yang biasa—misalnya, teorema Euklides bahwa taka da bilangan prima (prime number) yang terbesar, atau bahkan prinsip bahwa setiap bilangan mempunyai suatu pengganti (successor).
(hlm.xviii)
Namun para filsuf tidak boleh menjadi spesialis. Bagi saya sendiri, saya tertarik pada ilmu dan filsafat hanya karena saya ingin mempelajari sesuatu tentang teka-teki dunia tempat kita hidup, dan teka-teki pengetahuan manusia mengenai dunia itu.
(hlm.3)
BAGIAN I
Pengantar, Logika Ilmu
BAB SATU
SURVEI TERHADAP BEBERAPA PERSOALAN FUNDAMENTAL
SEORANG ILMUWAN, entah ia seorang teoritikus atau seorang eksperimenter, mengemukakan pernyataan-pernyataan, atau system-sistem pernyataan, dan mengujinya langkah demi langkah.
1. Persoalan Induksi
Menurut pandangan yang diterima secara luas—yang akan ditentang dalam buku ini—ilmu-ilmu empiris dapat dicirikan lewat fakta bahwa ia menggunakan apa yang mereka sebut ‘metode induktif.
(hlm.4)
Ia bisa disebut suatu penyimpulan (inference) ‘induktif’ jika ia berasal dari pernyataan-pernyataan tunggal’ (kadang-kadang juga disebut pernyataan-pernyataan ‘partikular’), seperti laporan mengenai hasil pengamatan atau eksperimen, menjadi pernyataan-pernyataan universal, seperti hipotesis-hipotesis atau teori-teori.
Tak peduli seberapa banyak contoh angsa putih yang bisa kita amati, ini tidak membenarkan kesimpulan semua angsa putih.
Suatu laporan pengalaman—dari pengalaman atau hasil eksperimen—pertama-pertama hanya dapat menjadi suatu pernyataan tunggal dan bukan pernyataan universal.
(hlm.10)
2. Penghapusan psikologisme
Dengan cara yang sama Einstein berbicara tentang’… pencarian hukum-hukum yang sangat universal… yang dari hukum-hukum tersebut suatu gambar dunia dapat diperoleh melalui deduksi belaka. Tak ada jalan setapak logis’, katanya, ‘yang membawa kepada hal ini… hukum-hukum. Hukum-hukum itu hanya dapat dicapai melalui intuisi, yang didasarkan pada sesuatu semacam cinta intelektual (‘Einfuhlung‘) pada objek- objek pengalaman’.
(hlm.11)
3. Pengujian Deduktif terhadap Teori-Teori
Jika suka, kita dapat membedakan empat jalur yang berbeda yang dapat ditempuh bagi pengujian sebuah teori. Pertama perbandingan logis kesimpulan-kesimpulan di antara mereka, dengan inilah konsistensi internal sistemitu diuji. Kedua, penyelidikan pada bentuk logis teori itu, dengan maksud untuk menentukan apakah ia mempunyai ciri teori empiris atau ilmiah, atau apakah ia, misalnya, bersifat tautologis. Ketiga, perbandingan dengan teori-teori lain, terutama dengan tujuan untuk menentukan apakah teori yang akan membentuk suatu kemajuan ilmiah harus bertahan menghadapi beraneka macam pengujian kita. Dan akhirnya, pengujian teori melalui penerapan empiris kesimpulan-kesimpulan yang dapat diperoleh darinya.
(hlm.12)
Harus diperhatikan, suatu putusan positif hanya dapat mendukung teori itu untuk sementara waktu, kerena putusan-putusan negatif berikutnya selalu mungkin menjatuhkannya. Selama sebuah teori mampu bertahan menghadapi ujian-ujian yang terperinci dan keras, dan iya tidak digantikan oleh teori lain dalam perjalanan gerak maju ilmiah, kita dapat mengatakan bahwa ia telah ‘membuktikan keberaniannya’ (mettle), atau ia telah ‘dikoroborasikan’ (dikuatkan).
(hlm.13)
4. Persoalan Demarkasi
Jawaban saya atas keberatan ini ialah bahwa alasan utama saya menolak logika induktif ialah bahwa ia tidak memberikan tanda pembeda yang cocok bagi karakteristik suatu system teoretis yang bersifat empiris dan non-metafisik; atau dengan kata lain, bahwa ia tidak memberikan ‘kriteria demarkasi’ yang cocok.
Persoalan pencarian kriteria yang akan memungkinkan kita membedakan antara ilmu-ilmu empiris, di satu sisi, dengan matematika serta logika serta system ‘metafisik’, di sisi lain, saya sebut persoalan demarkasi.
Mengenai kedua masalah ini –sumber dari hampir semua persoalan teori pengetahuan—saya kira persoalan demarkasihlah yang paling fundamental.
(hlm.14)
Para positivis yang lebih tua ingin mengakui bahwa yang ilmiah atau sah, hanya konsep-konsep (atau gagasan-gagasan atau ide-ide), seperti mereka katakan,’yang berasal dari pengalaman’; konsep-konsep itu, yaitu, yang mereka percayai dapat direduksi secara logis kepada elemen-elemen pengalaman-indrawi (sense-experience) seperti sensasi-sensasi (atau data-indra), kesan-kesan, persepsi-persepsi, ingatan-ingatan visual atau pendengaran, dan sebagainya.
(hlm.15)
Bukannya menganggap bahwa tugas merekalah mengajukan suatu konvensi yang cocok, malah percaya bahwa mereka harus menemukan perbedaan, yang ada di dalam hakikat benda-benda, demikianlah sebutannya, antara ilmu empiris di satu sisi dan metafisika di sisi lain.
(hlm.20)
5. Pengalaman sebagai Metode
Namun sistem yang disebut ‘ilmu empiris’ cenderung hanya menggambarkan satu dunia: ‘dunia nyata’ atau ‘dunia pengalaman’.
Untuk membuat ide ini sedikit lebih saksama, kita bisa membedakan tiga persyaratan yang harus dipenuhi sistem teoretis empiris kita. Pertama, ia harus sintetik, supaya ia dapat menggambarkan suatu dunia yang nonkontadiktoris, yang mungkin. Kedua, ia harus memenuhi kriteria demarkasi (bdk. seksi 6 dan 21), yaitu tidak boleh bersifat metafisik, namun harus menggambarkan dunia pengalaman yang mungkin. Ketiga, ia harus merupakan sistem yang dibedakan dengan cara tertentu dari sistem lain sebagai suatu sistem yang menggambarkan dunia pengalaman kita.
Namun bagaimana sistem yang menggambarkan dunia pengalaman kita itu dibedakan? Jawabannya ialah: melalui fakta yang telah diajukan kepada ujian-ujian, dan telah bertahan menghadapi ujian-ujian.
(hlm.22)
6. Falsibialitas sebagai Kriteria Demarkasi
Pertimbangan-pertimbangan ini menunjukan bahwa bukan verifiabilitas tetapi falsifiabilitas sebuah system yang dianggap sebagai kriteria demarkasi. Dengan kata lain: saya tidak mengharuskan suatu sistem ilmiah agar ia dapat dipilih, sekali untuk selamanya, dalam arti yang positif; tetapi saya akan mengharuskan agar bentuk logisnya sedemikian rupa sehingga dapat dipilih, melalui ujian-ujian empiris, dalam arti negatif: harus ada kemungkinan bagi suatu sistem ilmiah empiris dibuktikan kesalahannya melalui pengalaman.
(hlm.24)
Karena pernyataan-pernyataan universal tidak pernah dapat diasalkan dari pernyataan-pernyataan tunggal, tetapi dapat disangkal oleh pernyataan-pernyataan tunggal.
‘arah induktif’; yakni, dari pernyataan-pernyataan tunggal menuju pernyataan-pernyataan universal.
Menurut usulan saya apa yang mencirikan metode empiris ialah caranya mengekspos kepada falsifikasi, dengan segala cara yang masuk akal, sistem itu diuji. Tujuannya bukan untuk menyelamatkan sitem-sistem yang tak dapat dipertahankan malah, sebaliknya, menyeleksi sistem yang ada dengan membandingkan mana yang terbaik, dengan cara menghadapkan mereka semua pada pertarungan yang paling sengit untuk bertahan hidup.
(hlm.27)
8. Objektivitas Ilmiah dan Keyakinan Subjektif
Ia memakai kata ‘objektif’ untuk menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat dibenarkan (justifiable), bebas dari dorongan hati seseorang: suatu pembenaran ‘objektif’ jika pada prinsipnya ia dapat diuji dan dimengerti oleh siapa pun.
(hlm.29)
Hanya dengan pengulangan itulah kita dapat meyakinkan diri bahwa kita tidak berhubungan dengan suatu ‘koinsidensi’ yang terasing belaka, melainkan dengan peristiwa-peristiwa yang pada prinsipnya dapat diuji secara inter-subjektif, karena keteraturan dan kemungkinannya dapat direproduksi.
(hlm.31)
Oleh karena itu, jika pertanyaan-pertanyaan dasar pada gilirannya dapat diuji secara inter-subjektif maka tidak boleh ada pernyataan-pernyataan pamungkas di dalam ilmu: tidak boleh ada pernyataan-pernyataan di dalam ilmu yang tidak dapat diuji dan oleh karena itu taka da pernyataan yang pada prinsipya tidak bisa dibuktikan kesalahannya, dengan memfalsifikasi bebereapa kesimpulan yang dapat disimpulkan darinya.
Karena saya tidak menuntut agar setiap pernyataan ilmiah dalam kenyataannya harus diuji dulu sebelum diterima. Saya hanya menuntut bahwa setiap pernyataan tersebut harus mampu (capable) diuji; atau dengan kata lain, saya menolak menerima pandangan bahwa ada pernyataan-pernyataan di dalam ilmu yang harus kita terima dengan ikhlas sebagai benar hanya karena kelihatannya tidak mungkin mengujinya, karena alasan-alasan logis.
(hlm.37)
BAB DUA
SEPUTAR PERSOALAN TEORI METODE ILMIAH
10. Pendekatan Naturalistik kepada Teori Metode
Saya tidak menganggap bahwa para positivis mungkin akan menanggapi dengan berbeda usaha saya sendiri menganalisis ‘pengalaman’ yang saya tafsirkan sebagai ilmu empiris. Karena bagi mereka yang ada hanya dua jenis pernyataan tautologis dan pernyataan empiris.
(hlm.39)
II. Aturan-aturan Metodologis sebagai Konvensi-konvensi
Permainan ilmu, pada prinsipnya, tanpa akhir. Orang yang memutuskan bahwa pada suatu ketika pernyataan-pernyataan ilmiah tidak memerlukan pengujian lebih lanjut, dan dapat dianggap diverifikasi secara tuntas, berarti ia telah mengundurkan diri dari permainan itu.
Sekali sebuah hipotesis telah diajukan dan diuji, dan telah membuktikan keberaniannya (mettle), ia tidak boleh dibiarkan mengundurkan diri tanpa alas an yang tepat’.
(hlm.45)
BAGIAN II
Beberapa Komponen Struktural Teori Pengalaman
BAB TIGA
TEORI-TEORI
ILMU-ILMU EMPIRIS adalah sistem-sistem teori. Oleh karena itu lohika pengetahuan ilmiah dapat dideskripsikan sebagai sebuah teori mengenai teori-teori.
Teori-teori ilmiah adalah pernyataan-pernyataan universal. Seperti semua representasi linguistic, teori-teori ilmiah adalah sistem-sistem tanda atau symbol.
Teori-teori adalah jaring-jaring yang dibuat untuk menangkap apa yang kita sebut ‘dunia’: untuk merasionalisasi, menjelaskan, dan menguasainya.
(hlm.47)
12. Kausalitas, Penjelasan dan Deduksi Prediksi-Prediksi
‘Prinsip kausalitas’ adalah pernyataan bahwa setiap peristiwa apa pun dapat jelaskan secara kausal—sehingga ia dapat diprediksi secara deduktif.
(hlm.49)
13. Universalitas Ketat dan Universalitas Numeris
Kita dapat membedakan dua jenis pernyataan sintesis universal: ‘universal secara ketat’ dan ‘universal secara numeris’.
(hlm.52)
14. Konsep-Konsep Universal dan Konsep-Konsep Individual
‘diktator’, ‘planet’, ‘H2O’ adalah konsep-konsep atau nama-nama universal. ‘Napoleon’, ‘bumi’, ‘Atlantik’adalah konsep-konsep atau nama-nama tunggal atau individual.
(hlm.55)
‘pasteurisasi’ juga dapat didefinisikan sebagai ‘diperlakukan menurut nasihat M. Louis Pasteur’ (atau sesuatu seperti ini), atau lainnya seperti ‘dipanaskan sampai 80 erajat dan mempertahankan suhu ini selama sepuluh menit’. Definisi pertama membuat ‘pasteurisasi’ menjadi konsep individual’; yang kedua membuatnya konsep universal.
(hlm.56)
Bukan ‘ruang dan waktu’ secara umum melainkan penentuan-penentuan individual (spasial, temporal, atau lainnya) yang didasarkan pada nama-nama diri itulah ‘prinsip-prinsip individuasi’.
(hlm.59)
15. Pernyataan Universal dan Pernyataan Eksistensial
Sebagai tambahan kepada hal ini, secara khusus saya tertarik pada pernyataan-pernyataan berbentuk ‘ada gagak hitam’, yang dapat dianggap sama artinya dengan ‘setidaknya ada satu ekor burung gagak yang berwarna hitam’.
(hlm.63)
16. sistem-sistem Teoretis
Aksioma-aksioma itu dipilih sedemikian rupa sehingga pernyataan lain yang termasuk ke dalam sistem teoretis itu dapat diperoleh dari aksioma-aksioma itu melalui transformasi-transformasi logis murni atau matematis.
Suatu sistem teoretis dapat dikatakan teraksiomatisasi jika sekumpulan pernyataan, aksioma, yang telah dirumuskan memenuhi empat persyaratan fundamental berikut ini. (a) Sistem aksioma itu harus bebas dari kontradiksi (entah itu kontradiksi dalam diri sendiri atau kontradiksi satu sama lain). Ini sama dengan tuntutan bahwa tidak setiap pernyataan yang dipilih secara sembarangan dapat disimpulkan darinya. (b) Sistem itu harus bebas, yaitu tidak boleh memuat aksioma apa pun yang dapat disimpulkan dari aksioma-aksioma lainnya. (Dengan katalain, suatu pernyataan disebut sebuah aksioma hanya jika ia tidak dapat disimpulkan di dalam bagian lain sistem itu.) Kedua syarat ini menyangkut sistem aksioma itu sendiri; mengenai hubungan sistem aksioma itu dengan bagian terbesar teori itu, aksioma-aksioma harus (c) mencukupi untuk pendeduksian semua pernyataan yang termasuk ke dalam teori yang diaksiomatisasi, dan (d) niscaya, bagi tujuan yang sama; yang berarti bahwa ia tidak boleh memuat asumsi-asumsi yang berlebih-lebihan.
17. Beberapa Kemungkinan Menafsirkan sebuah Sistem Aksioma
Aksioma-aksioma dapat dipandang (i) sebagai konvensi-konvensi, atau dapat dipandang (ii) sebagai hipotesis-hipotesis empiris atau ilmiah.
(hlm.68)
18. Level-Level Universalitas: Modus Tollens
Pernyataan-pernyataan yang ada di level tertinggi universalitas adalah aksioma-aksioma; pernyataan-pernyataan yang ada di level yang lebih rendah dapat disimpulkan darinya.
(hlm.73)
BAB EMPAT
FALSIFIABILITAS
19. Beberapa Keberatan Konvensionalis
Bagi para konvensionalis, ilmu alamiah teoritis bukanlah gambar alam melainkan hanya suatu konstruksi logis. Bukan sifat-sifat dunia yang menentuka konstruksi ini; sebaliknya, konstruksi inilah yang menentukan sifat-sifat dunia buatan (artificial world): suatu dunia konsep-konsep yang didefinisikan secara implisit oleh hokum-hukum alam yang telah kita pilih. Hanya dunia ini yang dibicarakan ilmu.
(hlm.84)
22. Falsifiabilitas dan Falsifikasi
Kita mengatakan bahwa suatu teori difalsifikasi hanya jika kita telah menerima pernyataan-pernyataan dasar yang menyangkalnya (bdk. Seksi 11, aturan 2). Syarat ini penting, namun tidak mencukupi; karena kita telah melihat bahwa kejadian-kejadian tunggal yang tidak dapat diulangi tidak berarti bagi ilmu.
(hlm.85)
Demikianlah untuk memfalsifikasi pernyataan ‘Semua burung gagak hitam’ sudah cukup dengan pernyataan yang dapat diuji secara inter-subjektif bahwa ada suatu keluarga burung gagak putih dikebun binatang New York.
(hlm.86)
23. Kejadian-Kejadian dan Peristiwa-peristiwa
Jika saya mengatakan bahwa ada suatu keluarga burung gagak putik di kebun binatang New York, maka saya mengatakan sesuatu yang pada prinsipnya dapat diuji.
(hlm.89)
Perhatikan bahwa walaupun pernyataan-pernyataan tunggal mewakili kejadian-kejadian, pernyataan-pernyataan universal tidak mewakili peristiwa-peristiwa: mereka menyisihkannya.
(hlm.94)
BAB LIMA
PERSOALAN BASIS EMPIRIS
SEKARANG kita harus mereduksi pertanyaan mengenai falsifiabilitas pernyataan-pernyataan tunggal, yang saya sebut pernyataan-pernyataan dasar. Tetapi jenis pernyataan-pernyataan tunggal apa yang merupakan pernyataan-pernyataan dasar ini? Bagaimana pernyataan-pernyataan tersebut dapat difalsifikasi? Bagi para peneliti praktis, pertanyaan-pertanyaan ini barangkali kurang menarik.
(hlm.96)
Karena bagaimana kita bisa mencapai suatu pengetahuan mengenai fakta jika tidak melalui persepsi-indrawi? Dengan berpikir saja seorang manusia tidak dapat menambah sedikit pun pengetahuannya atas dunia fakta. Demikian pulalah pengalaman perseptual harus menjadi ‘sumber pengetahuan’ satu-satunya bagi semua ilmu empiris. Oleh karena itu, semua yang kita tahu tentang dunia fakta-fakta harus dapat diungkapkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan tentang pengalaman-pengalaman kita.
Ilmu hanyalah suatu usaha mengklasifikasi dan melukiskan pengetahuan perseptual ini, pengalaman-pengalaman langsung ini, yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan; ia adalah penyajian sistematik keyakinan-keyakinan langsung kita.
(hlm.97)
26. Mengenai apa yang disebut ‘Kalimat-Kalimat Protokol’
Di manakah terletak korespondensi atau persesuaian antara suatu pernyataan dengan fakta atau keadaan peristiwa yang dilukiskannya?
(hlm.98)
Kalimat-kalimat diuji lewat membandingkannya dengan keadaan-keadaan pperistiwa atau dengan pengalaman-pengalaman: kita hanya dapat mengatakan bahwa ia dapat diuji hanya lewat membandingkannya dengan kalimat-kalimat lain.
(hlm.101)
27. Objektivitas Basis Empiris
Dalam pandangan saya, apa yang harus ditanyakan epistemology lebih tepatnya ialah: bagaimana kita dapat menguji pernyataan-pernyataan ilmiah melalui berbagai konsekuensi deduktifnya? Dan jenis akibat-akibat apa yang dapat kita seleksi dari tujuan ini jika ia pada gilirannya dapat diuji secara inter-subjektif?
(hlm.102)
Belum lama berselang telah dianggap bahwa logika adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan proses-proses mental dan hokum-hukumnya—hukum-hukum pikiran kita.
(hlm.103)
Hanya ada suatu cara untuk memastikan kesahihan suatu rangkaian penalaran logis. Yaitu menjadikannya dalam bentuk yang di dalamnya ia dapat diuji dengan paling mudah: kita memecahnya menjadi banyak langkah kecil, masing-masing mudah diperiksa oleh siapa saja yang telah mempelajari teknik matematis atau logis mengubah kalimat-kalimat.
(hlm.104)
Ilmu ialah’…suatu instrumen’ yang tujuannya adalah’…untuk memprediksi dari pengalaman-pengalaman langsung atau yang sudah diketahui, pengalaman-pengalaman berikutnya, dan bahkan sedapat mungkin mengendalikannya’.
(hlm.116)
30. Teori dan Eksperimen
Apa yang memaksa sang teoretikus untuk mencari teori yang lebih baik, dalam kasus ini, hampir selalu falsifikasi eksperimental dari sebuah teori, sejauh diterima dan dikoroborasi: ia adalah, sekali lagi, hasil ujian-ujian yang dibimbing oleh teori. Contoh-contoh terkenal adalah eksperimen Michelson-Morley yang menghasilkan teori reativitas, dan falsifikasi, oleh Lummer dan Pringsheim, tentang radiasi rumus Rayleigh, Jeans, dan Wien, yang menghasilkan teori kuantum.
Bagaimana dan mengapa kita lebih suka menerima satu teori daripada teori lain?
Kita memilih teori itu yang tetap menjaga sebaik-baiknya daya asingnya dengan teori-teori lain; teori yang membuktikan sendiri, malalui seleksi alamiah, sebagai yang lebih cocok untuk bertahan hidup. Ia akan menjadi teori yang tidak hanya bertahan terhadap ujian-ujian yang paling keras sampai sekarang ini, melainkan teori yang juga dapat diuji dengan cara yang paling ketat. Sebuah teori adalah alat yang kita uji dengan cara menerapkannya, dan yang kita nilai kemampuannya lewat hasil-hasil penerapannya.
(hlm.117)
Dari suatu sudut pandang logis, pengujian sebuah teori tergantung pada pernyataan-pernyataan dasar yang penerimaan dan penolakannya, sebaliknya, tergantung pada putusan-putusan kita.
Bagi konvensionalis, penerimaan pada pernyataan-pernyataan universal diatur oleh prinsip simplisitas: ia menyeleksi sistem yang paling sederhana. Saya, sebaliknya, mengajukan bahwa hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah kerasnya ujian-ujian itu.
Dan saya memandang bahwa apa yang pada akhirnya memutuskan nasib sebuah teori ialah hasil suatu pengujian, yaitu suatu persetujuan tentang pernyataan-pernyataan dasar.
(hlm.118)
Pembedaan yang penting ini, antara suatu pembenaran dengan putusan—suatu putusan yang dicapai sesuai dengan prosedur yang diatur oleh aturan-aturan dapat dijelaskan, barangkali, dengan bantuan suatu analogi: prosedur lama pengadilan oleh juri.
Putusan pidana (vere dictum = bicara sesungguhnya), seperti pelaku eksperimen, adalah jawaban terhadap fakta (quid facti?) yang harus diajukan sang pidana dalam bentuk yang paling tajam, dan yang paling pasti, Tetapi pertanyaan apa yang diajukan, dan bagaimana ia diajukan, akan sangat banyak tergantung pada situasi hukum, yaitu pada sistem hukum pidana yang berlaku (dapat disamakan dengan suatu sistem teori- teori). Dengan putusannya pidana menerima, melalui persetujuan, suatu pernyataan tentang kejadian faktual—suatu pernyataan dasar. Signifikansi putusan ini terletak dalam fakta bahwa darinya, bersama pernyataan-pernyataan universal sistem itu (hukum pidana) akibat-akibat tertentu dapat disimpulkan.
(hlm.119)
Berbeda dengan putusan sang pidana, keputusan sang hakim ialah ‘logis’; keputusan itu memerlukan dan memuat, suatu pembenaran. Sang hakim mencoba membenarkannya melalui, atau menyimpulkannya secara logis dari, pernyataan-pernyataan lain: pernyataan-pernyataan sistem hukum, digabungkan dengan putusan yang memainkan peran dalam syarat-syarat awal. Karena itulah mengapa keputusan itu dapat ditentang berdasarkan dasar-dasar logis. Keputusan juri, di sisi lain, hanya dapat ditentang dengan mempertanyakan apakah ia telah dicapai sesuai dengan aturan-aturan prosedur yang diterima; yaitu secara formal, tetapi bukan soal isinya. (Suatu pembenaran atas isi suatu putusan secara signifikan disebut ‘laporan yang dimotivasi’ ketimbang suatu ‘laporan yang dibenarkan secara logis’.)
(hlm.122)
BAB ENAM
DERAJAT TESTABILITAS
31. Program dan Ilustrasi
Suatu teori dapat difalsifikasi, seperti kita lihat dalam seksi 23, jika di sana ada paling tidak satu kelompok pernyataan dasar homotipik yang tidak kosong, yang dilarang olehnya; yaitu, jika kelompok falsifier potensialnya tidak kosong.
(hlm.124)
Sekarang ilmu teoritis bertujuan, secara persis, untuk menghasilkan teori-teori yang dapat difalsifikasi dengan mudah dalam pengertian ini.
Kelompok-kelompok falsifier potensial adalah kelompok tak berhingga.
(hlm.140)
37. Jarak-Jarak Logis. Catatan terhadap Teori Pengukuran
Sudah merupakan kebiasaan para fisikawan menaksir interval ini untuk setiap pengukuran. (Demikianlah mengikuti Millikan mereka memberi, misalnya, muatan elementer elektron, diukur dalam satuan-satuan elektrostatik, sebagai e = 4.774.20-10, menambahkan bahwa jarak ketidaktepatan ialah ± 0.005.10-10.)
(hlm.144)
‘Materi’ atau ‘atom’, sesudah Rutherford, dan ‘materi’, atau ‘energi’, sesudah Einstein, mempunyai arti yang berbeda dengan apa yang dimaksud sebelumnya: arti konsep-konsep ini adalah suatu fungsi dari teori yang senantiasa berubah.
(hlm.149)
39. Dimensi Sekumpulan Kurva
Tidak diragukan, hokum-hukum Kepler mungkin telah ditemukan dengan cara lain. Tetapi saya kira bukan sekadar kebetulan bahwa hal ini adalah cara yang membawa keberhasilan. Ia sesuai dengan metode eliminasi yang dapat diterapkann hanya jika teori itu cukup mudah memfalsifikasi—cukup persis untuk dapat berbenturan dengan pengalaman pengamatan.
(hlm.156)
BAB TUJUH
KESEDERHANAAN
42. Persoalan Metodologis Kesederhanaan
Schlick mendiskusikan kemungkinan mendefinisikan konsep keteraturan mirip-hukum (law-like regularity), dan khususnya perdedaan antara ‘hukum’ dengan ‘peluang’ dengan bantuan konsep kesederhanaan.
(hlm.212)
BAB DELAPAN
PROBABILITAS
61. Hukum Bilangan-Bilangan Besar (Teorema Bernoulli)
Teorema Bernoulli, atau ‘hukum bilangan-bilangan besar’ (pertama1) dapat diturunkan dari rumus binomial ketiga melalui penalaran aritmatika belaka, dengan asumsi bahwa kita dapat membawa n hingga ke limit, n ∞.
(hlm.238)
67. Suatu Sistem Probabilistik Metafisika Spekulatif
Inilah kegunaan pernyataan-peryataan probabilitas yang paling penting di dalam fisika: keteraturan-keteraturan fisik tertentu atau akibat-akibat fisik yang dapat diamati ditafsirkan sebagaai ‘hukum-hukum makro’; yaitu, ia ditafsirkan, atau dijelaskan, sebagai fenomena massa, atau sebagai hasil-hasil hipotesis yang dapat diamati dan bukan ‘peristiwa-peristiwa mikro’ yang dapat diamati secara langsung. Hokum-hukum makro diedukasi dari taksiran-taksiran probabilitas melalui metode berikut: kita menunjukan bahwa pengamatan-pengamatan yang sesuai dengan keteraturan yang dapat diamati yang sedang dibicarakan besama suatu probabilitas yang diharapkan sangat dekat dengan 1, yaitu bersama suatu probabilitas yang menyimpang dari 1 melalui suatu jumlah yang dapat dibuat sekecil yang kita pilih.
(hlm.251)
69. Hukum dan Peluang
Kadang-kadang orang mendengar bahwa gerakan-gerakan planet mematuhi hukum-hukum yang ketat, sementara jatuhnya sebuah dadu bersifat kebetulan, atau tunduk kepada peluang. Dalam pandangan saya perbedaannya terletak pada fakta bahwa kita sejauh ini telah dapat memperkirakan gerakan planet-planet dengan berhasil, tetapi bukan hasil-hasil pelemparan dadu individual.
(hlm.314)
BAB SEPULUH
KORROBORASI, ATAU BAGAIMANA SEBUAH TEORI BERTAHAN MENGHADAPI UJIAN-UJIAN
Teori-teori tidak dapat diverifikasi, tetapi dapat ‘dikorroborasi’
Daripada mendiskusikan ‘probabilitas’ suatu hipotesis kita harus mencoba menaksir ujian-ujian apa, percobaan-percobaan apa, yang harus dihadapinya; yaitu, kita harus mencoba menaksir seberapa jauh ia telah mampu membuktikan kemampuannya bertahan menghadapi ujian-ujian. Singkatnya, kita harus mencoba menaksir seberapa jauh ia telah ‘dikorroborasi’.
79. Mengenai Apa yang Disebut Verifikasi Hipotesis-Hipotesis
Fakta bahwa teori-teori tidak dapat diverifikasi telah sering diabaikan. Orang sering mengatakan sebuah teori diverifikasi ketika beberapa dari prediksi yang berasal darinya telah diverifikasi.
(hlm.341)
83. Korroborabilitas, Testabilitas, dan Probabilitas Logis
Derajat korroborasinya akan meningkat bersama jumlah contoh-contohnya yang mengkoroborasikan.
(hlm.344)
Dalam terminology saya dinyatakan, teori Keynes menyiratkan bahwa korroborasi (atau probabilitas hipotesis-hipotesis) menurun bersama testabilitas. Ia tergiring ke dalam pandangan ini karena keyakinannya pada logika induktif. Karena logika induktif cenderung membuat hipotesis-hipotesis ilmiah sepasti mungkin.
(hlm.358)
85. Jalan Setapak Ilmu
Hanya dalam pengalaman-pengalaman keyakinan yang subjektif, dalam keyakinan subjektif, kita dapat merasakan ‘kepastian secara mutlak’.
Ilmu tidak boleh mengejar tujuan khayali yang membuat jawaban-jawabannya final, atau bahkan menjadi mungkin. Lebih tepatnya, gerak majunya menuju tujuan yag tak terbatas namun dapat dicapai untuk menemukan persoalan-persoalan yang selalu baru, yang lebih dalam, dan lebih umum, dan menundukan jawaban-jawabannya yang terus menerus tentative kepada ujian-ujian yang selalu diperbarui dan semakin lebih ketat.
(hlm.389)
LAMPIRAN-LAMPIRAN BARU
Lampiran Dua Catatan Mengenai Induksi dan Demarkasi 1933-1934.
Persoalan induksi Hume: Pertanyaan mengenai kesahihan hukum-hukum alam:—muncul dari suatu kontradiksi yang nyata antara prinsip empirisme (prinsip bahwa hanya ‘pengalaman’ yang dapat memutuskan kebenaran atau kesalahan dari suatu pernyataan faktual), dengan kenyataan Hume bahwa argumen-argumen induktif (atau generalisasi) tidak sahih.
“Jika suka, kita dapat membedakan empat jalur yang berbeda yang dapat ditempuh bagi pengujian sebuah teori. Pertama perbandingan logis kesimpulan-kesimpulan di antara mereka, dengan inilah konsistensi internal sistemitu diuji. Kedua, penyelidikan pada bentuk logis teori itu, dengan maksud untuk menentukan apakah ia mempunyai ciri teori empiris atau ilmiah, atau apakah ia, misalnya, bersifat tautologis. Ketiga, perbandingan dengan teori-teori lain, terutama dengan tujuan untuk menentukan apakah teori yang akan membentuk suatu kemajuan ilmiah harus bertahan menghadapi beraneka macam pengujian kita. Dan akhirnya, pengujian teori melalui penerapan empiris kesimpulan-kesimpulan yang dapat diperoleh darinya.”