Mendobrak Sentralisme Ekonomi oleh Rizal Mallaranggeng
Chandra Natadipurba
11 Oktober 2024
Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku “Mendobrak Sentralisme Ekonomi” karangan Rizal Mallarangeng
Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.
Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.
Selamat membaca.
Chandra Natadipurba
===
Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992
Rizal Mallaranggeng Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 Rizal Mallaranggeng KPG 071-2002-32-S Penerjemah: Martin Aleida Penyunting: Candra Gautama Desain Sampul: Sijo Sudarsono Tata Letak: Wendie Artswenda Cetakan Pertama, Maret 2002 Cetakan Kedua, Agustus 2004 MALLARANGENG, Rizal Mendobrak Sentralisme Ekonomi Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2002 xxxviii + 268 hlm.; 14 cm x 21 cm ISBN: 979-9023-71-8
(hlm. xi) Deregulasi Ditinjau Kembali? Saya tetap berpandangan bahwa gagasan memainkan peranan penting dalam proses perubahan masyarakat, termasuk perubahan kebijakan ekonomi yang merupakan cerminan pertemuan pelbagai faktor dan kecenderungan, seperti kepentingan dan pengelompokan politik, pola hubungan sosial-ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan pendidikan, perkembangan baru dalam teknologi, dan perubahan struktur ekonomi dunia.
(hlm. xii) Dalam keluarga besar kaum pemikir liberal, salah satu yang paling menarik adalah Francis Fukuyama, dengan bukunya yang terbaru, State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century (2004). Pemikir Amerika keturunan Jepang ini berpandangan bahwa setelah lebih daripada dua dekade perlawanan terhadap ide-ide statisme atau dirigisme, kini kaum pemikir yang membela ide-ide kebebasan harus lebih memusatkan perhatian pada negara, sebagai suatu unit pemerintahan dan satu-satunya pemegang otoritas pemaksa dalam masyarakat.
Suatu negara yang kuat akan mampu melahirkan kebijakan dan aturan-aturan yang ditaati oleh masyarakat, tanpa perlu menebarkan ketakutan, kecemasan, dan paksaan yang berlebihan. Ciri negara seperti ini bisa bersifat minimal, tanpa intervensi berlebihan dalam dunia ekonomi dan dalam bidang kehidupan umum lainnya, namun bisa juga bersifat ekspansif, dengan dukungan kelembagaan yang mengakar dan bekerja efektif.
(hlm. xiv) Sebagai reaksi terhadap kegagalan semacam itulah, sebagaimana bisa dibaca dalam buku ini, pemikiran liberal dan gerakan deregulasi ekonomi sebagai salah satu manifestasi konkretnya memperoleh momentum pada akhir 1970-an dan sepanjang 1980-an, baik di negara maju, di Uni Soviet dan satelitnya, maupun di negeri-negeri sedang berkembang, seperti Indonesia.
(hlm. xvi) Pada peramu ide-ide yang menekankan pentingnya kebebasan, otonomi individu, dan peranan pasar tidak otomatis bertentangan dengan mereka yang memberi perhatian utama pada pentingnya kekuasaan, negara, dan peran masyarakat sebagai wadah interaksi sosial.
Teori semacam ini harus mampu menyambung pundak-pundak besar di masa silam dalam integrasi pemikiran baru yang sanggup menjelaskan arah masa depan, dan merumuskan kewajiban yang harus dilakukan pada masa kini.
(hlm. xix) Suatu Masa Ketika Gagasan Menjadi Penting BUKU yang baik selalu datang dengan suatu pesan: analisis terdahulu belum lengkap.
(hlm. xx) II Benar bahwa Mallaranggeng bukan orang pertama yang bicara tentang pentingnya gagasan. Saya ingat Soedjatmoko pernah mengatakan bahwa gagasan punya kaki. Buku ini muncul sebagai studi empiris yang membuktikan betapa benarnya Soedjatmoko.
(hlm. xxi) III Pertama, dataran perdebatan teoretis, mengenai sejauh mana gagasan berperan dalam suatu kebijakan ekonomi. Kedua, dataran empiris, tentang sejauh mana gagasan berperan dalam proses liberalisasi ekonomi di Indonesia.
(hlm. xxii) Menurutnya, teori pilihan rasional hanya dapat berjalan di suatu negara yang memiliki aturan yang dapat diprediksi, di mana pelaku ekonomi dan pemerintah bersikap rasional, dalam arti mereka memaksimalkan fungsi tujuan masing-masing.
(hlm. xxiii) Sebagai teknokrat yang kerap dianggap Barat—walau kita tak pernah tahu persis bagaimana kebijakan ekonomi yang bersifat ‘Barat’ dan ‘Timur’ didefinisikan—kelompok ini melabelkan dirinya dengan argumentasi ‘obyektif’ dan rasionalitas ekonomi. Mereka dianggap menyetujui free market, private enterprise, open door policy yang didukung oleh lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF.
(hlm. xxiv) Ada kebutuhan minimum yang harus dipenuhi oleh negara dengan menyediakan infrastruktur materi dan ideologi untuk mereproduksi tertib sosial.
(hlm. xxv) Jika benar Indonesia adalah alat modal global, sulit bagi kita membayangkan nasionalisme ekonomi dan berbagai kebijakan yang memberikan previlese kepada kelompok usaha pribumi berkembang. Sejarah juga mencatat, kebijakan ekonomi yang ada pada periode itu relatif proteksionis, yang tak menguntungkan modal global.
(hlm. xxviii) Salah satu bukti yang menarik adalah studi empiris yang dilakukan oleh Rodrik (1998). Dia menunjukkan bahwa proses liberalisasi ekonomi terjadi di berbagai negara pada tahun yang hampir bersamaan. Itu berarti ada semacam transformasi paradigma ekonomi tentang superioritas ekonomi pasar dalam pembangunan ekonomi suatu negara.
(hlm. xxix) Kendati demikian, ada satu pertanyaan penting yang sebenarnya dapat diajukan di sini: jika benar liberalisasi ekonomi dapat dijelaskan sepenuhnya karena dorongan komunitas epistemis liberal, dan keletihan deregulasi, deregulation fatigue, pada periode 1990-1993 merupakan akibat penyebarluasan gagasan proteksionis kelompok nasionalis yang mengkritik kaum teknokrat, mengapa deregulasi ekonomi tetap terjadi pada 1990-an dan bahkan menguat pada 1994-1995? Padahal, pada periode tersebut kaum teknokrat praktis telah tersingkir dari percaturan politik dan digantikan oleh kelompok Habibie yang cenderung proteksionis.
(hlm. xxxiii) Anderson, B.R.O’G., “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective,” dalam Journal of Asian Studies, 17(3), 1983.
(hlm. xxxvi) Prakata Bagi saya waktu itu kemunculan Gorbachev di Uni Soviet, Deng di Cina, Reagan di Amerika Serikat, dan Thatcher di Inggris bukanlah serangkaian peristiwa sejarah yang berdiri sendiri. Berbagai peristiwa tersebut memperlihatkan bagaimana, di penghujung abad ke-20, varian-varian suatu gagasan besar yang lahir pada pertengahan abad ke-19 menemui jalan kematiannya, digantikan oleh varian-varian gagasan yang bersumber pada tradisi pemikiran liberal.
(hlm. 1) BAB I Gagasan dan Penyusunan Kebijakan Publik PEMERINTAH Soeharto memulai proses liberalisasi ekonomi pada 1983 dan mencapai puncaknya pada 1989, dengan beberapa pasang naik dan pasang surut.
Buku ini memusatkan perhatian pada proses liberalisasi ekonomi tersebut dari 1986 sampai 1992.
Dua pertanyaan yang hendak dijawab di sini: Mengapa Pemerintah Soeharto mengubah kebijakan ekonominya dari sentralisme ke liberalisme, betapapun masih kaburnya cakupan dan pengertian kebijakan yang terakhir ini? Apa variabel terpenting di balik keputusan tersebut?
(hlm. 2) 1.1. Tinjauan Teoretis Semua teori ini—teori koalisi politik dan kepentingan ekonomi, teori otonomi negara, serta teori pilihan rasional—mengabaikan peran gagasan dalam menyusun dan merumuskan analisis mereka. Kendati berbeda, ketiga teori ini sepakat dalam satu hal, yaitu bahwa kita dapat memahami perubahan ekonomi berskala besar tanpa harus mengerti bagaimana berbagai gagasan ekonomi mengilhami pelaku dalam konteks sejarah tertentu.
(hlm. 6) 1.1.2. Teori Otonomi Negara Dalam proses penyusunan kebijakan, negara melakukan berbagai hal untuk mencapai kepentingannya sendiri.
(hlm. 6) 1.1.3. Teori Pilihan Rasional Teori pilihan rasional berjarak dari asumsi maksimalisasi kegunaan, utility maximization. Tiang masyarakat adalah individu, pelaku rasional yang selalu bertindak untuk mencapai kepentingannya sendiri.
Bagi teori pilihan rasional, kebijakan publik adalah hasil interaksi politik di antara para pelaku rasional yang ingin memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri.
(hlm. 10) Dari rumusan Keynesian tidak ada ruang bagi kemungkinan bahwa motif untuk mengejar kekuasaan atau keuntungan bagi diri sendiri yang ada pada kaum birokrat, politisi, atau para ekonom profesional yang bekerja dalam dunia pemerintahan dapat memengaruhi proses penyusunan kebijakan.
Mengapa Keynes mengabaikan fakta bahwa teorinya bersandar pada asumsi yang tidak realistis itu? Tentang hal ini Todd Buchholz (1990) memberi dua.
(hlm. 11-12) Menurut hemat saya, daya tarik utama teori pilihan rasional terletak pada kenyataan bahwa pemerintah memang kerap membuat kebijakan yang keliru serta merugikan orang banyak, dan asumsi kesejahteraan sama sekali tidak berguna sebagai titik awal untuk memahami berbagai kegagalan pemerintah, government failures.
Kendati menarik, teori pilihan rasional sesungguhnya sangat dibatasi oleh persyaratan metodologinya sendiri. Agar analisisnya berkembang penuh, teori ini memerlukan suatu unsur yang sangat penting, yaitu aturan main yang jelas dan pasti. Berbagai model teori permainan, misalnya, menyandarkan diri pada aturan semacam itu untuk menelurkan hasil yang dapat diramalkan (Kreps, 1990). Oleh karena itu, teori pilihan rasional memang sangat ampuh bila digunakan untuk menganalisis interaksi para pelaku dalam lembaga-lembaga yang sudah mapan, misalnya lembaga perwakilan di Amerika Serikat, namun ia hampir sama sekali tidak memadai sebagai alat analisis untuk memahami serta meramalkan interaksi politik dan proses kebijakan dalam masyarakat yang sedang berubah, di mana para aktor yang terlibat di dalamnya sedang berjuang untuk menciptakan atau mengubah aturan serta pola kelembagaan yang ada.
Penjelasan. Pertama, Keynes dipengaruhi oleh pandangan Weber mengenai birokrasi (menurut Weber, rasionalitas adalah ciri birokrasi modern yang terpenting). Kedua, lebih penting dari alasan pertama, Keynes adalah seorang pemikir yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Victorian. Dia adalah seorang aristokrat-cendekiawan, yaitu sekelompok orang dengan latar belakang pendidikan tinggi yang mampu menolak rayuan kekuasaan politik dan godaan kekayaan material.
(hlm. 13) Kebijakan proteksionis diterapkan dengan mengikuti konsepsi atau gagasan tertentu mengenai jalan terbaik untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan besar, misalnya kemandirian ekonomi nasional, peningkatan daya saing kaum pribumi, dan semacamnya. Itulah sebabnya mengapa kebijakan ini sering ditempuh secara radikal di negara-negara yang sedang dilanda the frenzy of nationalism, demam nasionalisme.
(hlm. 14) 1.2. Penjelasan Alternatif: Pentingnya Gagasan Dalam sejarah perubahan kebijakan yang fundamental di Eropa dan Amerika Serikat, pentingnya peran gagasan dapat dilihat, misalnya, pada dampak Keynesianisme dalam memengaruhi arah kebijakan serta menciptakan dasar politik baru sebelum dan sesudah Perang Dunia II.
(hlm. 19-20) 1.3. Peran Gagasan dalam Liberalisasi Ekonomi Sumber inspirasi intelektual yang mengilhami sentralisme tidaklah homogen, mulai dari interpretasi tertentu atas teori-teori ekonomi Keynesian, paham sosialisme demokratis, teori-teori ketergantungan, nasionalisme ekonomi ala Prebisch, hingga Peronisme dan populisme yang berkobar-kobar.
10 Istilah “sentralisme” juga sering dipertukarkan pemakaiannya dengan istilah “dirijisme” (dirigisme), “etatisme”, dan “pembangunanisme”. 11 Ajaran pokok ekonomi klasik dapat dilihat dalam pandangannya mengenai pasar sebagai suatu mekanisme yang dapat mengatur dirinya sendiri. 12 Di Indonesia, misalnya, industri mobil dalam negeri merupakan contoh yang sempurna tentang kegagalan itu. Menyangkut indikator umum pertumbuhan, tanda-tanda kegagalan lebih meyakinkan lagi: India, misalnya, selama lebih dari dua dasawarsa mencapai pertumbuhan PDB per kapita di bawah 0,3 persen, sementara Taiwan, dalam jangka waktu yang sama, hampir mencapai empat persen (untuk catatan lengkap mengenai hal ini, lihat The World Bank, The East Asian Miracle, 1993).
(hlm. 23) Hal inilah yang menjelaskan mengapa pelaku utama dalam proses liberalisasi ekonomi di berbagai negara sedang berkembang pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagian besar berasal dari kelompok yang sama (dan terkadang dari universitas yang sama pula): Carlos Salinas de Gortari di Meksiko, Fernando H. Cardoso di Brazil, Alejandro Foxley di Chile, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Radius Prawiro, dan Sumarlin di Indonesia, Manmohan Singh di India, Turgut Ozal di Turki.
1.4. Gagasan dan Lembaga: Komunitas Epistemis Liberal Indonesia (hlm. 24) Dalam studi ini, variabel kelembagaan yang saya anggap terpenting adalah muncul dan berkembangnya jaringan individu yang membentuk komunitas epistemis liberal. Jaringan ini melampaui batas-batas negara, masyarakat, maupun kelas.
(hlm. 26-27) 1.5. Kasus Indonesia: Berbagai Penjelasan Dengan berbagai kelemahannya, proses liberalisasi Indonesia telah menghasilkan banyak hasil positif. Pada periode menjelang berlangsungnya liberalisasi (1980-1983), misalnya, industri manufaktur tumbuh hanya sebesar 3,6 persen, namun pada 1983-1990 melonjak menjadi 12 persen. Pada 1986-1990 ekspor nonmigas meningkat secara dramatis sebesar 22,1 persen.
14 Sebelum 1985-1989, sebagaimana saya jelaskan dalam Bab II, terjadi perubahan kebijakan yang penting, dari sentralisme menuju kebijakan yang lebih pro-pasar. Ini terjadi pada tahun-tahun pertama Orde Baru, tatkala Widjojo dan kawan-kawannya membantu Soeharto melenyapkan warisan era Soekarno. Peristiwa Malari (Malapetaka Januari) pada 1974 menghentikan kecenderungan liberalisasi tersebut.
(hlm. 28) Salah satu buku pertama tentang liberalisasi ekonomi di Indonesia ditulis oleh Richard Robinson, The Rise of Capital (1986).
(hlm. 35) BAB II Latar Belakang Sejarah: Kebijakan Ekonomi Orde Baru Sebelum 1986 Tahap pertama berlangsung pada 1966-1973. Tahap kedua berlangsung dari 1974 hingga awal 1980-an setelah kebijakan rehabilitasi dan liberalisasi parsial kaum teknokrat dikritik secara luas oleh kaum cendekiawan dan aktivis mahasiswa, yang berpuncak pada peristiwa Malari.
(hlm. 37) 2.1. Langkah Pembuka: Kaum Teknokrat dan Kebijakan Liberal Indonesia adalah sebuah republik yang didirikan oleh para pejuang kemerdekaan, cendekiawan, wartawan, dan aktivis politik yang sangat yakin bahwa kapitalisme adalah faktor utama di balik penindasan dan kekuasaan sistem kolonial. Mereka umumnya sangat nasionalis. Tokoh-tokoh yang paling menonjol di kalangan pejuang muda kemerdekaan ini, seperti Soekarno, Sultan Sjahrir, dan Tan Malaka, sangat dipengaruhi oleh berbagai gagasan kiri di Eropa pada tahun 1920-an dan 1930-an. Bahkan tokoh-tokoh yang paling tidak terdidik secara profesional dalam ilmu ekonomi di antara mereka, seperti Mohammad Hatta atau Prof. Sumitro Djojohadikusumo, pendiri Fakultas Ekonomi UI, atau tokoh yang paling memiliki pengalaman praktis dalam dunia administrasi ekonomi, seperti Sjafruddin Prawiranegara, tidak terbebas dari pengaruh demikian (lihat Rice, 1983).
Itulah sebabnya mengapa di kalangan elite Indonesia pasca-Revolusi, yang lingkarannya sebenarnya sangat kecil, selalu ada kecenderungan untuk terus-menerus mengandalkan intervensi ekonomi negara. Mereka senantiasa memandang dengan penuh curiga pada proses perdagangan dan bekerjanya sistem ekonomi pasar.
Sadli studi teknik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan melanjutkan pendidikan di Massachusetts Institute of Technology untuk gelar M.A. di bidang ekonomi. Guru besarnya, antara lain, Paul Samuelson dan Robert Solow, para pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi. Gelar doktor dia peroleh dari Universitas Indonesia. Dia juga menerima beasiswa dari The Ford Foundation untuk studi pascasarjana selama setahun di Berkeley.
(hlm. 39) Di samping itu, Kahin juga menjelaskan beberapa faktor sosiologis yang harus diperhitungkan, yaitu: a) pada saat Indonesia merdeka hampir semua modal besar dikuasai oleh unsur-unsur nonpribumi, suatu kenyataan yang menciptakan a sense of urgency di kalangan pemimpin republik yang masih muda itu untuk menggunakan negara sebagai agen utama pembangunan, serta b) tiga perempat orang Indonesia yang terdidik bekerja sebagai pegawai pemerintah, “suatu profesi yang tampaknya sulit melahirkan sikap bermusuhan terhadap gagasan-gagasan sosialis.”
(hlm. 41) Dalam perdebatannya yang memperoleh publikasi luas di tahun 1955 dengan Wilopo, Perdana Menteri dari Partai Nasional Indonesia, dia menjelaskan bahwa pasal 38 tersebut tidak memadai serta usaha swasta harus diberi peluang untuk memainkan sejumlah peran di samping koperasi dan perusahaan-perusahaan milik negara.
(hlm. 43) Dia ingin menemukan sistem perekonomian yang khas Indonesia yang didasarkan pada prinsip-prinsip koperasi, bukan kompetisi.
Ketika selesai studi pada 1964, menurut Emil, pikirannya sudah bulat. Tak ada lagi Soekarno dan tak ada lagi Hatta. Sekalipun mengerti bahwa pasar tidaklah “bebas nilai,” dia menyatakan bahwa “pada dasarnya [ia] percaya pada [bekerjanya] ekonomi pasar” (Emil Salim, 1997).
(hlm. 45) Inflasi dapat diperangi, katanya, dengan pemahaman dan pengendalian atas berbagai faktor ekonomi yang menyebabkan tingkat harga-harga umum naik, bukan dengan komando politik atau retorika yang berapi-api.
(hlm. 46) Salah seorang perwira yang menjadi “murid” mereka adalah Soeharto, yang ditugaskan untuk mengikuti Seskoad setelah dia menyelesaikan tugasnya sebagai Komandan Divisi Diponegoro di Semarang.
(hlm. 47) Dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sekitar $300, Indonesia waktu itu, sebagaimana dijelaskan dengan baik oleh Benjamin Higgins, dikenal sebagai “a chronic dropout,” negeri yang gagal terus-menerus. Inflasi mencapai tiga digit pada periode 1962-1966, pabrik-pabrik beroperasi hanya dengan kapasitas sekitar 20 persen, sektor-sektor publik kelebihan staf 30 sampai 40 persen, sementara utang dan defisit negara meroket. Lebih dari itu, saat produksi beras tidak bertambah selama lima tahun, jumlah penduduk meningkat 10 juta.
(hlm. 50) Dengan gagasan seperti itu, tidaklah mengherankan bila salah satu langkah Pemerintah Soeharto yang paling awal adalah mengirim kawat kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia berisi pesan bahwa Indonesia ingin memperbarui keanggotaannya (Frans Seda, 1992: 129).
(hlm. 51) Hingga lebih dari 20 tahun kemudian, IGGI memainkan peran vital sebagai medium bagi Indonesia untuk memperoleh dana-dana publik dengan tingkat yang jauh di bawah harga pasar, yang kemudian digunakan untuk memperluas berbagai program pembangunan serta memperkuat neraca pembayaran.
(hlm. 52) Peraturan Oktober menyederhanakan sistem tersebut dengan mengurangi jumlah yang masuk ke dalam DP secara cukup besar sehingga memperluas jangkauan BE, yang pada dasarnya bergerak mengikuti mekanisme pasar.
(hlm. 53) Dalam konteks sejarah perekonomian Indonesia, undang-undang baru tersebut sangat bersifat liberal, suatu penjungkirbalikan yang nyaris sempurna terhadap peraturan investasi sebelumnya, yang memungkinkan pemerintah mengambil alih modal asing.
(hlm. 54) Pada 1968, nilai total investasi asing langsung (FDI) hanya $3 juta, tapi pada 1970 meningkat drastis menjadi $130 juta, dan pada 1972 mencapai $302 juta (Hill, 1988: 30). Dari segi jumlah, proyek investasi asing yang disetujui, di luar minyak, perbankan, dan asuransi, pada 1967 hanya 13 proyek, namun pada 1970 dan 1971 meningkat pesat menjadi 84 dan 63 proyek (Anoraga, 1995: 71).
(hlm. 57) Seiring dengan langkah-langkah kelembagaan demikian, pemerintah juga meningkatkan suku bunga pinjaman (monthly loan rate) secara tajam, dari empat menjadi enam persen. Langkah ini disertai peraturan baru bahwa bank tidak akan mempertanyakan asal-usul uang nasabah (Nasution, 1983: 5). Ketika tingkat inflasi dapat dikendalikan pada akhir 1960-an, suku bunga pinjaman diturunkan menjadi sekitar tiga persen, arus tabungan masyarakat ke bank-bank negara ternyata tidak menurun.
2.2. Perlawanan Kaum Cendekiawan: Jalan Menuju Malari
(hlm. 58) Sekarang tujuh ekonom dari kelompok Widjojo menjadi menteri, suatu posisi yang memberi mereka lebih banyak ruang dan kekuasaan untuk merealisasikan berbagai gagasan serta agenda kebijakan mereka.
(hlm. 59) Perusahaan-perusahaan negara masih menjadi pelaku ekonomi dominan yang memonopoli sebagian besar sektor ekonomi, suatu peran yang memang “dikehendaki oleh undang-undang dasar 1945.” Bisnis keuangan praktis didominasi oleh bank-bank negara. Beragam lisensi dan peraturan industri yang bertentangan dengan semangat mekanisme pasar meluas. Singkat kata, pada awal 1970-an, sistem ekonomi Indonesia bukanlah sistem ekonomi liberal. Contoh paling jelas barangkali bisa dilihat pada kenyataan bahwa segera setelah undang-undang penanaman modal yang liberal terbit pada 1967 (UU PMA), teknokrat harus menyerah pada tuntutan kaum proteksionis di berbagai departemen pemerintah, yakni dengan menyetujui kenaikan tarif 1.292 barang dagangan; rata-rata dari 58 menjadi 65 persen (Woo, 1994: 49).
(hlm. 62) Di balik peristiwa politik yang hampir menggoyahkan Soeharto ini, suatu letupan yang secara substansial mengubah arah kebijakan ekonomi Orde Baru, paling tidak bisa kita temukan empat tokoh cendekiawan — untuk sederhananya, saya menyebut mereka sebagai Kelompok Empat — yang sangat artikulatif dan paling berpengaruh dalam memberi isi berbagai kritik yang dilontarkan sepanjang tahun 1972-1973 terhadap kebijakan dan model pembangunan yang dirancang oleh Widjojo dan kawan-kawannya. Mereka adalah Mohammad Hatta, Sarbini Sumawinata, Soedjatmoko, dan Mochtar Lubis.
(hlm. 63) Hatta sering dipandang sebagai teladan kesederhanaan dan mercusuar moral, orang bersih dan mantan wakil presiden yang berdiri tegak di atas berbagai kepentingan sesaat, seorang pahlawan yang perannya dalam sejarah Indonesia hanya dilampaui oleh Soekarno.
Sebagaimana para pejuang kemerdekaan di Dunia Ketiga, kepercayaan tokoh ini yang begitu besar pada superioritas perencanaan terpusat membuatnya yakin dan memuji perekonomian Uni Soviet sebagai contoh keberhasilan pembangunan yang luar biasa.
(hlm. 66) Dia mengingatkan bahwa strategi pembangunan kaum teknokrat, yang baginya tampak hanya sebagai jiplakan strategi yang dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat pada awal proses pembangunan mereka, membahayakan keseimbangan kedua sektor ekonomi tersebut.
(hlm. 67) Mengikuti gagasan E.F. Schumpeter dalam Small Is Beautiful, pemikir dan penulis prolifik ini menyarankan agar Indonesia hendaknya memilih teknologi menengah, bukan teknologi tinggi yang dibawa oleh MNCs dan berbagai badan asing lainnya.
(hlm. 68) Di antara Kelompok Empat, Sarbinilah yang paling mahir berbicara secara teknis dan menguasai kosakata yang khas dalam disiplin ilmu ekonomi. Dia lebih terbuka dan secara jujur mengemukakan tuntutannya akan perlunya suatu strategi pembangunan yang memperluas proteksionisme untuk mengatasi berbagai masalah yang ada saat itu.
(hlm. 70) Kaum ekonom memang mengerti serba-serbi ilmu ekonomi, tapi mereka nyaris tidak memahami masalah sosial, politik, dan budaya (Indonesia Raya, 20 November 1973: 1).
(hlm. 71) Tidak seperti Kelompok Empat, kelompok terakhir ini tidak menggunakan kosakata “kiri”, baik dalam analisis maupun retorika mereka. Kelompok ini berpusat di Center for Strategic and International Studies (CSIS), yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan Sudjono Humardhani, dua jenderal yang sangat dekat dan menjadi orang kepercayaan Soeharto.
Dalam kelompok CSIS terdapat dua ahli ekonomi, yaitu Jusuf Panglaykim dan Daud Joesoef, yang beranggapan bahwa strategi kaum teknokrat keliru apabila mereka hendak membawa Indonesia ke jalan modernisasi yang dipercepat, accelerated modernization. Gagasan Panglaykim dan Joesoef bertumpu pada penolakan teori keunggulan komparatif, suatu teori yang merupakan tulang punggung konsepsional bagi setiap pembelaan terhadap sistem perdagangan bebas.
(hlm. 72) Pendek kata, pemerintah harus menjadi pemimpin dalam suatu jaringan organisasi yang mereka namakan Indonesia Incorporated, “suatu pola kerja sama yang erat antara pemerintah, birokrat, teknokrat, dan kalangan bisnis untuk memfasilitasi pembangunan satu entitas yang kuat dalam skala nasional…” (Joesoef, 1974: 41).
(hlm. 73) Penyebab lain dari hubungan yang erat ini adalah fakta bahwa Sumitro, sebagaimana kita ketahui, merupakan bekas guru Widjojo dan kawan-kawannya ketika ia menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sebagai sosok dengan rasa harga diri sangat besar, dia tak tahan bila hanya menjadi anggota tim Widjojo (wawancara Harry Tjan Silalahi, September 1996). Untuk hal ini baca juga Ann Gregory (1976: 559-560). Jadi, setelah menjauhkan diri dari orbit Widjojo, dengan sendirinya Sumitro menjadi lebih dekat dengan kubu CSIS. Yang kemudian muncul menjadi salah satu pusat kekuasaan di dalam pemerintah, yang bersedia memperlakukannya dengan penuh hormat.
(hlm. 75) Dalam artikel terjemahannya di Kompas tersebut, dia memuji “sukses” pembangunan Cina di bawah Mao. Dia juga mengkritik peran perusahaan swasta dan modal asing di Dunia Ketiga.
(hlm. 76) Sebab itulah gerakan mahasiswa memperoleh semacam legitimasi sebagai kekuatan moral, sebuah legitimasi yang tidak dimiliki oleh partai atau kelompok penekan politik lainnya di Indonesia.
(hlm. 77) Bagi beberapa kalangan, masih menjadi teka-teki bahkan sampai hari ini mengapa modal Jepang, bukan modal Inggris dan Jerman, yang menjadi sasaran utama kritik mahasiswa. Harus diingat bahwa jumlah investasi Jepang yang terealisasi di Indonesia sejak 1967 sampai pertengahan 1970-an sebenarnya hanya sekitar setengah dari keseluruhan investasi Amerika Serikat dalam periode yang sama. Jawabnya barangkali terletak pada kenyataan bahwa kendati investasi Jepang relatif kecil dibandingkan investasi Amerika Serikat, bentuk-bentuk investasi yang dipilihnya jauh lebih kasat mata dan menarik perhatian. Perusahaan-perusahaan Amerika menggali sumur-sumur minyak di lepas pantai dan menambang emas di hutan-hutan Irian, sementara perusahaan-perusahaan Jepang membuka perakitan mobil dan membangun hotel-hotel mewah di Jakarta (siapa yang peduli apa yang terjadi di hutan dan di lepas pantai yang jauh dari Jakarta?).
(hlm. 78) Beberapa bulan sebelum Malari, ketika kritik terhadap kaum teknokrat memuncak, Soeharto mencoba mengendorkan tekanan yang diarahkan padanya dengan memberlakukan beberapa kebijakan baru, seperti pelarangan impor mobil built-up, peluncuran kredit khusus untuk pengusaha pribumi, dan pembatasan terhadap beberapa jenis penanaman modal asing (hal ini akan diuraikan kemudian). Dari awal 1974 sampai 1981, praktis tak ada prakarsa kebijakan penting yang dapat dianggap sebagai kebijakan ekonomi liberal. Sementara itu, sebagaimana akan kita lihat segera, banyak lahir kebijakan penting yang pada dasarnya memperluas skala intervensi negara, seperti Indonesianisasi, pribumisasi, pemerataan, perlindungan terhadap industri kecil, dan sebangsanya.
(hlm. 82) Sentralisme memakan banyak biaya, dan dana untuk itu terutama diperoleh dari rezeki nomplok akibat meroketnya harga minyak. Tanpa bonanza minyak, mungkin saja sentralisme tetap diadopsi oleh Orde Baru pasca-Malari, tetapi jangkauan dan skalanya pasti akan lebih terbatas.
(hlm. 83) Pada akhir 1960-an, Bappenas memperkenalkan tiga bentuk kredit dengan tujuan berbeda, yaitu untuk menstabilkan harga beras, membantu petani menintensifkan produksi, dan menyalurkan kredit kepada pengusaha kecil. Di antara ketiga program tersebut, Kredit Investasi Biasa (KIB) yang paling diharapkan untuk meningkatkan kepemilikan kaum pribumi, dengan memberikan mereka akses yang lebih mudah untuk memperoleh kredit berbunga rendah. Setelah tiga sampai empat tahun berjalan, para pengkritik program tersebut menilai KIB gagal, sebab sebagian besar kredit ternyata justru diberikan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia-Tionghoa.
(hlm. 85) Selain kebijakan kredit baru bagi perusahaan berskala kecil, Pemerintah Orde Baru pada April 1974 memutuskan untuk kembali memperketat pengawasan terhadap bank-bank negara, swasta, dan asing melalui mekanisme pembatasan kredit.
(hlm. 87) Dalam hal yang berkaitan dengan kebijakan investasi, kecenderungan sentralisasi terlihat lebih jelas. Sebagaimana kita lihat sebelumnya, inisiatif paling liberal dan barangkali merupakan salah satu kebijakan paling penting yang pernah dilontarkan oleh para teknokrat pada masa-masa awal Orde Baru adalah kebijakan pintu terbuka.
(hlm. 88-89) Beberapa waktu setelah itu, berbagai aturan baru dengan semangat yang sama bermunculan, misalnya keputusan bahwa semua penanaman modal asing harus dilakukan dalam bentuk joint venture, di mana paling sedikit 51 persen saham harus dimiliki oleh pihak Indonesia, dan dari jumlah saham itu paling tidak setengahnya harus dimiliki oleh kaum pribumi. Untuk mengerti pentingnya kebijakan seperti ini, kita dapat melihat bahwa porsi modal Indonesia di semua proyek manufaktur penanaman modal asing yang disetujui sampai 1973 hanya berkisar pada angka 15 persen (Papanek, 1980: 394). Jadi, menyusul ketentuan baru ini, saham domestik di sektor-sektor investasi tertentu harus ditingkatkan paling sedikit 36 persen dalam sepuluh tahun. Ditetapkan pula bahwa Indonesianisasi lapangan kerja harus dilaksanakan dengan mengenakan “pajak $100 per bulan terhadap perusahaan untuk setiap orang asing yang dipekerjakan lebih dari satu tahun” (Arndt, 1974: 19). Sektor investasi yang terlarang bagi perusahaan-perusahaan asing bertambah banyak.
(hlm. 90) Untuk menutup kelemahan tersebut, pada awal 1977 pemerintah mengeluarkan Daftar Skala Prioritas (DSP).
(hlm. 91) Grafik 2.2. Penanaman Modal Asing 1974-1980 (juta $)
(hlm. 92) Aspek terpenting dari keputusan tersebut adalah pemberian kekuasaan yang substansial kepada satu lembaga, yaitu Sekretariat Negara, untuk menunjuk dan memilih pengusaha pribumi, dengan atau tanpa kemampuan bisnis, dalam melaksanakan kontrak tertentu dengan nilai sangat besar. Karena itulah Jeffrey Winters, yang menulis secara intensif mengenai kekuasaan Sekretariat Negara, mengatakan, “tak ada yang lebih menyedihkan bagi mereka yang mengunggulkan pasar bebas” daripada pelaksanaan Keputusan No.14/1980 itu (Winters, 1996: 24).
(hlm. 93) Untuk meningkatkan proteksi terhadap perakit-perakit lokal, mulai Juni 1976, pemerintah menaikkan pajak impor sedan completely-knock-down (CKD) sebesar 50 sampai 100 persen, sementara pajak impor dan rakitan meningkat dari 10 menjadi 20 persen. Di tahun yang sama, melalui keputusan Departemen Perindustrian (SK No. 307/1976), suatu keputusan yang paling sentralistis dalam industri mobil, juga ditetapkan bahwa mulai tahun 1977 impor beberapa komponen mobil seperti baterai, ban, dan cat dilarang sama sekali, dan dalam tiga sampai delapan tahun kemudian, semua komponen, termasuk mesin, secara bertahap dimasukkan dalam daftar pembatasan (Chalmers, 1966: 196-199).
(hlm. 94) Perluasan berbagai proyek industri padat-modal itu menjadi faktor penting bagi kemajuan pesat sektor manufaktur Indonesia, dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 11-13 persen per tahun selama periode 1973-1981 (Hill, 1996: 21). Pada awal 1980-an hampir tidak ada industri penting yang tidak diatur dan dikelola secara ketat oleh pemerintah, baik melalui pemilikan langsung maupun melalui mekanisme proteksi dan perizinan.
(hlm. 97) BAB III Menemukan Kembali Pasar: Krisis dan Reaksi Kaum Teknokrat
(hlm. 101) 3.1. Situasi Politik dan Masalah Ekonomi
Pada waktu itu, kelompok insinyur diwakili oleh Soehoed, Soehartono, dan B.J. Habibie. Mereka umumnya menduduki posisi-posisi formal di departemen perindustrian dan perdagangan serta teknologi dan riset. Kaum birokrat-nasionalis dipimpin oleh Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita.
(hlm. 103) Pada awal 1980-an, dengan total anggaran mencapai 2 persen dari GDP, pemerintah benar-benar telah menjadi agen pembangunan dalam arti yang sesungguhnya, dengan penguasaan terhadap berbagai sumber daya ekonomi yang senantiasa bertambah besar untuk membawa Indonesia menuju masyarakat yang relatif sejahtera dan modern.
(hlm. 108) Kesimpulannya: permasalahan ekonomi yang dipicu oleh jatuhnya harga minyak telah menggiring Pemerintah Soeharto ke sudut yang menyempit. Jalan keluar baru, tak bisa lain, harus ditemukan. Dan tidak dibutuhkan tingkat kecerdasan yang terlalu tinggi untuk mengerti bahwa jawaban yang fundamental bagi masalah besar yang semakin mendesak tersebut terletak pada berbagai program revitalisasi ekonomi domestik.
(hlm. 109) Pada titik itulah kaum teknokrat dan komunitas epistemis liberal mengambil peran penting.
(hlm. 114) Ketika Soeharto terpilih kembali untuk ketiga kalinya pada 1983, dia menginginkan Widjojo sebagai wakil presiden, namun Widjojo menolak dengan alasan pribadi (wawancara Benny Murdani dan Fikri Jufri, September-November 1996).
(hlm. 115) Uang yang diperoleh dengan gampang telah mengaburkan visi Indonesia serta memberikan insentif yang keliru kepada pemerintah dalam menyusun prioritasnya.
(hlm. 116) Salah satu aspek terburuk dari kecenderungan overregulasi bisa dilihat dari kebijakan pemerintah untuk memberikan status importir tunggal kepada banyak perusahaan yang memiliki hubungan erat dengan lingkungan kekuasaan politik dan birokrasi.
(hlm. 119)
Ekspor nonmigas memerlukan efisiensi dan perekonomian yang produktif dengan biaya rendah untuk memungkinkan perusahaan bersaing di pasar dunia. Semua itu dengan sendirinya memerlukan pasar dalam negeri yang kompetitif.
Proteksi dan kontrol pemerintah yang telah menjadi pilihan bagi kebijakan ekonomi selama ini bertentangan dengan tuntutan pasar dalam negeri yang kompetitif. Kebijakan lama telah menciptakan ekonomi biaya tinggi, yang sekarang ini ingin dihindari.
(hlm. 120) Ali Wardhana sering menggunakan istilah “strategi penyesuaian struktural” untuk menguraikan kebijakan yang diusulkannya. Dia tidak menggunakan istilah “liberalisasi” karena di Indonesia berkonotasi jelek.
(hlm. 125) BAB IV Menabur Gagasan: Komunitas Epistemis Liberal dan Perannya
(hlm. 126) 4.1. Jaringan Liberal Pemberangusan Sinar Harapan, harian terbesar kedua di Indonesia. Koran ini ditutup setelah melaporkan secara mendalam dan tajam tentang mismanajemen kebijakan moneter negara pada September 1986.
(hlm. 128) Sebelum saya menguraikan respons mereka terhadap krisis ekonomi, terlebih dahulu saya hendak memaparkan para anggota penting komunitas epistemis tersebut pada pertengahan 1980-an. Dari segi profesi, umumnya mereka adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan gelar PhD di bidang ekonomi atau politik ekonomi dari berbagai universitas terkemuka di Amerika Serikat, seperti Harvard, Cornell, dan University of California at Berkeley (Iwan Jaya Azis, Sjahrir, Dorodjatum Kuntjoro-Jakti). Beberapa di antara mereka adalah bekas menteri yang kemudian menjadi tokoh-tokoh kritis (Sumitro, Sadli, Frans Seda), sementara yang lain adalah mereka yang sedang meniti karir untuk menduduki posisi-posisi kunci di dalam pemerintah (Sudradjat Djiwandono). Ada pula para ekonom yang memimpin lembaga-lembaga riset non-pemerintah (Mari Pangestu, Hadi Soesastro, Djisman Simandjuntak, Christianto Wibisono).
(hlm. 131) Menurut Benjamin Higgins, “pada awal tahun lima puluhan, hanya Sumitro yang bisa dianggap sebagai satu-satunya ekonom Indonesia yang benar-benar memenuhi kualifikasi profesional” (Higgins, 1990: 44). Selain Sumitro, sebagaimana dikatakan Higgins, hanya sedikit orang Indonesia yang mampu mendiskusikan berbagai masalah teknis, seperti tingkat bunga, struktur pajak, dan tingkat devisa secara profesional.
(hlm. 132) Pada pertengahan 1980-an, ISEI memiliki lebih dari empat ribu anggota (pada periode yang sama, universitas di Indonesia menghasilkan 2.000 sarjana ekonomi per tahun, tiga persen dosennya bergelar PhD, dan 11 persen bergelar master).
(hlm. 133) Pada pertengahan 1980-an, sirkulasi Tempo mencapai sekitar 120.000 eksemplar, dan Kompas lebih dari 500.000 eksemplar. Pertengahan 1980-an merupakan periode bonanza bagi kedua media massa cetak tersebut. Dari 1980-an sampai 1986, misalnya, sirkulasi Kompas naik hampir dua kali lipat, dari 300.000 menjadi 530.000 eksemplar (lihat Mallaranggeng, 1992: 25).
(hlm. 135-136) 4.2. Migrasi Intelektual Pada pertengahan 1980-an, CSIS bermetamorfosis secara radikal: para anggotanya yang lebih muda, seperti Hadi Soesastro dan Mari Pangestu, menjadi tokoh-tokoh pendukung kebijakan propasar yang terkemuka dan konsisten. Lebih dari itu, tokoh-tokoh lama lembaga tersebut, seperti Panglaykim (ayah dari Mari Pangestu), juga mengubah posisinya menjadi lebih liberal—dia dalam suatu kesempatan malah sempat mengusulkan bahwa jalan terbaik agar perusahaan-perusahaan negara lebih menguntungkan dan produktif adalah privatisasi (Kompas, 4 Agustus 1986: 1; Tempo, 8 Maret 1986: 74). Dia merupakan orang Indonesia pertama yang menyandang PhD di bidang ekonomi dan yang memperkenalkan ilmu ekonomi Keynesian pada akhir 1940-an dan awal 1950-an.
(hlm. 137) Pada awal 1980-an, posisi intelektual Sumitro dan Sjahrir bergeser. Sumitro mulai berubah ketika dia jauh tidak lagi menjabat sebagai menteri, sedangkan Sjahrir sewaktu belajar lebih intensif untuk mengejar gelar PhD di Harvard. Pada pertengahan 1980-an, keduanya menjadi pengkritik kebijakan sentralistis pasca-Malari yang sangat disegani.
(hlm. 139) “Pada akhir 1970-an, saya berjumpa dengan seorang teman dari Cina di Hongkong yang menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ia meyakinkan saya bahwa banyak dari kisah-kisah sukses yang telah kami yakini di Indonesia sebagai kebenaran sesungguhnya hanyalah mitos belaka.” Pada saat pandangannya mengenai Cina berubah, dia juga mulai mempertimbangkan kembali berbagai gagasannya semula mengenai pembangunan di Indonesia.
(hlm. 140) “Kalau anda mau menyingkirkan kaum kapitalis,” katanya, “Anda harus siap berada di bawah dominasi kaum birokrat.” “Ginandjar memiliki satu rumah yang sangat mewah di Boston. Bagian interiornya dirancang oleh seorang perancang Prancis. Ia menjalani hidup yang mewah dan pada saat yang sama berbicara mengenai pemerataan di mana-mana. Bagaimana kita bisa mempercayainya?”
(hlm. 141) “Widjojo bukan Milton Friedman. Sampai ke tulang sumsumnya, dia adalah seorang pengikut Keynes.” Tetapi, baginya, hal semacam itu adalah one of the ugly facts of life. “Orang cenderung lupa bahwa pertumbuhan ekonomi pada tingkat awal akan selalu menyebabkan ketidakadilan yang bersifat temporer. Hal yang sama terjadi di mana-mana.”
(hlm. 145) 4.3. Menyerang Sistem Dalam ekonomi perizinan, usahawan kecillah yang terutama menjadi korban, karena mereka sering diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang yang cukup beruntung memperoleh kekuasaan” (Kompas, 4 April 1983: 1).
(hlm. 146) Dengan kata lain, bagi Sumitro, “musuh” pengusaha kecil yang lemah bukan lagi perusahaan besar, pengusaha nonpribumi, multinasional, atau sistem kapitalis pada umumnya, tetapi peraturan-peraturan pemerintah serta berbagai pembatasan yang dipaksakan terhadap dunia perekonomian, yang dampaknya justru lebih memukul mereka yang memang sudah lemah.
(hlm. 151) “Dalam konteks ini,” katanya, “efisiensi ekonomi akan menciptakan keadilan dan pemerataan yang sesungguhnya bagi kelompok maupun wilayah… [Efisiensi] merupakan prasyarat yang memberikan … makna operasional bagi konsep tentang keadilan dan pemerataan.”
(hlm. 152) Dia mengingatkan tentang prinsip ekonomi fundamental yang diperjuangkan oleh Orde Baru pada saat kelahirannya. Prinsip tersebut tersimpul dalam satu slogan: de-etatisme atau de-control.
(hlm. 153) Thee Kian Wie, dengan menggunakan teori ekonomi politik baru mengenai kegiatan pencarian rente ekonomi, rent-seeking activities, menjelaskan soal merebaknya kegiatan pengejaran rente yang diakibatkan oleh banyaknya peraturan dan pengaturan sentralis serta dampak negatif dari bonanza minyak (Kompas, 3 Februari 1986: 4; 19 Mei 1986: 4; dan 10 Desember 1987: 4). Kwik, Christianto, Anwar Nasution, Hadi Soesastro, Sadli, dan lainnya juga memberikan sumbangan dengan semangat yang sama.
(hlm. 155) Dalam sebuah laporan utama mengenai prosedur ekspor-impor, misalnya, ditulis bahwa di Pelabuhan Tanjung Belawan, Medan, diperlukan 63 tandatangan sebelum seorang eksportir memperoleh izin untuk mengapalkan barangnya (dalam hal ini sayur-mayur) ke Singapura. Situasi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, agak lebih baik: “hanya” 38 tandatangan yang dibutuhkan untuk melakukan hal yang sama.
(hlm. 156) Hartarto kemudian mengubah posisinya. Dia bergeser mendekati arah yang ditempuh oleh kelompok Widjojo pada pertengahan 1987. Setelah berubah haluan, dia mengumumkan bahwa departemen yang dipimpinya (Departemen Perdagangan dan Perindustrian) akan melaksanakan program deregulasi, kendati secara bertahap (Kompas, 21 Mei 1987: 1).
(hlm. 157) 4.4. Ringkasan Di antara mereka, hanya Mubyarto yang memiliki keyakinan sedikit berbeda. Dia, sebagaimana Hatta, yakin bahwa strategi yang lebih baik harus bertumpu pada perluasan peran koperasi dan perusahaan-perusahaan berskala kecil untuk melawan pengaruh buruk kapitalisme.
(hlm. 158) Yang melakukannya adalah para ekonom, intelektual, penulis, dan wartawan.
(hlm. 159) BAB V Liberalisasi Ekonomi: Jangkauan dan Keterbatasannya
(hlm. 161) Pada 1985 diperkirakan bahwa dari 5.229 barang impor, 1.484 di antaranya memerlukan lisensi impor dan 296 berada di bawah kuota (Woo, 1994: 113). Menurut Pangestu (1987: 28) dan Bresman (1993: 247), nilai seluruh item perdagangan yang ada dalam daftar NTB lebih dari separo nilai total impor Indonesia pada 1985, atau sekitar $2,75 miliar.
(hlm. 162) Dalam hal impor berbagai jenis barang di bawah kategori baja dan besi, misalnya, status itu diberikan kepada perusahaan milik negara, PT Krakatau Steel. Pada 1984, sebuah perusahaan swasta, PT Giwang Selogam, memperoleh izin sebagai importir tunggal dan distributor baja gulungan (cold-rolled steel) atas nama PT Krakatau Steel.
(hlm. 164) Bagian paling menentukan dari kebijakan baru ini adalah penghapusan plafon kredit.
(hlm. 166-167) Tanda-tanda awal bahwa sesuatu yang lebih serius akan terjadi muncul pada April 1985. Dengan sekali goresan pena, lewat sebuah keputusan presiden (Keppres No. 4/1985), swastanisasi dinas bea-cukai dimulai dengan langkah-langkah yang berani. Dengan 13.000 pegawai, lembaga ini bertanggung jawab memantau dan memeriksa arus barang, internasional maupun domestik, di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Selama puluhan tahun, ia berfungsi sebagai semacam penjaga pintu perdagangan. Karena kondisi geografis Indonesia, fungsi semacam ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Pada akhir 1970-an, ada beberapa usaha untuk memperbaiki kinerja lembaga penting ini, tetapi hampir semuanya gagal. Malahan, seperti kata Radius Prawiro (1998: 265), pada awal 1980-an, semua orang sudah tahu bahwa dinas bea-cukai telah menjadi a law unto itself, lembaga yang menjadi hukum itu sendiri sehingga tak mungkin lagi dikontrol. Bukannya mempermudah arus perdagangan, ia malah menjadi sumber keterlambatan dan korupsi. Sering diperlukan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan bagi eksportir/importir untuk melewati birokrasi di pelabuhan. Tidak mengherankan, ketika pemerintah akhirnya memutuskan untuk membekukan operasi lembaga itu pada April 1985 dan menggantikannya dengan Société Générale de Surveillance (SGS), sebuah perusahaan swasta yang bermarkas di Swiss, keputusan tersebut dianggap sebagai langkah besar serta disambut antusias oleh berbagai kalangan (Tempo, 13 April 1985).
(hlm. 169) Menyusul keputusan ini, pemerintah juga memperpendek prosedur perdagangan di pelabuhan, misalnya dengan mengurangi jumlah tandatangan yang dibutuhkan untuk mengimpor barang, dari dua puluh menjadi satu (Radius Prawiro, 1998: 266).
(hlm. 170) Berkaitan dengan sektor perdagangan, kebijakan baru ini mengandung beberapa komponen penting. Pertama, penurunan tarif, dari 22 hingga 13 persen (tarif rata-rata yang sudah disesuaikan, average weighted tariff). Kedua, dan lebih penting, Pakmei 1986 mengandung perangsang ekspor. Pemerintah, untuk memangkas sistem perizinan, membebaskan perusahaan yang mengekspor 85 persen atau lebih produk mereka untuk mengimpor komponen yang diperlukan. Kebijakan ini juga mengizinkan eksportir di sektor manufaktur untuk mengimpor komponen mereka tanpa batasan kuota. Jadi dengan kebijakan ini pemerintah ingin menjungkirbalikkan kecenderungan peningkatan hambatan nontarif.
(hlm. 172-173) Demikianlah, Pemerintah Soeharto mengeluarkan berbagai paket kebijakan penting pada Oktober 1986, Desember 1987, November 1988, dan Mei 1989. Berkaitan dengan investasi asing, misalnya, paket Desember 1987 (Pakdes)—terdiri dari tidak kurang dari 48 keputusan yang ditandatangani oleh presiden, sembilan menteri, dan beberapa pejabat tinggi dari departemen-departemen teknis—menghapus banyak batasan yang diciptakan oleh pemerintah pada era pasca-Malari untuk mengakomodasi sentimen antimodal asing. Kebijakan investasi dalam Pakdes 1987 mengizinkan 100 persen kepemilikan asing di wilayah yang ditentukan (Batam), menurunkan tingkat penyertaan modal domestik dalam PMA, dari 71 menjadi 51 persen, atau menjadi 45 persen dengan syarat bahwa 20 persen saham perusahaan dijual di pasar modal. Selain itu, kebijakan baru tersebut juga mengganti sistem DSP dengan sistem baru, yakni DIN (daftar investasi negatif), yang jauh lebih baik karena kesederhanaan dan kejelasannya.
(hlm. 175) Sebelumnya, impor berbagai bahan baku dasar untuk industri plastik dikuasai oleh tiga perusahaan dagang negara, PT Pasca Niaga, PT Mega Eltra, dan PT Citra Niaga. Dalam menjalankan operasinya, ketiga perusahaan ini menunjuk satu perusahaan swasta yang bermarkas di Hongkong, Pamca Holding Ltd., milik Sudwikatmono (dua putra Soeharto, Sigit, dan Bambang, duduk dalam dewan direksinya), untuk bertindak sebagai agen tunggal semua plastik impor, jadi dalam kenyataannya, perusahaan inilah, lewat koneksi khusus dengan Istana, yang menguasai perdagangan plastik, dan dengan itu berhasil mengeruk keuntungan besar hanya dengan melakukan pekerjaan administratif. Secara keseluruhan, hingga 1998, 839 hambatan nontarif telah disingkirkan dan tingkat tarif diturunkan pada 2.481 kasus (Conroy dan Drake, 1990: 21).
(hlm. 181) 5.2.1. Perusahaan Negara Demikian pula, tingkat pengembalian modal seluruh BUMN ternyata begitu rendah, yaitu tiga persen pada pertengahan 1980-an, suatu tingkat yang dianggap tak bisa lagi dipertahankan jika terjadi di dalam perusahaan-perusahaan swasta.
(hlm. 185-186) Satu penelitian yang dilakukan oleh mingguan Warta Ekonomi pada 1989 menunjukkan, di antara 40 konglomerasi bisnis swasta terbesar pada waktu itu, 28 dimiliki oleh pengusaha dari kelompok etnis ini. Sepuluh konglomerasi terbesar dalam penelitian itu semua dimiliki oleh mereka (Warta Ekonomi, 31 Juli 1989). Dominasi pengusaha Indonesia-Tionghoa di bidang ekonomi (jumlah mereka tiga persen dari seluruh jumlah penduduk) sudah lama menjadi salah satu masalah sosial-politik terpenting dalam sejarah negeri ini.
(hlm. 188) Dengan kata lain, the Weberian switchmen of history, para aktor pengendali sejarah sebagaimana dijelaskan oleh Weber, yang dalam hal ini diperankan oleh Widjojo dan kawan-kawannya serta anggota komunitas epistemis liberal, ternyata menjadi aktor-aktor dengan hati yang mendua, goyah, dan tak merasa pasti dengan jawaban-jawaban mereka sendiri terhadap sebuah pertanyaan besar. Mereka bersifat tegas dalam banyak hal, tetapi secara intelektual dan politis mereka tidak siap menghadapi konsekuensi-konsekuensi terjauh dari kebijakan liberalisasi dalam kaitannya dengan status perusahaan-perusahaan negara.
(hlm. 190) 5.2.2. Kroniisme Raksasa di bidang industri semen, mobil, pabrik gandum, dan agroindustri, misalnya, adalah Liem Sioe Liong, yang secara pribadi sangat dekat dengan Soeharto sejak 1950-an.
(hlm. 193) Salah satu contoh terbaik dari keterbatasan semacam itu tentulah kekeraskepalaan Soeharto dalam melindungi kepentingan bisnis anak-anaknya.
(hlm. 195) Pada 1981, nilai ekspor nonmigas kurang dari 18 persen dari total ekspor Indonesia. Waktu itu minyak bumi (dan gas) merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia dan menjadi sumber pendapatan besar yang hanya dikuasai oleh pemerintah. Tetapi, karena pertumbuhan yang luar biasa berkat kebijakan deregulasi, ekspor nonmigas melampaui ekspor migas untuk pertama kali pada 1987; pada 1989, ia melampauinya hingga 50 persen. Pertumbuhan yang tinggi ini terus berlanjut selama satu dasawarsa: dari 1985 sampai 1996, ekspor nonmigas naik 629 persen! (Radius Prawiro, 1998: 274).
(hlm. 197) Sebelum Pakto 1988, hanya ada 559 kantor bank swasta di seluruh Indonesia. Pada 1990, jumlah tersebut melonjak menjadi 2.052. Selama periode ekspansif ini, aset dan kredit bank-bank swasta masing-masing naik 76,4 dan 80,7 persen per tahun, jauh meninggalkan pertumbuhan bank-bank negara (pada periode yang sama, pertumbuhan mereka sebesar 27,5 dan 36,7 persen). Karena pertumbuhan yang dahsyat itu, dunia finansial Indonesia mengalami transformasi secara fundamental: pada 1982, total kredit yang disalurkan oleh bank-bank swasta hanya 9,5 persen, tetapi pada 1990 melonjak menjadi 36,7 persen; sementara pada saat yang sama, bank-bank negara plus bank sentral turun dari 85,3 persen pada 1982 menjadi 56,9 persen pada 1990 (Pangestu, 1996: 134). Tanpa adanya hubungan yang disebut Ross McLeod sebagai incestuous relationship antara bank negara dan BUMN, peran bank-bank negara dalam perekonomian nasional pada periode deregulasi pasti akan lebih kecil lagi.
(hlm. 207) BAB VI Tantangan Baru: 1990-1992
(hlm. 208) 6.1. Reformasi dan Kontra-Reformasi Secara umum, kebijakan tersebut merupakan tarif 2.481 daftar barang dari 9.250 klasifikasi tarif yang masih ada. Selain itu, hambatan-hambatan impor nontarif dari lebih 1.000 produk industri dihapuskan secara total, sisanya disederhanakan (Warta Ekonomi, 4 Juni 1990: 22-25; Conroy dan Drake, 1990: 21-23).
(hlm. 211) Grafik 6.1. Cakupan Hambatan Nontarif (%) Sumber: Hill (1996); Pangestu (1994), berdasarkan perkiraan Bank Dunia.
(hlm. 212) Berkaitan dengan masalah itu, Anwar Nasution menjelaskan, pengaturan yang ketat dan berlebihan masih terjadi di berbagai kegiatan ekonomi dan beragam jenis komoditas, seperti penyediaan beras, gula, dan gandum, distribusi kuota tekstil, monopoli terselubung dalam industri rotan dan kayu, dan banyak lagi.
(hlm. 214) Kasus Chandra Asri, misalnya, dengan jelas menunjukkan bagaimana para teknokrat dilangkahi begitu saja oleh Soeharto dan para kroninya, sehingga berbagai aturan investasi baru, yang oleh kaum teknokrat dibuat untuk mengurangi tekanan pada neraca pembayaran, mandul.
(hlm. 215) Contoh yang lebih kontroversial adalah kasus Badan Pusat Penyangga Cengkeh (BPPC), suatu konsorsium yang dipimpin oleh Soeharto yang paling flamboyan dan paling sering berbicara blak-blakan, Hutomo “Tommy” Mandala Putra.
(hlm. 216) 6.2. Reformasi yang Melemah: Hukum Sadli Kebijakan deregulasi telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri.
(hlm. 217) Dengan kata lain, seperti dikatakan oleh Prof Sadli, good times make bad policies, kondisi ekonomi yang sehat mengundang kebijakan yang keliru.
(hlm. 218) Liberalisasi ekonomi dalam jangka pendek selalu memakan biaya dan melahirkan pihak-pihak yang kalah, yaitu mereka yang harus menanggung kerugian besar (Haggard dan Kaufman, 1992; Gourevitch, 1987).
(hlm. 220) Jika dilihat sebagai kesatuan tersendiri, menurut perkiraan Warta Ekonomi, 200 konglomerat tersebut di Indonesia tumbuh 46 persen dari 1990 sampai 1992 (pendapatan yang mereka raih naik dari Rp88,4 triliun menjadi Rp128,7 triliun). Tak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, lompatan yang demikian dahsyat yang berhasil dilakukan oleh bisnis swasta pada periode itu.
(hlm. 222) Mereka mendukung penegakan “demokrasi ekonomi” lewat pemberdayaan rakyat (jargon mereka yang populer: empowering the people) serta pembatasan pertumbuhan ekonomi pasar.
(hlm. 224) Juga, tak ada di antara kaum teknokrat yang dengan berani mengatakan bahwa sebagian besar dari aspek negatif di seputar operasi bisnis kaum konglomerat bukanlah konsekuensi dari kebijakan deregulasi, tetapi lebih merupakan akibat dari lemahnya lembaga-lembaga ekonomi serta meluasnya kroniisme tingkat tinggi yang justru hendak diperangi lewat kebijakan deregulasi.
(hlm. 227) Kelompok penentang tersebut barangkali tidak memiliki berbagai argumen yang kokoh dan meyakinkan, tetapi yang jelas mereka mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang sah.
(hlm. 228) Soeharto meminta mereka untuk secara bertahap mengalokasikan 25 persen saham perusahaan mereka kepada berbagai usaha koperasi.
(hlm. 230) Dengan memilih ICMI—termasuk beberapa pentolannya seperti Amien Rais, Imaduddin Ibrahim, beberapa aktivis LSM seperti Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan Habibie sendiri, yang sangat kritis terhadap kebijakan deregulasi—Soeharto secara tak langsung mempersempit ruang gerak kelompok Widjojo untuk mengambil inisiatif lebih lanjut dalam mendorong proses liberalisasi ekonomi.
(hlm. 232) 6.3. Ringkasan Setelah mencapai puncaknya pada 1989, proses deregulasi melemah, dan pada periode 1990-1992 arah kebijakan ekonomi lebih tak pasti.
(hlm. 235) BAB VII Kesimpulan
(hlm. 237) Tahun-tahun keemasan kebijakan liberalisasi terjadi pada 1986-1989.
(hlm. 238) 7.1. Penelitian Lebih Lanjut Studi ini mengajukan argumentasi, berdasarkan data-data Indonesia, bahwa gagasan dan mereka yang memperjuangkan realisasinya adalah faktor dan pelaku penting di arena publik.
(hlm. 239) Studi yang dilakukan oleh Peter Hall (1986) mengenai proses perubahan kebijakan di Prancis dan Inggris, oleh Kathryn Sikkink (1991) di Brazil dan Argentina, dan oleh Sheri Berman (1998) di Jerman pada Pra-Perang Dunia II dan Swedia adalah beberapa contoh menarik yang bisa digunakan sebagai model penelitian untuk lebih memahami dinamika perubahan kebijakan. Di masa yang akan datang, jangkauan studi semacam itu bisa diperluas dengan memusatkan perhatian pada proses perubahan yang lebih luas di bidang politik, sosial, dan kebudayaan.
(hlm. 243) Daftar pustaka Djojohadikusumo, Sumitro, Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1985).
“Bagi teori pilihan rasional, kebijakan publik adalah hasil interaksi politik di antara para pelaku rasional yang ingin memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri.”