Menuju Ketangguhan Ekonomi Sumbang Saran 100 Ekonomi Indonesia

Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Menuju Ketangguhan Ekonomi Sumbang Saran 100 Ekonomi Indonesia.

Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.

Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Menuju Ketangguhan Ekonomi Sumbang Saran 100 Ekonomi Indonesia

ISBN 978-602-412-219-5
Diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, 2017
Editor: Tim INDEF
Perancang sampul: Tim INDEF dan Ratno

(hlm. xiii)
Pemikiran Presiden Jokowi di Hadapan 100 Ekonom

(hlm. xiv)
Misalnya, tahun depan, target investasi yang masuk sekitar Rp 670 triliun. Jika sudah ada target, maka berbagai strategi dan upaya harus dilakukan. Kemungkinan pada 2018 target kita kira-kira Rp 840 triliun sehingga porsinya dalam PDB nasional mencapai 45 persen.
Selalu saya sampaikan bahwa substitusi barang-barang impor itu harus menjadi konsentrasi kita.

(hlm. xv)
Pemerintah sudah menargetkan paling tidak tabungan kita pada tahun 2019 ini minimal 75 persen naik dari posisi saat ini yang masih 46 persen.

(hlm. xvi)
Jika kita lihat, saat ini 70-80 persen guru-guru yang ada ini adalah guru-guru normatif bidang PPKN, PMP, Sejarah, kemudian Bahasa Indonesia, Kimia, Matematika. Adapun sisanya sekitar 20-30 persen adalah guru yang mengajar praktik. Hal ini yang membedakan kita dengan Jerman dan Korea Selatan.
Kenapa biaya logistik kita masih lebih mahal 250 persen sampai 300 persen dibandingkan dengan negara tetangga kita? Selain itu, biaya transportasi juga masih lebih mahal 200 sampai 250 persen dibandingkan negara tetangga kita karena infrastruktur kita yang masih jelek dan belum siap.
Saya ke lapangan, ke sawah, untuk bertemu PPL, sulit sekali. Semuanya berada di kantor. Saya tanya kenapa. Jawaban mereka adalah menyiapkan SPJ, Pak.

(hlm. xvii)
Saya melihat semua birokrasi kita 60 persen sampai 70 persen energinya untuk mengerjakan SPJ.
Uangnya bisa dari kementerian lembaga, bisa dari pemerintah daerah. Itu bisa sampai 70 laporan (dibuat) dalam satu tahun anggaran. Saya bertanya kepada Ibu Menteri Keuangan, masa laporan sampai 16 laporan, ada yang 44 laporan. Ini apa, apakah dibaca?

(hlm. xix)
Dinamika Global Dan Peluang Indonesia Menghindari “Middle Income Trap” oleh Chairul Tanjung
Volume ekspor Indonesia ke pasar dunia mampu menembus angka 200 miliar dollar AS di tahun 2011 walaupun beberapa tahun setelahnya kinerja ekspor Indonesia terus menurun karena harga-harga komoditas mengalami penurunan yang cukup tajam.

(hlm. xx)
Dinamika Global
Akibatnya, ekonomi China terjerembab di kisaran 6 persen, yang merupakan angka terendah dalam 26 terakhir.

(hlm. xxiii)
Pengantar
Acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia berlangsung sangat sukses, dihadiri tidak kurang dari 200 orang.

(hlm. 1, 2)
PENDAHULUAN

Menguji Ketangguhan Ekonom Indonesia

(hlm. 4)
1.1. Kredibilitas Fiskal
Defisit keseimbangan primer meningkat nyaris tidak terkontrol karena belanja negara tidak produktif dan harus dibiayai oleh utang negara, apalagi pengelolaan utang tersebut sering menghadapi masalah penambahan mendadak pada akhir tahun.
Tantangan terbesar dalam kredibilitas kebijakan fiskal saat ini adalah kualitas belanja negara yang tidak terlalu baik, belum menunjukkan fungsi yang sebenarnya dalam suatu kebijakan fiskal, yaitu fungsi stabilisasi dan stimulus, fungsi alokasi, serta fungsi distribusi dan keadilan.

(hlm. 5)
Kredibilitas fiskal juga tidak akan dilepaskan dari perencanaan pembangunan, sebagaimana diatur dalam UU No. 35/2014 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sementara itu, persoalan tentang dilema disinsentif pada dana alokasi umum (DAU) yang masih menggunakan indikator input, seperti jumlah orang miskin dan lain-lain yang berhubungan dengan kebutuhan fiskal. Jika indikator inputnya semakin baik, maka jumlah DAU akan mengecil, atau masih terdapat kecenderungan moral hazard di beberapa daerah. Kredibilitas fiskal dapat diperbaiki apabila indikator DAU dirumuskan berdasarkan kinerja dan prestasi pembangunan sehingga banyak daerah yang akan berlomba-lomba mencapai kinerja yang dibutuhkan.

(hlm. 6)
1.2. Produktivitas dan Daya Saing
Peringkat 10 besar negara yang memiliki daya saing tinggi dan daya inovasi tinggi nyaris relatif sama. Swiss, misalnya, menempati peringkat pertama pada Indeks Daya Saing dan Indeks Inovasi, Singapura berada pada peringkat ke-2 Indeks Daya Saing dan ke-6 pada Indeks Inovasi, Amerika Serikat ke-3 dan ke-4, Belanda ke-4 dan ke-9, Jerman ke-5 dan ke-10 dan lain-lain.

(hlm. 7)
Fenomena deindustrialisasi atau menurunnya peran sektor industri manufaktur terhadap PDB jual berkaitan dengan rendahnya produktivitas dan daya saing.
Di Indonesia, penurunan pangsa sektor industri manufaktur terjadi terlalu dini, bahkan sejak tahun 2000 yang mencapai 29 persen. Akibatnya, pangsa sektor tradable juga menurun, yang biasanya diikuti oleh semakin rendahnya penyerapan tenaga kerja.

(hlm. 8)
Pemerintah seharusnya menjadi jembatan penghubung antara sektor pendidikan tinggi dan pembangunan industri di dalam negeri.
Ekspor tersebut pada industri pakaian jadi ini justru pada pakaian seragam, yang jelas tidak memiliki brand khusus.

(hlm. 11)
1.3. Likuiditas Perekonomian
Keinginan Presiden Joko Widodo untuk menggunakan yuan China sebagai referensi tampaknya tidak akan terjadi dalam jangka pendek, di samping karena volume yuan China masih kecil, volume transaksi di tingkat global berkisar 60-70 persen menggunakan dollar AS. Di tingkat global berkisar 60-70 persen menggunakan dollar AS.

(hlm. 12)
1.4. Kualitas Pertumbuhan Ekonomi
Tantangan yang cukup berat menghinggapi perekonomian Indonesia adalah kualitas pertumbuhan ekonomi yang tidak terlalu baik.
Pertumbuhan ekonomi dianggap berkualitas apabila perekonomian tidak terlalu banyak dihinggapi tiga persoalan besar: ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran.
Di Indonesia, walaupun pada triwulan III tahun 2016 perekonomian mencatat pertumbuhan 5,02 persen, ketimpangan pendapatan masih besar dengan indeks gini 0,40, angka kemiskinan 10,7 persen, dan pengangguran 5,6 persen.
Sektor pertanian sebagai salah satu sektor non-tradable ternyata hanya mencatatkan pertumbuhan 2,67 persen pada triwulan III tahun 2016, masih cukup jauh untuk mampu berkontribusi pada peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi.

(hlm. 13)
Karakter pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas juga terkonfirmasi dengan dominasi sektor non-tradable, yang tidak diimbangi kinerja sektor tradable yang masih tertatih-tatih, terutama pertanian dan industri manufaktur.
Dalam hal distribusi kepemilikan aset, petani pangan yang memiliki lahan sempit (0,5 hektar atau kurang) kini diperkirakan telah mencapai 55 persen. Governansi yang buruk dalam pengelolaan subsidi pupuk juga membuka peluang terjadinya ketidakmerataan akses pada faktor produksi pertanian yang lain. Sekitar 65 persen petani miskin menerima 3 persen subsidi pupuk, tetapi 1 persen petani kaya menikmati 70 persen subsidi. Bahkan, sekitar 5 persen petani terkaya telah menikmati 90 persen subsidi pupuk yang selama ini justru terkesan amat tidak efektif.
Sektor pertanian masih menyerap lapangan kerja langsung sebesar 34 persen, dan banyak sekali tenaga kerja yang terserap secara tidak langsung pada sektor-sektor yang memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian, seperti industri manufaktur, perdagangan, dan jasa-jasa lainnya. Apabila sektor pertanian beres, maka setengah persoalan ekonomi Indonesia beres.
Pemerintah Jokowi-JK justru terlalu fokus pada peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai dan bahkan meningkatkan subsidi pupuk sampai Rp 31 triliun dengan persoalan struktural seperti disebutkan di atas.

(hlm. 15)
FISKAL

(hlm. 16)
Membangun Kembali Kredibilitas Kebijakan Fiskal oleh Anggito Abimanyu
SEJAK Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara berlaku, kebijakan fiskal di Indonesia selalu dijaga agar berkelanjutan dengan batasan defisit 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan rasio utang di bawah 60 persen. Target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya selalu merujuk pada ketentuan tersebut; apabila diperkirakan meleset, pemerintah akan mengusulkan APBN Perubahan (APBN-P). Apabila realisasi pada akhir tahun diperkirakan juga meleset dari APBN-P, Kementerian Keuangan melakukan langkah-langkah intensifikasi pendapatan, efisiensi belanja, atau tambahan pembiayaan untuk dapat mencapai batasan tersebut. Jadi, menurut saya, selama UU tentang Keuangan Negara dipegang, masalah keberlangsungan kebijakan fiskal tidak menjadi masalah.

(hlm. 17)
Yang menyelamatkan APBN kita adalah modernisasi dalam pengelolaan utang negara, baik Surat Berharga Negara (SBN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

(hlm. 18)
Saya mengusulkan mempercepat perubahan UU KUP, terutama pembentukan Badan Penerimaan Pajak yang memungkinkan adanya pengaturan internal organisasi dan sumber daya manusia bagi aparat pajak, pengukuran kinerja SDM pajak (pengawas dan pejabat) secara profesional dengan menerapkan mekanisme hiring and firing.

(hlm. 19)
Pembangunan Nasional dan Ketangguhan Fiskal oleh Arif Budimanta

(hlm. 20)
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai kuartal III tahun 2016 masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga, yakni sebesar 55,32 persen, diikuti oleh investasi 31,98 persen, sedangkan pengeluaran konsumsi pemerintah hanya berkontribusi sebesar 8,97 persen.

(hlm. 22)
Selain itu, anggaran/fiskal juga memiliki tiga fungsi penting. Pertama, stabilisasi, yaitu fungsi anggaran yang dipergunakan untuk smoothing out (dalam konteks makro), seperti menaikkan pajak saat perekonomian dalam kondisi puncak dan menurunkan pajak pada kondisi sebaliknya. Ataupun dalam konteks mikro yang digunakan untuk stabilisasi di suatu pasar komoditas (at single commodity market), misalnya melalui operasi pasar, subsidi, dan sebagainya. Kedua, alokasi, yaitu fungsi untuk mengatur bagaimana hubungan kebijakan anggaran terhadap penggunaan sumber daya (allocation of resources), misalnya pengenaan pajak ekspor bagi produk mentah untuk mengurangi eksploitasi dan peningkatan industri pengolahan di dalam negeri. Ketiga, redistribusi, yaitu fungsi yang dimaksudkan untuk redistribusi pertumbuhan ekonomi dan hasil-hasil pembangunan. Harapannya, ketimpangan ekonomi antarmasyarakat dan antardaerah tidak terlalu besar.

(hlm. 25)
Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah oleh Candra Fajri Ananda
Jika menggunakan Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) daerah sebagai parameter tunggal, ternyata hanya ada tiga provinsi yang kapasitas fiskalnya dapat dikatakan mumpuni (IKF-nya sangat tinggi), yakni DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Papua Barat.
IKF menjadi indikator kemampuan fiskal daerah dalam menunjang kebutuhan pendanaan belanja pembangunan daerah luar belanja pegawai (Kemenkeu, 2016).

(hlm. 26)
Hal yang patut kita sayangkan, dana alokasi umum (DAU) yang sebagian besar dialokasikan untuk belanja pegawai sangat mendorong terhadap total dana transfer daerah. Dalam lima tahun terakhir rata-rata komposisinya mencapai 69,10 persen, sedangkan tingkat pertumbuhannya sekitar 12,89 persen per tahun (BPS, 2016, data diolah).

(hlm. 27)
Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada satu kepala daerah pun yang telah merealisasikannya. Penyebabnya tidak terlepas dari kesimpangsiuran mekanisme kelembagaan di dalam proses penerbitan obligasi daerah.
Proses pengajuan izin obligasi yang panjang sejak dari tahapan internal pemda, persetujuan DPRD, hingga terbitnya izin prinsip dari Menteri Keuangan dianggap dapat menimbulkan biaya politik yang relatif tinggi.

(hlm. 30)
Arah Reformasi Pajak: Meningkatkan Penerimaan, Mengurangi Sengketa oleh Darussalam

(hlm. 31)
Sampai saat ini, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax to GDP ratio di Indonesia hanya berada pada kisaran 11 persen selama lima tahun terakhir, atau lebih rendah daripada rata-rata dunia yang sebesar 16 persen.

(hlm. 33)
Keenam, mendesain hukum pajak yang jelas, detail, sederhana, dan berkepastian hukum.

(hlm. 34)
Pada 2015 saja, terdapat lebih dari 25.000 berkas banding dan gugatan yang ada di Pengadilan Pajak. Padahal, rasio jumlah putusan terhadap jumlah berkas tiap tahunnya terus mengalami penurunan. Pada tahun 2015 rasionya hanya 36 persen.
Prinsip ini meliputi: kepastian hukum, adil, sesuai dengan undang-undang, tidak berlaku surut, efisien, dan dipungut oleh lembaga yang dipercaya oleh masyarakat.

(hlm. 37)
Fiskal Ekspansif untuk Pertumbuhan Inklusif oleh Djisman Simanjuntak
Pusat-pusat itu tersebar di pantai utara Pulau Jawa. Industri berat di ujung barat. Di bagian tengah industri padat keahlian sedang dan tinggi. Di bagian tengah timur, industri padat keahlian rendah dan sedang, dan di ujung timur, industri berat lagi.

(hlm. 38, 39)
Stabilitas Fiskal Berbasis Teknologi dan Intelijen oleh Dradjad H. Wibowo
Per 9 Desember 2016, penerimaan PPh Non-Migas baru mencapai Rp 560 triliun, atau 69 persen dari target APBN-P yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016. Realisasi PPN baru Rp 354 triliun atau 75 persen dari target. Padahal, kedua pos penerimaan tersebut diharapkan menyumbang 95 persen dari total penerimaan pajak dalam negeri di luar cukai. Memang realisasi PPh Migas sudah mendekati 88 persen. Realisasi PBB bahkan sudah 100 persen. Namun, peranan keduanya relatif sangat kecil terhadap postur penerimaan pajak dalam negeri di luar cukai.
Pemerintah juga bisa memperbesar penerbitan surat utang dan/atau menjual aset. Hebatnya lagi, langkah-langkah tersebut bisa dilakukan tanpa konsekuensi politik atau ekonomi yang serius.
Jika defisit ini tidak diturunkan selama tiga minggu terakhir 2016, PDB 2016 harus “dibuat” minimal Rp 12.167 triliun agar batas 3 persen terpenuhi. Melihat tren pertumbuhan ekonomi dan shortfall pajak, rasa-rasanya realisasi defisit akan sedikit di atas atau sedikit di bawah 2,9 persen.

(hlm. 40)
Di samping itu, akrobat ini memperbesar ruang korupsi, karena ada “pasar” bagi “jasa pengamanan anggaran” agar tidak terkena pemangkasan.
Karena Kemenkeu malah tertinggal dibandingkan dispenda sejumlah daerah. Mereka sudah lama menggunakan sistem online dalam pengumpulan pajak dari transaksi harian retail dan restoran. Sewaktu bertugas di BIN, saya beberapa kali berkonsultasi dengan jago-jago TIK tentang hal ini. Menurut mereka, Facebook saja bisa melayani lebih dari 8,1 miliar akun. Jadi, semestinya jauh lebih mudah untuk melayani beberapa puluh juta wajib pajak badan dan orang pribadi atau bahkan semua penduduk usia kerja di Indonesia.
Ide dasarnya sederhana, tetapi pekerjaannya raksasa. Intinya, lakukan pengumpulan PPh dan PPN berbasis TIK, online per transaksi, sama seperti sistem online transaksi retail. Menurut para ahli TIK, semua wajib pajak mulai dari perusahaan tambang, kebun, properti, bank, hingga pengacara dan dokter yang praktik harian bisa masuk ke dalam sistem ini. Tapi memang ada beberapa catatan agar “revolusi TIK pajak” ini bisa berjalan.

(hlm. 41)
Akibatnya, pegawai bersikap “buat apa repot mencari target? Itu urusan atasan”. Perombakan apapun akan gagal kalau situasi psikologisnya seperti ini.
SDM pajak memang banyak didominasi lulusan STAN, akuntan, dan sedikit ekonom. Ahli TIK-nya sedikit sekali sehingga jika Ditjen Pajak hendak melakukan revolusi TIK, tentu ahli TIK harus diperbanyak dan diberi karier yang memadai.
Ketiga, harus ada keberanian melakukan uji coba. Salah satu alasan penolakan adalah karena khawatir terjadi glitches yang bisa mengganggu realisasi pajak. Kekhawatiran yang manusiawi.

(hlm. 42)
Kepala BIN membantu “menagih” wajib pajak yang kasusnya sudah inkracht. Dalam waktu 30 menit, dari dua wajib pajak saja bisa terkumpul Rp 400 miliar. Ini karena ada dukungan infrastruktur dan data intelijen yang kuat. Jika kapasitas intelijen Ditjen Pajak diperkuat, masalah GIGO ini bisa dikurangi.

(hlm. 45)
Kredibilitas Stimulus Fiskal oleh Enny Sri Hartati
Terbukti, secara teoretis dengan PDB Indonesia telah mencapai hampir Rp 12.000 triliun, dengan tarif PPN 10 persen, paling tidak penerimaan PPN mestinya hampir mencapai Rp 1.200 triliun. Nyatanya, total PPN 2016 ditargetkan hanya Rp 474,2 triliun, di mana PPN 2015 hanya mencapai Rp 423,7 triliun.

(hlm. 49)
Menuju Fiskal yang Tangguh Optimalisasi Penerimaan Negara oleh Imaduddin Abdullah
Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di ASEAN, rata-rata rasio pajak Indonesia hanya 12 persen. Angka tersebut hanya lebih baik daripada Kamboja yang rata-rata rasio pajaknya 10 persen. Lebih dari itu, rasio pajak Indonesia yang notabene merupakan satu-satunya negara ASEAN yang masuk ke negara G-20 masih jauh di bawah Thailand (15 persen), Malaysia (15 persen), Filipina (13 persen), dan bahkan Vietnam (21 persen) serta Laos (12,4 persen). Indikator kedua adalah masih rendahnya kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Hingga saat ini 75 juta potensi penduduk yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Meskipun demikian, hanya 20 juta yang memiliki NPWP, dan hanya 9,92 juta yang menyampaikan laporan pajak mereka.
Pertama, fokus terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi (OP) mengingat rasio penerimaan PPh OP terhadap PDB di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu hanya 0,04 persen. Di saat yang bersamaan, negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam mampu mendapatkan penerimaan dari PPh OP mencapai 8,1 persen dari total PDB masing-masing negara.

(hlm. 50)
Meskipun demikian, jumlah wajib pajak yang ikut program pengampunan pajak baru mencapai 455.874 sehingga kontribusi tambahan wajib pajak OP hanya 1,45 persen dari total 27,63 juta wajib pajak OP terdaftar.

(hlm. 51)
Optimalisasi Belanja Daerah
Data Kementerian Keuangan menunjukkan 39 persen belanja pemerintah daerah digunakan untuk belanja pegawai, dan hanya 24 persen untuk belanja modal. Bahkan, dalam beberapa kasus di beberapa daerah, belanja pegawai mencapai 95 persen dari APBD. Padahal, belanja modal memiliki efek berantai (multiplier effect) yang tidak hanya berfungsi menggerakkan sisi permintaan (peningkatan daya beli masyarakat), tetapi juga dari sisi penawaran melalui peningkatan kapasitas dan kualitas produksi.

(hlm. 55, 56)
Optimasi Belanja Pemerintah Untuk Pemerataan Pembangunan Antarwilayah oleh Muhammad Firdaus
Ketimpangan Antarwilayah
Dari analisis model diperoleh nilai yang disebut implied λ, yang menunjukkan kecepatan proses konvergensi pembangunan antarwilayah, yaitu sebesar 0,29 persen. Nilai ini mengisyaratkan bahwa proses catch up antara wilayah yang belum dan sudah berkembang di Indonesia akan terjadi, tetapi dalam periode yang sangat lama, yaitu sekitar 200 tahun.
Dana Transfer dan Lesson Learned
Di China, pertumbuhan ekonomi kawasan timur yang merupakan daerah pantai (coastal) lebih cepat daripada daerah kawasan tengah dan barat yang merupakan daratan (inland). Rendahnya investasi di kawasan barat telah diidentifikasi sebagai penyebab utama, terutama sejak kebijakan Pemerintah Deng membuat zona ekonomi khusus di kawasan pantai pada tahun 1980-an (Zheng, 2007). Sejak tahun 1998, Pemerintah Zhu Rongji telah menetapkan kebijakan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan wilayah yang disebut Xibu da Kaifa atau “Go west”.
Selama lima tahun berjalan, proyek dari pemerintah, terutama untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, senilai 120 miliar dollar AS telah ditanamkan di kawasan barat; terutama diarahkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan industri pengolahan pertanian. Hasilnya, pada tahun 2007 pertumbuhan baik investasi maupun ekonomi di kawasan barat (Hainan, Inner Mongolia, Guangxi, Sichuan, dan Jilin) lebih cepat dibandingkan dengan kawasan timur (Xianjiang, Shanghai, Beijing, Helongjiang, dan Guizhou).

(hlm. 58)
Refleksi dan Ekspektasi Reformasi Fiskal oleh Hidayat Amir

(hlm. 59)
Refleksi Dinamika Fiskal
TERKAIT kondisi dinamika fiskal Indonesia sejak tahun 1970 sampai dengan 2015, setidaknya ada tiga hal yang bisa dicatat secara agregat.
Pertama, Indonesia mendapatkan berkah dari penerimaan minyak dan gas (migas) yang sangat besar selama periode 1975-1986 yang mencapai 10 persen dari produk domestik bruto (PDB), bahkan lebih. Puncaknya pada tahun 1981, penerimaan migas mencapai 15,9 persen PDB.
Kedua, pada periode krisis ekonomi 1998, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami tekanan yang sangat berat sehingga mengalami defisit sebesar 8,5 persen PDB.

(hlm. 60)
Ketiga, pada periode dekade kekinian, yaitu periode membangun pascakrisis ekonomi 1998 dan APBN telah berhasil dikonsolidasikan.

(hlm. 61)
Memang kebutuhan pendanaan infrastruktur yang sangat besar, diperkirakan mencapai Rp 5.519 triliun untuk periode 2015-2019, tidak hanya menjadi beban APBN.
Dengan reformasi belanja ini, belanja infrastruktur dapat dikerek meningkat 65 persen menjadi sekitar Rp 256 triliun. Suatu periode bersejarah di mana alokasi belanja infrastruktur mengungguli alokasi belanja subsidi energi.

(hlm. 64)
Mengapa Asa Reformasi Fiskal
Untuk mengatasi masalah pengelolaan fiskal yang telah menahun, bahwa APBN memiliki risiko pendapatan ketidakpastian inheren mengingat unsur belanja yang sudah pasti, tetapi sisi pendapatannya belum pasti, maka perlu diadopsi gagasan lama permanent income hypothesis (Friedman, 1957) untuk mengelola PNBP yang berasal dari sumber daya alam (SDA).

(hlm. 68)
Penguatan Daya Saing dan
Kapasitas Fiskal Daerah oleh Kodrat Wibowo
Daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kesejahteraan yang lebih merata untuk penduduknya.

(hlm. 70)
Memperkuat Kebijakan Fiskal Melalui Sistem Penggajian Nasional oleh Lukman Hakim
Jika pada tahun 1999 penerimaan APBN hanya sekitar Rp 190 triliun, pada tahun 2016 telah meningkat menjadi sekitar Rp 1.800 triliun.

(hlm. 71)
Ada beberapa argumen mengapa kualitas penggunaan anggaran cenderung belum optimal.
Pertama, sejak UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara diberlakukan, indikator utama dalam mengukur keberhasilan fiskal hanyalah penyerapan anggaran.
Kedua, terjadinya kekakuan birokrasi, yakni situasi di mana birokrasi sangat kaku dalam merespons perubahan.
Ketiga, dalam sistem perencanaan dan penganggaran K/L, ada kecenderungan untuk melakukan dengan cara by project. Jadi, kegiatan-kegiatan yang sebenarnya menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari direktorat K/L dibuat TOR dan diproyekkan yang dikerjakan oleh pihak eksternal, biasanya dalam bidang riset atau penelitian. Ada dua manfaat buah birokrasi. Yang pertama lebih mudah dalam melakukan SPJ anggaran; yang kedua dalam proses itu biasanya ada cash back untuk birokrasi yang bisa menjadi sumber penambahan pendapatan para birokrat.
Dari beberapa fenomena tersebut, substansi masalah adalah adanya kecenderungan birokrasi K/L melakukan semua kegiatan dalam rangka menaikkan pendapatan birokratnya.
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan membuat sistem remunerasinya sendiri sehingga mendahului dan melesat jauh dibandingkan dengan K/L yang lain. Demikian pula dalam dunia pendidikan, rekayasa penggajian dimulai dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang memasukkan klausul bahwa guru dan dosen berhak atas sertifikasi yang besarnya satu kali gaji.

(hlm. 73)
Sebagai contoh yang mencolok adalah gaji Gubernur BI, Ketua Komisioner OJK, dan Direktur BUMN, pun jauh lebih tinggi daripada gaji presiden dan menteri-menterinya. Ini menandakan diperlukannya standar nasional sistem penggajian bagi semua pihak yang bekerja untuk negara dari pusat sampai daerah.

(hlm. 76)
Kunci Sukses Ekstensifikasi Cukai oleh Muliadi Widjaja
Sampai saat ini Indonesia hanya mengenakan cukai kepada tiga jenis barang, yaitu hasil tembakau (rokok), etil alkohol, dan minuman mengandung etil alkohol.
Ambil saja satu contoh ini. Setiap hari terjadi kemacetan di Jakarta. Pemerintah berupaya agar masyarakat menggunakan transportasi umum untuk pergi ke kantor.
Thailand merupakan negara tetangga Indonesia yang paling banyak menerapkan cukai. Sekitar 20 jenis barang di Thailand dikenai cukai. Pemerintah Thailand memungut dan memberhentikan cukai dalam periode tertentu.

(hlm. 80)
Menjaga Kesinambungan Fiskal Untuk Pertumbuhan yang Berkualitas oleh Prasetijono Widjojo
Keberlanjutan dan Kredibilitas Fiskal
Mendukung penegakan hukum serta stabilisasi pertahanan dan keamanan, melalui pemberantasan dan penegakan peredaran gelap narkoba, tindak terorisme. Serta pengadaan alutsista.

(hlm. 83)
Dampak Fiskal Masih Dapat Dioptimalkan oleh Purbaya Yudhi Sadewa
Subsidi energi di tahun 2017 hanya sekitar Rp 73 triliun, jauh lebih kecil dari sekitar Rp 350 triliun di tahun 2014.
Transfer ke daerah di tahun 2017 mencapai Rp 764,9 triliun, atau sekitar 55,3 persen dari APBN.

(hlm. 89)
Kebijakan Fiskal sebagai Pendukung Ketangguhan Ekonomi Indonesia oleh Sri Adiningsih
Pengelolaan fiskal pemerintah selaras dengan hasil penelitian Dana Moneter Internasional (IMF) pada tahun 2015, yang menggunakan sampel 112 negara pada periode 1975-2013 dan menunjukkan bahwa reformasi kebijakan fiskal, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran, mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi (jangka menengah hingga jangka panjang) sebesar tiga perempat persen poin di negara maju dan bahkan lebih dari tiga perempat persen poin di negara sedang berkembang.

(hlm. 90)
Ketidakpastian Fiskal Daerah oleh Tauhid Ahmad
Bukan berarti pemda tidak memiliki anggaran untuk menutupi anggaran, tetapi dana pemda di perbankan yang rata-rata pada akhir tahun anggaran sebesar Rp 120 triliun tidak bersifat idle seluruhnya yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu.

(hlm. 95)
Kebijakan Peningkatan Penerimaan Negara oleh Vid Adrison
Banyak studi yang menunjukkan bahwa dampak amnesti pajak terhadap peningkatan penerimaan pemerintah bersifat sementara (J. Alm & Beck, 1993; Mikesell & Ross, 2012).

(hlm. 96, 97)
Kebijakan Peningkatan Penerimaan Negara
Penerapan Nomor Identitas Tunggal. Saat jumlah pemilik nomor wajib pajak (NPWP) di Indonesia masih sangat rendah (sekitar 30 juta).
Konsekuensi tidak memiliki KTP jauh lebih besar dibandingkan dengan tidak memiliki NPWP.
Penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai pengganti NPWP bisa menjadi solusi dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Karena melekat pada individu dan bersifat unik, NIK pada dasarnya seperti nomor identitas tunggal yang diterapkan di negara lain.
Perbaikan Peraturan Pemeriksaan Wajib Pajak. Dengan demikian, kecenderungan untuk underreporting lebih besar terjadi dibandingkan dengan overclaim sehingga kebijakan untuk memeriksa wajib pajak yang meminta restitusi bisa dikatakan kebijakan yang tidak tepat.

(hlm. 100)
“Tax Amnesty” Jembatan Komprehensif “Tax Reform” oleh Yustinus Prastowo
Sayangnya, realisasi penerimaan pajak tahun 2015 hanya mencapai Rp 1.060 triliun atau 82 persen dari target yang ditetapkan. Meskipun demikian, pemerintah justru meningkatkan lagi target penerimaan pajak pada APBN-P 2016 menjadi Rp 1.355 triliun atau naik 4,7 persen dari target APBN-P 2015. Berkaca dari pengalaman tersebut, penyusunan target penerimaan pajak pada APBN sebaiknya dilakukan secara lebih rasional dan dengan diiringi efisiensi belanja.

(hlm. 102)
Meski demikian, struktur penerimaan pajak yang didominasi oleh pajak tidak langsung seperti PPN (Rp 362,9 triliun) dan cukai (Rp 144,6 triliun). Sebaliknya, pajak langsung PPh Orang Pribadi NonKaryawan hanya sebesar Rp 4,3 triliun. Jauh lebih kecil dibandingkan PPh pasal 21 yang menggunakan skema withholding Rp 105 triliun. Penerimaan PPh Orang Pribadi mengandalkan pajak yang dipotong oleh pemberi kerja, sedangkan pengusaha justru memberikan kontribusi yang sangat rendah.

(hlm. 105)
PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING

(hlm. 108)
Mitigasi Gejolak, Memanfaatkan Momentum oleh A. Prasetyantoko
Pertama, mengonsolidasikan mata rantai perdagangan domestik yang dikaitkan secara langsung dengan proyek infrastruktur.

(hlm. 110)
Kawasan industri Pendongkrak Daya Saing oleh Ahmad Heri Firdaus
Kawasan industri di Indonesia yang sudah terbangun hingga 2016 adalah sebanyak 74 kawasan, dengan total luas lahan mencapai 30.038,35 hektar. Namun, dari jumlah lahan kawasan industri tersebut, sekitar 75,9 persen berada di Pulau Jawa. Sementara di Sumatera hanya 14,96 persen. Selebihnya terdapat di Kalimantan (1,82 persen) dan Sulawesi (7,33 persen). Berdasarkan penguasaan lahan, pemerintah hanya menguasai 6 persen dari total lahan kawasan industri di Indonesia, sedangkan 94 persen lainnya dimiliki swasta.

(hlm. 113)
Revitalisasi Industri Manufaktur Indonesia oleh Ari Kuncoro
Permasalahan utama adalah untuk terutama cabang-cabang industri yang padat karya margin keuntungannya sangat tipis (5-10 persen) sehingga sangat tidak menarik untuk ditekuni. Apalagi mengingat pemilik usaha manufaktur kebanyakan adalah generasi ketiga yang sekarang menghadapi pilihan bidang usaha lain yang lebih menarik, misalnya sektor properti dan perkebunan.

(hlm. 117, 118)
Produktivitas dan Daya Saing Bangsa: Persoalan dan Solusi oleh Asep Saefuddin
Misalnya laporan PISA tentang kemampuan saintifik, matematika, dan literasi (membaca) negara kita berada pada urutan ke-9 terbawah dari 71 negara yang diuji (PISA-OECD, 2016).
Akhirnya, secara umum rasio gini telah menembus 0,40, tepatnya 0,41.
Tim peneliti produktivitas Bank Dunia (2013) menemukan setidaknya ada lima diskonektivitas perguruan tinggi (PT) dan dunia industri, yaitu (1) diskonektivitas antara lulusan PT dan kebutuhan dunia kerja dan industri, (2) diskonektivitas antara riset PT dan kebutuhan industri, (3) diskonektivitas antara riset PT dan riset di lembaga riset pemerintah, (4) diskonektivitas antara riset dan pengajaran, dan (5) diskonektivitas antara pengajaran di PT dan pendidikan di bawahnya.
Untuk kelembagaan PT, jangan ada diskriminasi PTN-PTS. Para lulusan jangan diberi label akreditasi untuk mendapatkan hak bekerja. Kebijakan badan usaha milik negara untuk menerima lulusan dari PT tertentu harus dihilangkan. Penerimaan atau penolakan tenaga kerja jangan disaring berdasarkan akreditasi lembaga. Semuanya harus dilakukan secara adil berbasis kualitas individu. Seorang pelamar yang berkualitas harus diterima walaupun berasal dari PT dengan akreditasi biasa.

(hlm. 119)
Untuk laporan riset, cukup dilihat dari paper di jurnal yang punya reputasi, inovasi riset yang diadopsi dunia usaha dan industri, serta aplikasi hasil riset untuk kebijakan (research-based policy). Basisnya adalah kepercayaan dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan dan industri dengan melihat indikator outcome serta dampak.

(hlm. 121)
Membumikan Poros Maritim oleh Arif Satria
Konsep Poros Maritim Dunia
Dulu pelajar SMP ataupun SMA tahu persis apa yang sedang direncanakan dan dikerjakan pemerintah Orde Baru di bidang pertanian karena peta jalan untuk mencapai swasembada beras begitu jelas dalam setiap GBHN dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I).
Negara kepulauan adalah fakta geografis, yang berarti hanya menggambarkan karakteristik geografis kita yang kaya pulau dan sumber daya. Sementara negara maritim adalah fakta sosial ekonomi, budaya, dan politik, yang berarti menggambarkan karakteristik ekonomi yang ditopang ekonomi kelautan, serta fakta kekuatan budaya bahari, kekuatan geopolitik, dan militer. Dengan demikian, seperti diungkapkan Hasyim Djalal, kita masih tergolong negara kepulauan dan belum sebagai negara maritim.

(hlm. 122)
Langkah Strategis
Kedua, menurunnya dwelling time (waktu bongkar muat barang) dari 6,33 hari (2015) menjadi 3,36 hari (2016).

(hlm. 124)
Seabad Indonesia 2045: Menuju Peringkat 4 Besar Dunia oleh Christianto Wibisono
Pada tahun 1971, bersama Goenawan Mohamad, ia turut menjadi pendiri mingguan Ekspres yang kemudian menjadi cikal bakal majalah Tempo.
Pada hari Kamis, 24 November 2016, Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) telah meluncurkan program Menuju Indonesia No.4 Sedunia dalam Kualitas pada Seabad Indonesia 2045.

(hlm. 125)
Resep yang ditawarkan PDBI adalah mengacu kepada keberhasilan Jepang dengan Hayato Ikeda Plan yang membuat dinamo ekonomi Jepang sehingga dapat tumbuh 7-10 persen pada dasawarsa 1960-an. APBN Jepang hanya 60 persen mengandalkan pajak dan 40 persen dari obligasi.

(hlm. 126)
Penurunan angka ICOR yang masih di sekitar 5, sehingga untuk pertumbuhan ekonomi 1 persen masih dibutuhkan investasi 5 persen dari PDB.
Mengacu kepada APBN Jepang yang hanya 60 persen berasal dari pajak dan 40 persen mengandalkan obligasi, PDBI mengusulkan pemanfaatan dana repatriasi amnesti pajak dalam Trust Nasional Seabad Indonesia untuk pembiayaan proyek strategis infrastruktur jangka panjang yang secara mikro menguntungkan dan secara makro berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi.
Investasi efisien dan produktivitas dengan ICOR 2.

(hlm. 127)
Apabila paradigma pertumbuhan 7 persen per tahun dipenuhi, maka setiap siklus tujuh tahun akan mengandalkan pendapatan per kapita. Jadi, jika pada 2017 pendapatan per kapita 3.500 dollar AS, maka pada 2024 menjadi 7.000 dollar AS, kemudian pada 2031 menjadi 14.000 dollar AS, lalu tahun 2038 menjadi 28.000 dollar AS, maka tahun 2045 akan menyamai AS sekarang, 56.000 dollar AS. Itulah optimisme berbasis prasyarat Indonesia 4.0 yang mampu keluar dari middle income trap dan doubling income in one generation.

(hlm. 129)
Percepat Industrialisasi Nasional oleh Dendi Ramdani
Peran sektor industri biasanya menurun jika pendapatan per kapita sudah tinggi dan perekonomiannya sudah matang dengan sektor industri yang sudah mapan. Selanjutnya, sektor-sektor jasa lah yang secara bertahap akan meningkat peranannya dalam perekonomian.
Korea Selatan saja, negara yang pendapatan per kapitanya sudah mencapai 25.000 dollar AS dan proporsi sektor industrinya di dalam PDB sudah mencapai 38 persen, pertumbuhan sektor industrinya masih lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonominya.
Alasannya sederhana, industrialisasi menciptakan nilai tambah yang besar sehingga memungkinkan balas jasa terhadap faktor produksi, terutama tenaga kerja lebih tinggi. Ada beberapa sebab kenapa peran sektor industri mengalami penurunan peran di dalam perekonomian sosial sejak tahun 2004.
Pertama, harga komoditas di pasar internasional mulai meningkat sejak tahun 2004 dan mencapai puncaknya pada tahun 2007-2008 dan 2010-2012.
Kedua, pemerintah tidak memiliki kebijakan yang komprehensif, baik kebijakan industri, perdagangan, perpajakan, maupun investasi, untuk mendorong perkembangan sektor industri. Tarif impor di sektor hilir (bahan baku) lebih besar daripada di sektor hulu (produk akhir).

(hlm. 130)
Industri yang perlu didorong ke depan adalah industri yang berbasiskan sumber daya lokal yang berlimpah.

(hlm. 131)
Masukan Terkait Efisiensi Logistik dan Pembangunan Konektivitas oleh Denni Puspa Purbasari
STUDI antarnegara ataupun antarprovinsi di Indonesia menunjukkan bahwa keterisolasian berasosiasi dengan standar hidup yang rendah.

(hlm. 132)
Daya belum didefinisikan sebagai pendapatan dibagi dengan harga. Semakin tinggi pendapatan, atau semakin rendah harga, maka akan semakin meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendapatan ditentukan oleh ketersediaan lapangan pekerjaan dan produktivitas tenaga kerja, sedangkan harga ditentukan oleh pasokan barang dan kompetisi dalam industri.
Studi dari McKinsey menyebutkan bahwa biaya logistik Indonesia sekitar 24,6 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Dari survei terhadap 250 perusahaan di Jawa dan Medan, biaya logistik menempati 18-19 persen harga barang mereka – sementara peer countries hanya berkisar 13-15 persen.

(hlm. 135)
Mempercepat Reindustrialisasi Berbasis Sumber Daya Daerah oleh Destry Damayanti
Sebelum krisis, rata-rata pertumbuhan sektor industri menunjukkan kinerja di atas 10 persen per tahun. Pada saat ini bahkan pertumbuhan sektor industri selalu di bawah agregat pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2011, di saat ekonomi nasional mampu tumbuh 7,14 persen, kinerja sektor industri hanya tumbuh 6,01 persen, sementara berdasarkan data kuartal III-2016 saat ekonomi nasional tumbuh 5,04 persen, sektor industri hanya tumbuh 4,56 persen.

(hlm. 136)
Salah satu persoalan utama pengembangan industri adalah belum adanya integrasi pengembangan dengan sumber daya dan potensi strategis yang ada di daerah sehingga pengembangan industri di daerah tidak optimal dan menimbulkan persoalan mismatch antara lain terkait keterbatasan sumber energi (listrik), sumber bahan baku, dan tenaga kerja terampil.

(hlm. 139-141)
Ekonomi, Kebijakan, dan Birokrasi Malas oleh Didik J. Rachbini
Akan tetapi, karena birokrasi malas, kebijakan tersebut berhenti di tengah jalan.
Ekonomi Eksternal Global
Pertumbuhan ekonomi China pernah mencapai dua digit beberapa tahun lalu, tetapi sekarang diperkirakan tumbuh hanya 6,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi China yang riil berada di bawah level 6 persen saja.
Sebelumnya, Inggris telah menyatakan keluar dari Uni Eropa, yang menandakan ada kecenderungan deglobalisasi sebagai arus balik di mana setiap negara cenderung menoleh ke dalam (inward looking).

Internal, Dampak Negatif
Bahkan, banyak ekonom yang melihat Indonesia sekarang tengah mengalami proses deindustrialisasi. Tingkat pertumbuhan industri sangat rendah, jauh di bawah tingkat pertumbuhan industri pada tahun 1980-an dan awal 1990-an. Porsi ekspor manufaktur juga sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN di sekitarnya.
Ekspor manufaktur Indonesia hanya sekitar 8,6 persen terhadap total ekspor. Sementara itu, ekspor manufaktur Vietnam sudah mencapai 76,9 persen dan ekspor manufaktur Thailand mencapai tidak kurang dari 62 persen.
Tahun 2015 kita mengalami shortfall yang besar, yaitu Rp 234 triliun.

(hlm. 143)
Jalan Keluar di Tengah Birokrasi Malas
Pertama, kebijakan terbaik dan pernah dijalankan Indonesia adalah kebijakan industri berorientasi ekspor dan berorientasi ke luar.
Paket deregulasi dan debirokratisasi pada saat itu dilaksanakan secara radikal dan berpengaruh signifikan terhadap ekonomi dan industri nasional.
Kebijakan industri bersamaan dengan paket deregulasi berhasil meningkatkan kinerja industri dan peranannya di dalam perekonomian nasional berhasil melampaui peranan sektor pertanian.

(hlm. 144)
Dampak deregulasi dan debirokratisasi tahun 1980-an cukup signifikan, di mana Indonesia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkisar 6-7 persen. Ketika pertumbuhan ekonomi pada saat itu tinggi, pertumbuhan sektor industri bisa mencapai hampir dua kali lipat dari pertumbuhan PDB, yakni 10-11 persen.
Ribuan kebijakan nontarif telah dijalankan oleh negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti China (1.194), Korea Selatan (1.507), Jepang (1.294), Amerika Serikat (4.710), dan Uni Eropa (6.805). Sementara itu, jenis dan ragam kebijakan nontarif Indonesia untuk melindungi pasar domestiknya hanya 298 macam.

(hlm. 145)
Penerimaan negara pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pada akhir 1990-an nominal hanya sekitar Rp 90 triliun.
Saat ini pemerintah pascareformasi mengendalikan anggaran nominal berkisar Rp 1.000- Rp 2.000 triliun. Akan tetapi, pembangunan infrastruktur berjalan sangat lambat atau stagnan karena APBN sangat rapuh dilihat dari berbagai sisi dan dimensi pengeluarannya yang boros. Sebagai contoh, sisi buruk pengeluaran terjadi pada periode awal 2010-an, di mana pemerintah hampir tidak mampu sama sekali membangun infrastruktur jalan baru. Ketika penerimaan APBN di atas Rp 1.000 triliun, pembangunan jalan baru hanya 200-300 kilometer saja.
Biaya logistik secara nasional sangat mahal dan tidak efisien.

(hlm. 147)
Menumbuhkan Pasar Sosial Sebagai Inkubator Bisnis oleh Evi Noor Afifah
KINERJA industri dan perdagangan Indonesia telah mengalami penurunan.

(hlm. 148)
Pangsa industri Indonesia semakin menurun pada 1-2 dekade terakhir dan secara bersamaan rata-rata pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan era 1980-an. Saat ini industri pengolahan Indonesia umumnya didominasi oleh industri yang berorientasi domestik dengan tingkat kandungan impor yang tinggi.
Belanja dari Pasar Sosial
Ekonomi pasar sosial adalah sebuah konsep ekonomi yang fokus pada kebebasan pasar dan pengembangan keadilan sosial. Jerman adalah contoh suksesnya.

(hlm. 149)
Pasar Papringan: Membangun Desa yang Berdaya Saing
Trasah adalah lantai yang tersusun dari batu-batu di dalam tanah (paved stone), merupakan kompromi kebutuhan manusia dengan alam. Manusia butuh jalan yang tidak becek dan berharap alam dapat menyerap air dengan baik. Trisik, pagar sederhana yang terbuat dari bilahan-bilahan bambu kecil yang ditancapkan di tanah, membentuk anyaman saling-silang (anjang-anjang).

(hlm. 150)
Pasar Organik Jogja: Jejaring Pangan Lokal dan Sehat
Ketika pembeli tidak mengetahui apapun yang dikonsumsi, ia sebenarnya gambling tentang kesehatannya.

(hlm. 151)
Potensi Pengembangan Budaya Produktif
Di level pemerintah daerah. Pemerintah Kabupaten Kulonprogo telah mengadopsi konsep ini dengan program Bela Beli Kulonprogo yang diluncurkan pada 25 Maret 2013. Program ini merupakan gerakan untuk membeli produk-produk lokal sembari memberikan dukungan pada peningkatan produktivitas dan daya saing produk.

(hlm. 153)
Tidak Ada Jalan Pintas oleh Faisal H. Basri
China sudah menyusul Indonesia pada tahun 1998 dan Filipina menyusul Indonesia tahun 2015.
Kalau memaksakan diri tumbuh lebih cepat – misalnya dengan memacu pembangunan infrastruktur dan menggelontorkan subsidi – tanpa meningkatkan kemampuan pembiayaannya, niscaya di tengah jalan bakal naik sehingga mengakibatkan investasi swasta melemah. Selain melemah, investasi pun kurang berkualitas, tercermin dari porsi sebesar (74 persen) pembentukan modal tetap bruto berupa bangunan, sedangkan berupa mesin dan peralatan hanya 11 persen. Kalau tidak mau terjadi efek crowding out, defisit anggaran harus ditutupi oleh utang luar negeri, menjual obligasi negara dalam denominasi mata uang asing (global bonds) dan meminjam dari negara donor dan lembaga keuangan internasional.
Lain lagi dengan anak ayam (day old chick/ DOC), begini “titah” Menteri Pertanian: “Tolong dicatat, harga DOC Rp 4.800 per ekor. Kita buat peraturan Menteri-nya (Permentan). Nanti kami ketemu hari Senin,” ujar Amran (http://kom.ps/AfvnWB).
Tidak hanya harga DOC. Harga ayam di kandang pun dipatok Rp 18.000 per ekor dan harga ayam di pasar Rp 32.000 per kilogram (http://kom.ps//AFvpYt).

(hlm. 154)
Tekad pemerintah menurunkan harga gas di bawah 6 dollar AS per MMBTU tak kalah kontroversial. Bahkan sudah keluar peraturan presiden tentang itu pada Mei lalu yang berlaku surut sejak Januari 2016. Entah dari mana datangnya angka 6 dollar AS itu.
Sebelumnya pemerintah bertitah menurunkan harga semen Rp 2.000 per sak, menurunkan tarif tol selama liburan lebaran 2015. Belakangan campur tangan langsung merembet ke penetapan suku bunga perbankan dan margin suku bunga. Pemerintah hendak memajukan e-commerce. Tak kepalang, pendiri Alibaba, Jack Ma, diangkat sebagai penasihat presiden.
Bagaimana mungkin e-commerce akan maju kalau ICT Development Index kita tercecer di urutan ke-115 dari 175 negara dengan skor hanya 3,86 (tertinggi di dunia adalah Korea Selatan dengan skor 8,84). Di antara ASEAN-6, kita yang terendah.

(hlm. 155)
Ekspor sudah lima tahun berturut-turut turun. Sudah merdeka lebih dari 70 tahun, tetapi ketergantungan pada ekspor komoditas primer dan manufaktur padat sumber daya alam masih sangat tinggi, lebih dari dua pertiga keseluruhan ekspor.
Dengan pengecualian Singapura yang merupakan negara transhipment, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang perekonomiannya mengalami penurunan degree of openness dalam 15 tahun terakhir.
Lebih miris lagi, orang-orang terkaya itu dua pertiga kekayaannya diperoleh dari praktik kronisme.

(hlm. 156)
Angka crony-capitalism index untuk Indonesia memburuk dalam dua tahun terakhir dan menduduki posisi terburuk ke-7 dari 22 negara yang disurvei oleh The Economist (2016).
Upah riil buruh tani turun 4,12 persen dan upah riil buruh bangunan turun 1,74 persen pada kurun waktu yang sama. Anggota keluarga yang sebelumnya tidak bekerja dipaksa masuk pasar kerja karena pendapatan kepala keluarga tak lagi bisa menutupi kebutuhan keluarga. Karena itulah tingkat partisipasi angkatan kerja naik tajam dalam dua tahun terakhir. Untuk memperoleh tambahan pendapatan, pekerja harus menambah jam kerja lewat lembur atau kerja rangkap. Ada 26,3 persen pekerja Indonesia yang bekerja lebih dari 49 jam seminggu. Angka itu hanya lebih rendah dibandingkan dengan Korea dan Hongkong (Nikkei Asian Review, 2016).

(hlm. 158)
Memperkuat Industri Manufaktur Nasional oleh Firmanzah
Tonggak penguatan dan pengembangan industri manufaktur nasional di era Reformasi sebenarnya sudah dimulai dengan adanya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang menandai era baru komitmen penguatan hilirisasi dan pengolahan sumber daya alam nasional.

(hlm. 161)
Evaluasi Dua Tahun Jokowi-JK: Bertahan di Tengah Badai oleh Fithra Faisal Hastiadi
Melihat pertumbuhan ekonomi, pada tahun 2015, Indonesia sempat tumbuh 4,79 persen, sebuah pencapaian yang buruk mengingat angka ini adalah angka yang paling buruk selama kurun waktu lima tahun terakhir.

(hlm. 162)
Di Jerman, Federal Employment Agency memiliki anggaran yang besar sehingga bisa didukung oleh 133.000 orang untuk pusat pelatihan tenaga kerja. Ini merupakan sebuah angka yang sangat besar apabila dibandingkan dengan 1.206 orang yang ditempatkan pada balai latihan kerja di Kemnakertrans. Angka ini bahkan lebih buruk ketimbang era sebelum otonomi daerah yang sebesar 2.033 orang.

(hlm. 164)
Sebagai perbandingan, biaya ekspor per kontainer di Indonesia adalah 615 dollar AS, sementara di Singapura biayanya hanya 415 dollar AS. Kongesti yang buruk di pelabuhan adalah salah satu sebab dari mahalnya biaya ekspor ini. Sementara itu, sebagai bahan perbandingan lagi, Indonesia yang memiliki 16.000 pulau hanya memiliki 14.267 kapal (tanker, curah, kargo, kontainer), sementara Singapura yang ukurannya tidak lebih besar daripada Jakarta memiliki 89.697 kapal.

(hlm. 165)
Kemandirian Ekonomi: “Quo Vadis” Produksi dalam Negeri oleh Ginandjar Kartasasmita
MEMASUKI dekade 1990-an, ekonomi Indonesia bergerak ke arah industri, di mana kontribusi sektor industri sudah melampaui sektor pertanian.

(hlm. 166)
Tim Keppres X. Pada waktu yang bersamaan, tahun 1980-an, pemerintah melalui Tim Keppres X, membuat kebijakan mendukung produksi dalam negeri.
Muncul industrialis-industrialis pribumi Indonesia, seperti Arifin Panigoro dengan Medco, Aburizal Bakrie dengan Bakrie Group, Jusuf Kalla dan Fadel Muhammad dengan Bukaka, serta Basuki Wiwoho dan Imam Taufik dengan Tri Patra.

(hlm. 167)
Pasar Bebas dan globalisasi. Secara perlahan tapi pasti Indonesia pascareformasi menjadi pasar yang lucrative untuk produk-produk impor, banyak di antaranya masuk dengan harga murah karena proses produksi di negaranya sarat dengan subsidi.

(hlm. 168)
Persoalan Efisiensi. Efisiensi industri sedang dan besar rata-rata 53 persen. Ini mengakibatkan daya saing kita rendah. Daya saing Indonesia pada periode 2012-2013 berada di peringkat ke-50 dari 144 negara, jauh di bawah Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (peringkat ke-25), dan Thailand (peringkat ke-38).
Pelaku ekspor sampai sekarang ini dihadapkan pada banyaknya aturan yang mengakibatkan biaya tinggi. Ada 53 peraturan yang mencakup 2.278 jenis barang. Adapun untuk impor terdapat 79 aturan yang mengatur 11.534 jenis barang.

(hlm. 169)
Poros maritim. Adalah sebuah ironi di negara sebesar dan seluas seperti Indonesia, tidak satu pun pelabuhannya dapat disinggahi mother vessel.

(hlm. 170)
Produksi jasa dalam negeri. Pada masa Keppres X, engineering termasuk rancang bangun didorong dengan tindakan afirmatif yang nyata. Pabrik-pabrik besar seperti LNG, kilang minyak, pupuk kelapa sawit, dan gula didorong untuk dapat kita bangun sendiri. Kita wajibkan perusahaan-perusahaan asing, seperti Bechtel, Flour JGC, dan Chiyoda, untuk berpartner dengan perusahaan dalam negeri.
Namun, sekarang, kebijakannya tampak mulai berubah. Sebagai contoh, perusahaan dalam negeri yang sudah berkembang maju dapat mengerjakan sendiri, dalam lelang perusahaan listrik, PLN justru diharuskan berpartner dengan perusahaan asing anggota (OECD). Lebih parah lagi, untuk proyek IPP (Independent Power Producer) diwajibkan untuk membuat joint venture dengan anak perusahaan PLN yang menimbulkan kesan sekarang kita sedang kembali ke state capitalism.
Perspektif global. Pada tataran global, industri menghadapi berbagai tantangan yang antara lain sebagai berikut:
• Persaingan yang tajam (hyper-competition) antara Amerika Utara, Eropa, China, dan Jepang. Kompetisi yang terjadi di antara empat kawasan industri global itu bukan hanya persaingan keunggulan produk manufaktur dan inovasi teknik produksinya, tetapi skala produksi yang besar yang memanfaatkan global supply chain, dan periklanan global yang sangat maju.

(hlm. 171)
Dahulu dengan mudah kita bisa berpikir dan memilih seperti mengembangkan teknologi tinggi atau madya (tepat guna); pilihan strategi pendukung produksi pertanian; strategi substitusi impor atau menerima pindahan industri sunset dari negara maju. Adapun pilihannya yang ada, sepertinya tidak bisa inward looking, tetapi harus melihat perkembangan global setidaknya di tingkat regional.

(hlm. 173)
Memikirkan Kembali Tujuan Akhir dari Reformasi Perekonomian oleh Helmi Arman
Beranjak dari pengalaman korporasi-korporasi raksasa Asia ketika belum naik daun, salah satu metode transfer teknologi yang lebih efektif adalah dengan mengakuisisi perusahaan asing.

(hlm. 176)
Mendorong Kualitas Konsumsi Rumah Tangga dan Pertumbuhan Ekonomi oleh Hendri Saparini
Dengan kontribusi sekitar 55 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 5 persen per tahun, konsumsi swasta telah menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Kedua, dalam beberapa tahun terakhir konsumsi rumah tangga kelas bawah menghadapi tekanan daya beli yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok atas. Ada banyak penyebab, salah satunya adalah tren harga komoditas global yang menurun terutama sejak 2010.

(hlm. 181)
Produktivitas dan Daya Saing Industri oleh Ina Primiana
Sebagai contoh, Kementerian Pertanian dan/atau Pertambangan sebagai penyuplai bahan baku dan energi atau Kementerian Perdagangan Kementerian yang memasarkan produksi industri nasional selama ini kurang men-support Kementerian Perindustrian, di samping kementerian lainnya.

(hlm. 186)
Memanfaatkan Potensi Industri Halal dan Ziswaf dalam Pembangunan Ekonomi oleh Irfan Syauqi Beik
Paling tidak, jika merujuk kepada QS 2:275-276, ada tiga sektor dalam perekonomian syariah yang perlu dikembangbiakan, yaitu sektor riil, sektor keuangan, dan sektor ziswaf (zakat, infak, sedekah, dan wakaf).

Sektor Riil Syariah
Berdasarkan Global Islamic Economy Report (2016), industri-industri tersebut tumbuh dengan kecepatan rata-rata 10,8 persen per tahun, dengan total volume yang akan mencapai angka 3,7 triliun dollar AS pada tahun 2019.

(hlm. 187)
Meski demikian, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai masuknya BPJPH ke dalam struktur Kemenag, malah membuat proses birokratisasi yang berpotensi menghambat pengembangan industri halal itu sendiri.
Sektor Ziswaf
Potensi zakat, misalnya berdasarkan studi Firdaus, Beik, Juanda, dan Wirawan (2012), mencapai angka 3,4 persen dari PDB, atau sekurang-kurangnya setara dengan Rp 217 triliun pada PDB 2010. Angka ini terdiri atas tiga komponen, yaitu zakat penghasilan individu (rumah tangga) senilai 1,3 persen PDB, zakat perusahaan senilai 1,8 persen PDB, dan sisanya adalah potensi zakat tabungan.

(hlm. 188)
Data Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) menunjukkan bahwa luas tanah wakaf yang terdata mencapai 4.100 kilometer persegi, atau senilai tidak kurang dari Rp 590 triliun.
Saat ini berdasarkan data Baznas, jumlah zakat yang terhimpun secara nasional per Agustus 2016 baru mencapai Rp 3,65 triliun.

(hlm. 190)
Menjaga Optimisme melalui Kelanjutan Kinerja Pemerintah oleh Jefri Butarbutar
Sebagian dana pendidikan dapat dialokasikan untuk riset, penelitian, kursus-kursus kejuruan, apprenticeship, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan angkatan kerja.
Dunia usaha juga mengkritisi proses penerbitan peraturan perundang-undangan yang kontroversial di tahun 2017, antara lain perubahan UU Persaingan Usaha, pembentukan UU Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL-CSR), Peraturan Implementatif UU Produk Halal dan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).

(hlm. 194)
Reformasi Produktivitas dan Daya Saing untuk Menghindari “Middle Income Trap” oleh Juda Agung
Namun, perlu dicatat, bonus demografi yang akan mencapai puncaknya dalam lima belas tahun ke depan akan mulai kehilangan momentum setelah periode tersebut, sejalan dengan tingkat ketergantungan penduduk yang mulai meningkat.
Tahun yang dijadikan target adalah tahun 2030, saat bonus demografi telah berakhir sejalan dengan dependency ratio yang mulai meningkat, dalam analisis ini, suatu negara diklasifikasikan berpendapatan menengah apabila pendapatan riil per kapitanya berkisar 2.500-13.000 dollar AS.

(hlm. 195)
Grafik 3. Skenario Trajectory Perekonomian Indonesia.

(hlm. 196)
Dari growth accounting tersebut, ada tiga area reformasi struktural yang perlu diakselerasi, yaitu produktivitas, rasio investasi, dan area di bidang tenaga kerja, seperti schooling years.

(hlm. 197)

Penguatan Industri Penghasil Bahan Baku Atasi Masalah Struktural oleh Lana Soelistianingsih
PADA triwulan II tahun 2014 ekonomi Indonesia dientakkan dengan defisit transaksi berjalan yang mencapai minus 4,3 persen dari produk domestik bruto (PDB), defisit tertinggi yang pernah dimiliki Indonesia. Efek langsung terlihat dari nilai tukar rupiah yang melemah dan membawa tekanan terhadap kegiatan usaha di dalam negeri. Impor sebagai Pengendalian Defisit Transaksi Berjalan Menekan permintaan impor dapat dilakukan dengan membuat rupiah melemah dan menaikkan suku bunga.


(hlm. 200)
Membangun Industri Substitusi Bahan Baku/Penolong
Diperkirakan secara rata-rata industri membutuhkan 60 persen bahan baku impor, bahkan industri obat membutuhkan bahan baku impor hingga 90 persen dari bahan baku yang diperlukan. Untuk membuat masyarakat sehat dan produktif.

(hlm. 201)
Segera Wujudkan Perbaikan

Sektor Energi Nasional oleh Marwan Batubara
SAAT ini konsumsi energi penduduk Indonesia termasuk yang masih cukup rendah di dunia, sekitar 0,9 ton oil equivalent (TOE) per kapita per tahun, sedangkan pendapatan per kapita Indonesia sekitar 3.300 dollar AS per kapita per tahun.

(hlm. 203)
Jika pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ingin melakukan perbaikan di sektor migas dan minerba ini, sekaranglah saatnya untuk berbuat dan berprestasi, yaitu segera tuntaskan penetapan UU Migas dan UU Minerba baru yang bebas oligarki.
Untuk itu Jokowi-JK berjanji akan mengembangkan energi kerakyatan berupa memproduksi bahan bakar nabati (BBN) berbentuk bioetanol dan biodiesel secara masif. Ternyata hingga sekarang belum terlihat tanda bahwa janji kampanye tersebut akan dimulai. Padahal, jika ingin meningkatkan ketahanan energi dan sekaligus mengurangi indeks gini, konsep energi kerakyatan untuk kesejahteraan sangat relevan diimplementasikan.

(hlm. 205)
Akselerasi Agroindustri oleh M. Fadhil Hasan
Salah satu komoditas yang sudah dimulai hilirisasi menjadi produk bernilai tambah adalah minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO). Komposisi ekspor produk turunan CPO telah mencapai 74 persen (refined CPO 64 persen, lauric 6 persen, biodiesel 3 persen, oleokimia 1 persen), porsi ekspor CPO hanya tinggal 26 persen atau sekitar 7 juta ton (Gapki, 2016).

(hlm. 208)
Norma Baru Dunia: Implikasi bagi Daya Saing dan Perubahan Struktur Indonesia oleh Mari Pangestu
Penurunan permintaan dunia dan harga komoditas merupakan penyebab utama kontraksi tersebut karena sekitar 60 persen dari ekspor Indonesia berbasis komoditas.

(hlm. 209)
Ketika harga minyak terjun bebas, pemerintah melakukan devaluasi rupiah terhadap dollar AS; deregulasi dan reformasi yang berani dan mendasar termasuk membenahi bea cukai, menurunkan proteksi dalam bentuk monopoli impor dengan pihak tertentu dan BUMN; dan menurunkan bea masuk impor yang tinggi dan bervariasi.

(hlm. 211)
Norma Baru Dunia
Stimulus moneter yang dilakukan ketika suku bunga mendekati nol dan bahkan negatif secara riil menyebabkan banyak dana mengalir masuk ke negara-negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia.
Namun, norma baru ternyata tidak terbatas pada hal tersebut. Dinamika yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini adalah norma baru dunia yang secara ringkas sebagai berikut.
Pertama, krisis global yang terjadi pada tahun 2009 ternyata berlangsung untuk waktu yang panjang.
Kedua, tingkat pertumbuhan yang rendah juga berkaitan dengan perubahan mendasar yang terjadi di China. Setelah mengalami pertumbuhan 8-10 persen, termasuk di 2010-2011 saat stimulus fiskal dijalankan dalam rangka program stimulus bersama oleh negara-negara G-20, China mengalami penurunan pertumbuhan sejak 2011 dan saat ini pertumbuhan diperkirakan di bawah 7 persen.
Ketiga, tingkat pertumbuhan perdagangan dunia di bawah pertumbuhan perekonomian dunia di 2016.

(hlm. 215)
Daya Saing Indonesia dan Norma Baru
Tampaknya Indonesia belum memanfaatkan offshoring jasa-jasa seperti call center, pengembangan piranti lunak, back office work, desain, dan lain-lain yang dapat dikontrakan (outsourcing) ke luar, seperti yang dilakukan India dan beberapa negara lain di ASEAN seperti Filipina.

(hlm. 216)
Ada beberapa hambatan utama yang perlu diatasi jika kita ingin sektor jasa-jasa maju dan menjadi berdaya saing serta menyerap tenaga kerja yang terus meningkat di Indonesia. Yang terutama adalah restriksi investasi di sektor-sektor jasa, seperti pendidikan, kesehatan, distribusi dan logistik dalam negeri, dan pembangunan infrastruktur.

(hlm. 217)
Persaingan Usaha dan Inovasi Daya Saing oleh M. Nawir Messi
DAYA saing Indonesia merosot dari peringkat ke-37 tahun lalu menjadi peringkat ke-41 tahun ini dari 138 negara.

(hlm. 219)
Persaingan, Inovasi, dan Penguasaan Pasar
Persaingan usaha yang sehat saat ini sudah menjadi sebuah tata nilai yang diakomodasi oleh hampir semua negara di dunia.

(hlm. 220)
Nokia dalam industri gawai (gadget)/ telepon seluler, dan Siemens dalam industri infrastruktur telekomunikasi yang begitu dominan penguasaannya di pasar dunia, saat ini seolah tenggelam bahkan seperti menghilang dari pasar.

(hlm. 222)
Kebijakan Persaingan dan Daya Saing
Pada tahun 2001, segera setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berdiri, KPPU menemukan fakta bahwa kewenangan penetapan tarif penerbangan dimiliki oleh Indonesian National Carrier Association (Inaca), di mana mereka kemudian menetapkan batas atas dan bawah tarif. KPPU kemudian meminta pemerintah mencabut kewenangan Inaca tersebut karena merupakan praktik kartel. Pemerintah mencabutnya dan menetapkan sendiri tarif dengan hanya menetapkan tarif batas atas. Hal ini dilakukan seiring dengan deregulasi di industri penerbangan, yang mendorong lahirnya beberapa maskapai penerbangan baru.
Efeknya luar biasa. Tarif penerbangan di beberapa rute turun sampai 50 persen lebih. Rute-rute baru bermunculan. Jumlah penumpang meningkat secara eksponensial. Apabila sebelum deregulasi jumlah penumpang kurang dari 1 juta penumpang, saat ini jumlah penumpang mencapai 70 juta penumpang. Angkutan kargo pun demikian. Efek domino berikutnya sangat mengagumkan. Persaingan ketat di dalam negeri, mendorong tumbuhnya daya saing maskapai penerbangan Indonesia. Setelah menguasai pasar domestik, mereka juga masuk ke dalam pasar Malaysia melalui Malindo dan Thailand melalui Thai Lion Air. Garuda juga terpilih sebagai maskapai terbaik kelas ekonomi. Semua terjadi karena persaingan usaha yang sehat.
(hlm. 225)

Mengatasi Ketimpangan Ekonomi dengan Reformasi Pasar oleh Muhammad Syarkawi Rauf
Hal ini dapat diamati pada semakin meningkatnya jumlah industri yang dikuasai oleh hanya satu sampai tiga pemain besar dengan penguasaan lebih dari 50 persen pangsa pasar. Sekitar 409 kegiatan usaha, 55,25 persen (226) kegiatan usaha memiliki tingkat konsentrasi lebih dari 75 persen, 26,16 persen (107) kegiatan usaha dengan konsentrasi 50-75 persen, dan 18,60 persen (76) kegiatan usaha dengan konsentrasi kurang dari 50 persen (KPPU, 2015).
Indeks gini secara nasional meningkat dari 0,308 tahun 1999 menjadi 0,329 tahun 2002, 0,364 tahun 2007, dan 0,413 tahun 2013.
Hal ini ditunjukkan oleh penguasaan pasar oleh kurang dari lima pelaku usaha di komoditas pangan, obat, keuangan, pertambangan, dan lainnya. Struktur pasar oligopoli yang mengarah ke kartel telah merampas kebahagiaan (consumer surplus) yang seharusnya dinikmati oleh konsumen, khususnya masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.
Sejalan dengan itu, kartel yang mengeksploitasi konsumen secara berlebihan adalah kejahatan ekonomi luar biasa. Para pelaku kartel mengeksploitasi konsumen dengan cara membatasi pasokan (output restriction) dan menetapkan harga tinggi (price fixing). Perilaku kartel berpotensi terjadi di hampir semua komoditas dengan tingkat pasar yang tinggi, seperti perdagangan komunitas pangan, khususnya beras yang dikuasai oleh kurang dari lima pedagang besar di setiap provinsi.
Tingkat konsentrasi pasar yang tinggi tercermin pada penguasaan pasar oleh empat perusahaan terbesar di masing-masing sektor (CR4) yang dapat diamati pada industri manufaktur nasional, di mana CR4 industri manufaktur meningkat menjadi 54 persen pada tahun 2012.
(hlm. 226)
Ketimpangan di negara miskin lebih disebabkan oleh kebijakan dan kelembagaan ekonominya yang bersifat ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir oligopolis.
Pertama, regulatory review dimaksudkan untuk menilai ulang semua undang-undang, perpres, permen, dan perda yang menciptakan hambatan masuk bagi pelaku usaha baru di setiap sektor strategis.

(hlm. 227)
Strategi Reindustrialisasi Indonesia oleh Mudrajad Kuncoro
Kendati nilai tambah yang disumbangkan sektor industri mencapai 19,9 persen dari produk domestik bruto (PDB), kinerja ini masih jauh dari yang ditetapkan pemerintah sekitar 21 persen terhadap PDB selama 2015-2016.

(hlm. 228)
Arah Kebijakan dan Fakta
Pertama, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedua, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Daftar negatif investasi dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 setidaknya untuk getah karet dan bahan baku farmasi.

(hlm. 229)
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dari tahun 2006 sampai dengan 2014 jumlah perusahaan besar di Indonesia cenderung menurun: jumlah perusahaan besar tahun 2006 sebanyak 29.468, kemudian menurun hingga tahun 2014 menjadi 24.529.
Penyebab Deindustrialisasi
Pertama, gejala deindustrialisasi telah menjadi isu besar di negara-negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia, dengan hengkangnya pabrik-pabrik industri pengolahan ke India, Vietnam, dan lain-lain untuk mengejar upah buruh yang lebih murah. Bagi industri padat karya, komponen upah dan gaji pekerja berkisar 12 persen hingga 34 persen dari total biaya. Untuk industri yang tergolong footloose atau cost minimisers, perusahaan gampang hengkang ke daerah atau negara lain yang menawarkan upah buruh lebih murah.
Kedua, di negara-negara lain, gejala deindustrialisasi muncul belum terlalu lama, terutama disebabkan oleh masuknya produk-produk murah dari China.

(hlm. 230)
Ketiga, semakin meningkatnya negara kita menjadi negara yang konsumtif.
Keempat, masih kurangnya dukungan universitas dan lembaga riset dalam membantu mengatasi masalah utama yang dihadapi industri. Masih minimnya hak paten (HAKI), rendahnya riset yang berorientasi industri, serta minimnya publikasi dosen dan peneliti merupakan fakta yang perlu diatasi oleh kementerian terkait.

(hlm. 231)
Studi Suhardi dan Kuncoro (2013) menemukan bahwa deindustrialisasi tekstil dan garmen di Surakarta dan Karanganyar diakibatkan meningkatnya upah buruh, harga BBM, biaya bunga dan sewa, serta berbagai pungutan liar.

(hlm. 233)
Daya Saing SDM Industri oleh Ninasapti Triaswati
Berdasarkan World Economic Forum Global Competitiveness Index 2016-17 Index pada bidang higher education and training berada pada peringkat ke-63 (dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia berada di bawah Singapura [peringkat pertama], Malaysia [ke-41], Filipina [ke-58], Thailand [ke-62]); sedangkan pada Index Labor Market Efficiency, Indonesia pada peringkat ke-108 (di bawah Singapura [peringkat ke-2], Malaysia [ke-28], Brunei [ke-47], Vietnam [ke-63], Thailand [ke-71], dan Filipina [ke-86]).
Harus fokus pada membangun kompetensi peserta didik sesuai standar internasional di bidangnya.

(hlm. 235)

Desentralisasi Fiskal
Beberapa negara menjadi benchmark model desentralisasi dunia dengan menggunakan indikator berbasis kinerja (misalnya Australia dan Afrika Selatan) dan menjadi semakin dinamis dengan penggunaan data yang lebih akurat.

(hlm. 237)

Memperkuat Paket Kebijakan Ekonomi 2016/2017 oleh Padang Wicaksono
Bahwa stimulus fiskal merupakan instrumen kebijakan ekonomi yang cukup efektif dalam jangka pendek.
Optimalisasi Anggaran. Jika ini adalah problem mendasar, maka program pembangunan yang memerlukan proses lelang harus dikurangi (jika tidak urgen) kemudian diganti dengan swakelola, penunjukan langsung, dan sejenisnya yang prosesnya cepat dan bisa langsung dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah.
Menunda Kenaikan Dasar Listrik
Listrik tidak dapat diperdagangkan atau diselundupkan secara bebas di pasar sebagaimana BBM.
(hlm. 240)

Membangun Daya Saing Ekonomi Melalui Pembangunan Institusi oleh Rimawan Pradiptyo
Tidaklah mengherankan jika di tahun 1995, misalnya, dikenal negara-negara Asian Tiger, termasuk Indonesia, atau di awal dekade 2000-an muncul Celtic Tiger, julukan bagi kinerja ekonomi Republik Irlandia saat itu.
North (1990) mendefinisikan aspek kelembagaan/institusi sebagai aturan main yang dikembangkan di suatu negara untuk menciptakan sistem insentif dalam berbagai aspek kehidupan sehingga hukum/aturan dapat ditegakkan.
Mengambil analogi dalam periode optimalisasi ataupun analisis regresi, kinerja ekonomi dapat dianalogikan sebagai necessary condition (syarat yang diperlukan), sementara pembangunan institusi dapat dianalogikan sebagai sufficient condition (syarat yang mencukupi).
Ironisnya, diperlukan minimal 20 tahun bagi negara lain untuk menyiapkan sistem JKS mereka. Studi dari Carrin dan James (2005) menunjukkan Kosta Rika membutuhkan waktu 20 tahun, Korea Selatan memerlukan 26 tahun, dan Jepang perlu waktu 36 tahun untuk membangun sistem JKS mereka.

(hlm. 242)

Fakta di atas menjelaskan mengapa setelah ratifikasi Konvensi PBB tentang AntiKorupsi (UNCAC) di tahun 2003, negara-negara maju di Eropa tidak membentuk lembaga antikorupsi karena sistem antikorupsi telah terbentuk di setiap sektor.

(hlm. 245)

Strategi “Positive-Sum” Penguatan Daya Saing Industri oleh Rina Indiastuti
Sederhananya, investor asing boleh memanfaatkan sumber daya alam atau turut memiliki berbagai korporasi, tetapi benefit yang ditimbulkan harus lebih besar dibandingkan dengan kerugian atas pemanfaatan sumber daya dan aset kita.

(hlm. 249)

Daya Saing Pertanian dan Ketahanan Pangan Pasca Perundingan WTO Nairobi oleh Rina Oktaviani
Bagi negara-negara anggota, WTO merupakan wadah untuk merundingkan dan memperjuangkan disepakatinya aturan-aturan yang sesuai dengan kebutuhan setiap negara.
Fleksibilitas Negara Berkembang
Negara-negara berkembang dapat menggunakan mekanisme SSM (special safeguard mechanism) untuk menghentikan impor ketika impor tersebut mengancam pembangunan perdesaan dan ketahanan pangan tanpa harus membuktikannya dengan mekanisme yang berbelit. Seperti yang telah diketahui, produk-produk pertanian yang beredar di Indonesia masih menggantungkan pasokan pada impor, seperti gula, kedelai, jagung, daging sapi, dan produk susu.

(hlm. 253)

Produktivitas dan Daya Saing Indonesia dalam Konteks Demografi oleh Sonny Harry B. Harmadi
Pertama, rata-rata beban ketergantungan di setiap rumah tangga lebih rendah karena jumlah anak per keluarga semakin sedikit, orang tua memiliki kemampuan investasi yang lebih baik bagi anak mereka, khususnya gizi, pendidikan, dan kesehatan.
Kedua, dengan jumlah anak yang lebih sedikit per perempuan, maka perempuan dapat masuk ke pasar kerja dan menggunakan sebagian waktunya untuk kegiatan produktif secara ekonomi, menambah pendapatan keluarga. Ketiga, beban rumah tangga yang semakin kecil menyebabkan rumah tangga memiliki kemampuan menabung yang lebih besar.

(hlm. 254)

Tantangan Kependudukan Indonesia
Tentu tambahan lebih dari 66 juta penduduk dalam waktu 30 tahun menjadi tantangan tersendiri. Bandingkan saja dengan proyeksi tambahan penduduk Inggris dalam periode yang sama “hanya” sekitar 6 juta jiwa. Population Reference Bureau (2014) bahkan memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 365 juta pada tahun 2050, yang artinya jumlah penduduk pada tahun 2045 diperkirakan mendekati 350 juta jiwa.
Rata-rata lamanya sekolah penduduk usia dewasa (25 tahun ke atas) berdasarkan Susenas 2014 baru mencapai 7,9 tahun atau setara hampir kelas II SMP.

(hlm. 255)

Jika membandingkan kondisi desa-kota, juga diketahui adanya kesenjangan yang cukup besar, di mana untuk kota angkanya mencapai 9,3 tahun, sedangkan desa hanya sekitar 6,6 tahun.
Dalam hal kesehatan, risiko kematian ibu melahirkan masih tinggi karena beberapa hal, di antaranya kualitas antenatal care dan usia kawin pertama perempuan. Bisa dibayangkan bahwa masih ada 11 persen perempuan Indonesia yang menikah saat usianya di bawah 16 tahun (melanggar UU Perkawinan), dan 53 persen perempuan menikah ketika usianya belum 20 tahun (risiko tinggi dalam kehamilan dan melahirkan). Tidak mengherankan angka kematian ibu melonjak drastis dari 228 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2007 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2012.
Dengan child survival rate yang rendah, tidak mengherankan jika masih banyak pasangan usia subur yang memiliki keinginan untuk memiliki banyak anak.
Terkait dengan tabungan, data Bank Dunia (2011) menunjukkan bahwa hanya 20 persen orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal. Data lainnya dari Survei Neraca Rumah Tangga yang memiliki tabungan di bank, lembaga keuangan non-bank, dan non-lembaga keuangan.

(hlm. 256)

Di tahun 2015, Bappenas memproyeksikan 53,3 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, sedangkan di tahun 2035 jumlahnya akan mencapai hampir 67 persen. Belum lagi adanya perkiraan di tahun 2035 bahwa hampir 90 persen penduduk Jawa Barat akan tinggal di daerah perkotaan.
Tantangan Ketenagakerjaan Indonesia
Pada tahun 2002, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 100,77 juta orang dengan kesempatan kerja hanya tersedia untuk 91,64 juta orang. Berarti saat ini ada sekitar 9,13 juta orang yang menganggur. Sementara di tahun 2015 terdapat 128,30 juta angkatan kerja dengan jumlah kesempatan kerja mencapai 120,85 juta. Ada 7,45 juta orang yang menjadi penganggur di tahun lalu (5,81 persen).
Struktur lapangan kerja formal mengalami peningkatan selama periode 2009-2015. Proporsi pekerja formal meningkat dari 30,51 persen menjadi 42,06 persen dan informal turun dari 65,59 persen menjadi 57,94 persen. Pekerja yang kurang produktif, seperti pekerja bebas pertanian, bebas non-pertanian, dan pekerja keluarga tanpa upah, sudah menurun, tetapi jumlahnya masih besar dan sebagian besar jumlahnya adalah pekerja miskin.

(hlm. 257-258)

Pada Februari 2014-2015, jumlah pekerja formal meningkat 3,52 juta pekerja dan pekerja informal menurun 2,31 juta.
Tahun 2013, sekitar 45,62 persen angkatan kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD ke bawah, sedangkan yang berpendidikan SMP mencapai 18,73 persen. Berarti jika digabungkan, sekitar 64 persen angkatan kerja kita berpendidikan SMP ke bawah. Hanya 6,78 persen angkatan kerja kita yang berpendidikan sarjana atau lebih tinggi. Hal lain yang perlu dicermati ialah tingginya angka pengangguran pada kelompok pendidikan SLTA (SMA dan SMK). Saat ini sekitar 11,16 persen lulusan SMA menganggur dan 9,74 persen lulusan SMK yang menganggur, dengan tren meningkat. Berdasarkan data BPS 2013, kenaikan upah antarjenjang pendidikan justru paling rendah dari SMP ke SMA. Jika seorang pekerja pendidikannya naik dari SD ke SMP, upahnya akan naik 121 persen, sedangkan pekerja yang pendidikannya naik dari SMP ke SMA upahnya hanya naik sekitar 49 persen. Lebih lanjut, lama mencari pekerjaan untuk lulusan SMP hanya 1,8 bulan, sedangkan lulusan SMA bisa menghabiskan waktu hingga 5,1 bulan hanya untuk mencari pekerjaan. Hal ini dapat menciptakan disinsentif bagi pekerja untuk meningkatkan pendidikannya hingga taraf SMA/SMK.
Beberapa keterampilan yang dibutuhkan antara lain penguasaan bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) dan kemampuan penguasaan komputer serta teknologi informasi.
(hlm. 259)

Langkah ke Depan
Memasuki 2045, Indonesia tidak lagi berada dalam periode bonus demografi, berbagai literatur menunjukkan bahwa setiap negara yang telah melampaui periode bonus demografi dapat memanfaatkan bonus demografi tahap dua (the second demographic dividend). Syaratnya, warga lansia tetap produktif dan berkontribusi dalam kegiatan ekonomi serta memiliki tabungan yang cukup. Namun, masalahnya, warga lansia di 2045 adalah mereka yang lahir pada generasi 1985 sebelumnya.
Tidak ada pilihan, kita harus betul-betul memanfaatkan periode bonus demografi yang telah berlangsung sejak 2012. Kesalahan kebijakan dapat menggagalkan kita dalam mengoptimalkan bonus demografi. Beban pensiun dan jaminan hari tua pasca 2045 akan sangat besar.
(hlm. 262)

Peran BUMN Mendukung Industrialisasi oleh Tanri Abeng
Melalui profitisasi, nilai-nilai BUMN tersebut akan meningkat. Kemudian pada saat meningkat barulah dijual sebagian, yang kemudian hasilnya digunakan untuk membayar sebagian utang-utang kita sehingga tujuan membentuk Kementerian BUMN dengan menggabungkan 158 BUMN dalam satu payung kementerian adalah sebagai profitisasi dalam rangka meningkatkan nilai dari BUMN tersebut.
Meskipun begitu, sebenarnya reformasi BUMN masih belum berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan masih adanya pengaruh-pengaruh politisasi dan birokratisasi yang belum kita tuntaskan.
Tahun 1998, 15 perusahaan perkebunan kita menguasai 38 persen dari market share sawit, sekarang diketahui sisa 5 persen.
(hlm. 266)

Sinergi Mikroregionalisasi dan Mikroregionalisme di Kawasan Perbatasan oleh Tirta N. Mursitama

  1. Pengelolaan kawasan perbatasan tidak bisa hanya diserahkan kepada negara (state) atau pasar (market) saja.
  2. Para pelaku pasar perlu berbagai upaya yang kreatif dan inovatif agar dapat mengirimkan sinyal kepada negara berkait dengan kebutuhan-kebutuhan bisnis mereka.
  3. Kawasan perbatasan seharusnya diperlakukan berbeda dengan kawasan yang tidak berbatasan dengan negara lain.
  4. Hal terpenting dari semua pilihan di atas adalah keberanian untuk memilih di antara pilihan yang ada dan melakukan eksekusi dengan tegas dan konsisten serta siap mengantisipasi konsekuensi yang muncul.
    (hlm. 267)

Hilirisasi: Keunggulan Komparatif ke Daya Saing oleh Tri Widodo
“Good time means bad policies, bad time means good policies,” yaitu “ketika situasi baik, maka kebijakan pemerintah bersifat liberal, sebaliknya ketika situasi buruk, maka kebijakan pemerintah bersifat tertutup.”
Selama krisis, pemerintah berkomitmen untuk menghapus semua lisensi impor, termasuk izin impor yang jatuh di luar komitmen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebelumnya (Vanzetti dkk., 2015).

(hlm. 269)

Keunggulan komparatif merupakan keunggulan yang tercipta karena kepemilikan faktor (factor endowments), seperti kepemilikan sumber daya alam dan manusia, teknologi, serta sarana dan prasarana pendukung. Kombinasi faktor-faktor tersebut membuat sebuah negara unggul di industri tertentu. Adapun keunggulan daya saing adalah keunggulan yang tercipta dari manajemen kekuatan pasokan (supply), permintaan (demand), substitusi/komplemen (substitute/complement), pesaing baru (entrant), dan persaingan dinamis (dynamic rivalry) sehingga mampu menciptakan nilai ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan negara lain. Dengan demikian, keunggulan komparatif yang mencakup kekuatan factor endowment input lebih sempit cakupannya daripada keunggulan daya saing.

(hlm. 271)

Catatan untuk Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Industri oleh Yose Rizal Damuri
Eicheengreen (2008) mencatat bahwa peningkatan porsi sektor jasa dalam perekonomian terjadi sebanyak dua kali dalam perkembangan perekonomian. Yang pertama terjadi ketika perekonomian memasuki kelompok middle income disebabkan meningkatnya permintaan output sektor jasa, baik sebagai input bagi produksi maupun konsumsi masyarakat. Yang kedua, terjadi pada saat perekonomian semakin matang ketika keterampilan dalam perekonomian lebih mengarah pada jasa bernilai tambah tinggi.
(hlm. 275)

LIKUIDITAS

(hlm. 276)

Perubahan Kebijakan Stabilisasi Perekonomian sejak Krisis Ekonomi 1998 oleh Anwar Nasution
Terdapat tiga komponen kebijakan stabilisasi perekonomian untuk mengatasi krisis ekonomi periode 1997-1998. Pertama, mengubah kebijakan moneter dan kredit perbankan. Kedua, mengubah kebijakan fiskal, termasuk otonomi daerah dan administrasi keuangan negara. Ketiga, melakukan restrukturisasi di sektor riil (supply side economic).
(hlm. 277)

Pertama, Kebijakan Moneter. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, BI tidak lagi bertugas memacu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja ataupun memeratakan pendapatan masyarakat.

  1. Mengganti sistem kurs devisa tetap dengan sistem kurs devisa mengambang. BI tidak mampu lagi mempertahankan sistem kurs devisa pada 1997 karena menipisnya cadangan devisanya.
    Pada sistem devisa mengambang, pada hakikatnya kurs ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar tanpa intervensi bank sentral.
    (hlm. 278)
  2. Menghentikan kebijakan kredit program serta represi finansial yang di masa lalu digunakan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Setelah reformasi, sistem perkreditan beralih ke sistem mekanisme pasar yang menggunakan aturan Basel yang berbasis risiko.
    Kedua, kebijakan fiskal. Program Dana Moneter Internasional (IMF) periode 1997-2003 mengganti disiplin fiskal dan strategi pemerintah dari “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berimbang” dengan disiplin fiskal dan strategi berutang Uni Eropa (UE). Disiplin fiskal dan strategi berutang UE tersebut tercermin dalam Stability Pact Maastricht Treaty tahun 1991. Disiplin fiskal UE membatasi jumlah maksimum defisit APBN sebesar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Strategi berutang UE membatasi jumlah maksimum rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 60 persen. Disiplin fiskal dan strategi berutang tersebut dimuat dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan berlaku untuk pemerintah pusat dan daerah. Lanjutan dari implementasi undang-undang tersebut adalah otonomi daerah.
    Berbeda dengan pemerintahan sebelum era Reformasi, UU Nomor 22/1999 dan Nomor 25/1999 memberikan otonomi politik dan anggaran kepada pemerintah daerah (pemda). Dewasa ini pemerintah pusat hanya mengurus lima hal pokok, yakni keuangan, pertahanan, luar negeri, agama, dan administrasi negara.
    (hlm. 279)

Juga tidak ada kemampuan departemen teknis dan pemda untuk mengelola keuangan negara berdasarkan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Nomor 15/2004 tentang Pengelolaan dan Akuntabilitas Keuangan Negara. Ketiga undang-undang ini mengubah total ICW yang diwarisi dari zaman kolonial.
Penerimaan yang dipungut sendiri itu disebut sebagai pendapatan asli daerah.
Dewasa ini lebih dari sepertiga pengeluaran APBN pemerintah pusat telah diserahkan kepada pemda. Selain dari transfer–penerimaan pajak yang dipungut oleh pusat–juga ada transfer dana perimbangan. Keduanya ini disebut sebagai transfer dari pusat (TRA). Dana TRA merupakan 70 hingga 80 persen dari pendapatan daerah. Penerimaan dari pembagian laba badan usaha milik daerah (BUMD) sangat kecil. Penerimaan dari penjualan ataupun persewaan aset daerah juga sangat kecil walaupun sudah banyak taman rekreasi dan sekolah yang berubah menjadi pusat pertokoan dan hutan pemda menjadi tambang serta kebun wisata.
(hlm. 280)

Pada gilirannya, BPD-BPD itu mendaurulangkan dana itu ke Jakarta untuk digunakan dalam bentuk pinjaman antarbank, membeli SUN ataupun SBI.
Ketiga, kebijakan restrukturisasi. Menurut teori ekonomi makro, potensi pertumbuhan ekonomi merupakan fungsi dari pertumbuhan jumlah penduduk, terutama tenaga kerja produktif, pemupukan stok barang modal, serta kemajuan teknologi. Kebijakan pertama dan kedua menyangkut kebijakan pada sisi permintaan (demand side). Kebijakan ketiga merupakan kebijakan peningkatan efisiensi dan produktivitas di sisi produksi atau penawaran (supply side).

(hlm. 282)

Mengapa Konsolidasi BUMN dan Bank Diperlukan? oleh A. Tony Prasetiantono
Di Indonesia, saat ini jumlah bank ada 118 bank umum. Ini terlalu banyak (overpopulated). Misalnya, dibandingkan dengan di Malaysia yang hanya delapan bank, itu pun ke depannya masih akan ada konsolidasi lagi, hingga jumlahnya hanya lima bank, untuk jumlah penduduk 30 juta. Di Singapura, dengan penduduk kurang dari 6 juta, jumlah bank Singapura tersebut merupakan “top 3” dalam hal total aset di Asia Tenggara.
(hlm. 283)

Konsolidasi perbankan juga bisa berpotensi memangkas suku bunga, sebagaimana yang diinginkan Presiden Joko Widodo.

(hlm. 284)

Persoalan Likuiditas Valas oleh Abdul Manap Pulungan
Ketersediaan likuiditas di Indonesia, terutama valuta asing (valas), masih menjadi persoalan yang cukup rumit. Hal itu bermula dari tingginya ketergantungan ekonomi domestik terhadap faktor-faktor produksi asing di tengah-tengah minimnya ketersediaan valas.
Secara umum, beberapa aktivitas yang memerlukan valas (demand) adalah impor industri (terutama barang modal dan bahan baku/penolong) hingga pembayaran utang pemerintah dan swasta.
Sejak krisis 1997/1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS cenderung terdepresiasi. Salah satu faktor pendorongnya adalah dangkalnya aktivitas transaksi valas di dalam negeri. Dalam catatan Bank Indonesia (2016), rata-rata harian volume transaksi valas pada 2015 hanya 4,5 miliar dollar AS, lebih rendah dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia yang masing-masing 11 miliar dollar AS dan 13 miliar dollar AS. Komparasi terhadap produk domestik bruto rata-rata harian volume transaksi valas di Indonesia hanya 0,52 persen.
(hlm. 286)

Faktor kedua terkait dengan pelambatan ekonomi di China sebagai mitra dagang utama di Indonesia.

(hlm. 288)

Mendorong Sektor Perbankan Lebih Kuat oleh Andry Asmoro
PERANAN perbankan dalam pembiayaan korporasi masih sangat besar dibandingkan dengan institusi keuangan lainnya. Total, pembiayaan melalui perbankan masih sekitar 80 persen, dibandingkan dengan penerbitan obligasi dan saham korporasi.

(hlm. 289)

Sumber pembiayaan melalui initial public offering (IPO) dan rights issue tahun 2016 mencapai Rp 59,4 triliun; naik dari Rp 24,1 triliun pada 2015.

  1. Saat ini perbankan nasional sedang menghadapi tantangan pelambatan pertumbuhan kredit.
    Perekonomian Indonesia tahun 2016 kemungkinan hanya akan tumbuh 5 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu yang sebesar 4,8 persen.
    (hlm. 290)

Keempat, penerapan Basel 3 berpotensi membatasi pemberian kredit jangka panjang di masa depan, terutama karena adanya penerapan net stable funding ratio (NSFR).

(hlm. 292)

Persoalan Likuiditas Perbankan oleh Anton Hendranata
Di Indonesia, likuiditas perekonomian didominasi oleh sektor perbankan melalui deposito, sekitar 41 persen dari produk domestik bruto (PDB), diikuti saham 27 persen dan obligasi 14 persen.
(hlm. 293)

Paket deregulasi perbankan dimulai dari 1983. Ketika itu pagu kredit dihapus dan bank diberi kebebasan untuk menetapkan bunga kredit dan simpanan. Selanjutnya, pada 1988 terbit Pakto 88 (Paket Deregulasi Perbankan Oktober 88) yang memberikan kemudahan pendirian bank. Tahun 1991, pemerintah meluncurkan ketentuan minimum capital adequacy ratio (CAR) sebesar 8 persen. Namun, di tahun 1993, pemerintah melonggarkan CAR yang dianggap memberatkan bank.
Menjelang krisis ekonomi dan moneter 1998, pemerintah mengeluarkan Pakjul (Paket Juli) untuk membatasi kredit. Sayangnya, pada 1998, Indonesia jatuh dalam krisis moneter dan perbankan sehingga ada 16 bank yang dilikuidasi. Untuk mengatasi krisis ini, dimulailah program restrukturisasi perbankan selama empat tahun dari 1998 hingga 2002.
Jika kita bandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, Indonesia mempunyai bank komersial terbanyak dan berkali lipat (118 bank). Di Filipina terdapat 41 bank, Thailand 31 bank, dan Malaysia hanya 27 bank.
(hlm. 294)

Walaupun jumlah bank sangat banyak, ternyata masyarakat Indonesia yang bankable atau memiliki rekening di bank hanya 36 persen.

(hlm. 295)

Efektivitas Pasar Uang Antarbank (Interbank Money Market)
Oleh karena itu, Bank A dan B lebih memilih menempatkan surplus likuiditasnya ke Bank Indonesia (BI), sedangkan Bank C tetap mengalami krisis likuiditas atau defisit likuiditas. Inilah yang disebut pasar uang antarbank tidak berjalan efektif dan lancar.
Bagaimana dengan Bank C yang kesulitan likuiditas? Teorinya, ya, pinjam saja ke BI melalui fasilitas lending facility (LF). Namun, ini tidak mudah bagi Bank C, yang mau memanfaatkan lending facility dari BI, karena sering muncul stigma bahwa Bank C bermasalah karena bank lain tidak mau membantu memberikan pinjaman. Melihat Bank C menggunakan lending facility dari BI, biasanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan segera menginterogasi dalam tanda kutip, dan ini cenderung dihindari oleh bank. Walaupun sebenarnya Bank C masih bagus, kebetulan saja, agak meleset perhitungan likuiditas hariannya. Intinya, lending facility akan dihindari oleh bank. Bank akan selalu mencari likuiditas pasar di pasar uang antarbank (PUAB), berapa pun suku bunganya. Liquidity is king, berapa pun biayanya akan diambil di market. Profit and loss menjadi pertimbangan berikutnya. Oleh karena itu, tidak heran kalau suatu saat terjadi lonjakan suku bunga PUAB O/N secara signifikan menjauhi suku bunga deposit facility (DF).

(hlm. 296)

Solusi: Memperbaiki Pasar Uang Antarbank
Pengalaman pada akhir September 2016, ketika pembayaran pajak besar-besaran di periode I amnesti pajak, bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Pada 28 September 2016, likuiditas harian di bawah Rp 50 triliun, yaitu hanya Rp 41,8 triliun (likuiditas harian terendah sepanjang tahun 2016). Padahal, jika kita lihat likuiditas total bank yang ditempatkan di BI relatif cukup besar dan aman, yaitu Rp 285,2 triliun.

Solusi: Memperbaiki Dana Pihak Ketiga
Di Indonesia, agak miris, ada pembeli motor Honda CBR 150R yang harganya Rp 33,4 juta, bayar cash dengan koin lagi.
(hlm. 297)

India mengambil kebijakan menarik uang nominal besar dari perekonomiannya. Akibatnya, uang kontan yang dipegang rakyat India turun drastis. Uang kontan masuk ke sistem perbankan, likuiditas bank naik signifikan. Dan apa yang terjadi, bank-bank banyak membeli obligasi pemerintah, yang menyebabkan harga obligasi pemerintah India naik. Padahal, terpilihnya Trump memberikan dampak negatif terhadap anjloknya harga obligasi dunia, termasuk Indonesia, tapi tidak untuk obligasi India yang harganya naik.
(hlm. 299)

Normalisasi Peran Perbankan sebagai Intermediasi Perekonomian oleh Aviliani
Struktur tersebut sangat berbeda dengan negara maju, yang didominasi bank-bank investasi (investment banks) dan lembaga keuangan nonbank, seperti pasar modal.
(hlm. 300)

Situasi 2016 Penuh Tekanan
Program amnesti pajak nyatanya juga menyedot likuiditas bank karena wajib pajak menarik dananya untuk membayar kewajiban dana tebusan, dan bukan berasal dari dana repatriasi. Selain itu, bank yang ditunjuk sebagai bank persepsi hanya 15 bank sehingga memengaruhi ketidakmerataan likuiditas di antara bank-bank, terutama Bank Kategori Unit Kegiatan Usaha (BUKU) I dan sebagian BUKU II. Dana yang masuk ke rekening pemerintah di Bank Indonesia sulit untuk kembali lagi ke perbankan, apalagi ke sektor riil, karena belanja pemerintah pusat maupun daerah mengalami keterlambatan. Adapun dana yang ditarik dari perbankan kurang lebih sampai akhir November 2016 sebesar Rp 110 triliun.
(hlm. 301)

Hingga saat ini tingkat literasi keuangan di Indonesia hanya 21,7 persen; Filipina 27 persen, Malaysia 66 persen, Thailand 77 persen, dan Singapura 98 persen. Dalam survei OJK, yang melibatkan 20 provinsi dengan 8.000 responden, menginformasi beberapa hal: (i) tingkat kepahaman responden terhadap jasa perbankan hanya 22 persen, produk dan jasa asuransi 18 persen, pegadaian 15 persen, lembaga pembiayaan 10 persen, dan pensiun 7 persen, dan pasar modal 4 persen; (ii) tingkat utilisasi perbankan 57 persen, asuransi 11 persen, dan pasar modal hanya 0,11 persen dari total penduduk.
(hlm. 302)

Kredit Usaha Rakyat Harus Dikaji Ulang oleh Awalil Rizky
Programnya adalah agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh produk dan jasa keuangan yang paling dasar, seperti tabungan, transfer, pinjaman, dan asuransi. Diupayakan dengan harga dan prosedur yang terjangkau, wajar, dan transparan.
(hlm. 303)

Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan November 2007 hingga November 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) sekitar Rp 50 triliun serta menjangkau lebih dari 12 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dana subsidi dialokasikan lebih banyak sejak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, menetapkan target spektakuler, lebih dari Rp 100 triliun. Kepada bank penyalur diberikan subsidi untuk KUR mikro sebesar 10 persen, KUR ritel sebesar 4,5 persen, dan KUR tenaga kerja Indonesia sebesar 12 persen. Suku bunga efektif bagi nasabah menjadi maksimal 9 persen. Dana subsidi APBN disediakan sekitar Rp 10,5 triliun, dari pos subsidi bunga dan kredit program yang berplafon Rp 16,5 triliun. KUR masih akan berlanjut pada 2017, subsidi siap digelontorkan lagi dengan jumlah yang setara, tetapi suku bunga efektif diharapkan menjadi maksimal 7 persen.
Pada kurun bersamaan, komite KUR melaporkan bahwa selama 2015 telah tersalur KUR kepada 1.003.533 debitur. Secara lebih khusus, ketika KUR baru lebih dimasifkan pada 2016, data rekening kredit UMKM (KUR dan non-KUR) dari Januari hingga September 2016 memang bertambah cukup signifikan, bertambah 1,23 juta, dari 11,93 juta menjadi 13,16 juta.
(hlm. 305)

Program unggulan lainnya adalah Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless banking.
(hlm. 308)

Likuiditas Perekonomian dan Dogma Ekonomi yang Dangkal oleh Achmad Deni Daruri
Anti terhadap kenaikan tingkat suku bunga jika perekonomian melemah menghadapi depresi.
(hlm. 309)

Pada prinsipnya, biaya pemulihan pertama harus ditanggung oleh pihak yang bertanggung jawab, yaitu pemegang saham, kreditur, dan deposan lembaga keuangan gagal.
(hlm. 311)

FinTech: Jalan Keluar Dangkalnya Sektor Keuangan oleh Bhima Yudhistira Adhinegara
Rasio simpanan domestik terhadap PDB Indonesia hanya 334,8 persen di tahun 2015 berdasarkan data Bank Dunia, sedangkan di tahun 2009 rasionya 33,7 persen. Artinya, hampir tidak terjadi kenaikan yang signifikan dalam pendalaman pasar keuangan dari sisi simpanan.
(hlm. 312)

Pelibatan Sektor Telekomunikasi
Misalnya, jumlah akun di perbankan dari total populasi penduduk Indonesia hanya 36 persen, sedangkan pemilik telepon genggam berdasarkan data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia sudah mencapai 318,5 juta atau 125 persen dari total penduduk. Selain itu, hampir di setiap daerah, bahkan desa, saat ini memiliki konter penjualan pulsa.
(hlm. 313)

Urgensi Regulasi
Buktinya, FinTech masih sulit beroperasi dalam bidang pinjaman karena membutuhkan tanda tangan basah. Persyaratan consumer due diligence dan enhance due diligence serta syarat administrasi lainnya menjadi hambatan FinTech.
(hlm. 316)

Memecah Kebuntuan Likuiditas untuk Memacu Pertumbuhan Inklusif oleh Budi Hikmat
Ancaman Middle Income Trap dan Memburuknya Ketimpangan
Laporan Bank Dunia untuk Indonesia pada 2014 mengingatkan the risk of growing old before growing rich jika rata-rata pertumbuhan ekonomi selama 2013 hingga 2030 mencapai 6 persen. Sebab, PDB per kapita Indonesia akan hanya berkisar 8.500 dollar AS atau lebih rendah dibandingkan dengan 12.000 dollar AS sebagai syarat kelulusan menjadi negara maju. Jelas Indonesia membutuhkan pertumbuhan yang lebih pesat. Bank Dunia membuat skenario sekira rata-rata pertumbuhan 10 persen per tahun. Dengan laju seperti ini, kita dapat lulus dengan PDB per kapita 16.000-an dollar AS pada 2030.
“Maka apa yang kalian panen hendaklah tetap pada tangkainya. Kecuali sedikit untuk kalian makan.”
(hlm. 317)

Transformasi Menuju Masyarakat Investasi
Ekonom Prancis, Thomas Piketty, menyimpulkan penyebab memburuknya ketimpangan kemakmuran melalui (r>g), di mana return kepada investor melebihi pertumbuhan ekonomi sehingga wajar apabila investasi telah dilakukan dalam waktu lama, seseorang akan menikmati akumulasi kemakmuran yang lebih besar. Sebaliknya di Indonesia ada kenyataan (d<g), di mana bunga deposito cenderung lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi sehingga menjadi sangat mendesak bagi Indonesia melakukan transformasi from saving to investing society.
Tabel x. Kinerja Antar-aset 10 Tahun Terakhir (%):

Sep 16Annualized
AsetAvg
IHSG15
SUN12,2
Inflasi Umum5,7
Inflasi Inti4,7
Inflasi Makanan9
Bunga Deposito4,6

Terlihat capital gain untuk aset class saham yang diukur menggunakan IHSG sekitar 250 persen atau rata-rata bertumbuh 15 persen per tahun. Angka ini hampir tiga kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama sebesar 5,95 persen.

Mempertemukan Dua Generasi
Banyak anggota masyarakat yang belum tahu banyak generasi tua (baby boomer pasca-Perang Dunia II) yang relatif kaya, tetapi kurang bahagia. Mereka layak disebut kaya mengingat real asset, terutama rumah tinggal atau properti lain seperti tanah atau kebun, tetapi mereka kurang sejahtera karena kekurangan likuiditas untuk menunjang biaya hidup sehari-hari termasuk untuk pemeliharaan kesehatan.
(hlm. 319)

Kaum milenial dapat didorong berinvestasi pada growing asset dengan membeli sebagian properti milik generasi baby boomer dengan mencicil. Tentunya dapat diatur variasi penyelesaian di mana generasi tua tetap menempati properti sampai mereka wafat.
(hlm. 322)

Industri Keuangan Inklusi sebagai Mesin Daya Saing Perekonomian oleh F.X. Sugiyanto
Daya Saing dan Kemiskinan
Sensus Ekonomi (SE) (BPS, 2006) mencatat sekitar 99,3 persen industri di Indonesia adalah UMK dengan rata-rata setiap perusahaan menyerap 1,87 orang dan sebagian besar tersebar di daerah perdesaan. Jumlah tersebut belum termasuk usaha di sektor pertanian.
Kemiskinan cenderung berkorelasi dengan perdesaan, pertanian, dan daerah pinggiran perkotaan. Di India, tingkat kemiskinan di desa 25,7 persen dan di kota 13,7 persen dan di perkotaan 8,16 persen. Karena itu, lokus kebijakan pemberantasan kemiskinan seharusnya pada daerah perdesaan dan pinggiran perkotaan, dan fokusnya ada pada sektor pertanian, sektor industri, dan sektor perdagangan dan jasa, khususnya UKM.
(hlm. 323)

Dari sekitar 20 persen UKM yang telah memanfaatkan pinjaman, baru sekitar 5 persen yang telah memanfaatkan bank, sementara lainnya memanfaatkan lembaga keuangan nonbank dan individu.
(hlm. 325)

Edukasi Keuangan
Komite KUR Kemenko Perekonomian melaporkan adanya kecenderungan meningkatnya kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) pada berbagai bank penyalur KUR. Sebagai ilustrasi, per Juli 2014, NPL KUR Bank Jabar Banten (BJB) sudah mencapai 18,9 persen, meningkat dari sebelumnya 9,6 persen. Di Bank BTN, meningkat menjadi 10,2 persen dari sebelumnya 6,9 persen (Mei 2013). Dalam membangun inklusi keuangan, kebijakan tersebut tentu tidak salah.
Terhadap kredit bersubsidi seperti KUK dan KUR, moral hazard terjadi ketika para peminjam beranggapan bahwa semua kredit telah dijamin pemerintah sehingga kalaupun kredit macet terjadi, pemerintahlah yang akan menjaminya.
(hlm. 330)

Ikhtiar Menjaga Nilai Tukar oleh Eko Listiyanto
Potensi besar yang ada dalam kegiatan ekonomi di Indonesia membuat investor asing terkadang melakukan berbagai upaya “mengakali” regulasi demi mendapatkan nisbah ekonomi di dalam negeri.
(hlm. 331)

Upaya Meningkatkan Likuiditas oleh Hermanto Siregar
Sekitar 60 persen penduduk Indonesia tidak memiliki rekening bank.
(hlm. 335)

Inklusi Keuangan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif oleh Josua Pardede
Perekonomian Indonesia terus bertumbuh dengan baik, yang dalam periode 2010-2015, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5,69 persen dengan pertumbuhan ekonomi 2016-2017 diperkirakan mencapai 5,1 persen.
Sementara di sisi kredit, baru sekitar 17 persen rumah tangga yang memiliki pinjaman dari bank, 43 persen lainnya meminjam dari berbagai sumber nonbank, dan 40 persen lainnya tidak memiliki pinjaman sama sekali.
(hlm. 339)

Membangun Sistem Moneter dan Keuangan Indonesia yang Terintegrasi dan Fungsional oleh Marsuki
Secara prinsip, cetak biru yang dimaksud harus tersedia karena Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkannya. Bagian VIII, perihal “Keuangan” di Pasal 23, menjelaskan tiga lembaga atau otoritas keuangan strategis. Pasal tentang Otoritas Fiskal (Pasal 23A dan 23C); pasal tentang Otoritas Moneter (Pasal 23B dan 23D); dan Pasar Otoritas Pemeriksa Keuangan (Pasal 23E, 23F, dan 23G).
Bank Indonesia Induk Otoritas Sistem Moneter dan Keuangan
Peran strategisnya dibagi ke dalam enam bagian, yaitu sebagai bank sirkulasi, kasir pemerintah, banker’s bank (Lender of the Last Resort, LoLR), otoritas moneter, otoritas sistem pembayaran, dan otoritas sistem keuangan.
(hlm. 340)

Berdasarkan perkembangannya, tujuan bank sentral termasuk tugasnya, bergerak dari multiple menjadi single objective.
(hlm. 342)

Mengoptimalkan Potensi Memperkuat Resiliensi oleh Mirza Adityaswara
Kondisi Terkini dan Respons Kebijakan Bank Indonesia
Meskipun risiko tersebut mulai mereda, untuk merespons ketidakpastian yang masih timbul di tengah perekonomian global, Bank Indonesia selama tahun 2014 menempuh kebijakan moneter bias ketat, dengan kenaikan sebanyak satu kali sebesar 25 bps pada November 2014 hingga menjadi 7,75 persen sampai akhir tahun. Sebagai dampak dari kebijakan tersebut, sejak awal Januari hingga 4 April 2014, aliran masuk portofolio global ke pasar keuangan Indonesia telah mencapai 6,9 miliar dollar AS.
(hlm. 344)

Untuk mengurangi tekanan nilai tukar rupiah di pasar valuta asing, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan terkait prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank.
(hlm. 347)

Outlook 2017
China merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia dan merupakan salah satu negara mitra dagang terbesar Indonesia.
(hlm. 349)

Likuiditas Perekonomian: Prospek Jangka Pendek dan Perspektif Jangka Panjang oleh
Mochammad Doddy Ariefianto
Stance kebijakan moneter “superlonggar” di mayoritas negara-negara maju telah mendorong capital inflow yang melimpah ke emerging market termasuk Indonesia.
(hlm. 350)

Sepanjang 2016, suku bunga acuan telah dipangkas sebesar 150 basis poin.
Secara musiman, aktivitas pengucuran kredit bank biasanya akan tinggi pada kuartal IV.
Dalam situasi seperti ini, investor biasanya akan memilih safe haven assets yang berdampak pada capital inflow ke emerging market. Penurunan capital inflow selanjutnya akan mengurangi pertumbuhan jumlah uang beredar.
(hlm. 357)

Kebijakan Moneter dan Transmisi Kredit Perbankan oleh Umar Juoro
Umar memperoleh gelar sarjana fisika dari Institut Teknologi Bandung (1986), Master of Arts (MA) in Economics, University of the Philippines (1987); dan Master of Arts in Political Economy (MAPE), Department of Economics, Boston University, Amerika Serikat (1992).
(hlm. 359)

Optimalisasi Transmisi
Kebijakan moneter tidaklah mempunyai efektivitas yang tinggi dalam menstimulasi ekonomi dibandingkan dengan kebijakan fiskal.
(hlm. 360)

Hanya OJK mempersyaratkan alokasi kredit usaha kecil menengah (UKM) harus lebih besar dari 20 persen dari total kredit.
(hlm. 363)

Memperkuat Potensi Dalam Negeri dalam Menghadapi Ketidakpastian Global
Dilihat secara spasial, mayoritas provinsi di Indonesia mempunyai pertumbuhan ekonomi antara 4,0 persen dan 5,0 persen atau setara dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
(hlm. 365)

Pelonggaran LTV/FTV pada sektor properti diambil karena sektor ini mempunyai efek pengganda yang besar dalam mendorong pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat dari luasnya industri yang terkait (mencapai 170 industri) dengan sektor properti sehingga perbaikan kebijakan di sektor properti akan mempunyai efek pengganda yang besar.
Selain itu, Bank Dunia juga mengumumkan peringkat ease of doing business di Indonesia naik 16 peringkat, dari peringkat ke-106 menjadi ke-91 dari 190 negara yang disurvei.
(hlm. 368)

Strategi Pemanfaatan Instrumen Moneter untuk Mendukung Fiskal oleh Yanuar Rizky
Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas defisit anggaran adalah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
(hlm. 369)

Bilamana penerbitan surat utang pun ternyata masih belum mencukupi, pada titik ini pemerintah dapat memainkan peran berbagai BUMN strategis untuk menerbitkan obligasi atau surat berharga beragun aset (asset-backed securities).
Masih pada tahap ini, pemerintah perlu berkoordinasi dengan Bank Indonesia yang akan diminta menjadi semacam penjamin akhir terhadap obligasi atau surat berharga yang diterbitkan BUMN-BUMN tadi.
(hlm. 375)

PERTUMBUHAN BERKUALITAS
(hlm. 378)

Keadilan dan Pembangunan Desa oleh Ahmad Erani Yustika
Banjir komoditas ke desa harus dimaknai sebagai penetrasi barang/jasa yang bukan merupakan kebutuhan, melainkan sebagian besar merupakan daftar “keinginan” yang dilesakkan lewat media iklan secara masif.
(hlm. 382)

Pertumbuhan yang Berkualitas oleh Arief Daryanto
Dalam laporan Bank Dunia (2016) yang berjudul Poverty and Shared Prosperity, setelah mempelajari sekelompok negara (termasuk Brasil, Kamboja, Mali, Peru, dan Tanzania) yang berhasil mengurangi ketimpangan secara signifikan selama beberapa tahun terakhir, dan mempelajari berbagai bukti yang tersedia, para peneliti mengidentifikasi enam strategi yang berpeluang memberi dampak kepada pembangunan dan pertumbuhan yang berkualitas. Keenam strategi yang dapat dirujuk sebagai best practices adalah (a) pengembangan anak usia dini dan gizi; (b) perlindungan kesehatan untuk semua; (c) akses pendidikan bermutu untuk semua; (d) bantuan tunai kepada keluarga miskin; (e) infrastruktur perdesaan, terutama jalan dan penyediaan listrik; dan (f) sistem perpajakan yang adil dan progresif.
Peranan Pertanian dalam Pertumbuhan yang Berkualitas
Laporan Pembangunan Dunia atau World Development Report (WDR) 2008 menyebutkan, sebanyak 82 persen warga miskin di negara berkembang berada di perdesaan. Dengan begitu, investasi di sektor pertanian merupakan cara terbaik bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk mengatasi kemiskinannya.
(hlm. 383)

R&D spending di Indonesia baru 0,27 persen dari produk domestik bruto (PDB) pertanian, sedangkan Malaysia 1,92 persen. Karena R&D rendah, penemuan benih unggul yang dihasilkan tak seperti diharapkan. Padahal, return on investment untuk R&D tinggi sekali, antara 43 persen dan 151 persen (McKinsey Global Institute, 2012).
Indonesia dikelompokkan sebagai Transforming Countries. Indonesia sebagai negara Transforming Countries dicirikan dengan adanya fakta bahwa sebagian besar petani menggarap kurang dari setengah hektar lahan dan hasil panennya hanya menyediakan sedikit peluang penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan.
(hlm. 384)

Pada tahun 2016, estimasi pertumbuhan 1 persen hanya mampu menyerap 110.000 tenaga kerja (Bappenas, 2016).
(hlm. 386)

Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan oleh Asep Suryahadi
Sektor pertanian adalah sektor yang memberikan kontribusi jumlah penduduk miskin yang paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian lain.
(hlm. 390)

Lebih dari setengah angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang.
Paradigma pendidikan di Indonesia mempersiapkan seolah-olah semua anak akan belajar sampai ke perguruan tinggi.
(hlm. 394)

Tantangan Mengurangi Kemiskinan, Kerentanan, dan Ketimpangan oleh Bambang Widianto
Walaupun tingkat kemiskinan terus menurun mencapai 10,86 persen (Maret 2016, BPS), jumlahnya masih sangat besar, yaitu sekitar 28 juta orang.
Diperkirakan mereka yang miskin dan rentan miskin ini mencapai 40 persen dari semua penduduk.
Sebagai perbandingan, di Inggris 23,9 aset dikuasai oleh 1% terkaya, sementara negara paling merata adalah Hungaria di mana hanya 17,6% dikuasai oleh 1% terkaya.
(hlm. 395)

Angkatan kerja yang memperoleh pendidikan tinggi hanya sekitar 12 persen dari seluruh angkatan kerja.
Karena jumlah angkatan kerja kita yang sangat besar, yaitu sekitar 125 juta, maka lapangan kerja yang harus tercipta adalah lapangan kerja manufaktur dengan keterampilan menengah yang padat pekerja (labor intensive).
(hlm. 398)

Misalnya, bantuan siswa miskin yang sebelumnya berbasis sekolah, hanya kurang dari 5 persen anak dari keluarga miskin yang memperolehnya. Dengan memanfaatkan basis data tersebut, dalam satu tahun dapat ditingkatkan menjadi 25 persen, belum 100 persen, tetapi sudah terjadi perbaikan.
Komponen garis kemiskinan dengan bobot tertinggi adalah beras, yaitu 26 persen rata-rata nasional.
(hlm. 400)

Pertanian Menjawab Tantangan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas oleh Bayu Krisnamurthi
Tanaman bahan pangan—termasuk holtikultura di dalamnya—diusahakan hampir seluruhnya oleh petani perseorangan berskala kecil. Pengusahaan sawit terdiri dari skala besar dan kecil masing-masing sekitar 45 persen; berbeda dengan kakao, kopi, atau kelapa yang lebih besar dari 90 persen diusahakan oleh perkebunan rakyat skala kecil. Pada peternakan sapi, sekitar 70 persen produksi dihasilkan oleh peternakan rakyat, tetapi dengan pola usaha yang cenderung bukan sepenuhnya komersial. Sementara pada peternakan unggas, 80 persen produksi diusahakan bisnis skala menengah besar, tetapi 70 persen penjual ecerannya didominasi oleh pasar rakyat dan pengecer kecil.
(hlm. 401)

Saat ini pertumbuhan pertanian mencapai 3,5 persen per tahun dan berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi nasional berkisar 5-5,5 persen per tahun.
Dalam 10-15 tahun ke depan, di mana Indonesia akan mengalami periode dividen demografis dengan dominasi penduduk muda dan energik akan semakin membutuhkan asupan gizi yang semakin beragam dan berkualitas.
(hlm. 404)

Kualitas Pertumbuhan dalam Ketidakpastian Global oleh Bustanul Arifin
Para ekonom menyebutkan ketidakpastian global sekarang dengan istilah VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity), karena faktor volatilitas bersamaan dengan ketidakpastian, menambah kompleksitas dan ambiguitas.
Kekeringan hebat karena perubahan iklim yang melanda kawasan itu pada tahun 2007-2008 telah mengganggu produksi pangan secara signifikan.
(hlm. 405)

Patokan kasarnya adalah pada indeks di atas gini 0,5 persen disebut sebagai tingkat ketimpangan pendapatan tinggi, di bawah 0,3 disebut tingkat ketimpangan rendah, dan indeks gini 0,3-0,5 disebut ketimpangan sedang. Sebelum berada pada tingkat ketidakstabilan politik seperti sekarang, Tunisia dan Mesir pernah menderita tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi karena angka indeks gini pernah mencapai 0,55.
(hlm. 406)

Determinan Ketimpangan Pendapatan
Agak sulit untuk membanggakan kinerja perekonomian yang mencatat pertumbuhan 5 persen, tetapi ketimpangan pendapatan masih besar dengan indeks gini 0,40, angka kemiskinan mendekati 11 persen, dan pengangguran 5,6 persen.
(hlm. 408)

Dalam hal lapangan kerja, jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2016 tercatat 118,4 juta orang atau 94,4 persen dari jumlah angkatan kerja 125,4 juta orang. Angka itu bertambah 3,6 juta orang dibandingkan dengan jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2015 sebesar 114,8 juta orang atau 93,8 persen dari jumlah angkatan kerja 122,4 juta orang. Artinya jumlah penganggur di Indonesia pada Agustus 2016 tercatat 7,03 juta orang atau 5,61 persen, atau mengalami penurunan 530.000 orang dari jumlah penganggur pada Agustus 2015 yang tercatat 7,56 juta orang atau 6,18 persen dari total angkatan kerja.
Teori dasar transformasi struktural dalam suatu pembangunan ekonomi menyebutkan, makin maju suatu bangsa, pangsa tenaga kerja di sektor pertanian pasti menurun. Namun, penurunan pangsa tenaga kerja pertanian di Indonesia jauh lebih lambat dibandingkan dengan penurunan pangsa produk domestik bruto pertanian yang kini 14,4 persen.
Pembagian pupuk, benih, dan traktor gratis bagi petani terlihat populis dalam jangka pendek, tetapi dapat mengganggu logika insentif ekonomi dan kewirausahaan petani jika membuat ketergantungan akut pada bantuan pemerintah.
(hlm. 409)

Dalam hal distribusi kepemilikan aset, petani pangan yang memiliki lahan sempit (0,5 hektar atau kurang) kini diperkirakan telah mencapai 55 persen.
Sekitar 65 persen petani miskin menerima 3 persen subsidi pupuk, tetapi 1 persen petani kaya menikmati 70 persen subsidi. Bahkan, sekitar 5 persen petani terkaya telah menikmati 90 persen subsidi pupuk yang selama ini justru terkesan amat tidak efektif. Tidak terlalu mengejutkan jika pertumbuhan pertanian tercatat hanya 2,67 persen pada triwulan III-2016, jauh lebih rendah daripada kinerja pertumbuhan ekonomi makro 5,02 persen.
(hlm. 414)

Ekonom, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tujuan Bernegara oleh Didin S. Damanhuri
Pertama, yang saya sebut sebagai negara yang GDP-oriented (berorientasi PDB), yakni, negara yang secara keseluruhan mengukur kemajuan negaranya yang utama adalah melalui struktur PDB tersebut, contohnya adalah negara adikuasa seperti Amerika Serikat.
(hlm. 415)

Namun, kemiskinan masyarakat AS juga termasuk tinggi untuk ukuran negara maju, yakni 18 persen menurut catatan statistik mereka, dengan homeless sekitar 12 persen, serta gelandangan kira-kira 2 juta.
Kedua, model negara di mana PDB-nya itu hanya sebagai indikator, dengan peranan negara, koperasi, serikat buruh, dan masyarakat madani yang sama besarnya.
Sementara PDB per kapitanya juga sangat tinggi, yakni Eropa berkisar 20.000-70.000 dollar AS, tetapi dengan tingkat pemerataan yang tinggi, yaitu 40 persen penduduk termiskinnya memperoleh lebih dari 21 persen.
Lalu, model ketiga adalah yang saya sebut sebagai Heterodox Model, yakni keluar dari perspektif sosial demokrasi ala Eropa dan perspektif neoliberalisme ala AS.
(hlm. 418)

Strategi Pembangunan Ekonomi: Perlu Langkah Korektif oleh Halim Alamsyah
Gejala deindustrialisasi dini—seperti yang diindikasikan Indef—menyebabkan pangsa sektor industri merosot menjadi sekitar 21 persen dari PDB, dibandingkan dengan sekitar 30 persen pada awal tahun 2000-an.
Beberapa sektor ekonomi, seperti pertambangan dan perkebunan, memang pernah tumbuh cepat selama 2000-2012. Akan tetapi, perkembangannya lebih banyak disebabkan oleh munculnya commodity super-cycle yang didorong oleh permintaan dunia, terutama dari China.
(hlm. 419)

Pendapatan per kapita melompat hampir tiga kali lipat menjadi sekitar 3.800 dollar AS dan Indonesia sudah termasuk masyarakat berpendapatan menengah walaupun, di kelompok bawah. Tingkat kemiskinan menurun cepat bersama dengan menurunnya tingkat pengangguran terbuka.
Dengan keberhasilan mengendalikan laju inflasi menjadi di bawah 5 persen sejak lima tahun terakhir, secara perlahan BI menurunkan suku bunga. Suku bunga kredit yang pernah mencapai 19-20 persen di awal tahun 2000 menurun menjadi 11-13 persen dewasa ini. Permintaan terhadap kredit oleh karena itu meningkat. Sektor perumahan dan properti menjadi booming sejalan dengan kenaikan pendapatan kelompok berpendapatan menengah di Indonesia.
(hlm. 421)

Tiga Masalah Pokok
Kedua, pertumbuhan ekonomi kita masih banyak bertumpu pada pertambahan input, baik berupa modal maupun tenaga kerja, bukan dari kekuatan teknologi canggih dan inovasi sebagaimana di negara-negara maju. Artinya, jika kita ingin menaikkan pertumbuhan ekonomi, maka lipat gandakan saja modal atau penggunaan tenaga kerjanya. Makin banyak input, makin tinggi pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, kita tentu tahu akan batas optimal ketika tambahan input itu tidak lagi menjadi lebih produktif dan efisien. Oleh karena itu, jangan heran apabila ICOR (incremental capital output ratio) Indonesia cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.
Sementara persaingan menarik jenis investasi berteknologi canggih tidak mudah dilakukan oleh Indonesia. Jenis investasi yang datang akhirnya adalah yang menyesuaikan dengan karakteristik Indonesia, yakni industri yang memanfaatkan sumber daya alam dan tenaga kerja murah serta tahan menghadapi berbagai hambatan birokrasi dan pungli.
Namun, kesempatan kerja yang bertambah lebih banyak terjadi di sektor jasa-jasa dan informal. Pertumbuhan sektor ekonomi yang tinggi kebanyakan dialami sektor jasa-jasa seperti transportasi, konstruksi, dan perdagangan. Sektor-sektor ini cenderung menyerap tenaga kerja kontrak dan harian tanpa kepastian jaminan hari tua. Sementara itu, jenis industri penghasil barang yang mampu terus tumbuh tinggi terbatas. Kalaupun ada, mereka akan cenderung menggunakan modal lebih intensif guna menghindari penggunaan tenaga kerja formal yang mahal biayanya jika harus dipecat.
(hlm. 422)

Langkah-langkah ke depan
Adalah fakta bahwa pangsa pasar dari tiga atau empat perusahaan terbesar (concentration ratio atau CR3 atau CR4) dari berbagai jenis usaha di Indonesia mencapai 60 hingga 90 persen dari total pasar yang ada.
Sekarang sebagian besar tingkat harga barang-barang tradable di Indonesia bahkan menjadi lebih mahal dibandingkan dengan tingkat harga internasional. Kondisi ini muncul sebagai akibat dari penerapan kebijakan perizinan yang justru menimbulkan perilaku rent seeking ditambah dengan manipulasi pasar oleh kekuatan pemain besar dengan jaringan distribusi yang berliku panjang.
(hlm. 424)

Karena sektor keuangan bersifat demand driven, mereka sulit diminta untuk menciptakan aktivitas ekonomi yang akan mendorong pembiayaan lebih lanjut. Istilahnya, banks follow trade, bukan sebaliknya.
Contoh yang paling jelas adalah fenomena mudik di hari raya tahunan ketika lebih dari 25 persen uang kertas yang beredar dibawa ke daerah-daerah, tetapi hanya dalam tempo sekitar satu bulan saja, 70-80 persen dana tersebut sudah kembali ke Jakarta.
(hlm. 425)

Sementara kita juga tahu tidak ada nomor telepon seluler yang ganda. Ini berarti penggunaan nomor telepon seluler yang digabungkan dengan berbagai produk keuangan dan perbankan, seperti uang elektronik, telah berfungsi sebagai identifikasi unik tentang diri seseorang.
(hlm. 428)

Tindak Lanjut Kebijakan Membangun dari Pinggiran oleh D. S. Priyarsono
Risiko yang perlu diantisipasi pertama-tama berkaitan dengan bahaya korupsi karena program ini berkaitan dengan dana yang amat sangat besar (Rp 46,9 triliun dalam setahun).
(hlm. 430)

Mewujudkan Kedaulatan Pangan oleh Dwi Andreas Santosa
Penerima penghargaan untuk Dosen Berprestasi Tingkat Nasional tahun 2009; Juara 1 Dosen Berprestasi Institut Pertanian Bogor, 2009. Pemegang Paten Internasional (US Patent No. 7,977,375 dan European Patent No. EP 1 791 823 AO), dan 2 Paten Nasional (Paten Sederhana dan Paten).
Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan dana subsidi untuk tahun 2014-2023 sebesar 956,4 miliar dollar AS (the Agricultural Act of 2014) atau setara dengan Rp 1.273 triliun per tahun. Negara-negara maju saat ini menguasai sektor pertanian dan pangan, sebaliknya 70 persen negara berkembang merupakan importir pangan, termasuk Indonesia. Negara maju dan perusahaan transnasional milik mereka menguasai 90 persen perdagangan pangan, 89 persen input pertanian, dan 67 persen benih dunia.
Hanya dalam tempo 30 tahun (1965-1995), peran sektor pertanian terhadap PDB menurun dari 56 persen menjadi 17 persen yang diikuti dengan peningkatan peran sektor jasa, manufaktur, dan pertambangan, yaitu masing-masing dari 31 persen menjadi 41 persen, 8 persen menjadi 24 persen, dan 4 persen menjadi 18 persen. Peran sektor pertanian sebagai penyusun PDB kemudian stabil di angka 17 persen hingga tahun 2005 (Fuglie, 2010) dan setelah itu menurun di kisaran 13-14 persen (BPS 2016). Meskipun porsinya menurun, PDB riil dari sektor pertanian melonjak hampir tiga kali lipat antara tahun 1961/1965 dan 2001/2005 dengan rata-rata 95 miliar dollar AS per tahun selama periode 2001-2005 yang menempatkan Indonesia sebagai produsen pertanian terbesar kelima di dunia (WDI).
Di sisi penyediaan lapangan pekerjaan, sektor pertanian menempati urutan tertinggi, yaitu 38,29 juta lapangan pekerjaan (Februari 2016) meskipun jumlahnya terus menurun selama dua tahun terakhir ini, yaitu 710.000 (2014-2015) dan 1.830.000 (2015-2016) (BPS, Oktober 2016). Saat ini pertanian menyediakan 31,7 persen, perdagangan 23,6 persen, jasa 16,4 persen, dan industri 13,2 persen.
Komoditas kedua terpenting adalah kelapa sawit yang mengalami peningkatan drastis, baik produksi maupun luas areal, yang menempatkan Indonesia saat ini sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Total ekspor komoditas pertanian pada tahun 2015 mencapai 27,1 miliar dollar AS atau menghasilkan devisa setara Rp 352,3 triliun.
(hlm. 432)

Hanya 12,4 persen RTT menguasai 49,7 persen tanah pertanian dengan luasan lebih dari 2 hektar, sebaliknya 56,0 persen RTT hanya menguasai 13,3 persen tanah pertanian dengan luasan rata-rata per bidang kurang dari 0,5 hektar (BPS 2013, diolah).
Rata-rata pendapatan rumah tangga petani saat ini hanya Rp 1.030.000 per bulan, yang lebih rendah dibandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP) terendah se-Indonesia (BPS 2014). Persentase penduduk miskin yang tinggal di wilayah-wilayah pertanian (pedesaan) terus meningkat dari 8,52 persen (September 2013) menjadi 13,76 persen (2014) dan 14,09 persen (2015).
Dari 28,5 juta penduduk miskin di Indonesia, sebanyak 63,08 persen adalah petani (BPS, Agustus 2016) atau masyarakat yang tinggal di pedesaan. Pada pemerintahan sebelumnya (2003-2013), sebanyak 5 juta keluarga tani terpaksa keluar dari dunia pertanian dan beralih bekerja di sektor informal atau menjadi bagian dari masyarakat miskin kota.
Tenaga kerja pertanian didominasi oleh petani yang berumur di atas 45 tahun, yaitu sebanyak 60,8 persen (ST 2013), sedangkan petani muda yang berumur di bawah 35 tahun hanya 12,9 persen.
Luas tutupan vegetasi kesembilan daerah aliran sungai utama di Pulau Jawa hanya 18 persen, jauh lebih rendah daripada yang diprasyaratkan, yaitu minimal 30 persen. Karakteristik debit sungai sepanjang tahun menunjukkan variasi yang tinggi, baik untuk rezim aliran sungai maupun antarsungai.
(hlm. 433)

Pulau Jawa yang hanya 6,59 persen dari total daratan Indonesia masih merupakan penyedia pangan terbesar di Indonesia, yaitu berturut-turut beras sebesar 51,7 persen, jagung 54,1 persen, dan kedelai 62,3 persen.
Selama 10 tahun terakhir (2003-2013), terjadi perpindahan kepemilikan lahan pertanian di Pulau Jawa dari petani ke bukan petani sebanyak 0,5 juta hektar (ST 2013, diolah).
Rekomendasi
Sektor pertanian masih merupakan penyedia lapangan pekerjaan terbesar dan penyumbang PDB kedua tertinggi setelah industri pengolahan.
(hlm. 434)

Terakhir, Badan Otoritas Pangan Nasional yang diamanatkan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang pangan perlu segera dibentuk sehingga ada lembaga khusus yang kuat dan langsung di bawah presiden yang memiliki otoritas dalam pengelolaan pangan yang relatif bebas dari intervensi dan kepentingan, baik sektoral maupun pelaku usaha.
(hlm. 436)

Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas oleh Elan Setiawan
Mlachila et. al. (2014) mengajukan kerangka konseptual untuk penyusunan indeks kualitas pertumbuhan. Kualitas pertumbuhan ekonomi, menurut Mlachila et. al. (2014), ditunjang oleh dua pilar: growth fundamentals dan social outcomes. Komponen growth fundamentals adalah growth strength, growth volatility, komposisi sektoral, dan komposisi permintaan. Sementara komponen social outcomes adalah pendidikan dan kesehatan.
(hlm. 439)

Membangun Bangsa dari Desa: Mewujudkan Pertumbuhan Berkualitas oleh Gunawan Sumodiningrat
Indonesia mengalami tekanan, terutama karena menurunnya ekspor dua komoditas unggulan Indonesia yang selama bertahun-tahun menjadi penopang ekspor nasional, yaitu minyak sawit mentah dan batu bara.
Bangkitnya nasionalisme. Itulah fenomena yang terjadi di negara-negara kapitalis.
Dari berbagai publikasi terungkap, lebih dari 70 persen ekonomi nasional
(hlm. 444)

Kembali ke Ekonomi Konstitusi 1945 oleh Ichsanuddin Noorsy
Saya mengusulkan model kebijakan close open circuit system. Basis kebijakan ekonomi Indonesia rusak sejak Perjanjian Keuangan dan Ekonomi Indonesia-Belanda 27 Desember 1949 ditandatangani.
(hlm. 445)

Kerusakan itu makin parah sejak reformasi saat terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan paket-paket kebijakan liberal lainnya. Ekonomi Indonesia makin meruyak saat liberalisasi ala Revolusi Mental, Trisakti, dan Nawacita di bawah rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla diluncurkan.
(hlm. 446)

Makna Hakiki Pembangunan untuk Kedaulatan Pangan oleh Jossy Prananta Moeis
Desa lain yang tadinya surplus beras, semenjak beroperasi perusahaan air kemasan, menjadi defisit beras karena sawah mereka kering.
(hlm. 447)

Temuan lapangan yang sederhana itu diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Sensus Pertanian (ST). Dalam periode 10 tahun (2003-2013), keluarga tani Indonesia yang memiliki lahan berkurang sebanyak 5,1 juta, dan hampir seluruhnya (5 juta) tahun 2003 “lenyap”. Artinya, sebanyak 5 juta keluarga tani, atau berganti ke profesi nonpertanian. Lalu, dari publikasi ST 1993 dan ST 2003, dapat diperoleh angka gini pemilikan lahan yang sangat mencemaskan, yaitu meningkat dari 0,64 di tahun 1993 menjadi 0,72 di tahun 2003.
(hlm. 448)

Bahkan, situasi pertanian Indonesia semakin kusut dengan berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, dan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
(hlm. 449)

Penelitian FEB UI di Garut menunjukkan bahwa dari 140 hektar lahan yang direklamasi petani penggarap, dari 4.000 hektar total lahan perkebunan negara yang sudah habis HGU-nya dan tanamannya tidak produktif lagi, telah menyejahterakan keluarga tani.
(hlm. 450)

Kesenjangan Sosial Ekonomi oleh Kwik Kian Gie
Masalah kesenjangan antara kaya dan miskin di Indonesia sudah sejak tahun 1930 dikenali oleh Prof. Boeke dalam bukunya yang berjudul Dualistische Economie. Inti dari bukunya adalah bahwa perekonomian Indonesia terdiri atas dua bagian yang tidak terkait antara yang satu dan lainnya. Yang dimaksud adalah perekonomian perkotaan dan perekonomian perdesaan, yang ditandai dengan kesenjangan yang sangat luar biasa besarnya. Tidak ada daya tarik atau pull effect dari ekonomi perkotaan terhadap ekonomi perdesaan, dan juga tidak ada trickle down effect dari ekonomi perkotaan terhadap ekonomi perdesaan.
(hlm. 451)

Dengan rasio gini sebesar 36,8, Indonesia menempati peringkat ke-79 sebagai negara yang paling tidak adil dari 145 negara.
Dengan nilai tukar rupiah sebesar Rp 13.000 per 1 dollar AS, berarti 2 dollar AS sama dengan Rp 26.000. Maka, 50 persen dari rakyat Indonesia berpendapatan kurang dari 30 x Rp 26.000 = Rp 780.000 per bulan. Tentunya mereka hidup di perdesaan karena upah minimum regional (UMR) berkisar Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan.
(hlm. 452)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967;
• Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri;
• Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994;
Infrastructure Summit I;
Infrastructure Summit II;
• Undang-Undang tentang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007.
Jumlah seluruh perusahaan adalah 57.900.787, dengan 5.066 di antaranya perusahaan berskala besar, atau 0,01 persen, sedangkan yang tergolong UMKM sebanyak 57.895.721 atau 99,99 persen.
(hlm. 453)

Nilai Tukar Rupiah
Kita mulai ketika kedudukan rupiah sudah mantap, yaitu mulai tahun 1964, yang nilainya Rp 250 per 1 dollar AS. Setelah itu perkembangannya sebagai berikut:
• Tahun 2004: 1 dollar AS sama dengan Rp 8.985
(hlm. 454)

Tahun 1970, 1 baht (Thailand) sama dengan 20 dollar AS. Tahun 2015, 1 baht sama dengan 36 dollar AS, atau nilai tukar baht terdepresiasi sebesar 80 persen saja. Contoh lain yang perekonomiannya dianggap lebih buruk daripada Indonesia adalah Filipina. Tahun 1970, 1 dollar AS sama dengan 20 peso, dan tahun 2015, 1 dollar AS sama dengan 47 peso. Dalam jangka waktu yang sama, peso terdepresiasi 135 persen.
Infrastruktur Versus Komoditas Pertanian Tradisional
Kalau produksi sangat kurang, infrastruktur yang mahal itu lantas untuk mengangkut apa? Demikian juga tol laut, untuk apa di mana-mana terdapat pelabuhan kalau kapal-kapalnya harus berlayar dengan muatan kosong?
(hlm. 455)

Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas oleh Lincolin Arsyad
Pertumbuhan yang relatif tinggi, berkelanjutan, merata, dan menciptakan lapangan kerja.
Malaysia dan Thailand, tumbuh 4,3 persen dan 3,2 persen.
Data BPS menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir ini, pangsa produk domestik bruto (PDB) yang dihasilkan di Pulau Jawa masih di atas 55 persen.
Pembangunan cenderung terkonsentrasi di wilayah Sumatra, Jawa, dan Bali yang menguasai lebih dari 80 persen pangsa PDB nasional, dan PDB per kapita wilayah barat dua kali lipat lebih tinggi daripada wilayah timur.
(hlm. 457)

Menurut Kuznets (1973), kemajuan teknologi merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan seperti digambarkan di atas, tetapi belum merupakan syarat cukup (sufficient condition). Oleh karena itu, perbaikan sistem kelembagaan, sikap, dan ideologi juga harus dilakukan demi tercapainya pertumbuhan yang berkelanjutan dan merata. Adanya inovasi teknologi tanpa disertai inovasi sistem kelembagaan ibarat sebuah bola lampu tanpa aliran listrik. Potensi yang besar tanpa adanya input pelengkap tidak akan dapat diaktualisasikan.
(hlm. 459)

Kesenjangan Pendapatan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Mobilitas Sosial oleh Mohamad Ikhsan
Tabel 1. Tren Indeks Ketimpangan Pendapatan

Tahun1976198019901999200520102016
Total0,340,340,320,320,320,370,40

Kesenjangan Versus Pertumbuhan
Fenomena pertumbuhan ekonomi tinggi, penurunan tingkat kemiskinan yang cepat, dan diikuti dengan peningkatan kesenjangan ekonomi, sering dianggap menjadi sesuatu yang normal dalam proses pembangunan ekonomi. Adalah Simon Kuznets, peraih Nobel Ekonomi dalam ekonomi pembangunan, yang menunjukkan hubungan U-terbalik antara pendapatan per kapita dan kesenjangan pendapatan. Pada awal pembangunan, kesenjangan pendapatan cenderung memburuk sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita. Baru setelah institusi kelembagaan negara terbentuk dan berjalan secara efektif, distribusi pendapatan membaik dan berjalan seiring dengan percepatan laju pertumbuhan ekonomi (Chenery dan Syrquin, 1975).
Mengapa pemburukan kesenjangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi bisa sejalan? Profesor Albert Hirschman, salah satu pemikir dan filosof ekonomi pembangunan, memberikan perumpamaan situasi di dalam terowongan (tunnel effect).
(hlm. 460)

Land reform gagal diterapkan di Filipina dan derajat tertentu di Indonesia.
Proses mobilitas dalam bidang politik kelihatannya berjalan relatif baik. Jika tidak, tidak mungkin kita mempunyai Presiden SBY atau Jokowi yang bukan berasal dari elite lama.
(hlm. 461,462)

Apakah Kebijakan Pemihakan Akan Bisa Menolong?
Di kalangan beberapa pihak, Malaysia dianggap sebagai contoh keberhasilan dari kebijakan pemihakan atau dikenal dengan New Economic Policy (NEP).
Di satu pihak, NEP telah berhasil mengangkat representasi kelompok Bumiputera (Melayu) dalam jabatan profesional, seperti insinyur, dokter, pengacara, bahkan birokrasi, secara signifikan sehingga sudah seimbang dengan kelompok suku lain. NEP juga dikatakan telah menekan tingkat kemiskinan perdesaan Malaysia dari 55 persen menjadi di bawah 10 persen pada tahun 2010. Akan tetapi, target peningkatan porsi kepemilikan aset oleh kaum Bumiputera dari 3 persen pada awal tahun 1970 menjadi 30 persen pada tahun 1990 tidak tercapai. Bahkan, data terakhir tahun 2002—sepuluh tahun kemudian—kaum Melayu hanya menguasai kira-kira 19 persen, dan kelompok China Malaysia justru mampu meningkatkan pangsanya menjadi 40 persen (2002) dari 30 persen pada tahun 1970-an. Bukan hanya itu, proses pengalihan saham ini telah menimbulkan kroni baru di sekeliling penguasa UMNO di Malaysia atau terjadinya praktik Ali Baba dalam perusahaan milik keluarga China Malaysia untuk mendapatkan akses terhadap lisensi perizinan yang memang hanya diberikan kepada kaum Bumiputera.
Sejak tahun 1950-an, Perdana Menteri Dato’ Abdul Rahman dengan Prof. Sumitro Djojohadikusumo (almarhum) telah berinisiasi dengan mencoba menciptakan calon kapitalis baru dengan politik bentengnya. Pada saat itu, kelompok kapitalis pribumi diciptakan dengan pemberian lisensi dalam ekspor-impor. Setelah terlihat sukses menelurkan beberapa kapitalis pribumi seperti Hasyim Ning, generasi berikutnya praktis gagal mempertahankan eksistensinya.
Pada awal 1980-an program ini coba digulirkan kembali dengan Sekretariat Negara sebagai ujung tombaknya dan pembelian barang pemerintah (government procurement) sebagai modus operasinya. Ginandjar Kartasasmita sebagai jenderal program ini mengumpulkan 100 pengusaha potensial—dengan modal latar belakang pendidikan yang jauh lebih baik—untuk dijadikan calon kapitalis pribumi. Tidak banyak yang berhasil dari program tersebut. Sebagian besar gagal dan menjadi pasien BPPN, dan sebagian di antaranya beralih profesi menjadi politisi.
(hlm. 463)

Pengalaman tersebut menunjukkan kebijakan preferensi telah gagal menemukan kapitalis atau entrepreneur sejati yang mampu bersaing dan mempunyai daya tahan yang kuat terhadap guncangan.

Lalu Apa yang Harus Dilakukan?
Sumber pertama adalah masih ada segmen masyarakat Indonesia yang tidak tunduk pada rule of law seperti yang terjadi pada masa the Wild West. Dalam kasus Indonesia, persoalan ini masih cukup intensif dan menimbulkan ketidakpastian. Kelompok yang dekat dengan kekuasaan memanfaatkan dan menimbulkan perlakuan diskriminatif. Solusi dalam kasus ini adalah penegakan hukum.
Sumber ketimpangan kedua masih berkaitan dengan persoalan hukum dan regulasi. Dalam konteks ini, hukum formal eksis, tetapi dalam penerapannya tidak sesuai dengan tujuan, seperti pada masa the Robber Barons. Akibatnya, kegiatan pencari rente timbul dan menimbulkan kesenjangan akses. Reformasi sistem hukum merupakan solusi untuk mengatasi persoalan ini.
Ketiga, kesenjangan bisa muncul walaupun penerapan hukumnya relatif baik karena aturan hukumnya memang tidak terdesain dengan baik dan memiliki persoalan tersendiri.
(hlm. 466)

Kualitas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia oleh M. Dawam Rahardjo
Pada masa Orde Baru, pemerintah menerapkan kebijakan suku bunga tinggi, dengan tujuan menarik dana dari luar dengan insentif suku bunga. Akibatnya, tingkat suku bunga pinjaman menjadi mahal, yang menghambat investasi dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi.
Akibatnya terjadi mismatching, pinjaman jangka pendek dipakai untuk membiayai proyek jangka panjang. Ketika kredit telah jatuh tempo, peminjam tidak mampu memenuhi kewajibannya sehingga menimbulkan krisis, berupa rush atau penarikan deposito besar-besaran dari bank.
(hlm. 467)

Sebenarnya Orde Baru telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari sekitar 60 persen pada awal 70-an menjadi 11-12 persen pada tahun 1996. Jika tidak timbul krisis moneter di Asia Tenggara pada 1997, angka kemiskinan itu bisa ditekan lebih rendah lagi.
(hlm. 471)

Membangun Pertumbuhan Berkualitas dan Berkesinambungan oleh Miyasto
Pertanyaannya adalah mengapa ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak-gejolak ekonomi dunia? Ada tiga penyebab utama. Pertama, ketergantungan Indonesia pada impor sangat tinggi, terutama untuk intermediary input. Indonesia dikatakan sebagai suatu negara yang rapuh (footloose industry). Kedua adalah tingginya utang luar negeri Indonesia. Ketiga, karena selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia baru diakselerasi oleh konsumsi masyarakat, belum oleh investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor neto, atau peningkatan kapasitas dan kualitas faktor-faktor produksi.
Dalam teori ekonomi, sebenarnya penurunan nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain dapat memberikan keuntungan bagi negara tersebut, karena harga barang domestik dilihat dari mata uang asing akan menjadi lebih murah. Demikian juga harga barang impor dilihat dari nilai mata uang nasional akan menjadi lebih mahal sehingga diharapkan ekspor akan meningkat dan impor akan menurun. Namun, hal tersebut tidak terjadi di Indonesia mengingat elastisitas suplai untuk ekspor dan elastisitas permintaan impor Indonesia masih cenderung inelastis, sehingga penurunan nilai rupiah terhadap dollar AS tidak meningkatkan ekspor dan menurunkan impor secara signifikan, tetapi justru menimbulkan stagflasi.
Penggunaan strategi ini sudah terlihat pada akhir-akhir ini. Kebijakan devaluasi yang dilakukan China dan Vietnam ternyata mampu memperbaiki posisi neraca pembayaran dan meningkatkan kinerja ekonomi domestik kedua negara tersebut.
(hlm. 472)

Akselerator Utama Pertumbuhan Ekonomi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pernyataannya di harian Media Indonesia, 20 Oktober 2016, mengatakan bahwa 1 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu menciptakan kesempatan kerja 100.000 sampai dengan 200.000 orang. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 tersebut hanya mampu menciptakan kesempatan kerja untuk 958.000 orang. Padahal, tingkat pengangguran terbuka saat ini yang harus dientaskan masih sekitar 7,6 juta orang.
(hlm. 473)

Rekomendasi
Kebijakan ini hendaknya dilakukan dengan menjaga stabilitas nilai kurs, harga bahan bakar minyak, tarif listrik, dan ketersediaan bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat.
(hlm. 475)

Reorientasi Pertumbuhan oleh Revrisond Baswir
Dalam periode 2010-2012, misalnya, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada dalam kisaran 6,2–6,5 persen. Namun, pada 2013, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tiba-tiba merosot menjadi 5,4 persen. Bahkan, pada 2015, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot lebih jauh menjadi 4,8 persen. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 diperkirakan hanya akan berada dalam kisaran 5,0–5,1 persen.
Sebagaimana diketahui, target laju pertumbuhan ekonomi 2015-2019 yang tercantum dalam RPJMN adalah sebesar 7,0 persen.
Bahkan China, yang pada tahun 2010 masih tumbuh di atas 10 persen, pada 2015 hanya mampu tumbuh sebesar 6,9 persen.
(hlm. 477)

Berdasarkan angka-angka tersebut, Bank Dunia menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsentrasi kekayaan nomor tiga terburuk di dunia. Dua negara yang mengungguli Indonesia adalah Rusia dan Thailand, masing-masing dengan tingkat konsentrasi kekayaan sebesar 66 persen dan 5,5 persen. Sebagai pembanding, tingkat konsentrasi kekayaan di dua negara tetangga terdekat, Singapura dan Australia, masing-masing hanya 28,6 persen dan 21,1 persen.
(hlm. 478)

Tantangan dan Prospek Ekonomi 2017 oleh Ryan Kiryanto
Menurut hasil survei Nielsen, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Indonesia terus naik tahun ini hingga menembus 122 pada triwulan III, meningkat enam poin dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu sebesar 116.
(hlm. 480)

Reformasi usaha yang dilakukan Indonesia dalam satu tahun terakhir, yang diukur oleh laporan Doing Business, adalah memulai usaha, kemudahan memperoleh sambungan listrik, pendaftaran properti, kemudahan memperoleh pinjaman, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas, dan penegakan kontrak.
Saat ini seorang pengusaha hanya memerlukan waktu 25 hari untuk memulai sebuah usaha dibandingkan sebelumnya yang mencapai 48 hari.
(hlm. 481)

Namun, peringkat ke-91 masih jauh di bawah target Presiden Joko Widodo yang menginginkan Indonesia masuk peringkat ke-40 tahun depan.
(hlm. 484)

Memperbaiki Kualitas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia oleh Sugiyono
Fleksibilitas lembaga menyoliasisasi produk pascapanen yang dibentuk oleh pemerintah masih kalah dengan keberanian lembaga kontrak jual beli tengkulak.
Prinsip future trading yang sangat sederhana dipraktikkan oleh tengkulak merangkap pedagang tidak kunjung berhasil dikalahkan oleh lembaga perdagangan perantara yang dibentuk pemerintah.
Politisasi kredit bergulir juga mempunyai kinerja keuangan yang masih kalah dibandingkan dengan kelincahan bank titil dan fleksibilitas tengkulak.
Penataan BUMN diatur tersendiri menggunakan Undang-Undang BUMN. Kewenangan pengawasan BUMN perbankan diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Membatasi kewenangan KPPU dalam menjaga persaingan usaha BUMN, sekalipun pada BUMN yang berstatus perseroan terbuka.
(hlm. 487)

Tantangan Menciptakan Pekerjaan Layak oleh Suharyadi
Menurut catatan ADB Institute (2015), sebanyak 97,2 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mayoritasnya bergerak di sektor informal.
(hlm. 488)

Namun, ironisnya, justru saat ini jumlah penganggur terbanyak ternyata disumbang dari lulusan pendidikan vokasi. Menurut catatan Badan Pusat Statistik pada Agustus 2016, angka pengangguran tertinggi berasal dari lulusan SMK, yaitu 11,11 persen.
Aspek kurikulum, tenaga pendidik, sarana, dan prasarana memiliki peranan besar dalam menciptakan lulusan yang berkualitas.
(hlm. 492)

Bulog dan Stabilisasi Harga Pangan oleh Sunarsip
Berdasarkan keterangan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Bulog hanya menguasai 20–25 persen pangsa pasar beras di Indonesia. Sebaliknya, pengusaha beras menguasai 75–80 persen di pangsa pasar (Kontan, 3 Maret 2015).
(hlm. 495)

Mengatasi Ketimpangan di Indonesia oleh Vivi Alatas
Penelitian Bank Dunia menemukan tiga elemen kunci dalam menurunkan ketimpangan. Elemen pertama adalah mengatasi ketimpangan peluang antara anak-anak dari keluarga miskin dan anak-anak dari keluarga mapan. Elemen kedua adalah mengatasi berbagai ketimpangan yang terjadi dalam lapangan kerja. Elemen ketiga adalah mereformasi kebijakan fiskal, baik dari sisi penerimaan maupun belanja negara, sehingga kebijakan fiskal dapat lebih efektif dalam menurunkan kemiskinan ketimpangan.

Mengatasi Ketimpangan Peluang
Satu pertiga ketimpangan terjadi karena perbedaan kondisi sejak lahir yang berada di luar kendali individu, yaitu perbedaan pendidikan orang tua dan perbedaan tempat lahir. Seorang anak yang terlahir dari keluarga mapan di Jakarta punya kemungkinan delapan kali lebih tinggi mendapatkan fasilitas air bersih, lima kali lebih tinggi mengenyam pendidikan SMU dibandingkan anak dari keluarga miskin yang tinggal di Papua. Kita tidak bisa memilih di mana kita dilahirkan.
Sekitar 37 persen anak Indonesia mengalami stunting, atau memiliki tinggi dan berat badan yang rendah untuk usianya. Selain itu, Indonesia juga mendapatkan peringkat yang sangat rendah dalam program PISA yang membandingkan kemampuan anak umur 15 tahun dalam membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
Kendala prasarana sering kali menghalangi. Hampir semua kecamatan di seluruh penjuru Indonesia memiliki SMP, tetapi jarak ke SMA terkadang masih cukup jauh. Puskesmas dan posyandu ada, tetapi di beberapa daerah jaraknya cukup jauh. Rata-rata jarak ke puskesmas terdekat jika tidak ada di desa melebihi 20 kilometer di Kalimantan. Hanya 20 persen puskesmas memiliki semua peralatan lengkap untuk pemeriksaan kehamilan.
(hlm. 496)

Studi SMERU beberapa tahun yang lalu menunjukkan tingkat ketidakhadiran petugas kesehatan di daerah-daerah terpencil mencapai 27 persen. Tidak cukup bagi pemerintah untuk mengadakan puskesmas, SMP, atau SMA dengan jarak yang terjangkau; puskesmas di daerah terpencil harus memiliki kualitas yang sama dengan puskesmas di Pulau Jawa. Kualitas tenaga kesehatan dan tenaga pendidik di daerah terpencil juga harus mendekati atau bahkan sama dengan kualitas SDM di kota besar.
Namun, hanya 40 persen bayi Indonesia mendapatkan ASI eksklusif hingga enam bulan, padahal ASI merupakan hadiah terbaik yang bisa diberikan ibu kepada anaknya. Hanya 40 persen anak dari keluarga miskin mendapatkan imunisasi lengkap.
Baca buku, tekun mencari ilmu, dan tekun bekerja adalah perilaku kunci. Nyatanya 80 persen anak miskin punya pendidikan kurang dari SMU. Di saat yang sama, 28 persen anak muda Indonesia berusia 15-24 tahun tidak sedang bekerja, tidak sedang bersekolah, tidak sedang mempersiapkan kerja, tidak sedang mengambil pelatihan. Jeratan kemiskinan antargenerasi harus diputuskan bukan dengan angan-angan, bukan dengan menunggu, melainkan dengan usaha.

Mengatasi Ketimpangan Ketenagakerjaan
Cara paling utama dalam membagi kue pembangunan adalah memastikan setiap orang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Harapan semua orang pada dasarnya sama, bahagia dan sejahtera.
Pertama, terjadi ketimpangan antara pekerja formal dan informal, di mana upah yang diterima pekerja formal dua kali lipat pekerja informal. Kedua, terjadi ketimpangan antara pekerja terampil dan tidak terampil, di mana pekerja terampil mendapat upah tiga kali lipat lebih besar. Ketiga, terjadi ketimpangan antara pekerja muda dan dewasa, di mana tingkat pengangguran di kalangan pemuda delapan kali lipat lebih tinggi daripada tingkat pengangguran pekerja dewasa. Terakhir, terjadi ketimpangan antara perusahaan besar dan UMKM, di mana produktivitas UMKM 28 persen lebih rendah daripada perusahaan besar.
(hlm. 498)

Keselarasan Langkah
Indonesia hanya mengalokasikan 0,08 persen untuk riset dan pengembangan. Jumlah peneliti per 100.000 penduduk di Indonesia hanya 90 orang per 1 juta penduduk.
(hlm. 501)

Stunting dan Gagal Tumbuh Ekonomi oleh Wijayanto Samirin
Para atlet adalah creme de la creme masyarakat suatu bangsa. Mereka adalah sosok terbaik yang direkrut dari jutaan penduduk melalui proses kompetisi yang panjang. Tidak berlebihan jika dalam banyak hal, mereka cukup merepresentasikan kondisi masyarakat, termasuk dalam hal kesehatan.
Di Indonesia, stunting (gagal tumbuh pada anak), yang merupakan indikator tingkat gizi masyarakat, adalah problem besar. Sekitar 37 persen anak Indonesia mengalami stunting, bahkan angka tersebut melampaui 50 persen di beberapa provinsi.
Situasi menjadi lebih menantang mengingat generasi stunting cenderung mengidap berbagai penyakit saat dewasa. Sistem tubuh mereka yang di masa kecil kurang gizi secara alami bersiap untuk menghadapi hidup berat sepanjang hayatnya. Fenomena thrifty phenotype pun terjadi (Richard, 2010).
(hlm. 502)

Akan Permasalahan Daya Saing
Kendati kita memiliki lebih dari 4.000 perguruan tinggi, tidak satu pun masuk dalam daftar 800 universitas terbaik dunia versi Times Higher Education (World University Ranking 2017).
Rentetan tantangan tidak berhenti di sini saja, terlepas dari berbagai kekurangan yang dimilikinya, sekolah menengah mempunyai tugas berat. Mereka harus mendidik siswa dengan “bahan baku” yang pas-pasan, seperti tergambar dari tingginya insiden kurang gizi pada anak Indonesia. Hampir 40 persen siswa memiliki permasalahan kapasitas intelektual permanen akibat stunting.
(hlm. 503)

Mindset dan Langkah Tepat
Studi oleh Bank Dunia, A Modern Food Policy for All Indonesians, 2016, menunjukkan bahwa harga makanan berkualitas di Indonesia jauh lebih mahal daripada di Singapura. Harga pangan di Indonesia 94 persen lebih mahal daripada di India, dan harga beras di Indonesia 70 persen lebih mahal daripada di Thailand, Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Artikel Terkait

Menemukan Kembali Liberalisme oleh Ludwig von Mises #3

Jalan Menuju Perbudakan oleh Friedrich A. Hayek

Problem Domestik Bruto oleh Lorenzo Fioramonti

error: Content is protected !!