Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid 1 oleh Michael P. Todaro & Stephen C. Smith

Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid 1 oleh Michael P. Todaro & Stephen C. Smith

Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.

Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga/Edisi Kedelapan, Jilid 1 Michael P. Todaro and Stephen C. Smith
11 Februari 2003


(hlm. viii)
Khalayak Pembaca
Dengan demikian, buku ini lebih dari sekadar sebuah buku teks bagi mata kuliah pembangunan di tingkat sarjana muda, melainkan juga sebuah buku umum sehingga dapat menarik perhatian para mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu maupun kalangan pecinta ilmu pada umumnya.


(hlm. ix)
Pendekatan
Perhatian utama dipusatkan pada berbagai persoalan pembangunan yang sepenuhnya nyata dalam kehidupan penduduk negara-negara berkembang sehari-hari, seperti masalah kemiskinan, ketimpangan pola distribusi pendapatan, pengangguran, pertumbuhan penduduk, kerusakan lingkungan, dan stagnasi pembangunan di daerah-daerah pedesaan.

Dalam membahas setiap topik, buku ini memakai pendekatan yang berorientasi pada pemecahan masalah dan perumusan kebijakan.

Buku ini menggunakan pendekatan yang sistematis dalam menyoroti masalah-masalah pembangunan dengan mengikuti prosedur pedagogis/pengajaran standar dalam setiap analisis dan penguraiannya.

Data-data yang tersedia pada suatu kurun waktu tertentu (cross-section data).


(hlm. 1)
Bagian Pertama
Prinsip dan Konsep


(hlm. 3)
1
Ilmu Ekonomi, Institusi-institusi dan Pembangunan: Sebuah Perspektif Global

Kehidupan Tiga Perempat Penduduk Bumi
Sebagian hidup di rumah yang indah dan nyaman dengan sekian kamar berukuran luas, plus aneka perlengkapannya. Mereka memiliki persediaan pangan yang lebih dari cukup, pakaian yang serba bagus, kondisi kesehatan yang prima, dan kondisi keuangan yang serba berkecukupan.
Jika, sebagai contoh, kita meninjau kondisi hidup rata-rata keluarga di kawasan Amerika Utara, kemungkinan besar kita akan menemukan sebuah keluarga “inti” yang beranggotakan empat orang dengan penghasilan tahunan sekitar US$48,000.


(hlm. 4)
Namun, secara keseluruhan mereka memiliki status ekonomi dan gaya hidup yang serba menyenangkan dan menarik, sehingga sangat diinginkan dan bahkan dijadikan sebagai patokan dan angan-angan oleh jutaan manusia lainnya yang kurang beruntung di berbagai penjuru dunia.
Mereka mengumpulkan penghasilan, baik dalam bentuk uang maupun “barang” (yaitu, bahan-bahan pangan yang mereka tanam sendiri), yang total nilainya dalam setahun hanya berkisar antara US$250 sampai US$300.
Di daerah tempat mereka bermukim mudah ditemui berbagai


(hlm. 5)
macam penyakit, tetapi dokter dan perawat yang ahli justru tinggal jauh di daerah perkotaan untuk mencari nafkah yang lebih baik dengan melayani kebutuhan kesehatan keluarga-keluarga yang lebih sejahtera. Pekerjaan terasa berat, matahari senantiasa menyengat, dan aspirasi untuk hidup secara lebih baik semakin lama semakin tipis. Di bagian dunia ini, satu-satunya hiburan yang tersisa setelah perjuangan fisik yang harus mereka kerahkan sekadar untuk bertahan hidup sampai keesokan hari adalah kegiatan-kegiatan spiritual yang sudah menjadi tradisi masyarakat sekitar.
Sang ayah adalah seorang ahli bedah terkemuka lulusan Amerika Serikat yang hanya menerima orang-orang kaya setempat, usahawan, dan orang-orang terhormat dari luar negeri sebagai pasien.


(hlm. 6)
Namun demikian, secara psikologis barangkali kehidupan di Afrika tidak terlalu menyiksa karena di sana sama sekali tidak ada rumah mewah berserambi yang menghadap laut sebagai pembanding kepapaan si miskin.
Aspirasi akan meningkat, demikian pula halnya dengan rasa frustrasi. Pendeknya, proses pembangunan akan mulai bergerak tanpa dapat dibendung.


(hlm. 8)
Buku ini sengaja disusun untuk membantu para mahasiswa agar mereka bisa mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang masalah-masalah utama dan prospek kemajuan ekonomi bagi berbagai negara di dunia ini, dengan fokus khusus pada keadaan yang sangat menyedihkan pada tiga perempat penduduk dunia termiskin.


(hlm. 9)
Ilmu Ekonomi dan Studi-studi Pembangunan
Ia bahkan mampu mengembangkan identitas analitis dan metodologisnya sendiri yang khas dengan pesat. Ilmu ekonomi pembangunan jelas tidak sama dengan ilmu ekonomi yang banyak dianut di negara-negara kapitalis maju (yakni, ilmu ekonomi “neoklasik” modern).
Penganugerahan Hadiah Nobel bidang ekonomi pada tahun 1979 untuk dua orang tokoh ekonomi pembangunan terkemuka, yakni Sir W. Arthur Lewis dari Princeton University dan Profesor Theodore Schultz dari University of Chicago, atas kepeloporan mereka dalam mempelajari proses pembangunan, merupakan suatu pengakuan dramatis atas status ilmu ekonomi pembangunan sebagai sebuah disiplin ilmu ekonomi yang berdiri sendiri. Penerima Hadiah Nobel lainnya yang juga memberikan kontribusi besar terhadap ilmu ekonomi pembangunan adalah Amartya Sen pada tahun 1998, dan Joseph Stiglitz pada tahun 2001.

(hlm. 10)
Hakekat Ilmu Ekonomi Pembangunan
Ilmu ekonomi tradisional (traditional economics) memusatkan perhatiannya pada alokasi termurah dan paling efisien atas segenap sumber daya yang langka, serta upaya-upaya untuk memanfaatkan pertumbuhan optimal sumber-sumber daya tersebut dari waktu ke waktu agar dapat menghasilkan sebanyak mungkin barang dan jasa.
Cakupan ilmu ekonomi politik (political economy) lebih luas dari jangkauan ilmu ekonomi tradisional. Fokus khususnya antara lain adalah proses-proses sosial dan institusional yang memungkinkan kelompok-kelompok elite ekonomi dan politik mempengaruhi alokasi sumber-sumber daya produktif yang persediannya selalu terbatas (langka), sekarang atau di masa yang akan datang, baik secara khusus untuk keuntungan sendiri atau kelompok maupun secara umum memenuhi kebutuhan masyarakat yang lebih luas.
Semua mekanisme itu sangat diperlukan demi terciptanya suatu perbaikan standar hidup secara cepat (paling tidak menurut standar historis) dan berskala luas bagi masyarakat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang selama ini masih terus bergulat dengan masalah-masalah kemiskinan, buta huruf, dan bahkan kelaparan.
Situasi disekuilibrium atau ketidakseimbangan pasar seringkali terjadi (artinya, harga tidak mampu menyeimbangkan tingkat penawaran dan tingkat permintaan).


(hlm. 11)
Jadi jelaslah, bahwa jangkauan atau cakupan ilmu ekonomi pembangunan itu lebih luas dari ilmu ekonomi neoklasik tradisional atau bahkan ilmu ekonomi politik. Logikanya yang utama adalah karena ilmu ekonomi pembangunan tersebut langsung berkaitan dengan keseluruhan proses politik, budaya, dan ekonomi yang diperlukan untuk mempengaruhi transformasi struktural dan kelembagaan yang cepat dari seluruh masyarakat demi menghasilkan rentetan kemajuan ekonomi yang benar-benar bermanfaat, dan melalui proses yang efisien, bagi sebagian besar penduduk.
Ilmu ekonomi pembangunan juga mengakui manfaat peranan pemerintah yang lebih besar dan berbagai tingkatan perumusan atau arah kepada transformasi ekonomi yang diinginkan. Keberhasilan transformasi itu sendiri diakui sebagai elemen penting dalam keseluruhan proses dan studi pembangunan ekonomi.
Mengapa Ilmu Ekonomi Pembangunan Perlu Dipelajari? Sejumlah Pertanyaan Kritis


(hlm. 12)
Apakah sesungguhnya arti pembangunan itu?
Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
Teori pembangunan, manakah yang paling berpengaruh?
Catatan-catatan sejarah pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh negara-negara yang sekarang tergolong paling maju?
Peranan dan status kaum wanita
Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat
Penyebab dari kemiskinan yang ekstrem
Tetapi apakah kesehatan yang lebih baik juga membantu mewujudkan pembangunan yang berhasil?
Pengangguran di negara-negara Dunia Ketiga sedemikian tinggi, terutama di kota-kota besar, dan mengapa orang terus saja bermigrasi dari daerah pedesaan ke kota padahal kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan sangat kecil?
Sistem pendidikan
Apa sajakah yang harus dilakukan agar pembangunan sektor pertanian dan pedesaan dapat ditingkatkan sebaik mungkin?
“Proses pembangunan yang berwawasan lingkungan”?
Siapa yang sebenarnya memetik keuntungan dari perdagangan internasional?
Haruskah ekspor produk-produk primer seperti halnya komoditi pertanian terus ditingkatkan, atau haruskah semua negara berkembang menomorduakan pembinaan produk primer tersebut guna merintis industrialisasi dengan cara membangun industri-industri manufaktur secepat mungkin? (Lihat Bab 13 Jilid II).
Masalah utang luar negeri yang sedemikian serius
Kebijakan pengawasan atau pengendalian valuta asing, peningkatan tarif, atau pemberlakuan kuota atas impor barang-barang tertentu yang “tidak begitu penting”, “program stabilisasi”, “program penyesuaian struktural”.
Haruskah perusahaan-perusahaan multinasional yang besar dan kuat didorong untuk menanamkan modalnya di negara-negara miskin? “Pabrik global” (global factory).
Dampak bantuan luar negeri dari negara-negara kaya?
Pasar-pasar bebas dan swastanisasi ekonomi
Globalisasi
Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki pemilihan-pemilihan yang salah tersebut?
Pembelanjaan militer dalam jumlah besar akan dapat merangsang, atau sebaliknya menghambat pertumbuhan ekonomi?
Perbedaan antara negara-negara kaya dan miskin dapat menjadi begitu besar?


(hlm. 14)
Arti Penting Nilai-nilai dalam Ilmu Ekonomi Pembangunan
Di samping itu, berbeda dari ilmu-ilmu eksakta, ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial tidak dapat menyatakan sesuatu hal sebagai hukum-hukum keilmuan, kebenaran yang menyeluruh, atau prinsip-prinsip yang bersifat mutlak (keniscayaan). Sebagaimana telah diuraikan di atas, yang ada dalam ilmu ekonomi hanyalah “kecenderungan”, dan hal itu pun terus berubah-ubah dan bervariasi antara negara dan budaya yang satu dengan yang lain, dan pada suatu waktu tertentu dibandingkan dengan waktu yang lain.


(hlm. 15)
Lagipula, sifat umum serta objektivitas dari berbagai model atau kaidah dalam studi pembangunan tersebut juga lebih banyak bertumpu pada asumsi-asumsi tertentu yang kebenarannya acapkali sulit dibuktikan, bukannya pada fakta-fakta aktual yang memang sulit dikuantifikasikan.
Bertolak dari kenyataan di atas, kita perlu memahami pemikiran-pemikiran dasar (premis-premis) yang bersifat etis dan normatif atau premis-premis nilai (value premises) tentang apa yang diinginkan maupun hal-hal yang tidak diinginkan yang menjadi pilar utama ilmu ekonomi pada umumnya dan ilmu ekonomi pembangunan pada khususnya. Konsep-konsep pembangunan ekonomi dan modernisasi, baik secara implisit maupun eksplisit, senantiasa mengandung premis-premis nilai (Catatan: nilai adalah sesuatu yang menjadi pijakan kita untuk menentukan hal-hal yang baik dan yang buruk) tentang tujuan-tujuan yang diinginkan untuk mencapai sesuatu yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai “realisasi potensi manusia”.


(hlm. 17)
Perekonomian sebagai Sistem Sosial: Tuntutan untuk Melangkah Lebih Jauh dari Ilmu Ekonomi Sederhana
Pada dasarnya, ilmu ekonomi dan sistem ekonomi perlu dianalisis dan diletakkan dalam konteks sistem sosial (social system) secara keseluruhan dari suatu negara dan, tentu saja, dalam konteks global atau internasional.
Seandainya kita mau menyimak pengalaman pada tahun-tahun yang lampau secara cermat, jelaslah bahwa, sebagai akibat dari terlalu besarnya bobot dan nilai yang merasa berikan kepada pertumbuhan dan tahapan-tahapannya serta dengan ketersediaan modal dan keahlian, para teoretisi ilmu ekonomi pembangunan kurang memperhatikan masalah-masalah kelembagaan dan struktural sehingga mereka pun gagal memahami besarnya pengaruh kekuatan-kekuatan historis, budaya, dan keagamaan dalam proses pembangunan.5
Selain berulang kali membuat kesalahan dengan mencoba membanding-bandingkan teori mereka dengan kebenaran universal, beberapa ilmuwan sosial juga seringkali.


(hlm. 18)
Terjebak dalam kekeliruan fatal dengan mengabaikan pengaruh-pengaruh dan arti penting yang terkandung di dalam berbagai variabel nonekonomi, semata-mata karena variabel-variabel tersebut “tidak dapat dikuantifikasikan” (dan karenanya, hal-hal itu sering dinyatakan begitu saja oleh para ekonom sebagai sesuatu yang tidak begitu penting).

Apa yang Sebenarnya Dimaksud dengan “Pembangunan”
Ukuran-ukuran Ekonomi Tradisional
Indeks ekonomi lainnya yang juga sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan adalah tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (income per capita) atau GNP per kapita.


(hlm. 19)
Mengukur kemampuan dari suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya. Tingkatan dan laju pertumbuhan GNP per kapita “riil” (yakni, pertumbuhan GNP per kapita dalam satuan moneter dikurangi dengan tingkat inflasi) sering digunakan untuk mengukur sejauh mana kemakmuran ekonomis dari suatu bangsa secara keseluruhan, yaitu seberapa banyak barang dan jasa-jasa riil yang tersedia bagi rata-rata penduduk untuk melakukan kegiatan konsumsi dan investasi.
Biasanya dalam proses tersebut peranan sektor pertanian akan menurun untuk memberi kesempatan bagi tampilnya sektor-sektor manufaktur dan jasa-jasa yang senantiasa diupayakan agar terus berkembang.
Contoh indikator sosial itu antara lain adalah tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi dan kualitas pelayanan, kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan, dan sebagainya. Dari sekian banyak upaya untuk menciptakan indikator-indikator sosial yang berbobot guna mendampingi indikator GNP per kapita, yang paling menonjol adalah upaya PBB yang kemudian berhasil menciptakan Indeks Pembangunan Manusia (HDI—Human Development Index). Contoh dan uraian mengenai indeks tersebut disajikan pada Bab 2.


(hlm. 21)
Pandangan Ekonomi Baru tentang Pembangunan
Singkatnya, selama dekade 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai pembangunan suatu negara yang harus diajukan adalah: Apa yang telah terjadi dengan kemiskinan penduduk di negara itu? Bagaimana dengan tingkat penganggurannya? Adakah perubahan-perubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan?


(hlm. 22)
Tantangan utama pembangunan… adalah memperbaiki kualitas kehidupan.


(hlm. 22)
Pendekatan “Kapabilitas” dari Sen
“Pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai tujuan akhir. Pembangunan haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan yang kita jalani dan kebebasan yang kita nikmati.”


(hlm. 25)
Pendapatan riil memang sangat penting, tetapi untuk mengonversikan karakteristik komoditi menjadi fungsi yang sesuai, dalam banyak hal yang penting, jelas membutuhkan kesehatan dan pendidikan selain pendapatan.


(hlm. 26)
Tiga Nilai Inti Pembangunan
Ketiga nilai inti tersebut adalah kecukupan (sustenance), harga diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom), yang merupakan tujuan pokok yang harus digapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan.


(hlm. 26)
Kecukupan: Kemampuan untuk Memenuhi Kebutuhan-kebutuhan Dasar
Dengan demikian, kenaikan pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan absolut, perluasan lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan, merupakan hal-hal yang harus ada (necessary condition) bagi pembangunan, tetapi hal-hal itu saja belum cukup (not sufficient conditions).


(hlm. 27)
Harga Diri: Menjadi Manusia Seutuhnya
Komponen universal kedua dari kehidupan yang serba lebih baik adalah adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan seterusnya.


(hlm. 27)
Kebebasan dari Sikap Menghamba: Kemampuan untuk Memilih
Dengan adanya kebebasan, kita tidak semata-mata dipilih, melainkan kitalah yang akan memilih. W. Arthur Lewis bermaksud menekankan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kebebasan dari sikap menghamba tatkala ia mengatakan bahwa “buah terbesar yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi bukanlah kekayaan menambah kebahagiaan, melainkan menambah pilihan”.


(hlm. 28)
Tiga Tujuan Inti Pembangunan

  1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok.
  2. Peningkatan standar hidup.
  3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial.

(hlm. 30)
Rangkuman dan Kesimpulan
Agaknya ungkapan yang lebih tepat untuk abad kedua puluh satu ini adalah, “Dunia kita bagaikan tubuh manusia; jika salah satu bagian sakit, maka yang lain akan turut merasakannya; jika banyak bagian yang sakit, maka sekujur tubuh akan menderita.”


(hlm. 31)
Studi Kasus: Perekonomian Brasil
Selama periode yang sama, masalah merebaknya kemiskinan, meningkatnya pengangguran, serta meningkatnya kesenjangan pendapatan tetap tidak berubah.
Sayangnya, tanah di Brasil kebanyakan kurang subur. Hanya 17 persen dari luas wilayahnya yang bisa dijadikan lahan bercocok tanam, dan itu pun kadar kesuburan tanahnya mengikis dengan cepat.
Lebih dari 75 persen penduduknya hidup di daerah-daerah perkotaan yang pemekarannya sangat cepat. Proses urbanisasi yang sangat deras, dalam beberapa hal, memang membantu usaha pembangunan ekonomi.
Tingkat kesenjangan pendapatan di Brasil merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.


(hlm. 33)
Para industrialis, misalnya, terus-menerus menumpuk kekayaannya berkat tingkat upah buruh yang sangat murah.
Berkat keberhasilannya dalam pengembangan energi baru itu, impor minyak Brasil telah berkurang hingga 50 persen.


(hlm. 34)
Antara tahun 1995 dan tahun 1997, hampir sebanyak 600 bidang tanah subur (namun tidak ditanami) telah dirampas oleh MST dan 200.000 keluarga menempatinya. Dalam banyak kasus, pendudukan tanah-tanah ini oleh para keluarga akhirnya diberi hak resmi oleh pemerintah.


(hlm. 35)
Dalam rangka menarik investasi asing, Brasil telah menurunkan bea masuk impor sehingga jumlah jenis barang yang masuk dalam daftar hitam impor berkurang dari 4.000 menjadi 600 saja (barang yang juga diproduksi di dalam negeri).
Di samping itu, pada bulan Juli 1994 pemerintah juga menjalankan program pengetatan yang disebut Real Plan (diambil dari nama mata uang baru yang menyertainya, real), demi mengatasi lonjakan inflasi dan peningkatan defisit anggaran, dengan cara mempertinggi pajak pendapatan dan memotong anggaran dana pengeluaran pemerintah.


(hlm. 36)
Konsep-konsep Bahan Kajian
Sustenance (kecukupan)


(hlm. 37)
Catatan Belakang
2. Sebanyak 157 negara anggota PBB dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin seringkali bersama-sama menyebut diri mereka sendiri sebagai Dunia Ketiga. Mereka melakukan hal ini terutama untuk membedakan dirinya dari negara-negara kapitalis yang perekonomiannya sudah sangat maju (Dunia Pertama) dan negara-negara yang menganut sistem ekonomi terpusat atau sosialis di Eropa Timur dan Uni Soviet (Dunia Kedua) yang kini sebagian di antaranya juga digolongkan sebagai negara-negara Dunia Ketiga.
4. Kritik yang lebih umum terhadap gagasan yang menyatakan bahwasanya ilmu ekonomi itu “bebas nilai” (tidak terikat atau berkaitan dengan nilai-nilai personal yang mana pun) dapat Anda temukan pada artikel Robert Heilbroner, “Economics as a ‘value-free’ science, Social Research 40 (Musim Semi 1973): hal. 129-143, serta di dalam bukunya yang berjudul Behind the Veil of Economics (New York: Norton 1988).

(hlm. 40)
Keragaman Struktur dan Kemiripan Karakteristik Negara-negara Berkembang
Dampak dari kesejahteraan manusia yang terlibat dalam pertanyaan seperti itu tidak dapat dibayangkan secara sederhana.
Sementara itu, negara-negara kecil menghadapi masalah yang sebaliknya, yakni keterbatasan daerah pemasaran, kekurangan tenaga ahli, kelangkaan sumber daya fisik, lemahnya kekuatan tawar-menawar, serta kecilnya kemungkinan untuk bisa mandiri secara ekonomis. Namun, di lain pihak, mereka memiliki insentif yang kuat untuk mengekspor produk-produk manufakturnya.


(hlm. 41)
Mendeskripsikan Negara-negara Berkembang
Negara berpendapatan rendah pada tahun 2000 didefinisikan sebagai negara dengan pendapatan nasional bruto per kapita sebesar $755 atau di bawahnya; negara berpendapatan menengah-bawah memiliki tingkat pendapatan antara $756 sampai dengan $2.995; negara berpendapatan menengah-atas memiliki tingkat pendapatan antara $2.996 sampai dengan $9.265; dan negara berpendapatan tinggi memiliki tingkat pendapatan $9.266 atau lebih.
Sebagai contoh, negara berpendapatan tinggi yang memiliki satu atau dua sektor ekspor yang berkembang dengan pesat, tetapi sebagian besar dari populasinya secara relatif masih tidak mendapatkan pendidikan atau memiliki tingkat kesehatan yang rendah, hal itu dapat dilihat sebagai negara berkembang. Termasuk di dalamnya negara-negara pengekspor minyak seperti Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab.


(hlm. 44)
Selain itu, salah satu cara lain untuk mengklasifikasikan negara berkembang adalah melalui tingkat utang internasional mereka; Bank Dunia menggolongkan negara-negara sebagai sangat berutang, berutang menengah, dan berutang sedikit.


(hlm. 50)
Komposisi Etnik dan Agama
Tidaklah mengherankan, kalau hampir semua negara atau unit politik yang begitu cepat meraih keberhasilan dalam usaha-usaha pembangunan adalah negara yang masyarakatnya relatif homogen seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong.


(hlm. 55)
Karakteristik Umum Negara-negara Berkembang

  1. Standar hidup yang relatif rendah, ditunjukkan oleh tingkat pendapatan yang rendah, ketimpangan pendapatan yang parah, kondisi kesehatan yang buruk, dan kurang memadainya sistem pendidikan.
  2. Tingkat produktivitas yang rendah.
  3. Tingkat pertumbuhan penduduk serta beban ketergantungan yang tinggi.
  4. Ketergantungan pendapatan yang sangat besar kepada produksi sektor pertanian serta ekspor produk-produk primer (bahan-bahan mentah).
  5. Pasar yang tidak sempurna, dan terbatasnya informasi yang tersedia pun.
  6. Dominasi, ketergantungan, dan kerapuhan yang parah pada hampir semua aspek hubungan internasional.

(hlm. 68)
Pengukuran Holistik atas Tingkat Kehidupan: Indeks Pembangunan Manusia
HDI mencoba untuk memeringkat semua negara dari skala 0 (tingkat pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat pembangunan manusia yang tertinggi) berdasarkan tiga tujuan atau produk akhir pembangunan: masa hidup (longevity), yang diukur dengan usia harapan hidup, pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewasa secara tertimbang (dua pertiga) dan rata-rata tahun bersekolah (sepertiga), serta standar kehidupan (standard of living) yang diukur dengan pendapatan riil per kapita, disesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity atau PPP) dari mata uang setiap negara untuk mencerminkan biaya hidup dan untuk memenuhi asumsi utilitas marjinal yang semakin menurun dari pendapatan.
Yang berarti bahwa pendapatan disesuaikan demi memenuhi asumsi utilitas marjinal yang semakin menurun.


(hlm. 71)
Perbedaannya mencerminkan seberapa jauh negara yang bersangkutan telah melampaui “pos tujuan yang terendah” ini. Untuk mendapatkan perspektif dari kemajuan ini, pikirkan dalam hubungannya dengan jumlah maksimum pendapatan yang dapat dicapai sebuah negara untuk generasi berikut. UNDP mematok angka PPP $40.000. Sehingga kemudian kita membagi perbedaannya antara log $40.000 dengan log $100 untuk mengetahui kemajuan pendapatan relatif yang berhasil dicapai oleh sebuah negara.
Misalnya, dalam kasus Armenia, yang mempunyai pendapatan per kapita PPP tahun 1999 sebesar $2.215, indeks pendapatannya adalah:

Indeks pendapatan =
log⁡(2.215)−log⁡(100)log⁡(40.000)−log⁡(100)=0,157\frac{\log(2.215) – \log(100)}{\log(40.000) – \log(100)} = 0,157log(40.000)−log(100)log(2.215)−log(100)​=0,157

Untuk mencari angka indeks usia harapan hidup (dengan pendekatan kesehatan), UNDP memulainya dengan usia harapan hidup di negara tersebut, kemudian menguranginya dengan 25 tahun. Angka 25 tahun tersebut adalah pos tujuan paling rendah, yaitu usia harapan hidup terendah yang mungkin terdapat di semua negara selama generasi terakhir. Kemudian, UNDP membagi hasilnya dengan 85 tahun dikurangi 25 tahun, atau 60 tahun, yang mencerminkan kisaran usia harapan hidup yang diharapkan selama generasi sebelum dan generasi berikutnya. Hal ini berarti bahwa 85 tahun adalah perkiraan usia harapan hidup yang masuk akal, yang dapat dicoba untuk dicapai oleh sebuah negara selama generasi mendatang.
Indeks kemampuan baca tulis orang dewasa = 98,3−0100−0=0,983\frac{98,3 – 0}{100 – 0} = 0,983100−098,3−0​=0,983
Untuk indeks masa sekolah bruto, Armenia memperkirakan bahwa 79,9% dari penduduknya yang berusia sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah tingkat lanjut terdaftar untuk belajar di sekolah, sehingga negara tersebut menerima nilai indeks sebesar:
Indeks masa bersekolah bruto = 79,9−0100−0=0,799\frac{79,9 – 0}{100 – 0} = 0,799100−079,9−0​=0,799


(hlm. 75)
Produktivitas yang Rendah
Sebuah peribahasa kuno mengatakan: “Anda memang bisa menuntun seekor kuda ke tengah sungai, tetapi Anda tidak dapat memaksanya meminum air”. Di negara-negara terbelakang, peribahasa tersebut sama artinya dengan “Anda memang bisa menciptakan berbagai macam kesempatan ekonomi untuk meningkatkan diri, namun tanpa pengaturan-pengaturan struktural dan kelembagaan yang memadai, semua kesempatan ekonomi tersebut tidak akan membuahkan sesuatu yang berarti.”
Keberhasilan ekonomi yang begitu luar biasa dan mengesankan yang diraih oleh “Empat Macan Asia”—Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura—oleh banyak pengamat dikaitkan dengan tingginya kualitas sumber daya manusia, kerapian organisasi atas sistem-sistem produksi, serta kecermatan pengaturan kelembagaan di negara-negara industri baru tersebut yang pada berbagai aspeknya memang sengaja diatur dalam rangka memacu pertumbuhan produktivitas para pekerjanya.
Produktivitas yang rendah di banyak negara berkembang ternyata memang berhubungan langsung dengan kelesuan fisik dan ketidaksanggupan para pekerja, baik secara fisik maupun emosional, untuk menahan tekanan-tekanan persaingan dalam lingkungan kerja mereka sehari-hari. Produktivitas yang rendah menyebabkan pendapatan yang rendah, dan selanjutnya akan menyebabkan ketidakmampuan dalam penyediaan makanan bergizi. Kekurangan gizi tersebut dapat mengakibatkan rendahnya kapasitas untuk bekerja, sehingga produktivitas menjadi semakin rendah.


(hlm. 76)
Salah satu teori mengenai pembangunan ekonomi negara-negara Dunia Ketiga yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal, yakni teori “sebab-akibat siklis dan kumulatif” (circular and cumulative causation), ternyata juga muncul dari observasi Myrdal terhadap interaksi antara standar hidup dan tingkat produktivitas yang rendah di negara-negara berkembang sebagaimana diuraikan di atas.


(hlm. 77)
Tingkat Pertumbuhan Penduduk dan Beban Ketergantungan yang Tinggi
Salah satu implikasi menonjol atas tingginya angka kelahiran di negara-negara berkembang adalah hampir 40 persen penduduknya terdiri dari anak-anak yang berumur kurang dari 15 tahun, sedangkan di negara-negara maju tidak sampai 20 persen.


(hlm. 78)
Pertanian Skala Kecil
Sementara itu, di kawasan Amerika Utara, di bawah 1 persen dari total angkatan kerjanya yang bekerja sebagai petani (jumlahnya hanya sekitar 4,5 juta jiwa) mampu memproduksi sepertiga dari total output rekan-rekannya di negara-negara Dunia Ketiga, yakni senilai US$60 juta. Ini berarti produktivitas rata-rata tenaga kerja pertanian (dalam satuan US$) di kawasan Amerika Utara hampir 35 kali lipat lebih tinggi daripada di Asia dan Afrika.


(hlm. 79)
Keterbelakangan Teknologi
Keterbelakangan teknologi itu sendiri disebabkan pertanian negara-negara Dunia Ketiga didominasi oleh petani-petani kecil nonkomersial. Selain itu, banyak petani di negara-negara Dunia Ketiga, khususnya di kawasan Asia dan Amerika Latin, yang tidak memiliki tanah sendiri. Mereka hanya menyewa sebidang tanah garapan yang sempit dari para tuan tanah.

(hlm. 79)
Sebagaimana akan kita lihat pada Bab 10, sistem tata guna tanah seperti itu cenderung mengurangi insentif atau dorongan ekonomis bagi para penggarap atau petani untuk meningkatkan output dan produktivitasnya.


(hlm. 80)
Pasar yang Tidak Sempurna dan Informasi yang Tidak Memadai
Namun, sebagaimana akan kita bahas dalam bab-bab selanjutnya, konsensus atau anggapan semacam itu ternyata keliru, karena efektivitas pasar memerlukan adanya dukungan institusional, kultural, dan legal tertentu, yang kebanyakan tidak atau belum dimiliki oleh negara-negara berkembang.


(hlm. 81)
Dominasi, Ketergantungan, dan Kerapuhan dalam Hubungan Internasional
Bagi negara-negara berkembang pada umumnya, salah satu faktor utama yang mengakibatkan rendahnya standar hidup masyarakat mereka, meningkatnya pengangguran serta kian mencoloknya ketimpangan distribusi pendapatan internasional adalah distribusi kekuatan politik dan ekonomi yang sangat tidak merata antara negara-negara kaya dan miskin.


(hlm. 85)
Studi Kasus: Perekonomian Nigeria
Etnik dominan yang menempati kawasan Utara (meliputi sekitar dua pertiga wilayah Nigeria) adalah suku Hausa-Fulani. Kebanyakan anggota suku ini beragama Islam.
Antara tahun 1968 hingga tahun 1980, pendapatan per kapita Nigeria tumbuh lebih dari 1.000 persen sehingga langsung mencapai US$1.020. Namun, proses pertumbuhan ini berbalik arah selama dekade 1980-an sehingga pada tahun 1994 pendapatan per kapita Nigeria telah merosot lebih dari 70 persen sehingga hanya mencapai US$240. Ini sama dengan tingkat yang pernah dicapai Nigeria pada tahun 1972.


(hlm. 91)
Sejarah Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Kontemporer: Beberapa Pelajaran dan Kontroversi
Permainan Pertumbuhan Ekonomi
Sehubungan dengan hal itu, sejak dari bab ini kita akan mempelajari sejumlah konsep dasar yang berkaitan erat dengan teori-teori pertumbuhan ekonomi, dengan menggunakan kerangka pemikiran kemungkinan produksi (production possibility framework) sebagai dasar guna memahami tingkatan komposisi, dan pertumbuhan output nasional.


(hlm. 92)
Pertumbuhan Ekonomi: Modal, Tenaga Kerja, dan Teknologi
Akumulasi Modal
Akumulasi modal (capital accumulation) terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari.


(hlm. 96)
Kemajuan Teknologi
Dalam pengertiannya yang paling sederhana, kemajuan teknologi terjadi karena ditemukannya cara baru atau perbaikan atas cara-cara lama dalam menangani pekerjaan-pekerjaan tradisional seperti kegiatan menanam jagung, membuat pakaian, atau membangun rumah.
Penggunaan komputer, mesin tekstil otomatis, bor listrik berkecepatan tinggi, traktor dan mesin pembajak tanah, dan banyak lagi jenis mesin serta peralatan modern lainnya, dapat diklasifikasikan sebagai kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja (labor-saving technological progress).
Sedangkan kemajuan teknologi hemat modal (capital-saving technological progress) merupakan fenomena yang relatif langka. Hal ini dikarenakan hampir semua penelitian dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan di negara-negara maju dengan tujuan utama menghemat pekerja, dan bukan untuk menghemat modal. Di negara-negara Dunia Ketiga yang berlimpah tenaga kerja tetapi langka modal, kemajuan teknologi hemat modal merupakan sesuatu yang paling diperlukan.


(hlm. 97)
Bila Anda ingin mendapatkan contoh kasus peningkatan teknologi produksi radio, maka kita bisa menyimak contoh kasus berupa penemuan transistor yang membuahkan dampak positif terhadap komunikasi sehebat dampak yang dihasilkan oleh penemuan mesin uap terhadap transportasi.


(hlm. 99)
Tinjauan Sejarah: Enam Karakteristik Pertumbuhan Ekonomi Modern Menurut Kuznets
Profesor Simon Kuznets, salah satu ekonom besar yang pernah memenangkan Hadiah Nobel di bidang ekonomi pada tahun 1971 atas usahanya mempelopori pengukuran dan analisis atas sejarah pertumbuhan pendapatan nasional negara-negara maju, telah memberikan suatu definisi yang cukup rinci mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth) suatu negara. Menurut Kuznets, “pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.” Masing-masing dari ketiga komponen pokok dari definisi itu sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu. Simaklah ringkasannya sebagai berikut:

  1. Kenaikan output secara berkesinambungan adalah manifestasi atau perwujudan dari apa yang disebut sebagai pertumbuhan ekonomi, sedangkan kemampuan menyediakan berbagai jenis barang merupakan tanda kematangan ekonomi (economic maturity) dari suatu negara.
  2. Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi bagi berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan; ini adalah suatu kondisi yang sangat diperlukan, tetapi tidak cukup itu saja (jadi, di samping perkembangan atau kemajuan teknologi, masih dibutuhkan faktor-faktor lain).
  3. Guna mewujudkan potensi pertumbuhan yang terkandung di dalam teknologi baru, maka perlu diadakan serangkaian penyesuaian kelembagaan, sikap, dan ideologi. Inovasi di bidang teknologi tanpa dibarengi dengan inovasi sosial sama halnya dengan lampu pijar tanpa listrik (potensi ada, tetapi tanpa input komplementernya maka hal itu tidak bisa membuahkan hasil apa pun).

(hlm. 100)
Dua faktor yang pertama (nomor satu dan dua) lazim disebut sebagai variabel-variabel ekonomi agregat (aggregate economic variables). Sedangkan nomor tiga dan empat biasa disebut variabel-variabel transformasi-struktural. Adapun dua faktor terakhir disebut sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi penyebaran pertumbuhan ekonomi secara internasional.


(hlm. 102)
Tingkat Kenaikan Produktivitas Faktor Produksi Total yang Tinggi
Studi-studi lainnya menunjukkan bahwa selama masa era modern, faktor produksi yang utama (yakni, tenaga kerja) mengalami peningkatan produktivitas hingga sekian kali lipat daripada periode sebelumnya.


(hlm. 105)
Kesimpulan: Interdependensi antara Berbagai Karakteristik Pertumbuhan
Lebih dari 90 persen dari semua penelitian ilmiah yang berlangsung di dunia ini ternyata diselenggarakan oleh/dan di negara-negara kaya, serta hanya diusahakan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara kaya itu sendiri.


(hlm. 106)
Keterbatasan Nilai Sejarah Pengalaman Pertumbuhan: Perbedaan Kondisi Awal
Kedelapan butir perbedaan yang utama dan yang perlu dianalisis lebih lanjut itu adalah sebagai berikut:

  1. Perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas modal manusia
  2. Perbedaan pendapatan per kapita dan tingkat GNP dibandingkan dengan negara lainnya di dunia
  3. Perbedaan iklim
  4. Perbedaan jumlah penduduk, distribusi, serta laju pertumbuhannya
  5. Peranan sejarah migrasi internasional
  6. Perbedaan dalam memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional
  7. Kemampuan melakukan penelitian dan pengembangan dalam bidang ilmiah dan teknologi dasar
  8. Stabilitas dan fleksibilitas lembaga-lembaga politik dan sosial.

(hlm. 107)
Kekayaan Sumber Daya Alam dan Manusia
Dahulu, ketika mereka mulai menggalang kekuatan ekonomi, kekayaan alam mereka masih utuh; sedangkan kekayaan negara-negara berkembang sudah dirampok atau bahkan habis diperas oleh kolonialisme.


(hlm. 108)
Perbedaan Iklim
Hampir seluruh negara-negara Dunia Ketiga terletak di daerah yang beriklim tropis atau subtropis. Sejarah membuktikan bahwa hampir semua negara yang berhasil mengembangkan ekonominya secara modern terletak di daerah yang beriklim dingin.
Iklim yang terlalu panas tersebut mengakibatkan penurunan kualitas tanah dan mempercepat penyusutan bahan-bahan alam. Yang tidak kalah pentingnya, suhu yang panas dan lembap tidak hanya menyebabkan perasaan yang kurang nyaman bagi para pekerja, tetapi juga menggerogoti atau menekan kesehatan, mengurangi keinginan bekerja keras sehingga pada akhirnya menurunkan tingkat produktivitas dan efisiensi.

(hlm. 109)
Peranan Sejarah Migrasi Internasional
Negara-negara seperti Italia, Jerman, dan Irlandia, dahulu begitu sering dilanda kelaparan atau wabah penyakit yang hebat; ditambah lagi dengan kurangnya lahan serta terbatasnya kesempatan berusaha di sektor industri perkotaan, telah memaksa pekerja-pekerja tidak terampil dari pedesaan untuk pindah ke negara-negara lain yang kekurangan tenaga kerja kasar, seperti Amerika Utara dan Australia. Di dalam tulisannya yang secara khusus membahas tentang migrasi dan pertumbuhan ekonomi pada abad kesembilan belas, Brinley Thomas berpendapat bahwa terdapat “tiga kurun waktu di mana kontribusi tenaga kerja dari Eropa sangat besar terhadap perekonomian Amerika Serikat—1.187.000 orang dari Irlandia dan 919.000 orang dari Jerman antara tahun 1847-1855; 418.000 orang dari negara-negara Skandinavia dan 1.045.000 orang dari Jerman antara tahun 1880-1885; serta 1.754.000 orang dari Italia antara tahun 1898-1907.”


(hlm. 110)
Pada tahun-tahun awal abad kedua puluh satu, aliran uang internasional ini mencapai $100 miliar per tahun. Masalahnya tidak hanya terletak pada kurangnya pengetahuan para pekerja negara-negara berkembang tentang kesempatan bekerja di tempat lain, khususnya di negara-negara maju, melainkan juga pada jarak geografis yang jauh (membutuhkan biaya besar), dan yang lebih penting lagi adalah adanya sikap rasialis dan peraturan-peraturan imigrasi yang sangat ketat di negara-negara maju.


(hlm. 111)
Hal yang paling memprihatinkan di sini adalah, kemungkinan tenaga-tenaga tidak terdidik untuk melakukan migrasi internasional seperti yang terjadi pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh nampaknya takkan terulang lagi sehingga hal itu tidak bisa lagi diharapkan dapat menanggulangi kelebihan penduduk di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.


(hlm. 113)
Kemampuan Melakukan Penelitian serta Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dasar
Negara-negara kaya sangat tertarik untuk mengembangkan produk-produk yang serba canggih, pasar yang seluas-luasnya, metode produksi dengan teknologi tinggi yang menggunakan banyak input modal serta tingkat manajemen dan pengetahuan yang tinggi, dalam usahanya untuk menghemat tenaga kerja dan bahan-bahan baku yang langka.


(hlm. 114)
Stabilitas serta Fleksibilitas Lembaga-lembaga Politik dan Sosial
Salah satu perbedaan yang paling mencolok antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang tersebut adalah bahwa sebelum revolusi industri, negara-negara maju merupakan negara yang benar-benar merdeka, sehingga mereka sepenuhnya mampu menyusun kebijakan nasional mereka sendiri berdasarkan konsensus umum menuju ke arah “modernisasi.” Persis seperti yang dikatakan oleh Profesor Gunnar Myrdal, negara-negara yang sekarang ini maju sejak awalnya telah:


(hlm. 115)
Ilmu pengetahuan modern lama dikembangkan serta diterapkan di negara-negara tersebut (jauh sebelum Revolusi Industri) dan teknologi modern sudah mulai digunakan pada sektor industri dan pertanian mereka sejak dini, yakni ketika semua badan usaha masih berskala kecil.


(hlm. 116)
Apakah Standar Kehidupan di Negara Berkembang dan Negara Maju dapat Disetarakan?
Dewasa ini, negara berkembang tidak perlu harus “mengulang proses penemuan”; misalnya, mereka tidak perlu menggunakan tabung hampa sebelum mereka dapat menggunakan transistor miniatur modern.
Bahkan, jika kita memusatkan perhatian kita pada kasus-kasus pembangunan yang berhasil, kenyataan menunjukkan bahwa semakin terlambat suatu negara memulai pertumbuhan ekonomi modernnya, maka waktu untuk menggandakan output per pekerja juga akan semakin singkat. Misalnya, sementara Inggris menggandakan output per orang dalam 60 tahun pertama sejak revolusi industrinya, dan Amerika melakukan hal yang sama dalam waktu 45 tahun, Korea Selatan berhasil melakukan hal serupa hanya dalam 11 tahun dari 1966 hingga 1977.


(hlm. 119)
Studi Kasus: Perekonomian Malaysia
Tatkala memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1957, Malaysia mewarisi perekonomian yang didominasi oleh dua komoditas primer, yakni karet dan timah. Sektor ini tumbuh pesat sehingga sumbangannya bagi GDP yang baru mencapai 13,4 persen pada tahun 1970, dalam tahun 2000 diperkirakan telah meningkat menjadi sekitar 40 persen.


(hlm. 125)
Kepustakaan Penunjang
Terakhir, simaklah tulisan Stephen C. Smith tentang provinsi Guangdong, sebuah kawasan yang mengalami pertumbuhan paling cepat sepanjang sejarah ekonomi. Tulisan tersebut termuat sebagai Studi Kasus dalam Bab 4, yang juga tersaji secara online di www.aw.com/todaro.


(hlm. 126)
Teori-teori Klasik Pembangunan: Sebuah Analisis Komparatif
Dengan demikian, pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang multidimensional, yang melibatkan segenap pengorganisasian dan peninjauan kembali atas sistem-sistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan.


(hlm. 127)
Hal ini akan kita lakukan dengan cara mempelajari secara mendalam empat teori utama yang menyoroti masalah pembangunan, yang acapkali saling bersaing satu sama lain.


(hlm. 128)
Teori Tahapan Linier Pertumbuhan
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semua negara yang kini merupakan negara industri maju pernah merupakan masyarakat agraris kecil yang terbelakang?
Akibat penekanan terhadap peran akselerasi akumulasi modal, pendekatan ini seringkali disebut sebagai “fundamentalisme modal” (capital fundamentalism).


(hlm. 129)
Tahap-tahap Pertumbuhan Rostow
Bertolak dari lingkungan intelektual yang masih steril pada waktu itu, dan dipacu oleh politik Perang Dingin yang berkobar pada dekade 1950-an dan 1960-an yang memicu suatu persaingan sengit di kalangan negara-negara besar untuk mencari pengikut setia dari kalangan negara-negara yang baru saja merdeka, maka muncullah model pembangunan tahapan pertumbuhan (stages-of-growth model of development). Adapun tokoh pencetus model ini adalah Walt W. Rostow, seorang ahli sejarah ekonomi dari Amerika Serikat. Menurut ajaran Rostow, perubahan dari keterbelakangan menuju kemajuan ekonomi dapat dijelaskan dalam suatu seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara.
Buku ini menampilkan cara seorang sejarawan ekonomi melakukan generalisasi perjalanan sejarah modern. Kita bisa mengidentifikasi semua masyarakat, atas dasar dimensi-dimensi ekonomi mereka, berada dalam salah satu dari lima buah tahapan ekonomi yang ada, yakni: tahapan masyarakat tradisional, penyusunan kerangka dasar tahapan tinggal landas menuju pertumbuhan berkesinambungan, tahapan tinggal landas, tahapan menuju kematangan ekonomi, dan tahapan konsumsi massal yang tinggi.


(hlm. 130)
Menurut teori ini, negara-negara maju seluruhnya telah melampaui tahapan “tinggal landas menuju pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang berlangsung secara otomatis” (kemajuan ekonomi mereka sudah sedemikian mapan, sehingga roda ekonomi, tanpa diatur secara khusus, sudah dapat berputar dengan sendirinya untuk menggerakkan perekonomian dan membawa seluruh penduduk ke taraf hidup yang serba lebih baik).


(hlm. 131)
Salah satu dari sekian banyak taktik pokok pembangunan untuk tinggal landas adalah pengerahan atau mobilisasi dana tabungan (dalam mata uang domestik maupun valuta asing) guna menciptakan investasi dalam jumlah yang memadai untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Mekanisme perekonomian yang mengandalkan peningkatan investasi demi mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan melalui model pertumbuhan Harrod-Domar (Harrod-Domar growth model), atau yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama model AK.


(hlm. 132)
Model Pertumbuhan Harrod-Domar
Setiap perekonomian pada dasarnya harus senantiasa mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal (gedung, alat-alat, dan bahan baku) yang telah susut atau rusak. Namun, untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto terhadap cadangan atau stok modal (capital stock).


(hlm. 133)
Syarat Perlu versus Syarat Cukup: Beberapa Kritik terhadap Model Tahapan Pertumbuhan
Meskipun nampak menarik, namun gagasan-gagasan dasar tentang pembangunan yang terkandung dalam teori tahapan pertumbuhan tersebut di atas tidak selalu berlaku. Alasan utama tidak berlakunya teori tersebut bukan karena tabungan dan investasi yang lebih banyak tidak lagi merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pemacuan pertumbuhan ekonomi, tetapi karena dalam kenyataan telah terbukti bahwa pengadaan tabungan dan investasi yang lebih banyak saja belumlah merupakan syarat cukup (sufficient condition) untuk memacu pertumbuhan ekonomi.


(hlm. 137)
Model Perubahan Struktural
Teori perubahan struktural (structural-change theory) memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh.

(hlm. 137)
Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaining growth) dan perluasan kesempatan kerja di sektor modern
Proses tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis oleh sektor industri. Selanjutnya, tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian dengan biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut pasti akan mengakibatkan merosotnya produksi pangan. Transformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu kenyataan, dan perekonomian itu pun pada akhirnya pasti beralih dari perekonomian pertanian tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang berorientasi kepada pola kehidupan perkotaan.


(hlm. 138)
Kritik Terhadap Model Lewis
Meskipun model dua-sektor Lewis ini sederhana dan secara umum sudah dapat menggambarkan pengalaman sejarah pertumbuhan ekonomi di negara-negara Barat, namun empat dari asumsi-asumsi utamanya ternyata sama sekali tidak cocok dengan kenyataan institusional dan ekonomis di sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga sekarang ini.
Pertama, model ini secara implisit mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor modern sebanding dengan tingkat akumulasi modal sektor modern. Semakin cepat tingkat akumulasi modalnya, maka akan semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor modern dan semakin cepat pula penciptaan lapangan kerja baru. Akan tetapi, apa yang akan terjadi seandainya keuntungan para kapitalis justru diinvestasikan kembali dalam bentuk barang-barang modal yang lebih canggih dan lebih hemat tenaga kerja, bukan pada barang modal yang hanya merupakan duplikasi dari modal yang sudah ada sebelumnya seperti yang diasumsikan oleh model Lewis?


(hlm. 139)
Asumsi kedua yang sering dan patut dipersoalkan dari model Lewis tersebut adalah adanya dugaan bahwa di pedesaan terjadi kelebihan tenaga kerja, sedangkan di daerah perkotaan terjadi penyerapan faktor-faktor produksi secara optimal (full employment). Namun, sebagian besar penelitian ternyata menunjukkan bahwa keadaan yang sebaliknyalah yang lebih mungkin terjadi di negara-negara Dunia Ketiga (yaitu, jumlah pengangguran di perkotaan cukup besar tetapi hanya sedikit surplus tenaga kerja di pedesaan). Akan tetapi, para ahli ekonomi pembangunan saat ini, pada umumnya telah sepakat bahwa asumsi Lewis mengenai surplus tenaga kerja di pedesaan tidak sahih.


(hlm. 140)
Asumsi ketiga yaitu dugaan tentang pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor modern akan menjamin keberlangsungan upah riil di perkotaan yang konstan sampai pada suatu titik di mana surplus penawaran tenaga kerja habis terpakai, tidak dapat diterima. Kecenderungan tersebut tetap terjadi sekalipun ada kenaikan tingkat pengangguran di sektor modern dan produktivitas marjinal yang rendah atau nol di sektor pertanian. Faktor-faktor kelembagaan seperti halnya kekuatan tawar-menawar organisasi atau serikat buruh, skala gaji pegawai negeri, dan praktik-praktik penerimaan tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan multinasional cenderung untuk menghapuskan atau meniadakan kekuatan-kekuatan kompetitif yang terdapat di pasar tenaga kerja sektor modern di negara-negara Dunia Ketiga.


(hlm. 141)
Perubahan Struktural dan Pola-pola Pembangunan
Namun, berlainan dengan model Lewis dan pandangan tahapan orisinal dari pembangunan, pola atau teori ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi merupakan syarat yang harus dipenuhi, akan tetapi tidak akan memadai jika harus berdiri sendiri (necessary but not sufficient conditions) dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Perubahan-perubahan yang bersifat struktural ini melibatkan seluruh fungsi ekonomi, termasuk transformasi produksi dan perubahan komposisi permintaan konsumen, perdagangan internasional, sumber daya, serta perubahan dalam faktor-faktor sosioekonomi seperti proses urbanisasi, pertumbuhan, dan sebaran/distribusi penduduk di negara yang bersangkutan.


(hlm. 142)
Karya pemenang Nobel, Simon Kuznets, yang dibahas dalam Bab 3, merupakan pengaruh penting bagi pendekatan ini. Bahan-bahan studi tersebut meliputi transisi dari pola perekonomian agraris ke perekonomian industri, kesinambungan akumulasi modal fisik dan manusia, perubahan jenis permintaan konsumen dari produk kebutuhan pokok dan pangan ke berbagai macam barang dan jasa manufaktur, perkembangan daerah perkotaan terutama pusat-pusat industri berkat migrasi para pencari kerja dari daerah-daerah pertanian di pedesaan dan kota-kota kecil, serta pengurangan jumlah anggota dalam setiap keluarga dan penurunan pertumbuhan populasi secara keseluruhan karena anak sudah tidak lagi dipandang sebagai salah satu faktor penunjang ekonomi keluarga sehingga para orang tua pun menjadi lebih mementingkan kualitas (pendidikan) anak daripada sekedar kuantitasnya.


(hlm. 143)
Revolusi Ketergantungan Internasional
Sepanjang kurun waktu 1970-an, model-model ketergantungan internasional mendapat dukungan yang cukup besar di kalangan intelektual negara-negara Dunia Ketiga, sebagai akibat dari tidak kunjung terwujudnya prediksi model-model pertumbuhan ekonomi tahapan-linier dan perubahan struktural. Pada intinya, model ketergantungan internasional memandang negara-negara Dunia Ketiga sebagai korban kekakuan aneka faktor kelembagaan, politik, dan ekonomi, baik berskala domestik maupun internasional.


(hlm. 144)
Model Ketergantungan Neokolonial
Koeksistensi itu digambarkan sebagai hubungan kekuasaan yang sangat tidak berimbang antara pusat (center, core) yang terdiri dari negara-negara maju, serta pinggiran (periphery), yakni kelompok negara yang sedang berkembang.
Mereka merupakan kelompok kecil elit penguasa yang kepentingan utamanya, disadari ataupun tidak, adalah melestarikan sistem kapitalis internasional yang tidak adil dan menindas, karena mereka memang mendapat banyak keuntungan darinya.


(hlm. 145)
Pendeknya, pandangan neo-Marxis atau dalam hal ini pandangan keterbelakangan neokolonial, mencoba menghubungkan kemiskinan yang terus berlanjut dan semakin parah di sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga dengan keberadaan dan kebijakan-kebijakan kelompok negara-negara industri kapitalis dari belahan bumi Utara yang dapat menyebar luas melalui kelompok-kelompok domestik kecil elit yang berkuasa yang mereka sebut kelompok comprador (comprador group), di semua negara-negara berkembang.


(hlm. 146)
Dengan demikian, keterbelakangan, oleh penganut aliran ketergantungan dipandang sebagai suatu fenomena yang diakibatkan atau diciptakan secara sengaja oleh kondisi-kondisi eksternal. Anggapan ini jelas bertentangan dengan teori pertumbuhan-tahapan-linier maupun model struktural yang menekankan bahwa kondisi keterbelakangan itu juga diakibatkan oleh berbagai keterbatasan internal seperti tingkat tabungan nasional dan investasi yang tidak memadai, serta kurangnya pendidikan dan keahlian.


(hlm. 147)
Pada praktiknya, mereka memang tidak ragu-ragu mengeksploitasi serta menyedot sebagian besar surplus negara-negara lemah. Dengan demikian, ketergantungan tersebut sesungguhnya didasarkan pada suatu bentuk mekanisme pembagian kerja internasional yang sangat timpang, yang hanya memungkinkan kemajuan industri terlaksana di beberapa negara-negara lainnya, yang pertumbuhannya memang amat ditentukan oleh dan tunduk kepada pusat-pusat kekuasaan dunia yang terdiri dari negara-negara kuat itu.


(hlm. 148)
Model Paradigma Palsu
Ia mencoba menghubungkan keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga dengan kesalahan dan ketidaktepatan saran yang diberikan oleh para pengamat atau “pakar” internasional, meskipun saran-saran tersebut baik tetap sering tidak diinformasikan secara tepat; bias; dan hanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu saja yang bernanung di bawah lembaga-lembaga bantuan negara-negara maju dan organisasi-organisasi donor multinasional.


(hlm. 149)
Faktor-faktor kelembagaan di negara-negara Dunia Ketiga, seperti masih pentingnya struktur sosial tradisional (yakni, kesukuan, kasta, kelas, dan sebagainya); sangat tidak meratanya hak kepemilikan tanah dan kekayaan lainnya; tidak memadainya kontrol kalangan elit terhadap aset-aset keuangan domestik dan internasional; serta sangat timpangnya kesempatan ataupun kemudahan dalam rangka mendapatkan kredit usaha; selama ini tidak dipahami dan diperhitungkan secara memadai, sehingga tidak mengherankan apabila kebijakan-kebijakan yang ditawarkan oleh para ahli internasional tadi, yang biasanya mereka dasarkan pada model-model surplus tenaga kerja dari Lewis atau perubahan struktural dari Chenery, dalam banyak hal hanya melayani kepentingan sepihak kelompok-kelompok domestik maupun internasional yang sedang berkuasa.


(hlm. 150)
Tesis Pembangunan Dualistik
Unsur pemikiran pokok yang secara implisit terkandung di dalam teori-teori perubahan struktural dan secara eksplisit telah dinyatakan dalam teori ketergantungan internasional adalah gagasan akan adanya sebuah dunia bermasyarakat ganda (a world of dual societies). Konsep ini menunjukkan hanya jurang pemisah yang kian lama terus melebar antara negara-negara kaya dan miskin, serta di antara orang-orang kaya dan miskin pada berbagai tingkatan di setiap negara.


(hlm. 151)
Berbagai Kesimpulan dan Implikasinya
Teori ketergantungan memiliki dua kelemahan yang pokok. Pertama, walaupun mereka menawarkan suatu penjelasan yang sangat menarik mengapa banyak negara-negara Dunia Ketiga yang terbelakang, mereka hanya menawarkan sedikit penjelasan formal maupun informal mengenai apa yang harus dilakukan oleh negara-negara tersebut guna mengawali dan menjaga keberlangsungan pembangunannya. Kedua, dan barangkali ini lebih penting, pengalaman ekonomi negara-negara berkembang secara aktual yang diikuti dengan kampanye revolusi nasionalisasinya dan produksi yang dikelola oleh pemerintah, kebanyakan mengalami kegagalan.


(hlm. 152)
Jika teori ketergantungan diterima secara mentah-mentah, maka menurut teori tersebut, strategi terbaik yang harus diambil oleh negara berkembang adalah dengan meminimalisasi keterkaitan dengan negara-negara maju, serta menerapkan kebijakan autarki (autarky), atau pembangunan yang berorientasi ke dalam, atau yang paling maksimal adalah hanya berdagang dengan sesama negara berkembang.


(hlm. 153)
Namun, negara-negara besar yang menerapkan kebijakan autarki seperti Cina, dan pada derajat tertentu, India, ternyata mengalami pertumbuhan yang stagnan dan akhirnya memutuskan untuk membuka perekonomiannya. Cina memulai proses ini setelah 1978 dan India setelah 1990. Di pihak lain, perekonomian seperti Taiwan dan Korea Selatan yang sangat menekankan ekspor ke negara-negara maju telah mengalami pertumbuhan yang sangat cepat.

(hlm. 153)
Kontrarevolusi Neoklasik: Fundamentalisme Pasar
Tantangan bagi Model Statis: Pendekatan Pasar Bebas, Pilihan Publik, dan Pendekatan Ramah-Pasar
Memasuki dekade 1980-an, pengaruh politik dari pemerintah konservatif di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Jerman Barat menghadirkan kembali apa yang disebut sebagai kontrarevolusi neoklasik (neoclassical counterrevolution) dalam teori dan kebijakan ekonomi. Bagi negara-negara maju, kontrarevolusi ini merupakan aliran kebijakan makroekonomi yang lebih mementingkan sisi penawaran (supply-side macroeconomics), teori ekspektasi rasional, dan gelombang swastanisasi perusahaan-perusahaan milik negara.


(hlm. 154)
Ini antara lain dikarenakan para pendukung teori neoklasik ini memiliki pengaruh besar dalam dua lembaga keuangan internasional yang paling penting—yakni, Bank Dunia dan IMF—serta merosotnya pamor berbagai organisasi internasional lainnya yang seringkali lebih lantang dalam menyuarakan kepentingan negara-negara Dunia Ketiga, seperti International Labor Organization (ILO), United Nations Development Program (UNDP), serta United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Lemahnya peranan riil dari organisasi-organisasi tersebut turut membuka jalan bagi naiknya kontrarevolusi neoklasik.
Argumen inti kontrarevolusi neoklasik menegaskan bahwa kondisi keterbelakangan negara-negara berkembang bersumber dari buruknya keseluruhan alokasi sumber daya yang selama ini bertumpu pada kebijakan-kebijakan pengaturan harga yang tidak tepat dan adanya campur tangan pemerintah yang berlebihan.


(hlm. 155)
Menurut tokoh-tokoh neoliberal, dengan membiarkan pasar bebas (free markets) hadir dan beroperasi secara penuh, melaksanakan swastanisasi perusahaan milik pemerintah, mempromosikan perdagangan bebas dan pengembangan ekspor, menarik investasi asing (misalnya, investor dari negara-negara maju), serta menghapuskan regulasi pemerintah yang berlebihan dan distorsi harga pada pasar input, pasar output, maupun pasar keuangan, maka efisiensi serta pertumbuhan ekonomi akan terpacu secara lebih optimal.


(hlm. 156)
Selain itu, bertentangan dengan argumen para teoretisi ketergantungan, para penganjur kontrarevolusi neoklasik menyatakan bahwa negara-negara Dunia Ketiga berada dalam kondisi keterbelakangan bukan dikarenakan oleh sifat predator negara-negara Dunia Pertama maupun badan-badan internasional yang memang dikuasai oleh negara-negara Dunia Pertama tersebut, melainkan karena korupsi dan campur tangan pemerintah yang kelewat batas, inefisiensi di berbagai sektor, serta terbatasnya insentif ekonomi yang berpengaruh secara meluas di dalam perekonomian negara-negara berkembang itu sendiri.


(hlm. 157)
Jadi, menurut pemikiran ini, apa yang benar-benar paling dibutuhkan guna menanggulangi masalah tersebut bukanlah reformasi sistem ekonomi internasional, restrukturisasi pola perekonomian dualistik di negara-negara berkembang, peningkatan dana-dana bantuan luar negeri, pembatasan laju pertumbuhan penduduk hingga ke tingkat yang serendah-rendahnya, ataupun serangkaian pembaharuan atas sistem perencanaan terpusat yang lebih efektif; melainkan promosi pasar bebas dan perekonomian laissez-faire.


(hlm. 158)
Mereka menunjuk keberhasilan sejumlah perekonomian seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura sebagai contoh kehebatan “pasar bebas” (padahal sebagaimana kita bahas nanti, Macan-macan Asia itu jauh sekali dari prototipe “laissez-faire” seperti yang diyakini oleh para tokoh neokonservatif; peran pemerintah di negara-negara tersebut sebenarnya sangat besar) dan kegagalan sejumlah perekonomian yang mengandalkan campur tangan pemerintah di negara-negara Afrika dan Amerika Latin.


(hlm. 159)
Tantangan neoklasik terhadap pembangunan yang ortodoks dapat dipilah menjadi tiga komponen, yakni: pendekatan pasar-bebas; pendekatan pilihan publik (atau “ekonomi politik baru”); serta pendekatan “ramah terhadap pasar.”
Pandangan pedas ini bertolak dari asumsi dasarnya yang meyakini bahwa sikap, tindakan, dan keputusan para politisi, birokrat, warga negara biasa, apalagi pejabat pemerintah, senantiasa bertolak dari kepentingan-kepentingan mereka sendiri, tidak peduli apa konsekuensinya terhadap pihak lain.


(hlm. 160)
Banyak pihak yang mencari keuntungan cepat melalui jalur kasak-kusuk politik semacam itu (keuntungan itu sendiri lazim disebut “rente”), misalnya dengan membuat kebijakan pemerintah sedemikian rupa agar memberinya keuntungan ekstra yang membatasi akses pihak lain kepada sumber daya-sumber daya penting (contohnya kebijakan lisensi impor yang selalu diperebutkan para importir lokal).


(hlm. 161)
Hasil akhirnya bukan sekadar misalokasi sumber daya secara besar-besaran, melainkan juga pengikisan hakikat kebebasan individual. Kesimpulannya, campur tangan pemerintah yang minimal adalah pemerintahan yang terbaik.
Pendekatan “ramah terhadap pasar” (market-friendly approach) merupakan pendekatan terbaru dari kontrarevolusi neoklasik. Contoh intervensi yang dianjurkan adalah kepeloporan dalam melakukan investasi pada infrastruktur fisik dan sosial, membangun aneka fasilitas pelayanan kesehatan, menyiapkan dan mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, serta menciptakan iklim usaha yang mendukung tumbuhnya sektor swasta.


(hlm. 162)
Berbagai bentuk kegagalan pasar di negara-negara berkembang juga mereka catat, misalnya saja keterbatasan dan ketidaksempurnaan informasi, eksternalitas dalam pembinaan dan penciptaan keahlian/keterampilan kerja, serta kurangnya skala ekonomis produksi. Bahkan, pengakuan atas adanya tiga kelemahan utama pasar itu kemudian menumbuhkan aliran pemikiran baru, yakni yang dikenal sebagai pendekatan pertumbuhan baru/endogen (new or endogenous growth), dan pendekatan kegagalan koordinasi.


(hlm. 163)
Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional
Pada intinya, model ini merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua, yakni tenaga kerja, serta memperkenalkan variabel independen ketiga, yakni teknologi, ke dalam persamaan pertumbuhan (growth equation). Namun, berbeda dengan koefisien baku, model pertumbuhan neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing returns) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah; jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow juga memakai asumsi skala hasil tetap tersebut.


(hlm. 164)
Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi-rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow maupun para teoretisi lainnya diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Di lain pihak, perekonomian terbuka (open economy), yakni yang mengadakan hubungan perdagangan, investasi, dan sebagainya dengan negara atau pihak-pihak luar, pasti akan mengalami suatu konvergensi peningkatan pendapatan per kapita, arus permodalan akan mengalir deras dari negara-negara kaya ke negara-negara miskin di mana rasio modal-tenaga kerjanya masih rendah sehingga menjanjikan imbalan atau tingkat keuntungan investasi (returns on investments) yang lebih tinggi.


(hlm. 165)
Padahal, selama ini pihak pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga cenderung membatasi arus modal tadi, khususnya yang datang dari negara-negara lain. Itulah sebabnya di dalam konteks ini pemerintah dikatakan sebagai penghambat pertumbuhan yang selanjutnya akan menciptakan kemacetan atau stagnasi ekonomi nasional secara keseluruhan.


(hlm. 166)
Beberapa Kesimpulan dan Implikasinya
Bila semata-mata diukur berdasarkan kriteria efisiensi (bukannya pemerataan), maka memang tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai mekanisme alokasi sumber daya, pasar bebas lebih unggul daripada intervensi pemerintah.
Pasar-pasar yang kompetitif, misalnya, ternyata tidak ditemui pada perekonomian negara-negara berkembang pada umumnya.


(hlm. 167)
Itulah sebabnya tidak jarang prinsip maksimalisasi keuntungan bukan merupakan prioritas atau tujuan utama, terutama bagi perusahaan-perusahaan milik negara. Yang dibutuhkan bukan hanya pemecahan secara ideologis, melainkan penilaian yang secermat mungkin atas situasi yang ada di masing-masing negara berkembang.


(hlm. 168)
Teori-teori Pembangunan Klasik: Usaha Mempertemukan Berbagai Perbedaan
Berbeda dari cabang-cabang ilmu ekonomi lainnya, ilmu ekonomi pembangunan tidak memiliki doktrin-doktrin atau paradigma baku yang telah diterima secara universal.


(hlm. 170)
Studi Kasus: Perekonomian Kenya
Tiga perlima bagian wilayahnya adalah padang terbuka yang agak kering, diselingi dengan beberapa pepohonan dan semak-semak (kebanyakan berada di sebelah utara). Padang-padang yang kurang subur itu dihuni oleh 85 persen penduduk. Mengingat keterbatasan sumber daya alam di bagian utara, maka hampir semua kegiatan perekonomian berlangsung di dua perlima wilayah lainnya yang terletak di sebelah selatan.


(hlm. 171)
Sayangnya, dalam upaya membangkitkan perekonomiannya, pemerintah Nairobi terlalu mengutamakan sektor industri dan justru mengabaikan arti penting sektor pertanian. Untuk membiayai berbagai keperluannya, pemerintah Kenya bahkan terpaksa menarik pinjaman berbunga cukup tinggi dari perbankan komersial internasional, mengingat ia semakin sulit memperoleh pinjaman resmi berbunga rendah.


(hlm. 172)
Soal-soal Bahan Diskusi

  1. Perbedaan-perbedaan yang esensial.
  2. Istilah dualisme (dualism) dan istilah masyarakat yang dualistik (dual societies).
  3. Dualisme domestik dan internasional hanya merupakan manifestasi yang berbeda dari suatu fenomena yang sama.
  4. Keragaman negara-negara berkembang yang begitu besar, menurut Anda, apakah kita bisa mengharapkan akan terciptanya suatu teori pembangunan tunggal baku dan universal?
  5. Teori pasar bebas neoklasik harus dipertentangkan dengan teori ketergantungan?

(hlm. 173)
Lampiran 4.1
Model Pertumbuhan Neoklasik dari Solow
Meskipun dalam hal tertentu model Solow menggambarkan perekonomian negara maju secara lebih baik daripada kemampuannya dalam menjelaskan perekonomian negara berkembang, model ini tetap menjadi titik acuan dasar dalam keputusan mengenai pertumbuhan dan pembangunan.


(hlm. 175)
Dalam model Solow, tidak seperti dalam analisis Harrod-Domar (atau AK), implikasi kuncinya adalah bahwa peningkatan s tidak akan meningkatkan pertumbuhan dalam jangka panjang, namun hanya akan meningkatkan keseimbangan k*.


(hlm. 176)
Model Kontemporer Pembangunan dan Keterbelakangan
Justru inilah yang membuat studi ekonomi pembangunan sangat penting: pembangunan tidak terjadi secara otomatis; namun memerlukan upaya yang sistematis.
Riset terbaru telah memperluas cakupan pemodelan perekonomian pasar dalam konteks negara berkembang. Salah satu tema besarnya adalah memasukkan masalah koordinasi antara lembaga (agents), seperti antara berbagai kelompok perusahaan, antara pekerja, atau antara perusahaan dengan pekerja.


(hlm. 177)
Semua pendekatan ini berbeda dalam sejumlah segi dari ilmu ekonomi neoklasik yang konvensional, paling tidak dalam asumsi adanya informasi sempurna yang terdapat dalam teori konvensional, tidak signifikannya eksternalitas, serta keunikan dan optimalitas keseimbangan jamak (equilibria).


(hlm. 178)
Teori Pertumbuhan Baru: Pertumbuhan Endogen
Motivasi Pencarian Teori Pertumbuhan yang Baru
Setiap peningkatan GNP yang bukan berasal dari penyesuaian jangka pendek dalam cadangan tenaga kerja maupun modal, dianggap bersumber dari kategori ketiga, yaitu yang biasa disebut sebagai residu Solow (Solow residual). Residu ini, tidak seperti namanya, bertanggung jawab atas sekitar 50 persen pertumbuhan yang terjadi di banyak negara industri.


(hlm. 179)
Namun, bahkan setelah menerapkan liberalisasi dalam perdagangan dan pasar domestik, banyak negara berkembang yang tidak tumbuh atau hanya tumbuh sedikit dan gagal menarik investasi asing, atau gagal mencegah larinya modal domestik ke luar negeri. Perilaku aliran modal negara-negara berkembang yang aneh (dari negara miskin ke negara kaya) turut memicu konsep pertumbuhan endogen (endogenous growth) atau dengan kata lain yang lebih sederhana, teori pertumbuhan (new growth theory). Teori pertumbuhan baru ini mencerminkan komponen kunci dari teori pembangunan yang baru muncul.


(hlm. 180)
Dalam formulasi ini, A dianggap mewakili semua faktor yang mempengaruhi teknologi, dan K mencerminkan modal fisik dan sumber daya manusia. Potensi tingkat pengembalian investasi yang tinggi yang ditawarkan oleh negara berkembang yang mempunyai rasio modal-tenaga kerja yang rendah berkurang dengan cepat dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer (complementary investments) dalam sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan (R&D).

(hlm. 180)
Model Romer
Untuk menggambarkan pendekatan pertumbuhan endogen, kita akan membahas model pertumbuhan endogen Romer secara rinci, karena model ini mengkaji imbasan teknologi yang mungkin terdapat dalam proses industrialisasi. Namun, berbeda dengan Solow, Romer mengasumsikan bahwa cadangan modal dalam keseluruhan perekonomian, KˉK̄Kˉ, secara positif memengaruhi output pada tingkat industri, sehingga terdapat kemungkinan skala hasil yang semakin meningkat (increasing returns to scale—IRS) pada tingkat perekonomian secara keseluruhan.


(hlm. 181)
Keterbelakangan sebagai Akibat Kegagalan Koordinasi
Dalam ilmu ekonomi pembangunan, efek jaringan tersebut merupakan sesuatu yang umum, dan kita akan membahas beberapa contoh penting nanti dalam bab ini juga, termasuk model dorongan besar (big push), di mana keputusan produksi yang dilakukan oleh berbagai perusahaan sektor modern sifatnya saling memperkuat, dan juga model Cincin-O (O-ring model), di mana nilai keterampilan atau kualitas yang meningkat akan tergantung pada peningkatan serupa yang dilakukan oleh lembaga lain.


(hlm. 182)
Perusahaan tidak akan memasuki pasar atau berdiri di suatu daerah jika para pekerja tidak mempunyai keterampilan yang dibutuhkan, namun sebaliknya para pekerja pun tidak akan mempelajari keterampilan tersebut jika tidak ada perusahaan yang akan mempekerjakannya. Contoh lain yang umumnya menyangkut daerah pedesaan yang sedang membangun adalah komersialisasi pertanian. Seperti yang telah dipahami oleh Adam Smith, spesialisasi adalah salah satu sumber tingginya produktivitas.


(hlm. 183)
Tanpa adanya pedagang perantara, para petani kurang mendapat dorongan untuk berspesialisasi dan lebih memilih untuk terus menghasilkan tanaman pangan atau barang-barang yang terutama hanya untuk konsumsi pribadi atau yang diperdagangkan dalam lingkup desanya sendiri. Hasilnya dapat berupa jebakan keterbelakangan, di mana daerah tersebut akan selamanya terjebak dalam pertanian subsisten.


(hlm. 184)
Tanpa pemimpin yang jelas dan dengan jumlah peserta yang banyak, sulit untuk menyepakati tempat pertemuan dalam waktu singkat. Dalam problema ekonomi yang sesungguhnya, orang-orang yang butuh “bertemu”—mungkin untuk mengoordinasikan investasi—bahkan tidak mengetahui identitas agen kunci yang lain.


(hlm. 185)
Ekuilibria Jamak: Pendekatan Diagramatis
Gagasan dasar yang tercermin dalam fungsi yang berbentuk S pada Peraga 5.1 adalah bahwa manfaat yang diterima oleh sebuah lembaga yang mengambil suatu tindakan bergantung secara positif pada seberapa banyak lembaga lain yang diharapkan akan melakukan tindakan yang sama, atau pada dampak dari tindakan-tindakan tersebut.


(hlm. 186)
Sehingga keseimbangan dalam kasus ini adalah sebuah situasi di mana setiap orang melakukan yang terbaik bagi mereka sendiri, yang tergantung pada dugaan mereka tentang apa yang akan dilakukan orang lain, yang pada akhirnya akan mencocokkan dirinya dengan apa yang dilakukan orang lain.


(hlm. 187)
Memulai Pembangunan Ekonomi: Model Dorongan Besar
Contohnya, pada seabad yang lalu Argentina, bersama-sama dengan Amerika Serikat yang juga sedang tumbuh, dilihat oleh negara-negara Eropa sebagai kekuatan masa depan dalam perekonomian dunia; namun kemudian Argentina mengalami stagnasi (kemandekan) selama lebih dari setengah abad. Dengan melihat catatan tersebut, kita harus setuju dengan Rostow, paling tidak mengenai pendapatnya yang mengatakan bahwa pada awalnya sangat sulit untuk menumbuhkan perekonomian modern, dan lebih mudah untuk menjaganya ketika pembangunan tersebut sudah berjalan.


(hlm. 188)
Sejumlah ekonom pembangunan menyimpulkan bahwa, beberapa kegagalan pasar menyebabkan pembangunan ekonomi sulit dimulai. Di antara kegagalan pasar tersebut adalah eksternalitas keuangan (pecuniary externalities), yang merupakan efek imbasan (spillover) pada biaya atau pendapatan. Mungkin model kegagalan koordinasi yang paling terkenal dalam literatur ekonomi pembangunan adalah model “dorongan besar (big push)” yang dipelopori oleh Paul Rosenstein-Rodan, yang pertama kali mengangkat sejumlah isu-isu koordinasi dasar.


(hlm. 189)
Model dorongan besar adalah sebuah model yang menunjukkan bagaimana kegagalan pasar dapat menimbulkan kebutuhan akan perekonomian yang terencana dan juga kebutuhan akan berbagai upaya yang dicetuskan oleh kebijakan publik, agar proses pembangunan ekonomi yang panjang dapat berjalan atau dipercepat.


(hlm. 190)
Dorongan Besar: Model Grafis
Asumsi
Dalam model apa pun (bahkan dalam pemikiran yang seksama), kita perlu membuat sejumlah asumsi, kadang-kadang asumsi yang besar, untuk mempermudah pemahaman kita.


(hlm. 191)
Kasus Lain yang Mungkin Memerlukan Dorongan Besar
Selain yang telah dijelaskan tadi, ada empat kondisi lain yang mungkin memerlukan dorongan besar:

  1. Efek intertemporal
  2. Efek urbanisasi
  3. Efek infrastruktur
  4. Efek pelatihan

(hlm. 192)
Mengapa Masalah Kegagalan Koordinasi Tidak Dapat Dipecahkan oleh Seorang Wirausahawan Super
Mengapa sebuah lembaga/agen tidak dapat memecahkan kegagalan koordinasi dengan menguasai seluruh sumber daya?


(hlm. 193)
Namun dalam kaitannya dengan masalah industrialisasi, mengapa sebuah lembaga/agen tidak bisa menjadi seorang wirausahawan super di setiap N pasar secara simultan? Paling tidak terdapat empat jawaban teoritis dan sebuah jawaban empiris untuk itu.


(hlm. 194)
Pertama, terdapat kemungkinan terjadi kegagalan pasar modal. Bagaimana mungkin sebuah lembaga mendapatkan seluruh modal yang dibutuhkan untuk berperan sebagai seorang wirausahawan super? Kedua, terdapat biaya dari pemantauan para manajer dan agen yang lain, dan juga terdapat biaya perancangan dan pelaksanaan rencana untuk memastikan supaya para pekerja mematuhi perintah majikannya; biaya-biaya ini sering disebut sebagai biaya kelembagaan (agency costs).


(hlm. 195)
Dengan kata lain, jika perusahaan tersebut sangat menguntungkan, mengapa dijual? Karena itu, calon pembeli industri tersebut menghadapi masalah informasi asimetris (asymmetric information), yang juga dikenal sebagai “masalah lemon (lemons problem).” Ketiga, terdapat kemungkinan terjadi kegagalan komunikasi. Keempat, pengetahuan ada batasnya. Akhirnya, terdapat alasan empiris bahwa tidak pernah ada lembaga swasta yang diketahui memainkan peran sebagai wirausahawan super.


(hlm. 196)
Masalah ini juga tidak dapat dipecahkan oleh produksi yang dikomandani oleh pemerintah secara langsung, seperti yang ditunjukkan oleh bekas negara Uni Soviet. Namun, koordinasi publik atas langkah-langkah yang diambil oleh investor-investor swasta adalah yang umum diperlukan untuk mengatasi masalah ini, dan inilah yang dianggap sebagai peran kebijakan industri di Asia Timur.


(hlm. 197)
Masalah Lanjutan Ekuilibria Jamak
Keterkaitan
Salah satu strategi untuk memecahkan masalah koordinasi adalah dengan berfokus pada kebijakan pemerintah yang mendorong pengembangan sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan (linkages) ke belakang maupun ke depan. Teori keterkaitan menekankan bahwa jika industri-industri tertentu dibangun lebih dahulu, interkoneksinya (atau keterkaitannya) dengan sektor lain akan memicu atau paling tidak akan membantu pengembangan industri baru.


(hlm. 198)
Kedua contoh tersebut menggambarkan efek eksternalitas keuangan (berupa penurunan biaya) jika terdapat hasil yang semakin meningkat di dalam industri yang saling terkait. Dalam memilih industri-industri yang mempunyai keterkaitan yang kuat (dan lolos uji biaya-manfaat), pada umumnya suatu kebijakan akan memilih sektor-sektor yang tidak memiliki kemiripan dengan investasi sektor swasta, karena sektor-sektor tersebut justru bisa menjadi penghambat: Jika sebuah investasi menguntungkan, maka seorang wirausahawan sudah pasti akan mengisi ceruk itu.


(hlm. 199)
Ketimpangan, Ekuilibria Jamak, dan Pertumbuhan
Orang miskin, yang tidak dapat memperoleh pinjaman untuk memulai sebuah bisnis karena adanya ketidaksempurnaan pasar modal, dapat terjebak ke dalam subsistensi atau ketergantungan yang terus berlangsung karena upah yang kecil, meskipun mereka (dan mungkin karyawan potensial) dapat berbuat jauh lebih baik jika mempunyai akses pendanaan—atau jika terdapat distribusi pendapatan yang lebih merata.


(hlm. 200)
Dalam sebuah model formal dari masalah ini, Oded Galor dan Joseph Zeira meneliti implikasi dari ketiadaan pasar modal terhadap pertumbuhan dan distribusi pendapatan maupun distribusi sumber daya manusia. Hal ini terjadi bukanlah karena pendidikan yang lebih tinggi memberikan sedemikian banyak pengetahuan dibandingkan dengan pendidikan yang lebih rendah, namun karena gelar pendidikan itu sendiri merupakan bukti bahwa seseorang dapat lulus dari sejumlah persyaratan.


(hlm. 201)
Teori Pembangunan Ekonomi Cincin-O dari Kremer
Ia mengatakan bahwa produksi modern (berlawanan dengan produksi tradisional dengan tangan) mensyaratkan bahwa berbagai kegiatan harus dilakukan dengan baik dan bersama-sama, agar masing-masing dapat menghasilkan nilai yang tinggi. Hal ini adalah suatu bentuk dari komplementaritas yang kuat serta merupakan cara berpikir alamiah mengenai spesialisasi dan pembagian tenaga kerja, yang bersama-sama dengan skala ekonomis merupakan tonggak dari perekonomian negara maju pada umumnya dan produksi industrial pada khususnya. Nama yang diambil untuk model Kremer ini berasal dari bencana pesawat ulang alik Challenger yang terjadi pada tahun 1986, ketika kegagalan fungsi sebuah suku cadang yang kecil dan murah mengakibatkan meledaknya pesawat tersebut.


(hlm. 202)
Model Cincin-O
Proses ini berlanjut hingga pria dan wanita yang paling tidak menarik menikah.


(hlm. 203)
Implikasi Teori Cincin-O
Dengan kata lain, ketika orang-orang di sekitar Anda mempunyai keterampilan rata-rata yang lebih tinggi, Anda akan mempunyai insentif yang lebih besar untuk memperoleh lebih banyak keterampilan.


(hlm. 204)
Ringkasan dan Kesimpulan: Ekuilibria Jamak dan Kegagalan Koordinasi
Sebagai contoh, seperti yang ditunjukkan oleh Joseph Stiglitz, pemenang Nobel tahun 2001, para pejabat pembangunan harus lebih mewaspadai pejabat pemerintah yang korup, yang mendukung doktrin Bank Dunia untuk melakukan privatisasi pada akhir dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an.


(hlm. 205)
Mengapa pejabat yang korup melakukan hal tersebut, jika mereka diuntungkan dari aliran rente yang didapatkannya dari perusahaan-perusahaan negara? Jawabannya, kata Stiglitz, adalah bahwa para pejabat ini mengetahui bahwa dengan mengkorupsi proses privatisasi tersebut, mereka juga memperoleh bagian dari nilai diskonto sekarang seluruh operasi perusahaan di masa depan.


(hlm. 206)
Studi Kasus Komparatif: Korea Selatan dan Argentina
Kontribusi dan Beberapa Pendekatan Alternatif Mengenai Pembangunan
Korea Selatan
Tahap-tahap Pertumbuhan
Rostow menyatakan bahwa kematangan ekonomi akan dicapai sekitar 60 tahun setelah dimulainya tahap tinggal landas, namun ia tidak menyangkal adanya keunikan yang dipunyai setiap negara, dan kesenjangan antara teknologi tradisional dan teknologi maju memang dapat diisi lebih cepat pada tahapan akhir pembangunan.


(hlm. 207)
Pola Struktural
Korea Selatan juga membuktikan kebenaran dari sejumlah model perubahan-struktural pola pembangunan. Khususnya, kebangkitan Korea Selatan selama generasi terakhir ini dicirikan oleh cepatnya peningkatan produktivitas pertanian, pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri, pertumbuhan cadangan modal yang mantap, meningkatnya pendidikan dan keterampilan, dan transisi demografi berupa penurunan tingkat kelahiran.


(hlm. 208)
Revolusi Ketergantungan
Namun Korea Selatan tampaknya mementahkan berlakunya model revolusi ketergantungan. Korea Selatan juga mengimplementasikan salah satu program land reform yang paling menyeluruh di kalangan negara-negara berkembang dan memberi penekanan yang lebih besar pada pendidikan dasar dan bukan pendidikan tingkat universitas, dan kedua kebijakan tersebut memang sangat penting. Dan ketika terlalu banyak pengecualian yang dibuat di dalam sebuah teori, hal ini biasanya mengindikasikan bahwa teori tersebut memang tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai.


(hlm. 209)
Kontrarevolusi Neoklasik
Bentuk intervensi oleh pemerintah Korea Selatan tersebut antara lain dengan cara merencanakan pembangunan dengan sebaik-baiknya, menggunakan berbagai keringanan pajak dan insentif untuk mendorong berbagai perusahaan mengikuti arahan dan intervensi pemerintah, menetapkan target ekspor perusahaan tertentu, memimpin upaya peningkatan teknologi dengan pihak asing, menggunakan kekuatan monopolinya untuk mendapatkan penawaran terbaik dari berbagai pihak, dan secara umum mendorong perusahaan-perusahaan domestik untuk memperoleh keunggulan komparatif (dinamis).


(hlm. 210)
Argentina
Tahap-tahap Pertumbuhan
Pada tahun 1870, pendapatan Argentina berada pada peringkat ke-11 di dunia (melebihi Jerman); saat ini, pendapatan per kapita negara tersebut bahkan tidak masuk 50 besar. Namun sekarang lihatlah keadaan Argentina semenjak Rostow mengedepankan negara tersebut sebagai contoh. Menurut data Bank Dunia, Argentina mengalami pertumbuhan negatif selama periode tahun 1965-1990, dan pada dekade 1980-an, investasi domestik menurun tajam menjadi -8,3%, jauh di bawah syarat yang ditetapkan Rostow sebagai tingkat investasi yang diperlukan untuk tinggal landas.


(hlm. 211)
Revolusi Ketergantungan
Negara tersebut sangat tergantung pada ekspor barang-barang primer, dan harga riil dari barang-barang ini sangat rendah jika dibandingkan dengan nilai barang yang diimpornya. Dengan bukti-bukti tersebut, para penganut teori ketergantungan dapat menyatakan bahwa pembangunan Argentina merupakan korban dari kepentingan ekonomi negara maju, terutama dari berbagai perusahaan Inggris dan Amerika.

(hlm. 215)
Bagian Kedua
Masalah dan Kebijakan: Domestik
(hlm. 219)
6
Kemiskinan, Ketimpangan, dan Pembangunan
Kita akan melihat di bab-bab berikutnya bahwa, orang-orang miskin ini sering menderita kekurangan gizi dan tingkat kesehatan yang buruk, sedikit melek huruf atau buta huruf sama sekali, hidup di lingkungan yang buruk, kurang terwakili secara politis, dan berusaha memperoleh penghasilan yang minim di sebuah pertanian kecil dan marjinal, atau di daerah kumuh. Dalam bab ini, kita akan membahas masalah kemiskinan dan tingginya ketimpangan distribusi pendapatan secara mendalam.
(hlm. 220)
Karena penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak negara, maka kita memulai Bagian Dua dengan berfokus pada hakikat kemiskinan dan masalah ketimpangan pendapatan di negara-negara berkembang.
(hlm. 221)
Mengukur Ketimpangan dan Kemiskinan
Mengukur Ketimpangan
(hlm. 222)
Distribusi Ukuran
Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) ini merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom.
(hlm. 225)
Oleh karena tidak ada satu negara pun yang memperlihatkan pemerataan sempurna atau ketidakmerataan sempurna di dalam distribusi pendapatannya, semua kurva Lorenz dari setiap negara akan berada di sebelah kanan garis diagonal seperti ditunjukkan pada Peraga 6.1. Semakin parah tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan di suatu negara, maka bentuk kurva Lorenznya pun akan semakin melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah.
(hlm. 226)
Koefisien Gini = (Bidang A yang diarsir)/(Bidang BCD)
(Peraga 6.3)
Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
Perangkat yang terakhir dan sangat mudah digunakan untuk mengukur derajat ketimpangan pendapatan relatif di suatu negara, adalah dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh segi empat di mana kurva Lorenz itu berada. Pada Peraga 6.3, rasio ini adalah rasio daerah A yang diarsir dibagi dengan luas segitiga BCD. Rasio ini dikenal dengan nama rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) atau sederhananya disebut sebagai koefisien Gini (Gini coefficient), mengambil nama dari ahli statistik Italia yang merumuskannya pertama kali pada tahun 1912.
Pada praktiknya, koefisien Gini untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara 0,20 hingga 0,35.
(hlm. 227)
Telah diketahui bahwa, koefisien Gini merupakan salah satu ukuran yang memenuhi empat kriteria yang sangat dicari, yaitu prinsip anonimitas, independensi skala, independensi populasi, dan transfer. Prinsip anonimitas (anonymity principle) mengatakan bahwa ukuran ketimpangan seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi; dengan kata lain, ukuran tersebut tidak tergantung pada apa yang kita yakini sebagai manusia yang lebih baik, apakah itu orang kaya atau orang miskin. Prinsip independensi skala (scale independence principle) berarti bahwa ukuran ketimpangan kita seharusnya tidak tergantung pada ukuran suatu perekonomian atau negara, atau cara kita mengukur pendapatannya; dengan kata lain, ukuran ketimpangan tersebut tidak tergantung pada apakah kita mengukur pendapatan dalam dolar atau dalam sen, dalam rupee atau dalam rupiah, atau apakah perekonomian negara itu secara rata-rata kaya atau miskin, karena jika kita ingin mengukur ketimpangan, kita ingin ukuran sebaran pendapatan, bukan besarnya (meskipun perlu diingat juga bahwa besarnya pendapatan juga sangat penting dalam pengukuran kemiskinan). Prinsip independensi populasi (population independence principle), juga agak mirip dengan prinsip sebelumnya; prinsip ini menyatakan bahwa pengukuran ketimpangan seharusnya tidak didasarkan pada jumlah penerima pendapatan (jumlah penduduk). Misalnya, perekonomian Cina tidak boleh dikatakan lebih merata atau lebih timpang daripada perekonomian Vietnam hanya karena penduduk Cina lebih banyak.
(hlm. 228)
Akhirnya koefisien Gini juga memenuhi prinsip transfer (transfer principle). Prinsip yang juga sering disebut sebagai prinsip Pigou-Dalton, diambil dari nama penemunya ini menyatakan bahwa, dengan mengasumsikan semua pendapatan yang lain konstan, jika kita mentransfer sejumlah pendapatan dari orang kaya ke orang miskin (namun tidak sangat banyak hingga mengakibatkan orang miskin itu sekarang justru lebih kaya daripada orang yang awalnya kaya tadi), maka akan dihasilkan distribusi pendapatan baru yang lebih merata.
CV kadang-kadang digunakan dalam studi konvergensi pendapatan internasional (lihat Bab 3) atau konvergensi indikator pembangunan yang lain seperti tingkat harapan hidup dan tingkat melek huruf. Jika CV lebih sering digunakan dalam statistik, koefisien Gini sering digunakan dalam studi-studi mengenai distribusi pendapatan dan kekayaan karena mudahnya interpretasi kurva Lorenz. Perlu diingat bahwa kita juga dapat menggunakan kurva Lorenz untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi tanah (seperti dalam Bab 10), dalam ketimpangan pendidikan dan kesehatan (seperti dalam Bab 9), dan dalam aset-aset penting yang lain.
Distribusi Fungsional
Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik).
(hlm. 230)
Sayangnya, relevansi teori fungsional menjadi kurang tajam karena tidak memperhitungkan pentingnya peranan dan pengaruh kekuatan-kekuatan di luar pasar yang menentukan harga faktor-faktor produksi ini.

(hlm. 231)
Mengukur Kemiskinan Absolut
Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu.

(hlm. 232)
Salah satu strategi praktis untuk menentukan garis kemiskinan lokal adalah dengan menetapkan sekelompok makanan yang cukup, yang didasarkan atas persyaratan nutrisi dari penelitian medis tentang kalori, protein, dan mikronutrien yang dibutuhkan tubuh.

(hlm. 232)
Ukuran Foster-Greer-Thorbecke
Seperti dalam ukuran ketimpangan, terdapat beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom pembangunan, yaitu prinsip-prinsip: anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional.

(hlm. 233)
Ukuran rasio headcount memenuhi syarat anonimitas, independensi populasi, dan monotonisitas, namun gagal memenuhi syarat sensitivitas distribusional (dengan kata lain, rasio ini tidak akan menghitung dampak diferensial dari kenaikan harga beras). Sedangkan headcount yang sederhana gagal, bahkan untuk memenuhi prinsip independensi populasi.
Dua indeks kemiskinan yang terkenal yang memenuhi keempat kriteria adalah indeks Sen dan bentuk tertentu dari indeks Foster-Greer-Thorbecke (FGT), dan sering disebut sebagai kelas PαP_{\alpha}Pα​ dari ukuran kemiskinan.

(hlm. 234)
Kemiskinan, Ketimpangan, dan Kesejahteraan Sosial
Apa Ruginya dengan Ketimpangan?
Mungkin karena alasan itulah mengapa setiap agama besar selalu menekankan pentingnya bekerja untuk menanggulangi kemiskinan dan paling tidak juga merupakan salah satu alasan mengapa bantuan pembangunan internasional didukung secara universal oleh setiap bangsa yang demokratis.

(hlm. 235)
Pertama, ketimpangan pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi.
Alasan kedua yang harus dipertimbangkan menyangkut ketimpangan yang terjadi di antara penduduk yang berada di atas garis kemiskinan adalah bahwa, disparitas pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas.

(hlm. 236)
Akhirnya, ketimpangan yang ekstrem pada umumnya dipandang tidak adil. Rawls menyebut ketidakpastian ini sebagai “cadar ketidaktahuan.” Pertanyaannya adalah, dengan menghadapi risiko seperti ini, apakah Anda akan memilih distribusi pendapatan yang lebih merata atau kurang merata dibandingkan dengan yang ada di sekitar Anda? Jika tingkat ketimpangan tidak ada pengaruhnya terhadap tingkat pendapatan atau laju pertumbuhan, sebagian orang akan memilih negara dengan pemerataan yang hampir sempurna.
Untuk semua alasan ini, pada bagian analisis ini kita akan menuliskan rumus kesejahteraan, WWW, sebagai berikut:
W=W(Υ,I,P)W = W( \Upsilon, I, P)W=W(Υ,I,P)
di mana Υ\UpsilonΥ adalah pendapatan per kapita dan berhubungan positif dengan fungsi kesejahteraan kita, III adalah ketimpangan dan berhubungan negatif, dan PPP adalah kemiskinan absolut dan juga berhubungan negatif.

Pembangunan Dualistik dan Pergeseran Kurva Lorenz: Sejumlah Tipologi Khusus
Dalam buku klasiknya yang berjudul Poverty, Inequality, and Development, Gary S. Fields menunjukkan penggunaan kurva Lorenz untuk menganalisis tiga kasus terbatas dalam pembangunan dualistik:

  1. Tipologi pertumbuhan perluasan sektor modern (modern-sector enlargement), di mana usaha pengembangan ekonomi dua-sektor (sektor industri modern dan sektor pertanian tradisional) bertumpu pada pembinaan dan pemekaran ukuran sektor modern dengan mempertahankan tingkat upah di kedua sektor.
  2. Tipologi pertumbuhan pengayaan (enrichment) sektor modern.
  3. Tipologi pertumbuhan pengayaan (enrichment) sektor tradisional.

(hlm. 240)
Hipotesis Kurva U-Terbalik Kuznets
Simon Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatannya akan membaik.

(hlm. 245)
Bukti Hipotesis Kurva-U Terbalik
Ketimpangan tampaknya merupakan bagian yang stabil dari perwajahan sosioekonomi suatu negara, dan hanya bisa berubah secara signifikan jika terdapat sebuah guncangan yang substansial. Asia Timur mencapai ketimpangan yang relatif rendah sebagian besar karena kekuatan-kekuatan eksternal: penundukan Jepang oleh Amerika, pengambilalihan Taiwan oleh kaum Nasionalis, dan hengkangnya Jepang dari Korea Selatan. Ketimpangan pendapatan yang rendah di Cina merupakan akibat dari revolusi sosial dan resistensi dari penjajahan Jepang, yang terjadi ketika Komunis mengambil alih pemerintahan pada tahun 1949. Dalam keempat kasus tersebut, reformasi pertanahan (land reform) yang menyeluruh diberlakukan, yang efeknya pada penurunan ketimpangan sangat terasa (kita akan membahas hal ini kembali pada Bab 10).

(hlm. 247)
Kemiskinan Absolut: Cakupan dan Ukuran

(hlm. 249)
Pertumbuhan dan Kemiskinan

(hlm. 253)
Selama lebih dari 20 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Cina adalah yang tertinggi di dunia, namun penurunan tingkat kemiskinannya pun yang paling drastis. Peraga 6.17a memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita suatu negara, maka semakin tinggi pula pendapatan rata-rata golongan miskinnya. Hal ini menunjukkan bahwa jurang kemiskinan menyempit seiring dengan naiknya seluruh pendapatan per kapita suatu negara. Peraga 6.17b menunjukkan hubungan antara pertumbuhan pendapatan per kapita dengan tingkat pertumbuhan pendapatan golongan miskin.

(hlm. 255)
Karakteristik Ekonomi Masyarakat Miskin
Kemiskinan di Pedesaan
Agaknya, salah satu generalisasi yang terbilang paling valid mengenai penduduk miskin adalah bahwasanya mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang-bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat berhubungan dengan sektor ekonomi tradisional (biasanya dilakukan secara bersama-sama), mereka kebanyakan wanita dan anak-anak daripada laki-laki dewasa, dan mereka sering terkonsentrasi di antara kelompok etnis minoritas dan penduduk pribumi.

(hlm. 258)
Kaum Wanita dan Kemiskinan
Sebagai contoh, di India, anak-anak perempuan mengalami kekurangan gizi yang empat kali lebih parah daripada saudara-saudaranya yang pria. Sementara itu, bila mereka sakit, maka anak laki-laki memiliki 40 kali lipat kemungkinan akan dibawa ke rumah sakit.
Oleh karena itu, program perbaikan gizi akan lebih berhasil jika langsung diarahkan kepada kaum wanita, bukannya kepada kaum pria.

(hlm. 260)
Etnik Minoritas, Penduduk Pribumi, dan Kemiskinan
Generalisasi terakhir dari situasi kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga yang perlu kita simak di sini adalah bahwa kemiskinan banyak diderita oleh etnik minoritas dan penduduk pribumi.

(hlm. 262)
Cakupan Pilihan Kebijakan: Beberapa Pertimbangan Dasar
Bidang-bidang Intervensi:

  • Mengubah distribusi fungsional—
  • Memeratakan distribusi ukuran—
  • Meratakan (mengurangi) distribusi ukuran golongan penduduk berpenghasilan tinggi melalui pemberlakuan pajak progresif terhadap pendapatan dan kekayaan pribadi mereka.
  • Meratakan (meningkatkan) distribusi ukuran golongan penduduk berpenghasilan rendah, melalui pengeluaran publik yang dananya bersumber dari pajak untuk meningkatkan pendapatan kaum miskin secara langsung (misalnya melalui “pembayaran transfer” atau disebut pula money transfer) atau tidak langsung (misalnya melalui penciptaan lapangan kerja, pembebasan uang sekolah, pemberian subsidi pendidikan dasar, dan pelayanan kesehatan bagi pria maupun wanita).

(hlm. 265)
Pilihan-pilihan Kebijakan
Perbaikan Distribusi Ukuran Melalui Redistribusi Progresif Kepemilikan Aset-aset
Penyebab nomor satu atas timpangnya distribusi pendapatan per kapita di hampir semua negara berkembang adalah sangat tidak meratanya kepemilikan aset/kekayaan (asset ownership) di negara-negara ini. Alasan dasar mengapa kurang dari 20 persen penduduk terkaya menerima lebih dari 50 persen pendapatan nasional adalah karena kelompok ini memiliki atau menguasai lebih dari 90 persen aset atau sumber daya keuangan dan produktif yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, terutama modal fisik dan tanah juga modal finansial, saham dan obligasi, serta sumber daya manusia (dalam bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik).
Oleh karena itu, strategi kebijakan kedua yang mungkin lebih penting dalam rangka mengentaskan kemiskinan serta memperbaiki distribusi pendapatan adalah upaya pengurangan pemusatan penguasaan atau kepemilikan aset tersebut, distribusi kekuasaan yang timpang, serta ketimpangan kesempatan yang ada di sebagian besar negara berkembang.

(hlm. 265)

Pilihan-pilihan Kebijakan Perbaikan Distribusi Ukuran Melalui Redistribusi Progresif Kepemilikan Aset-aset Penyebab nomor satu atas timpangnya distribusi pendapatan per kapita di hampir semua negara berkembang adalah sangat tidak meratanya kepemilikan aset/kekayaan (asset ownership) di negara-negara ini. Alasan dasar mengapa kurang dari 20 persen penduduk terkaya menerima lebih dari 50 persen pendapatan nasional adalah karena kelompok ini memiliki atau menguasai lebih dari 90 persen aset atau sumber daya keuangan dan produktif yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, terutama modal fisik dan tanah juga modal finansial, saham dan obligasi, serta sumber daya manusia (dalam bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik). Oleh karena itu, strategi kebijakan kedua yang mungkin lebih penting dalam rangka mengentaskan kemiskinan serta memperbaiki distribusi pendapatan adalah upaya pengurangan pemusatan penguasaan atau kepemilikan aset tersebut, distribusi kekuasaan yang timpang, serta ketimpangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan (penghasilan) yang layak yang merupakan ciri-ciri negara berkembang. Bentuk klasik kebijakan redistribusi (redistribution policies) semacam itu, khususnya yang menyangkut nasib golongan miskin di pedesaan, yang merupakan 70-80 persen dari total penduduk miskin di suatu negara, adalah reformasi hak pertanahan (land reform). Tujuan utama land reform adalah mengubah petani penggarap (buruh tani) atau penyewa tanah menjadi pemilik tanah.

(hlm. 266) Kepemilikan tanah diyakini insentif yang besar untuk meningkatkan produksi dan pendapatan mereka. Namun, seperti yang akan kita simak pada Bab 10 nanti, land reform ternyata kurang bisa diandalkan sebagai instrumen pemerataan pendapatan apabila distorsi harga faktor produksi dan lembaga-lembaga dalam sistem ekonomi yang bersangkutan masih menghambat para petani kecil pemilik tanah untuk mendapatkan berbagai input yang sangat diperlukannya seperti kredit modal kerja, pupuk, bibit, fasilitas pemasaran, dan pelatihan metode pertanian yang paling efisien. Pengurangan Distribusi Ukuran Golongan Atas Melalui Pajak Pendapatan dan Kekayaan yang Progresif Setiap kebijakan nasional yang mencoba memperbaiki standar hidup 40 persen penduduknya yang paling miskin harus didukung oleh sumber-sumber finansial yang memadai agar setiap rencana pemerataan di atas kertas bisa diwujudkan menjadi program-program yang nyata. Salah satu sumber utama yang sangat potensial bagi pembiayaan pembangunan itu adalah pengenaan pajak langsung dan progresif terhadap pendapatan maupun kekayaan. Pajak pendapatan progresif (progressive income tax) langsung itu ditujukan pada pendapatan perusahaan maupun individu,

 (hlm. 267)

di mana yang kaya diminta membayar pajak yang semakin besar persentasenya dari penghasilan total mereka dibandingkan dengan yang miskin. Pajak pada kekayaan (akumulasi aset dan penghasilan) biasanya meliputi pajak properti perseorangan dan perusahaan, namun juga bisa diterapkan terhadap harta warisan secara progresif. Yang jelas, pajak ini diarahkan kepada mereka yang kaya raya. Struktur pajak progresif, dalam pelaksanannya, sering berubah secara ajaib menjadi pajak regresif (regressive tax). Kelompok penduduk miskin langsung dikenai pajak pada sumber pendapatan atau pengeluarannya. Upah mereka langsung dipotong di muka, pajak kekayaan langsung terhitung, dan mereka jugalah yang paling banyak menanggung pajak-pajak tidak langsung (indirect taxes) setiap kali membeli sebuah produk, seperti rokok dan bir. Sebaliknya, penduduk kaya mendapatkan sebagian besar pendapatannya dari aset fisik dan finansialnya, yang sering kali justru sulit dilacak. Mereka juga sering kali memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menghindari pajak tanpa takut terkena sanksi dari pemerintah. Hal-hal semacam ini menuntut perhatian segera dari pemerintah, karena keberhasilan pemberlakuan perpajakan progresif, khususnya terhadap kelompok yang berpenghasilan paling tinggi, merupakan kunci keberhasilan program-program atau kegiatan redistribusi pendapatan (untuk memperoleh uraian yang lebih lengkap mengenai perpajakan untuk pembangunan, silakan lihat Bab 17 Jilid 2). Pembayaran Transfer Secara Langsung dan Penyediaan Berbagai Barang dan Jasa Publik

(hlm. 268)

Sebagai contoh, program perbaikan gizi dapat diberikan kepada para ibu yang membawa bayinya ke pusat-pusat program pengentasan kemiskinan yang terletak di dalam perkampungan miskin. Meskipun ibu-ibu yang lebih mampu dapat memanfaatkan program ini, mereka tidak akan mempertaruhkan harga dirinya untuk memasuki perkampungan kumuh ini, apalagi memasuki pusat program ini. Program perbaikan gizi ini membantu ibu-ibu yang kurang mampu dan anak-anak mereka agar selalu sehat, sehingga mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Tuntutan pekerjaan yang tinggi dan bayaran yang berupa bahan makanan membuat orang-orang yang mampu tidak bersedia berpartisipasi di dalam pekerjaan infrastruktur itu, sehingga menghemat sumber daya. Karakter seperti ini dikenal sebagai fungsi “penyaringan” dari program-program bantuan ketenagakerjaan (workfare program).

(hlm. 269)

Strategi pendirian bank kampung untuk mencapai tujuan ini, seperti yang dicontohkan oleh Grameen Bank di Bangladesh, dibahas lebih lanjut dalam Bab 17 di Jilid 2.

(hlm. 271)

Studi Kasus Perekonomian India Pertanian merupakan tulang punggung perekonomian India. Sektor tersebut menyerap lebih dari tiga perempat angkatan kerja serta menyumbangkan 28 persen bagi GDP.

(hlm. 278)

Catatan Belakang 33. Menarik untuk disimak bahwa di Amerika Serikat, yang ketimpangan kepemilikan kekayaannya paling buruk di antara negara-negara maju, Bill Gates, CEO Microsoft, mempunyai kekayaan neto pada 1997 yang sama dengan pendapatan total sekitar 40 juta rumah tangga termiskin di Amerika!

(hlm. 281)

Lampiran 6.1 Teknologi yang Tepat Guna dan Pengadaan Lapangan Model Harga-Insentif

(hlm. 282)

Distorsi Harga-Faktor Produksi dan Teknologi yang Tepat Jika diasumsikan bahwa kebanyakan negara berkembang mempunyai tenaga kerja yang melimpah namun hanya memiliki modal finansial atau modal fisik yang sangat terbatas, wajar saja bila kita menduga bahwa metode produksi yang akan digunakan bersifat padat karya. Namun ternyata kita sering menemukan bahwa teknik produksi di sektor pertanian maupun sektor industri bersifat padat modal dan sangat mekanis. Traktor-traktor besar dan mesin-mesin permanen mewarnai pemandangan pedesaan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sementara banyak orang hanya menonton di pinggir.

(hlm. 283) Untuk menghilangkan distorsi harga-faktor produksi—akan menghasilkan kesempatan kerja yang lebih luas dan juga penggunaan yang lebih baik atas modal yang langka, melalui pemakaian teknologi produksi yang lebih tepat.

(hlm. 284) Lampiran 6.2 Indeks Kesejahteraan Ahluwalia-Chenery Satu-satunya orang kaya di perekonomian itu masih tetap menguasai semua pendapatannya. Dan GNP, yang seharusnya menjadi indeks kesejahteraan seluruh masyarakat, ternyata hanya mengukur kesejahteraan dari satu orang individu!

(hlm. 285) Contoh numerik yang telah disajikan oleh Persamaan A6.2.4 tersebut di atas merupakan intisari dari pesan yang hendak disampaikan pada bagian pembahasan ini. Yakni, bahwasanya penggunaan laju pertumbuhan GNP sebagai indeks kesejahteraan sosial dan sebagai tolak ukur untuk membandingkan kinerja pembangunan di suatu negara dengan negara-negara lainnya cenderung akan menyesatkan, apalagi jika distribusi pendapatan negara-negara tersebut berbeda satu sama lain. Tingkat pertumbuhan GNP yang biasanya diambil dari angka kenaikan pendapatan agregat itu sesungguhnya lebih banyak mencerminkan peningkatan kesejahteraan yang dialami oleh kelompok-kelompok yang paling makmur, bukan masyarakat secara keseluruhan.

(hlm. 286) Penyusunan Indeks Kesejahteraan Sosial yang Memperhitungkan Kemiskinan Mari kita simak satu lagi contoh kasus. Kita umpamakan saja ada sebuah negara berkembang yang sangat mementingkan perbaikan kecukupan materi bagi 40 persen penduduknya yang paling miskin. Sehubungan dengan hal itu, negara tersebut bermaksud merumuskan indeks pembangunan yang bertumpu pada kemiskinan (poverty-weighted index of development) yang menempatkan nilai-nilai sosial “subjektif” atas tingkat pertumbuhan pendapatan hanya dari 40 persen dari penduduknya yang paling miskin.

(hlm. 287) Tabel A6.2.1
Pertumbuhan Pendapatan Pertambahan Kemakmuran Tahunan

NegaraTeratas 20%Menengah 40%Terendah 40%Bobot GNPBobot SetaraBobot Miskin
Korea Selatan12,49,511,011,010,710,5
Taiwan4,59,112,16,89,411,1
  1. Gambaran mengenai kinerja ekonomi yang diukur dengan indeks kesetaraan bobot dan indeks kemiskinan akan nampak lebih suram apabila dibandingkan dengan gambaran yang diberikan oleh indeks pertumbuhan GNP.
  2. Di lima negara berkembang (Kolombia, Kosta Rika, El Salvador, Sri Lanka, dan Taiwan), indeks kesetaraan bobot dan indeks kemiskinan justru memperlihatkan gambaran kinerja ekonomi yang lebih baik daripada yang ditunjukkan oleh indikator pertumbuhan GNP.
  3. Sedangkan di empat negara (yakni, Peru, Filipina, Korea Selatan, dan mantan Yugoslavia) tidak banyak nampak perubahan hasil atau gambaran mengenai distribusi pendapatan maupun kinerja ekonomi umumnya selama periode terliput dari ketiga indeks tersebut.

(hlm. 289)

Pertumbuhan Penduduk dan Pembangunan Ekonomi: Penyebab, Konsekuensi, dan Kontroversi Menurut proyeksi PBB, penduduk dunia akan mencapai lebih dari 9,1 miliar jiwa pada tahun 2050 sebelum pada akhirnya mencapai 11 miliar jiwa pada tahun 2200.

(hlm. 290)

Masalah Pokok: Pertumbuhan Penduduk dan Kualitas Hidup Setiap tahunnya sekitar 83 juta manusia baru lahir dan menambah jumlah penduduk dunia yang dewasa ini sudah berjumlah miliaran jiwa.

(hlm. 291)

Kajian Angka: Pertumbuhan Penduduk di Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Mendatang Pertumbuhan Penduduk Dunia Sepanjang Sejarah

(hlm. 294)

Sebagai contoh, tingkat kematian di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menurun sampai 50 persen selama 30-40 tahun terakhir ini, sedangkan tingkat kelahirannya baru mulai menurun beberapa waktu lalu.

(hlm. 296)

Struktur Kependudukan Dunia Sebaran Per Wilayah Geografis Jumlah seluruh penduduk dari kelima belas negara tersebut mencapai lebih dari 40 persen penduduk dunia.

(hlm. 298)

Tren Tingkat Kelahiran dan Kematian Rangkaian kampanye vaksinasi guna mencegah berjangkitnya beberapa penyakit seperti malaria, cacar, penyakit kuning, dan kolera, serta peningkatan fasilitas kesehatan umum, penyediaan air bersih, perbaikan gizi, serta pendidikan masyarakat yang telah dijalankan dalam kurun waktu 25 sampai 30 tahun terakhir ini berhasil menurunkan tingkat kematian 50 persen di kawasan Asia dan Amerika Latin, dan lebih dari 30 persen di Afrika dan Timur Tengah.

(hlm. 299)

Struktur Usia dan Beban Ketergantungan

Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin cepat laju pertambahan penduduk, akan semakin besar pula proporsi penduduk berusia muda yang belum produktif dalam total populasi, dan semakin berat pula beban tanggungan penduduk yang produktif.

(hlm. 300)
Momentum Pertumbuhan Penduduk yang Tersembunyi
Yang pertama, tingkat kelahiran itu sendiri tidak mungkin diturunkan hanya dalam waktu satu malam saja. Kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan institusional yang mempengaruhi tingkat fertilitas yang telah ada dan bertahan selama berabad-abad tidak mudah hilang begitu saja hanya karena himbauan-himbauan dari para pemimpin nasional.

(hlm. 301)
Sedangkan alasan kedua atas adanya momentum yang tersembunyi tersebut erat sekali kaitannya dengan struktur usia penduduk di negara-negara berkembang.

(hlm. 302)
Walaupun pasangan baru ini mempunyai lebih sedikit anak (katakanlah hanya dua orang dibandingkan dengan orang tua mereka yang rata-rata mempunyai, misalnya, empat orang anak), tetapi jumlah pasangan yang memiliki anak akan tetap tinggi, sehingga pada akhirnya jumlah penduduk tetap tinggi sebelum menurun beberapa saat kemudian.

(hlm. 303)
Transisi Demografi
Pada dasarnya, konsep ini mencoba menerangkan mengapa hampir semua negara yang kini tergolong sebagai negara-negara maju sama-sama telah melewati sejarah populasi modern yang terdiri dari tiga tahapan besar. Sebelum melangsungkan modernisasi ekonomi, negara-negara ini selama berabad-abad mempunyai laju pertambahan penduduk yang stabil atau sangat lambat. Penyebabnya, meskipun angka kelahiran mereka sangat tinggi, angka kematian mereka juga sangat tinggi, bahkan hampir sama tingginya dengan angka kelahiran. Ini adalah tahapan yang pertama. Tahapan yang kedua berlangsung setelah adanya modernisasi, yang kemudian menghasilkan berbagai metode penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat yang lebih baik, makanan yang lebih bergizi, pendapatan yang lebih tinggi, dan berbagai bentuk perbaikan hidup lainnya, sehingga secara perlahan-lahan usia harapan hidup (life expectancy) penduduk di negara-negara yang kini maju itu meningkat dari rata-rata 40 tahun menjadi lebih dari 60 tahun. Dengan demikian, angka kematian mengalami penurunan yang cukup berarti. Akan tetapi, penurunan angka mortalitas tersebut tidak segera diimbangi oleh turunnya tingkat fertilitas. Sebagai akibatnya, laju pertumbuhan penduduk justru mengalami peningkatan tajam bila dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya.

(hlm. 304)
Akhirnya, tahapan ketiga segera berlangsung dengan munculnya berbagai macam dorongan dan pengaruh yang bersumber dari upaya-upaya modernisasi serta pembangunan yang menyebabkan turunnya tingkat fertilitas.

(hlm. 305)
Tingkat kelahiran di banyak negara-negara terbelakang sekarang ini jauh lebih tinggi daripada tingkat angka kelahiran yang pernah terjadi di negara-negara Eropa Barat sebelum revolusi industri.

(hlm. 307)
Sebab-sebab Tingginya Tingkat Kelahiran di Negara-negara Berkembang: Model Malthus dan Model Rumah Tangga
Teori Jebakan Populasi Malthus
Malthus melukiskan suatu kecenderungan universal bahwa jumlah populasi di suatu negara akan meningkat sangat cepat pada deret ukur atau tingkat geometrik (pelipatgandaan: 1, 2, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya) setiap 30 atau 40 tahun, kecuali jika hal itu diredam oleh bencana kelaparan. Pada waktu yang bersamaan, karena adanya proses pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap, yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat aritmetik (1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya.)

(hlm. 310)
Kelemahan-kelemahan Model Malthus
Yang pertama, dan yang paling penting, model ini (dan juga Malthus sendiri) melupakan atau tidak memperhitungkan begitu besarnya dampak kemajuan teknologi dalam mengimbangi berbagai kekuatan negatif yang bersumber dari ledakan pertama penduduk. Aspek utama dari pranata pertumbuhan modern ternyata bukan skala penghasilan yang terus menyusut (decreasing returns to scale) seperti dikemukakan Malthus, melainkan skala penghasilan yang terus meningkat (increasing returns to scale).

Kritik mendasar kedua terhadap model Malthus bertumpu pada asumsi yang digunakannya, yaitu bahwa tingkat pertumbuhan penduduk di suatu negara memiliki hubungan langsung (secara positif) dengan tingkat pendapatan per kapita dari negara yang bersangkutan.

(hlm. 312)
Pendekatan yang jauh lebih baik dan sahih (valid) dalam rangka menjawab pertanyaan tentang kependudukan dan usaha-usaha pembangunan mengutamakan aspek-aspek mikroekonomi seperti pengambilan keputusan di tingkat keluarga atau rumah tangga.

(hlm. 313)
Teori Mikroekonomi Fertilitas Rumah Tangga

(hlm. 314)
Pada Peraga 7.11 tersebut hanya terdapat empat buah kurva indiferen, yakni I1 sampai I4. Namun, secara teoritis sebenarnya dalam gambar tersebut dapat ditempatkan kurva-kurva indiferen dalam jumlah tidak terbatas dan di kuadran manapun, yang masing-masing mewakili seluruh kemungkinan kombinasi konsumsi yang ada antara barang-barang dan anak.

(hlm. 316)
Permintaan akan Anak di Negara-negara Berkembang
Dalam sebuah studi empiris yang sangat teliti, Profesor Kuznets mencatat bahwa penduduk di negara-negara berkembang mudah sekali untuk beranak-pinak karena kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang ada di sekitar mereka membuat sebagian besar dari mereka memandang setiap tambahan anak, baik dari sudut kepentingan sosial maupun ekonomi, sebagai tambahan tenaga kerja cuma-cuma bagi keluarga, sebagai suatu perjudian genetis (genetic lottery), maupun sebagai jaminan sosial ekonomi di hari tua guna bertahan hidup di tengah-tengah masyarakat yang minim perlindungan sosial dan cenderung diatur hanya oleh mereka yang berbeda.

(hlm. 319)
Konsekuensi-konsekuensi Tingginya Tingkat Fertilitas: Sejumlah Pendapat yang Saling Bertentangan

(hlm. 320)
Ada Masalah Lain di Balik Pertumbuhan Penduduk
Penyusutan Sumber Daya Alam dan Kerusakan Lingkungan
Sebagai contoh, rata-rata penduduk di kawasan Amerika Utara dan Eropa secara langsung atau tidak langsung mengonsumsi bahan-bahan pangan, energi, dan sumber daya material atau alam lainnya hampir 16 kali lipat lebih besar daripada jumlah yang dikonsumsi oleh rata-rata penduduk negara-negara Dunia Ketiga.

(hlm. 321)
Penyebaran Penduduk
Sementara itu, banyak wilayah lainnya yang terlalu banyak penduduknya (misalnya, di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, dan sebagian besar kota-kota besar di negara-negara berkembang).

(hlm. 327)
Sasaran dan Tujuan: Menuju Suatu Konsensus

(hlm. 334)
Apa yang Bisa Dilakukan Negara-negara Maju: Sumber Daya, Populasi, dan Lingkungan Global
Rata-rata konsumsi biji-bijian penduduk di kawasan Amerika Utara, baik yang langsung maupun yang tidak langsung, menghabiskan sumber-sumber daya pertanian (tanah, pupuk, air) lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan konsumsi di negara-negara berkembang seperti India, Nigeria, atau Kolombia.

(hlm. 338)
Studi Kasus Perekonomian Cina
Sektor industri di pedesaan berkembang pesat sampai meliputi 23 persen output pertanian dan mampu menyerap surplus tenaga kerja di daerah-daerah pedesaan.

(hlm. 347)
8 Urbanisasi dan Migrasi Desa-Kota: Teori dan Kebijakan
Dilema Migrasi dan Urbanisasi

(hlm. 349)
Ringkasnya, urbanisasi dapat terjadi di mana saja di seluruh dunia, meskipun pada laju yang berbeda.

(hlm. 351)
Bagaimana kota-kota di negara-negara paling miskin tersebut akan mengatasi aneka persoalan, baik itu yang berdimensi ekonomi, lingkungan hidup, maupun yang berimensikan politik, akibat pemusatan penduduk yang begitu banyak.

(hlm. 353)
Pemukiman-pemukiman serba jorok dan jauh dari standar kesehatan maupun kenyamanan hidup seperti favela di kota Rio de Janeiro, pueblos jóvenes di Lima, bustees di Kalkuta, dan bidonvilles di Dakar jumlahnya terus meningkat menjadi dua kali lipat setiap lima hingga sepuluh tahun.

(hlm. 354)
Kekeliruan perumusan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pengembangan daerah perkotaan serta perencanaan tata kota yang juga acapkali ketinggalan zaman mengakibatkan 80 persen hingga 90 persen perumahan yang ada di daerah perkotaan sekarang ini tergolong “ilegal”. Sebagai contoh, peraturan tata kota peninggalan penjajah yang masih dipakai oleh pemerintah daerah Nairobi, Kenya, tidak mengizinkan pembangunan rumah “resmi” yang biaya totalnya kurang dari $3.500. Peraturan ini juga mengharuskan setiap pemilik rumah membangun kediamannya di suatu lokasi yang bisa dijangkau oleh mobil. Akibatnya, dua pertiga wilayah kota di Nairobi hanya dihuni oleh 10 persen penduduk terkaya, sementara selebihnya terpaksa tinggal di sekitar 100.000 unit pemukiman kumuh yang ilegal. Demikian pula halnya di Manila, Filipina, 88 persen penduduknya terlalu miskin untuk membeli atau menyewa rumah-rumah permanen yang dikategorikan “legal”.

(hlm. 356)
Peranan Kota
Apa yang dapat menjelaskan hubungan yang erat antara urbanisasi dan pembangunan? Secara umum, sebuah kota terbentuk karena dapat memberikan keunggulan dari segi biaya kepada produsen dan konsumen, melalui apa yang dikenal sebagai ekonomi aglomerasi (agglomeration economies).

(hlm. 357)
Distrik Industri
Keuntungan ini juga merupakan bentuk ekonomi aglomerasi, yaitu bagian dari manfaat yang disebut oleh Alfred Marshall sebagai “distrik industri (industrial districts),” yang memainkan peranan penting sebagai klaster (clusters) dalam teori keunggulan kompetitif yang dikemukakan oleh Michael Porter.

(hlm. 358)
Mengutip yang ditemukan oleh Hermine Weijland dalam studinya tentang Jawa, Indonesia, “hanya membutuhkan beberapa tahun pengembangan pasar untuk mendapatkan keuntungan dari dijalankannya program perdagangan yang melibatkan pihak luar dan upaya-upaya bersama yang terintegrasi.”

(hlm. 359)
Skala Perkotaan yang Efisien
Pada daerah kota yang luas, para pekerja akan bertempat tinggal semakin ke pinggir dan memicu membesarnya biaya transportasi dan dapat saja meminta tingkat upah yang mencerminkan biaya yang harus mereka tanggung tersebut. Sebagai tambahan, biaya infrastruktur seperti air dan sistem pembuangan adalah lebih tinggi pada daerah kota yang padat. Menurut teori, apabila biaya transportasi barang jadi tinggi, dan konsumen lebih memilih untuk bertempat tinggal di kota yang terbesar untuk sebisa mungkin menghindari biaya transportasi tersebut, maka aktivitas ekonomi akan terkonsentrasi besar-besaran dalam sebuah kota saja (dikenal sebagai efek “lubang hitam”), tetapi secara umum biaya untuk meningkatkan sistem transportasi dalam sebuah negara lebih rendah daripada mencoba memelihara kompleks kota yang terlalu besar.

(hlm. 360)
Dua teori seputar ukuran kota yang dikenal secara umum adalah model hierarki kota atau teori tempat sentral (urban hierarchy model/central place theory), dan model tanah terdiferensiasi (differentiated plane model). Pada model yang pertama, menurut August Losch dan Walter Christaller, berbagai pabrik dari industri yang berbeda-beda memiliki radius karakteristik pasar yang dihasilkan dari pengaruh tiga faktor: skala ekonomi dalam produksi, biaya transportasi, dan bagaimana persebaran permintaan terhadap tanah bila dibandingkan dengan tempat yang tersedia.

(hlm. 361)
Masalah yang Ditimbulkan Kota Raksasa
Pada kasus London dan Paris, sistem transportasinya dirancang pada zaman Kekaisaran Romawi untuk mendukung pergerakan tentara dari ibu kota ke kota lain untuk menekan pemberontakan. Motivasi yang serupa juga muncul pada rancangan sistem-sistem yang lebih baru, yaitu pada koloni Inggris dan Prancis di Afrika dan pada koloni Spanyol di Amerika Tengah dan Selatan.

(hlm. 362)
Kota yang paling besar di Amerika Serikat, kota metropolitan New York, memiliki populasi sebesar 6% dari total populasi nasional (atau 3% bila hanya menghitung kota New York saja, tanpa mempertimbangkan daerah pinggiran kotanya). Toronto, daerah metropolitan terbesar di Kanada, memiliki 4,3 juta penduduk, yang merupakan 14% dari populasi keseluruhan secara nasional. Namun Mexico City menampung lebih besar dari seperlima populasi nasional Meksiko, Montevideo berpenduduk dua perlima populasi Uruguay, Lima ditempati sekitar seperlima penduduk Peru, dan Buenos Aires serta Santiago masing-masing dipenuhi penduduk yang berjumlah 35% dari populasi Argentina dan Chile. Sementara itu Brasil lebih terdesentralisasi, walaupun Sao Paulo ditempati lebih dari 11% dari populasi nasional.

(hlm. 363)
Penyebab Timbulnya Kota Raksasa
Salah satu pemikiran yang diajukan oleh Paul Krugman menekankan bahwa dengan kondisi industri substitusi impor (lihat Bab 13), dengan tingkat proteksi yang tinggi, akan memicu perdagangan internasional yang menurun, dan populasi serta aktivitas perekonomian memiliki kecenderungan untuk berpusat di satu kota saja, sebagian besar dengan alasan untuk menghindari biaya transportasi. Sehingga, perusahaan akan lebih memilih untuk menjalankan operasi di kota yang menjadi tempat hidup sebagian besar konsumennya, yang kemudian menarik lebih banyak lagi penduduk untuk datang ke daerah tersebut untuk mencari pekerjaan dan mungkin harga yang lebih rendah (dimungkinkan karena hanya ada lebih sedikit biaya transportasi yang harus ditanggung oleh pembeli akhir); pemusatan ini pada gilirannya akan menarik lebih banyak lagi perusahaan dan konsumen dalam sebuah lingkaran sebab-akibat yang terus-menerus terjadi.

(hlm. 364)
Dalam menerjemahkan penemuan ini, Alberto Alesina dan Edward Glaeser mengemukakan bahwa kediktatoran yang tidak stabil (dalam ketakutan akan adanya kudeta) harus menyediakan “makanan dan hiburan (bread and circuses)” pada kota yang terbesar (biasanya ibu kota) untuk mencegah pergolakan sosial; permasalahan kota besar yang ekstrem ini pada gilirannya akan memicu lebih banyak migrasi ke kota favorit, sehingga kebutuhan akan makanan dan hiburan akan terus ada.

(hlm. 365)
Masalah ibu kota raksasa ini juga dapat dilihat sebagai sebuah bentuk jebakan keterbelakangan (underdevelopment trap), yang dapat saja dihindari secara keseluruhan melalui pemberlakuan kebijakan yang demokratis bersama dengan keseimbangan iklim kompetisi untuk mengadakan ekspor maupun memenuhi konsumsi domestik.

(hlm. 366)
Tabel 8.6
Perkiraan Persentase Tenaga Kerja Perkotaan dalam Sektor Informal di Beberapa Negara-negara Berkembang

WilayahPersentase (%)
Indonesia45

(hlm. 367)
Sektor informal terus memainkan peran yang penting di negara berkembang, meskipun selama bertahun-tahun diabaikan atau justru dimusuhi. Di banyak negara berkembang, sekitar setengah dari penduduk perkotaan bekerja di sektor informal.

(hlm. 368)
Umumnya, mereka yang berada di sektor informal adalah pendatang baru dari daerah pedesaan atau kota kecil yang gagal memperoleh tempat di sektor formal.

(hlm. 370)
Badan-badan pembangunan benar-benar menekankan pembangunan pedesaan secara retoris, dengan menanggapi tradisi pembangunan yang kuat yang berawal dari skeptisisme Lewis mengenai sektor informal perkotaan, dikembangkan dengan model migrasi Todaro (akan dibahas nanti di bab ini) yang menekankan konsekuensi negatif bias perkotaan dalam efisiensi dan pemerataan.

(hlm. 371)
Ada beberapa argumen lain yang turut menggarisbawahi pentingnya promosi sektor informal. Pertama, bukti yang ada menunjukkan bahwa sektor informal mampu menciptakan surplus, di tengah-tengah lingkungan yang kurang bersahabat sekalipun, yang menghalangi akses untuk mendapatkan berbagai fasilitas kredit, valuta asing, dan konsesi pajak. Jadi, surplus yang dihasilkannya terbukti menjadi pendorong yang amat positif bagi pertumbuhan ekonomi perkotaan. Kedua, sebagai akibat dari rendahnya intensitas permodalan, sektor informal hanya memerlukan atau menyerap sebagian kecil modal dari jumlah modal yang diperlukan oleh sektor formal untuk mempekerjakan sejumlah tenaga kerja yang sama. Ini merupakan salah satu cara penghematan yang cukup besar bagi negara-negara berkembang yang sering menghadapi kesulitan atau kekurangan modal. Ketiga, sektor informal juga mampu memberikan latihan kerja dan magang dengan biaya yang sangat murah apabila dibandingkan dengan biaya yang dituntut oleh lembaga-lembaga dalam sektor formal, sehingga sektor informal dapat memainkan peranan yang penting dalam rangka formasi atau pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia. Keempat, sektor informal menciptakan permintaan atas tenaga kerja semiterlatih dan kurang ahli yang jumlahnya secara absolut maupun relatif (persentase terhadap total angkatan kerja) terus meningkat dan yang tidak mungkin terserap oleh sektor formal yang hanya mau menerima tenaga kerja terampil. Kelima, sektor informal lebih banyak dan lebih mudah menerapkan teknologi tepat guna serta memanfaatkan segenap sumber daya lokal, sehingga memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien. Keenam, sektor informal memainkan peranan yang sangat penting dalam proses daur ulang limbah atau sampah. Di sektor ini, segala macam barang yang sudah dibuang dapat dimanfaatkan kembali, mulai dari kaleng-kaleng bekas, kertas sisa, puntung rokok, dan sebagainya. Barang-barang yang telah dicampakkan ke tong sampah itu kemudian terbukti masih bisa masuk ke sektor industri dan dijadikan komoditi pokok bagi kalangan berpenghasilan rendah. Argumen ketujuh atau yang terakhir, promosi sektor informal itu akan memeratakan distribusi hasil-hasil pembangunan kepada penduduk miskin, yang kebanyakan terpusat di sektor informal.

(hlm. 372)
Pertama-tama, pemerintah harus menghilangkan atau mengurangi sikapnya yang bermusuhan terhadap sektor informal, serta menggantinya dengan sikap yang lebih positif dan simpatik. Sekadar untuk memperoleh secarik surat izin, seorang wiraswastawan kecil di Ekuador harus menunggu selama 240 hari. Jika orang itu ada di Venezuela, maka waktu tunggunya bertambah menjadi 310 hari. Kalau ia ada di Guatemala, Brasil, Meksiko, dan Cili, maka ia harus menunggu selama lebih dari setahun, atau tepatnya 525 hari. Di negara-negara ini Anda harus mengisi sekitar 20 jenis formulir yang berbeda untuk mendapatkan izin usaha.

(hlm. 373)
Kaum Wanita dalam Sektor Informal
Di kalangan penduduk miskin di Brasil, keluarga-keluarga yang dikepalai oleh pria memiliki peluang empat kali lebih besar daripada keluarga-keluarga yang dikepalai oleh wanita dalam mendapatkan jasa-jasa pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Tingkat putus sekolah di kalangan anak-anak dari keluarga yang dikepalai wanita juga jauh lebih tinggi. Produk yang paling sering digeluti adalah makanan buatan sendiri atau barang-barang kerajinan tangan. Sebenarnya kalau dihitung dari jumlah modal yang digunakan, tingkat pengembalian atau rate of return unit usaha mikro yang ditekuni oleh kaum wanita itu sangat tinggi. Hanya saja tenaga dan waktu yang mereka curahkan sangat banyak (misalnya, mereka harus menjajakan dagangannya selama seharian hanya untuk mendapatkan sejumlah uang untuk makan keluarganya selama satu atau dua hari saja), sehingga apabila dihitung berdasarkan rasio modal-tenaga kerja, tingkat produktivitas mereka sangat rendah. Berbagai studi yang pernah diadakan di Amerika Latin dan Asia menunjukkan bahwa seandainya kaum wanita itu bisa memperoleh kredit untuk membiayai unit usaha mikronya, mereka akan mampu mendapatkan tingkat keuntungan yang jauh lebih tinggi daripada yang bisa diraih oleh kaum pria yang menjalankan usaha yang sama (lihat Bab 17 Jilid II). Karena kaum wanita mampu mencetak lebih banyak pendapatan dari sejumlah modal, maka tingkat pengembalian investasi (rates of return on investment) mereka jauh lebih tinggi daripada kaum pria. Meskipun sejumlah program penyediaan kredit khusus bagi kaum wanita terbukti sangat berhasil, sampai sekarang sumber-sumber kredit yang tersedia bagi mereka masih sangat sedikit. Hampir seluruh kredit yang ada disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi atau instansi di sektor formal.

(hlm. 375)
Migrasi dan Pembangunan
Migrasi desa-kota (rural-urban migration) ternyata pernah dipandang sebagai suatu hal yang positif dalam kepustakaan ilmu ekonomi pembangunan pada umumnya. Migrasi internal (berlangsung dalam satu negara) dianggap sebagai proses alamiah yang akan menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah-daerah pedesaan ke sektor industri modern di kota-kota yang daya serapnya lebih tinggi.

(hlm. 378)
Jenis migrasi yang paling penting jika ditinjau dari sudut pandang pembangunan jangka panjang adalah migrasi dari desa ke kota (rural-urban migration), namun migrasi dari desa ke desa, kota ke kota, dan bahkan migrasi dari kota ke desa pun terjadi dalam jumlah besar. Namun demikian, migrasi dari kota ke desa juga penting untuk dipahami karena hal ini biasanya terjadi ketika masa-masa sulit di perkotaan berbarengan dengan kenaikan harga output dari tanaman perkebunan andalan negara yang bersangkutan; contoh terbarunya adalah Ghana.

(hlm. 379)
Menuju Teori Ekonomi tentang Migrasi Desa-Kota
Seperti telah kita bicarakan secara panjang lebar pada Bab 3, pembangunan ekonomi di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat berkaitan erat dengan, dan pada kenyataannya didefinisikan sebagai, perpindahan tenaga kerja dari daerah pedesaan ke kota-kota.

(hlm. 380)
Deskripsi Verbal Tentang Model Todaro
Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan migrasi juga merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja pergi, meskipun mereka tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang ada di daerah-daerah perkotaan.

(hlm. 382)
Jadi, sepanjang nilai sekarang (present value) dari penghasilan bersih yang diharapkan selama kurun waktu yang diperhitungkannya melebihi pendapatan yang bisa diperoleh di pedesaan, maka keputusan untuk bermigrasi tetap dapat dibenarkan. Pada dasarnya, inilah proses yang diungkapkan pada Peraga 8.8. Dengan demikian, migrasi dari desa ke kota bukanlah suatu proses positif yang menyelamatkan tingkat upah di kota dan di desa seperti yang diungkapkan oleh model-model kompetitif, melainkan kekuatan yang menyeimbangkan jumlah pendapatan yang diharapkan (expected income) di pedesaan serta perkotaan.

(hlm. 383)
Sebuah Penyajian Diagramatis
Sesuai dengan asumsi full employment, segenap tenaga kerja yang tersedia akan terserap habis oleh kedua sektor ekonomi tersebut.

(hlm. 385)
Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan berkaitan langsung dengan tingkat lapangan pekerjaan di perkotaan, sehingga berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan.

(hlm. 386)
Lima Implikasi Kebijakan
Pertama, ketimpangan kesempatan kerja antara kota dan desa harus dikurangi.
Kedua, pemecahan masalah pengangguran tidak cukup hanya dengan menciptakan lapangan kerja di kota. Upah di perkotaan biasanya tiga sampai empat kali lipat upah di pedesaan.
Ketiga, pengembangan pendidikan yang berlebihan dapat mengakibatkan migrasi dan pengangguran. Pekerjaan yang sebelumnya cukup dikerjakan oleh para lulusan sekolah dasar saja (tukang sapu, pesuruh, juru ketik, satpam, kerani, dan sebagainya), sekarang mulai diisi oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Demikian pula, pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh lulusan sekolah menengah (pegawai tata usaha, pengetik, pemegang buku, dan sebagainya) sekarang harus dikerjakan oleh orang yang punya gelar dari universitas. Proses “pemborosan” intelektual ini akan terus terjadi selama para pencari kerja tidak memiliki peluang yang lebih baik.

(hlm. 387)
Keempat, pemberian subsidi upah dan penentuan harga faktor produksi tradisional (tenaga kerja) justru menurunkan produktivitas. Jika upah ditetapkan terlalu tinggi sehingga melampaui upah pasar atau upah yang “sebenarnya”, maka para produsen akan mengalihkan metode produksinya dari teknologi padat karya ke teknologi padat modal.
Terakhir, program pembangunan desa terpadu harus dipacu. Setiap kebijakan yang hanya ditujukan untuk memenuhi sisi permintaan kesempatan kerja di kota, seperti subsidi upah, rekrutmen pegawai lembaga-lembaga pemerintah, penghapusan distorsi harga faktor-faktor produksi dan penyediaan insentif perpajakan bagi para majikan, dalam jangka panjang ternyata tidak begitu efektif untuk meniadakan atau menanggulangi masalah pengangguran bila dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan yang khusus dirancang untuk mengatur secara langsung penawaran tenaga kerja ke wilayah perkotaan.

(hlm. 389)
Rangkuman dan Kesimpulan: Pembentukan Strategi yang Komprehensif bagi Penanggulangan Masalah Migrasi dan Kesempatan Kerja

  1. Penciptaan keseimbangan ekonomi yang memadai antara desa dan kota.
  2. Perluasan industri-industri kecil yang padat karya.
  3. Penghapusan distorsi harga faktor-faktor produksi.
  4. Pemilihan teknologi produksi padat karya yang tepat.
  5. Pengubahan keterkaitan langsung antara pendidikan dan kesempatan kerja. Karena pekerjaan di sektor modern berkembang lebih lambat daripada jumlah orang yang menyelesaikan pendidikan, maka diperlukan perpanjangan masa penyelesaian studi dan seleksi yang lebih ketat terhadap lulusannya.
  6. Pengurangan laju pertumbuhan penduduk.
  7. Mendesentralisasikan kewenangan ke kota dan daerah sekitarnya.

(hlm. 392)
Studi Kasus Perekonomian Meksiko

(hlm. 404)
9 Modal Manusia: Pendidikan dan Kesehatan dalam Pembangunan Ekonomi

(hlm. 404)
9 Modal Manusia: Pendidikan dan Kesehatan dalam Pembangunan Ekonomi
Peran Sentral Pendidikan dan Kesehatan
Pada tahun 1950, sebanyak 280 dari setiap 1.000 anak di semua negara berkembang meninggal sebelum mencapai usia lima tahun.

(hlm. 405)
Pada tahun 2000, angka tersebut telah menurun menjadi 126 per 1.000 di negara-negara miskin, dan 39 per 1.000 di negara-negara berpendapatan menengah (bandingkan dengan 6 per 1.000 di negara-negara berpendapatan tinggi).

(hlm. 411)
Peningkatan Kesehatan dan Pendidikan: Mengapa Peningkatan Pendapatan Saja Tidak Cukup

(hlm. 412)
Perhatikan bahwa meskipun elastisitas pendapatan untuk kalori lebih tinggi daripada perkiraan tradisional yang mendekati nol—katakanlah, sebesar 0,3 hingga 0,5 seperti yang diperkirakan Shankar Subramanian dan Angus Deaton dengan menggunakan strategi statistik yang lebih baru—kalori tidak sama dengan nutrisi; dan nutrisi yang dikonsumsi oleh si pencari nafkah tidak sama dengan nutrisi yang diperoleh anak-anaknya.

(hlm. 413)
Investasi dalam Bidang Pendidikan dan Kesehatan: Pendekatan Modal Manusia

(hlm. 416)
Perhatikan bahwa tingkat pengembalian swasta atas pendidikan primer di Afrika sub-Sahara dan Asia adalah sekitar 40 persen! Terlepas dari pengembalian yang luar biasa ini, banyak keluarga tidak melakukan investasi ini, karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk meminjam bahkan sejumlah uang yang sangat sedikit yang dibawa pulang ke rumah oleh seorang anak yang bekerja untuk keluarganya.

(hlm. 421)
Kesenjangan Gender: Wanita dan Pendidikan

(hlm. 422)
Konsekuensi Bias Gender dalam Bidang Kesehatan dan Pendidikan
Berbagai penelitian di negara-negara berkembang secara konsisten memperlihatkan bahwa ekspansi dalam pendidikan dasar anak-anak perempuan memberikan tingkat pengembalian yang paling tinggi di antara semua jenis investasi—lebih besar daripada tingkat pengembalian yang dihasilkan dari kebanyakan proyek infrastruktur publik, misalnya.

(hlm. 425)
Sistem Pendidikan dan Pembangunan
Penawaran dan Permintaan Pendidikan: Hubungan Antara Kesempatan Kerja dan Permintaan Pendidikan
Dari uraian singkat ini kita sudah mengetahui bahwa sebenarnya permintaan terhadap pendidikan itu merupakan suatu “permintaan tidak langsung” atau permintaan turunan (derived demand), yakni permintaan terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern.

(hlm. 426)
Sebenarnya masih ada beberapa variabel penting lainnya yang kebanyakan bersifat nonekonomi (misalnya, pengaruh tradisi budaya, gender, status sosial, pendidikan orang tua, dan besarnya anggota keluarga), yang sangat mempengaruhi tingkat permintaan terhadap pendidikan. Namun, dengan memusatkan perhatian pada keempat variabel tersebut di atas, kita sudah bisa memperoleh gambaran yang terpenting serta menyeluruh mengenai hubungan antara tingkat permintaan terhadap pendidikan dengan tingkat penawaran kesempatan kerja.

(hlm. 427)
Kondisi hipotesis seperti ini sebenarnya sangat mendekati realistis situasi kesempatan kerja dan pendidikan yang sesungguhnya di banyak negara-negara Dunia Ketiga.

(hlm. 428)
Pula suatu tendensi yang sulit dihindari, yaitu naiknya pengangguran di kalangan penduduk yang berpendidikan lebih tinggi lagi, karena kesempatan kerja yang tersedia bagi mereka yang berpendidikan sekolah menengah, dan bahkan untuk para lulusan perguruan tinggi semakin terbatas. Setelah beberapa waktu lamanya menganggur, dan seiring dengan itu harapan-harapan mereka pun terus melemah, maka pada akhirnya orang-orang yang berpendidikan tinggi tersebut terpaksa menerima jenis-jenis pekerjaan atau profesi yang sebenarnya hanya memerlukan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Ijazah dan gelar oleh karenanya menjadi persyaratan dasar untuk bekerja saja, dan bukan lagi menjadi suatu jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan tinggi seperti yang diinginkan semula.

(hlm. 429)
Manfaat dan Biaya Sosial versus Manfaat dan Biaya Individual
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi penghasilan yang diharapkannya sehingga lebih besar dari biaya-biaya pribadi yang harus dikeluarkannya.

(hlm. 430)
Nampak bahwa kurva manfaat sosial mula-mula menanjak secara tajam, yang mencerminkan terjadinya perbaikan tingkat produktivitas dari, katakanlah, petani-petani kecil dan para wiraswastawan kecil, yang dihasilkan oleh pendidikan dasar (basic education) dan perolehan kemampuan baca tulis, keterampilan menghitung, serta keterampilan profesi dasar lainnya. Setelah itu, manfaat sosial marjinal (marginal social benefits) dari tahun-tahun tambahan bersekolah akan meningkat secara lebih lambat, dan kurva manfaat sosial mulai mendatar.

(hlm. 431)
Secara umum, ketimpangan atau perbedaan antara manfaat dan biaya sosial di satu sisi dengan manfaat dan biaya individual di sisi yang lain sebenarnya telah diciptakan secara artifisial melalui kebijakan-kebijakan pemerintah dan swasta yang kurang tepat, seperti terus dipertahankannya selisih upah, selektivitas pendidikan, serta penentuan harga (pricing) jasa pendidikan yang tidak tepat. Selama berbagai sinyal “harga” ini tidak disesuaikan agar mendekati realistis sosial, maka misalokasi sumber daya nasional (dalam hal ini adalah terlalu besarnya pengeluaran untuk pendidikan formal) akan terus terjadi dan bahkan akan menjadi semakin buruk.

(hlm. 432)
Kedua, bagi mereka yang telah menyesuaikan diri dengan “menurunkan” harapan mereka dan mencari pekerjaan yang seadanya di sektor modern, biasanya akan mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya tidak memerlukan tingkat pendidikan yang mereka miliki. Adanya sejumlah pekerja yang menerima upah terlalu tinggi, banyaknya karyawan yang pendidikannya terlalu tinggi dibandingkan dengan porsi tugasnya, dan terutama menumpuknya tenaga-tenaga berpendidikan di jajaran pengangguran, semuanya ini jelas merupakan bentuk-bentuk misalokasi sumber daya manusia yang sangat mencolok.

(hlm. 433)
Distribusi Pendidikan
Analisis sebelumnya mengenai berbagai hal yang menyebabkan pendidikan terlalu tinggi (overeducation) tidak perlu mengecilkan hati kita atas kemungkinan terpacunya pembangunan melalui pendidikan yang lebih baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

(hlm. 434)
Kenyataan bahwa sistem pendidikan tingkat menengah di suatu negara lebih baik daripada yang lain, misalnya, diabaikan. Tentu saja, kualitas pendidikan jauh lebih baik di negara yang berpendapatan tinggi (Eropa, misalnya) daripada di negara yang berpendapatan rendah (Afrika, misalnya).

(hlm. 436)
Pendidikan, Ketimpangan Pendapatan, dan Kemiskinan
Mengingat sebagian besar mahasiswa universitas berasal dari golongan berpendapatan tinggi (karena telah diseleksi sewaktu di tingkat sekolah lanjutan), pendidikan universitas yang biaya-biayanya sering kali disubsidi dengan menggunakan uang pajak yang bersumber dari masyarakat luas itu pada akhirnya justru hanya akan dinikmati oleh mereka yang berasal dari keluarga relatif makmur. Dengan demikian, akan tercipta suatu proses yang sangat ironis serta menyedihkan, yakni “transfer payment” dari golongan miskin kepada golongan kaya yang berlangsung melalui program pendidikan tinggi yang “gratis”!

(hlm. 438)
Pendidikan, Migrasi Internal, dan Pengurasan Intelektual
Ini merupakan suatu kenyataan yang menyedihkan, karena setelah mereka memperoleh pendidikan di negara-negara asalnya dengan biaya sosial yang sangat besar, mereka justru mencari keuntungan dari dan berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi negara yang sudah kaya.

(hlm. 440)
Sistem Kesehatan dan Pembangunan
Pengukuran dan Distribusi
World Health Organization, sebuah lembaga penting PBB yang menangani masalah kesehatan global, mencantumkan definisi kesehatan pada halaman web-nya: “Sebuah kondisi kesejahteraan fisik, mental, serta sosial, dan bukan sekadar bebas dari penyakit serta kelemahan fisik.”

(hlm. 445)
Malaria dan Cacing Parasit
Penyakit lain yang membandel, yaitu trypanosomiasis Afrika, atau penyakit tidur, masih menjangkiti hingga setengah juta orang di Afrika sub-Sahara, kebanyakan di daerah-daerah terpencil.

(hlm. 448)
Kesehatan dan Produktivitas
Berbagai studi menunjukkan bahwa orang-orang yang sehat menerima upah yang lebih tinggi. Pemenang Hadiah Nobel Robert Fogel menemukan bahwa dewasa ini penduduk di negara maju secara substansial lebih tinggi dibandingkan generasi kakeknya dua abad yang lalu, dan berpendapat bahwa tinggi badan adalah indeks kesehatan yang bermanfaat dan mencerminkan kondisi kesejahteraan sebuah masyarakat secara umum.

(hlm. 449)
John Strauss dan Duncan Thomas menemukan bahwa pria yang lebih tinggi dapat memperoleh penghasilan yang lebih banyak di Brasil, bahkan setelah mengisolasi determinan pendapatan lain yang penting seperti pendidikan dan pengalaman.

(hlm. 450)
Tinggi badan mencerminkan berbagai manfaat yang diperoleh pada masa-masa awal kehidupan; jadi dampak yang dirasakan bukan hanya penghasilan yang diperoleh saat ini dengan tinggi badan saat ini. Secara khusus, orang yang tinggi menerima lebih banyak pendidikan secara signifikan dibandingkan rekannya yang pendek.

(hlm. 451)
Kebijakan Sistem Kesehatan

(hlm. 453)
Para dokter yang dilatih dengan subsidi masyarakat sering memilih untuk berspesialisasi di kawasan-kawasan kaya di kota-kota atau bermigrasi ke negara maju.

(hlm. 454)
Sebuah contoh yang terkenal adalah Program Pendidikan, Kesehatan, dan Gizi Meksiko (PROGRESA). Salah satu fitur inti dari program PROGRESA ini adalah paket terpadu untuk meningkatkan status pendidikan, kesehatan, dan nutrisi keluarga-keluarga miskin.

(hlm. 456)
Studi Kasus Perekonomian Mesir
Republik Arab Mesir ini merupakan contoh yang sangat mencolok dari biaya ekonomis dan sosial atas pesatnya perluasan pendidikan tinggi, yang mana pekerja dengan sertifikat sekolah menengah ataupun sekolah menengah lanjutan mendapatkan jaminan kerja dari pemerintah. Jaminan kerja yang diberikan seumur hidup, bersama dengan berbagai tunjangan yang melimpah, mendorong lonjakan permintaan terhadap pendidikan menengah dan pendidikan tingkat universitas, bahkan ketika hampir separuh dari populasi masih buta huruf.

(hlm. 457)
Sembilan sekolah kedokteran milik negara di Mesir meluluskan sekitar 3.500 dokter per tahun. Jumlah ini sudah cukup memenuhi kebutuhan Mesir akan tenaga dokter. Namun, sejumlah besar dokter Mesir memilih untuk bermigrasi ke negara-negara Arab lainnya, juga ke Afrika, Inggris, dan Amerika Serikat, sehingga menjadi masalah brain drain yang cukup meresahkan. Meskipun sektor swasta Mesir mengalami peningkatan, perusahaan-perusahaan milik negara masih dominan di dalam industri dan mempekerjakan sekitar 1,3 juta orang.

(hlm. 459)
Setelah itu, Pemerintah Mesir memulai peninjauan ulang besar-besaran atas kebijakan ekonominya, yang bertujuan untuk mendorong peran yang lebih besar dari sektor swasta. Program ini membuat Mesir berhak mendapatkan bantuan keuangan tambahan dari IMF. Sedemikian jauh, berdasarkan sejumlah indikator ekonomi makro, program reformasi ini terbukti sukses. Defisit perdagangan Mesir menurun hingga di bawah $4 miliar pada 1996, dan neraca berjalannya berubah dari defisit menjadi surplus walaupun sedikit. Inflasi turun dari 20% menjadi 5,4%, dan berkat pengurangan subsidi energi dan diperkenalkannya pajak penjualan sebesar 10%, defisit anggaran pemerintah terus menurun. Tingkat pertumbuhan GDP meningkat dari di bawah 1% pada tahun 1980-an hingga lebih dari 4% pada tahun 1990-an.

(hlm. 468)
10 Transformasi Pertanian dan Pembangunan Daerah Pedesaan
Arti Penting Kemajuan Sektor Pertanian dan Pembangunan Daerah Pedesaan
Sedangkan di Afrika, rasio tersebut jauh lebih tinggi lagi di mana lebih dari tiga perempat dari jumlah total penduduk sebagian besar negara Afrika merupakan penduduk pedesaan.

(hlm. 469)
Model pembangunan “dua sektor” Lewis yang telah dibahas dalam Bab 4 merupakan contoh yang baik dari teori pembangunan yang menitikberatkan pada pengembangan sektor industri secara cepat, di mana sektor pertanian hanya dipandang sebagai pelengkap atau penunjang, yaitu sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah.

(hlm. 471)
Pertumbuhan dan Stagnasi Pertanian Sejak Tahun 1950
Antara tahun 1950 dan 1970, peningkatan produksi pangan per kapita (per capita food production) dan produksi pertanian per kapita (per capita agricultural production), baik pangan maupun nonpangan (seperti kapas, sisal, kayu, dan karet) di seluruh negara-negara Dunia Ketiga tidak pernah lebih dari 1 persen per tahun.

(hlm. 475)
Terabaikannya sektor pertanian tersebut diperparah lagi dengan gagalnya pelaksanaan investasi dalam perekonomian industri perkotaan, yang terutama disebabkan oleh kesalahan dalam memilih strategi industrialisasi substitusi impor dan penetapan nilai kurs yang terlalu tinggi (lihat Bab 13 Jilid 2). Strategi yang kemudian terbukti tidak sesuai untuk negara-negara berkembang itu memang sangat berpengaruh karena didengung-dengungkan oleh para teoretisi Barat sebagai strategi yang paling ampuh dan cepat dalam menyulap sebuah perekonomian agraris menjadi perekonomian industri (strategi industrialisasi berupa substitusi impor sangat populer selama dasawarsa-dasawarsa pertama seusai Perang Dunia Kedua).

(hlm. 476)
Struktur Sistem Agraria di Negara-negara Berkembang
Dua Jenis Pertanian Dunia
Sebenarnya, pola atau sistem-sistem pertanian yang ada di dunia ini dapat dibagi menjadi dua pola yang berbeda: (1) pola pertanian di negara-negara maju yang memiliki tingkat efisiensi tinggi dengan kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja yang juga tinggi, sehingga dengan jumlah petani yang sedikit dapat menyediakan bahan pangan bagi seluruh penduduk, (2) pola pertanian yang tidak atau kurang efisien yang umumnya terdapat di negara-negara berkembang.

(hlm. 477)
Jurang kesenjangan di antara kedua pola pertanian tersebut sangat lebar. Kesenjangan itu nampak jelas jika dinyatakan sebagai disparitas (ketimpangan) produktivitas tenaga kerja. Pada tahun 1960, masyarakat petani di negara-negara maju berjumlah sekitar 115 juta orang. Mereka mampu menghasilkan total output senilai $78 miliar atau sekitar $680 per kapita. Sebaliknya, produk per kapita dari masyarakat pertanian di negara-negara sedang berkembang pada tahun yang sama hanya $52. Dengan kata lain, tingkat produktivitas tenaga kerja pertanian di negara-negara maju 13 kali lipat lebih besar daripada tingkat produktivitas pertanian di negara-negara sedang berkembang. Pada tahun 2000, jurang kesenjangan produktivitas (productivity gap) diproyeksikan akan meningkat menjadi lebih dari 50 banding 1. Sebagai contoh, di negara-negara berpendapatan rendah nilai tambah per pekerja sektor pertanian pada tahun 1999 adalah $346, sedangkan di negara-negara seperti Inggris, Swedia, dan Jepang masing-masing adalah $34.730, $34.985, dan $30.620.

(hlm. 478)
Sedangkan di negara-negara maju, pertumbuhan output pertanian yang mantap telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-18. Laju pertumbuhan tersebut dipacu oleh perkembangan teknologi dan pengetahuan biologi, yang mampu menghasilkan tingkat produktivitas tenaga kerja dan lahan yang lebih tinggi lagi. Hasil akhirnya adalah bahwa jumlah petani yang sedikit mampu menghasilkan lebih banyak bahan pangan. Hal ini terutama terjadi dalam kasus di Amerika Serikat, di mana pada tahun 2000 hanya 3% dari total angkatan kerja bekerja di sektor pertanian, dibandingkan dengan lebih dari 70% pada awal abad kesembilan belas. Sebagai contoh, pada tahun 1820, seorang petani Amerika dapat memproduksi bahan pangan empat kali jumlah konsumsinya. Seratus tahun kemudian, yakni pada tahun 1920, tingkat produktivitasnya telah berlipat ganda sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangan hampir 100 orang. Selama periode itu, pendapatan rata-rata petani di Amerika Utara terus meningkat.

(hlm. 479)
Petani Kecil di Amerika Latin, Asia, dan Afrika
Bagi sejumlah besar keluarga pertanian, yang para anggotanya merupakan tenaga kerja pokok, pertanian bukan hanya sebagai sebuah pekerjaan atau sumber pendapatan, tetapi juga sebagai pandangan dan gaya hidup.

(hlm. 480)
Pola dan Sumber Daya Latifundio-Minifundio: Pemanfaatan Lahan yang Terbatas di Amerika Latin
Di negara-negara Amerika Latin, seperti halnya di Asia dan Afrika, struktur agraria bukan hanya merupakan bagian dari sistem produksi, tetapi juga merupakan karakteristik dasar dari organisasi ekonomi, sosial (kemasyarakatan), dan politik dalam kehidupan pedesaan secara keseluruhan.

(hlm. 481)
Menurut FAO, sekitar 1,3 persen lahan di Amerika Latin menguasai 71,6 persen dari seluruh lahan pertanian di kawasan itu. Apabila beberapa negara yang melaksanakan land reform secara drastis selama abad terakhir (Meksiko, Bolivia, dan Kuba) tidak dihitung, maka struktur agraria di seluruh Amerika Latin mengikuti pola yang sama.

(hlm. 482)
Dengan menggunakan koefisien Gini untuk mengukur tingkat konsentrasi tanah, sebagaimana terlihat pada Tabel 10.4 kolom 6, para peneliti melaporkan bahwa koefisien untuk Kolombia adalah 0,86, untuk Brasil adalah 0,84, untuk Kosta Rika adalah 0,82, untuk Uruguay adalah 0,82, untuk Peru 0,91, dan untuk Venezuela adalah 0,91, sementara koefisien Gini untuk Paraguay adalah 0,94. Negara-negara ini merupakan negara dengan koefisien Gini tertinggi di dunia, dan mereka mendramatisasi gambaran tingkat persamaan hak kepemilikan tanah (dan kemudian, sebagian ketidaksamaan pendapatan) di seluruh Amerika Latin.

(hlm. 484)
Fragmentasi dan Subdivisi Lahan Petani di Asia
Jika masalah pokok bidang pertanian di Amerika Latin adalah terlalu banyaknya lahan yang dikuasai oleh sekelompok kecil pemilik, maka masalah pokok di Asia adalah banyaknya orang yang bekerja pada lahan yang sangat sempit. Sebagai contoh, luas lahan yang dapat ditanami di India, RRC, dan Bangladesh pada tahun 1994 masing-masing adalah 0,19, 0,08, dan 0,07 hektar untuk setiap orang penggarap. Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, adalah contoh ekstrem dari tekanan penduduk yang sangat besar pada lahan yang sangat terbatas. Kasus yang terjadi di situ dapat dijadikan sebagai gambaran umum mengenai peliknya masalah keagrariaan di kawasan Asia. Dengan kepadatan mencapai 1.500 orang per kilometer persegi menjadikan provinsi tersebut sebagai pemegang rekor dunia dalam hal kepadatan penduduk.

(hlm. 485)
Sekarang ini, para tuan tanah (landlords) di India dan Pakistan dapat menghindari pembayaran pajak pendapatan yang dibebankan atas lahannya. Para tuan tanah di kawasan Asia Selatan saat ini pada umumnya adalah pemilik lahan absentee (tidak menggarap atau mengelola sendiri lahannya, dan hanya menjadikan lahannya itu sebagai instrumen investasi).

(hlm. 486)
Para peminjam uang itu sering kali sengaja dimanipulasi oleh para rentenir agar mereka tidak dapat melunasi utangnya. Ini karena para rentenir sebenarnya lebih tertarik untuk mendapatkan lahan-lahan pertanian komersial tersebut daripada sejumlah bunga pinjaman. Mereka sengaja membujuk para petani untuk meminjam uang melebihi keperluannya, agar nantinya mereka dapat memaksa petani itu untuk menyerahkan lahannya.

(hlm. 487)
Para petani terpaksa meminjam uang dari para rentenir dengan suku bunga yang mencekik leher, yakni berkisar antara 50 sampai 200 persen. Tidak mengherankan jika kebanyakan dari mereka tidak mampu mengembalikan pinjamannya sehingga mereka terpaksa menjual lahannya yang sudah sangat sempit itu, yang kemudian menjadi petani penyewa lahan dengan utang yang menggunung.

(hlm. 488)
Pertanian Subsisten dan Perluasan Perladangan di Afrika
Dalam keadaan seperti ini, maka sistem perladangan berpindah (shifting cultivation) justru merupakan metode yang paling ekonomis pada sebidang tanah yang luas, tetapi dengan tenaga kerja yang terbatas. Dalam perladangan berpindah-pindah, begitu tingkat kesuburan lahan pertama sudah berkurang, maka para petani tersebut segera meninggalkannya untuk mencari tanah atau hutan baru yang akan mereka tebas guna membuka lahan baru dan proses penyemaian serta penanaman berbagai jenis tanaman dilakukan kembali.

(hlm. 491)
Peran Penting Kaum Wanita
Kini jelaslah bahwa karena kaum wanita amat berjasa dalam menyumbangkan sejumlah besar output pertanian, maka setiap program reformasi pertanian hanya akan berhasil jika mengakui dan melibatkan upaya pembinaan terhadap produktivitas mereka.

(hlm. 493)
Bahkan ada pandangan bahwa status ekonomi wanita yang tinggi akan mengancam “kedaulatan pria”. Sebagai contoh, Grameen Bank yang berlokasi di Bangladesh suatu ketika pernah menawarkan sejumlah kecil kredit kepada para wiraswastawan kecil di daerah pedesaan (kebanyakan dari mereka adalah wanita). Ternyata kinerja kredit tersebut sangat memuaskan. Tingkat pembayaran kembali dana mencapai lebih dari 90 persen (itu berarti kredit yang macet tidak sampai 2 persen), dan tingkat pengembalian atas investasi kaum wanita mencapai lebih dari 150 persen (dengan demikian, bank tersebut menerima laba atau keuntungan bersih lebih dari separuh jumlah modal yang ditanamkannya). Contoh ini secara jelas membuktikan betapa kaum wanita itu sebenarnya bisa sangat produktif, asalkan saja biaya-biaya oportunitas mereka dihargai sepantasnya (lihat Bab 17 Jilid II).

(hlm. 494)
Ilmu Ekonomi Pembangunan Sektor Pertanian: Transisi dari Pola Pertanian Subsisten ke Pola Pertanian Komersial yang Terspesialisasi

(hlm. 495)
Pertanian Subsisten: Pencegahan Risiko, Ketidakpastian, dan Upaya Mempertahankan Kelangsungan Hidup
Hampir di sepanjang tahun, tenaga kerja pertanian lebih banyak menganggur; tetapi pada musim sibuk, misalnya pada musim tanam atau musim panen, jumlah pekerja yang tersedia acapkali terasa kurang.

(hlm. 496)
Sayangnya, teori produksi tradisional tersebut tidak mampu memberikan suatu penjelasan yang memuaskan mengenai mengapa para petani sering menolak inovasi dalam teknik-teknik produksi pertanian, pengenalan bibit-bibit baru, atau jenis-jenis tanaman yang lebih produktif.

(hlm. 497)
Dalam kalimat yang paling sederhana, para petani “ingin amannya saja”. Mereka rela menerima hasil sedikit dengan risiko sedikit, ketimbang hasil yang banyak, namun disertai risiko yang juga besar.

(hlm. 498)
Namun, teknik A itu memiliki varians yang lebih rendah (sifatnya lebih pasti) daripada teknik B. Bagi para petani yang lebih suka menghindari risiko, yang akan mereka pilih pastilah teknik A.

(hlm. 499)
Dari observasi itu terungkap bahwa keengganan tersebut bukan karena mereka malas, punya harapan berlebihan, atau risih bersentuhan dengan teknologi maju, melainkan karena adanya sejumlah alasan yang benar-benar rasional, yakni: (1) kalaupun kesempatan itu mereka ambil, pada akhirnya pihak tuan tanah yang memperoleh manfaat, (2) para rentenir yang akan memperoleh keuntungan; (3) “jaminan-jaminan” harga minimum dari pemerintah tidak pernah dibayarkan; serta (4) penyediaan berbagai macam input komplementer seperti pupuk, pestisida, saluran irigasi, kredit lunak, bibit unggul, dan sebagainya bagi para petani kecil tidak pernah terealisir sebagaimana yang dijanjikan semula.

(hlm. 500)
Pertanian Bagi Hasil dan Pasar-pasar Faktor Produksi yang Saling Berkaitan
Sudah sejak dahulu para ekonom menganggap praktik bagi hasil ini sebagai suatu kegiatan ekonomi yang tidak efisien. Menurut observasi Alfred Marshall, praktik itu membuat para petani hanya menerima separuh pendapatan dari produk marjinalnya, sehingga motivasi kerja mereka pun juga hanya sekedarnya.

(hlm. 501)
Pendekatan pemantauan ini populer selama dua dasawarsa, dan pendekatan ini sulit diuji karena adanya endogenitas. Contohnya, hanya orang-orang yang berproduktivitas rendahlah yang memilih untuk terlibat dalam kontrak pertanian bagi hasil. Bahkan, banyak pakar meyakini bahwa tuan tanah dapat menawarkan pilihan kepada petani penyewa lahan untuk bagi hasil atau kontrak penyewaan murni karena orang-orang yang berkemampuan lebih tinggi akan cenderung memilih kontrak sewa murni: Petani yang berkemampuan tinggi dapat memperoleh nilai penuh dari produk marjinal mereka, namun hal ini tidak menarik bagi petani berkemampuan rendah. Jika tuan tanah tidak dapat memastikan petani yang mana yang berkemampuan tinggi, mereka dapat mencari tahu dengan mengamati siapa saja yang memilih kontrak sewa murni. Motivasinya adalah memungkinkan tuan tanah untuk memeras lebih banyak laba dari penyewa, dan mengenakan harga sewa efektif yang lebih tinggi untuk kontrak sewa murni daripada kontrak bagi hasil—namun tidak terlalu tinggi, karena jika demikian, petani yang berkemampuan tinggi pun akan memilih bagi hasil. Pendekatan ini dikenal sebagai “hipotesis saringan” dari pertanian bagi hasil.

(hlm. 502)
Namun demikian, dalam sebuah penelitian yang terkenal, Radwan Ali Shaban menemukan adanya para petani yang menggarap sebagian dari lahannya sendiri dan juga menyewakan lahan sisanya dengan sistem bagi hasil. Dengan membandingkan perilaku petani yang sama dengan pengaturan kontrak yang berbeda, Ali Shaban mengontrol faktor-faktor yang merupakan ciri khas yang tidak mudah diamati dari petani-petani tertentu. Ali Shaban menemukan bahwa para petani menggunakan input yang lebih sedikit dan menghasilkan output yang lebih sedikit pada tanahnya yang disewakan secara bagi hasil daripada input yang dicurahkan untuk tanah garapannya sendiri, dan semua hal lain diasumsikan tetap. Hasil ini merupakan bukti kuat bahwa sistem bagi hasil kurang efisien dibandingkan dengan menggarap tanahnya sendiri, seperti yang diramalkan oleh Marshall.

(hlm. 503)
Namun, kerangka kerja ekonomi dan sosial yang melandasi praktik bagi hasil tersebut sangat timpang dan peka terhadap kegagalan mekanisme pasar. Jika seorang petani penggarap menghadapi si pemilik lahan, ia bukan hanya menghadapi orang yang harus ia bujuk agar bersedia mempercayakan lahannya, tetapi juga calon majikan, calon penyedia pinjaman, dan sekaligus calon pembeli atas seluruh hasil panen yang menjadi bagiannya. Kondisi inilah yang lazim disebut sebagai pasar-pasar faktor produksi yang saling berkaitan (interlocking factor markets).

(hlm. 504)
Transisi Menuju Pertanian Campuran dan Terdiversifikasi
Pola pertanian terdiversifikasi (diversified farming) atau pertanian campuran (mixed farming) merupakan tahap perantara yang harus dilalui dalam proses transisi dari pola produksi pertanian subsisten menjadi produksi pertanian yang terspesialisasi.

(hlm. 505)
Dari Divergensi ke Spesialisasi: Pertanian Komersial Modern
Ukuran dan fungsi pola pertanian khusus ini bervariasi. Jenis produk yang digarapnya juga bermacam-macam. Ada yang berupa perusahaan pertanian khusus buah-buahan, sayur-sayuran, atau perusahaan pertanian gandum dan jagung berukuran raksasa seperti yang banyak ditemui di kawasan Amerika Utara. Pada umumnya, segenap unit usaha pertanian khusus ini menggunakan peralatan mekanisasi serba canggih yang hemat tenaga kerja, mulai dari traktor berukuran besar, alat-alat penyemai dan pemanen modern, sampai dengan teknik penyemprotan pupuk dan pestisida dari udara (lewat pesawat terbang khusus, tentunya), sehingga memungkinkan satu keluarga petani mampu mengolah lahan yang luasnya mencapai sekian ribu hektar.

(hlm. 506)
Menuju Suatu Strategi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan yang Andal: Beberapa Syarat Pokok
Perbaikan Pertanian Berskala Kecil
Kebijakan Harga dan Kelembagaan: Penyediaan Insentif Ekonomi yang Diperlukan
Rasio harga antara komoditi pertanian dan barang-barang manufaktur semakin lama semakin timpang, dan hal tersebut jelas sangat merugikan para petani serta keluarganya, dan di sisi lain hanya menguntungkan para industrialis di kota-kota. Karena harga-harga produk dari biaya produksinya—maka para petani tidak akan memiliki motivasi untuk meningkatkan outputnya, atau melakukan investasi dalam teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas. Apa gunanya memacu produksi, kalau keuntungannya justru direbut oleh pihak lain? Pada akhirnya, hal ini menimbulkan kesulitan-kesulitan atau tekanan terhadap neraca perdagangan dan neraca pembayaran negara-negara bersangkutan (karena impor bahan pangan terus saja melonjak).

(hlm. 509)
Land Reform
Dalil 1: Struktur usaha tani dan pola kepemilikan lahan harus disesuaikan dengan tujuan utama yang bersifat ganda, yaitu peningkatan produksi bahan pangan, serta pemerataan segala manfaat atau keuntungan-keuntungan kemajuan pertanian pada sisi yang lain.

Para ekonom dan para spesialis pembangunan lainnya sepakat bahwa program land reform merupakan suatu kebijakan yang perlu dilaksanakan dengan segera.

(hlm. 510)
Kebijakan-kebijakan Pendukung
Dalil 2: Semua manfaat dari pembangunan pertanian berskala kecil tidak akan dapat direalisir secara nyata tanpa didukung oleh serangkaian kebijakan pemerintah yang secara sengaja diciptakan untuk memberikan rangsangan atau insentif, kesempatan atau peluang-peluang ekonomi, dan berbagai kemudahan yang diperlukan untuk mendapatkan segenap input utama guna memungkinkan para petani kecil meningkatkan tingkat output dan produktivitas mereka.

(hlm. 511)
Keterpaduan Tujuan-tujuan Pembangunan
Dalil 3: Keberhasilan pembangunan pedesaan selain sangat tergantung pada kemajuan-kemajuan petani kecil, juga ditentukan oleh hal-hal penting lainnya yang meliputi: (1) upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan riil pedesaan, baik di sektor pertanian maupun nonpertanian, melalui penciptaan lapangan kerja, industrialisasi di pedesaan, pembenahan pendidikan, kesehatan, dan gizi penduduk, serta penyediaan berbagai bidang pelayanan sosial dan kesejahteraan lainnya; (2) penanggulangan masalah ketimpangan distribusi pendapatan di daerah pedesaan serta ketidakseimbangan pendapatan dan kesempatan ekonomi antara daerah pedesaan dengan perkotaan; serta (3) pengembangan kapasitas sektor atau daerah pedesaan itu sendiri dalam rangka menopang dan memperlancar langkah-langkah perbaikan tersebut dari waktu ke waktu.

(hlm. 512)
Studi Kasus Perekonomian Bangladesh
Di sinilah terdapat curah hujan tertinggi di dunia yang selanjutnya sangat mempengaruhi topografi wilayah dan pemusatan lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi. Banyak bagian dari wilayah Bangladesh yang sering kali terlanda banjir besar dan mengerikan selama musim hujan.

Laju urbanisasi desa-kota berlangsung dengan derasnya. Meskipun demikian, sekitar tiga perempat penduduknya masih tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar mengandalkan hidupnya pada pola pertanian subsisten (apa yang didapat hari ini hanya cukup untuk dimakan pada hari ini juga).

(hlm. 516)
Catatan Belakang

(hlm. 518)
Joseph Stiglitz adalah orang pertama yang memformulasikan argumen bahwa pertanian bagi hasil mencerminkan kompromi antara tuan tanah dan penyewa atau penggarap tanah, di mana tuan tanah adalah pihak yang menanggung risiko produksi, sementara penggarap tanah hanya menerima beberapa hasil tertuju dari pekerjaannya yang sangat membutuhkan biaya untuk memantaunya.

(hlm. 521)
11
Lingkungan dan Pembangunan

Pendapat lama “pembangunan versus lingkungan hidup” memberi arah menuju pandangan yang baru di mana… penanganan lingkungan yang lebih baik adalah penting guna menopang pembangunan.
—WORLD BANK, World Bank Atlas, 1997

Ilmu Ekonomi dan Lingkungan Hidup
Dua puluh persen penduduk dunia yang paling miskin adalah kelompok pertama dan yang paling banyak menanggung beban kerusakan lingkungan.

(hlm. 522)
Mereka tidak mempunyai fasilitas-fasilitas kesehatan atau sanitasi dan persediaan air bersih yang memadai. Tidak dimasukannya biaya-biaya lingkungan pada kalkulasi GNP merupakan salah satu penyebab masih terabaikannya persoalan lingkungan dari ilmu ekonomi pembangunan selama ini.

(hlm. 523)
Lingkungan Hidup dan Pembangunan: Beberapa Persoalan Dasar
Pembangunan yang Berkelanjutan dan Perhitungan Nilai Lingkungan Hidup
Meskipun definisinya cukup banyak, namun pada dasarnya istilah berkelanjutan itu mengacu kepada “pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.” Suatu pola pembangunan baru bisa dikatakan berkesinambungan apabila total stok modal jumlahnya tetap atau meningkat dari waktu ke waktu.

(hlm. 524)
NNP* = GNP – Dm – Dn
Dm = depresiasi modal manufaktur
Dn = depresiasi modal lingkungan yang dinyatakan dalam satuan moneter (uang) tahunan.
NNP* = GNP – Dm – Dn – R – A
Di mana R adalah pengeluaran atau belanja yang diperlukan untuk mengembalikan modal lingkungan (hutan, sumber perikanan, dan sebagainya) seperti sediakala, sedangkan A adalah pengeluaran yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan modal lingkungan yang terlanjur terjadi di masa sebelumnya (seperti pencemaran udara, air, kualitas tanah, dan lain-lain).

(hlm. 525)
Populasi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup
Kemiskinan dan Lingkungan Hidup

(hlm. 526)
Pertumbuhan Ekonomi versus Kelestarian Lingkungan Hidup
Pembangunan Daerah Pedesaan dan Lingkungan Hidup
Pembangunan Perkotaan dan Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup Global
Sebenarnya, masalah pengorbanan apa saja yang harus direlakan dan siapa yang harus melakukannya sampai saat ini masih merupakan bahan perdebatan yang sengit dan tidak ada habisnya.

(hlm. 528)
Pertanyaan-pertanyaan itu juga dibahas secara sungguh-sungguh pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED), atau lebih dikenal dengan sebutan KTT Bumi (Earth Summit), yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 dan ditindaklanjuti pada konferensi yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang, pada tahun 1997. Belakangan terungkap bahwa secara kumulatif sebagian besar kerusakan lingkungan hidup saat ini justru diakibatkan oleh ulah negara-negara maju atau negara-negara Dunia Pertama yang selama ini paling lantang menyuarakan perlunya pelestarian lingkungan hidup.

(hlm. 529)
Ruang Lingkup Degradasi Lingkungan Hidup: Tinjauan Singkat atas Data-data Statistik
(1) polusi air dan kelangkaan air bersih; (2) polusi udara; (3) pembuangan limbah-limbah padat yang sulit hancur dan limbah yang sangat berbahaya; (4) pengikisan kualitas tanah; (5) proses penggundulan hutan; (6) kemerosotan biodiversitas; serta (7) perubahan kondisi atmosfer.

(hlm. 530)
Tabel 11.1
Konsekuensi-konsekuensi Kesehatan dan Produktivitas yang Utama dari Kerusakan Lingkungan Hidup

Masalah LingkunganDampak terhadap KesehatanDampak terhadap Produktivitas
Polusi AirPenyakit pernapasan dan air kotor yang mengandung bakteri berbahayaKemerosotan hasil dari budidaya perikanan; waktu para penduduk di desa dan kota banyak yang terbuang sekadar untuk mencari air; sebagian kegiatan yang produktif terpaksa ditunda karena air bersih untuk kebutuhan sehari-hari tidak tersedia.

(hlm. 531)
Ketergantungan penduduk negara-negara Dunia Ketiga, khususnya yang tinggal di daerah-daerah pedesaan, terhadap bahan bakar biomas (biomass fuel) seperti kayu kering, ranting-ranting, kotoran ternak, dan sampah merupakan salah satu penyebabnya.

(hlm. 532)
Pembangunan Daerah Pedesaan dan Lingkungan Hidup: “Kisah Dua Desa”
Namun, seperti halnya 90 persen tanah hutan hujan (rain forest) lainnya di seluruh dunia, lahan yang dibuka dari hutan di Amerika Latin tersebut relatif tidak subur sehingga hanya bisa ditanami selama beberapa tahun saja. Input-input pertanian komplementer dan pengetahuan pertanian yang ada memang bisa membantu peningkatan output selama beberapa saat. Namun, setelah itu hasil panen akan merosot dengan cepat. Sebagai akibatnya, para pemukim itu kembali terpaksa membuka lahan baru dan membakar hutan lagi.

(hlm. 535)
Model-model Lingkungan Hidup dari Ilmu Ekonomi Tradisional
Sumber Daya Milik Pribadi
Dalam masing-masing model tersebut, kegagalan pasar untuk memperhitungkan eksternalitas lingkungan hidup dipandang sebagai pengecualian, bukannya kelemahan yang fatal.

(hlm. 537)
Pasar hak milik (property rights) yang sempurna itu ditandai oleh empat kondisi berikut:

  1. Universalitas (universality): semua sumber daya yang ada dalam suatu perekonomian dimiliki oleh perseorangan
  2. Ekslusivitas (exclusivity): setiap orang yang bukan pemilik tidak akan diperkenankan untuk memanfaatkan suatu sumber daya begitu saja
  3. Transferabilitas (transferability): pihak pemilik sumber daya bisa saja menjual sumber daya miliknya apabila ia memang menghendakinya
  4. Enforseabilitas (enforceability): pengaturan distribusi pasar atau segenap manfaat dari sumber daya tersebut yang harus ditegakkan secara hukum.
    Berdasarkan keempat kondisi tersebut, pemilik sumber daya yang langka memiliki insentif ekonomi untuk memaksimalkan manfaat neto dari penjualan atau pemanfaatan sumber dayanya tersebut.

(hlm. 539)
Sumber Daya Milik Umum
Dengan demikian, langkah yang paling tepat untuk meningkatkan produktivitas lahan bukannya mempromosikan hak kepemilikan pribadi secara besar-besaran, karena hal ini hanya menguntungkan tuan tanah yang kaya, melainkan memperbesar kepemilikan lahan bagi para keluarga petani kecil. Jadi, masalah yang relevan berkenaan dengan struktur hak kepemilikan adalah siapa yang akan memperoleh hak kepemilikan lahan apabila perluasan hak pribadi itu jadi dilakukan? Akan tetapi, tentu saja cara seperti ini tidak bisa diterima karena, lagi-lagi, hanya akan menguntungkan lapisan penduduk terkaya sehingga sangat tidak sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri.

(hlm. 542)
Kelemahan-kelemahan Kerangka Analisis Barang Publik
Pungutan dari orang-orang yang langsung memanfaatkan hutan, yakni mereka yang menebangi pepohonan sekadar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang paling mendasar, juga sulit dilakukan karena mereka terlalu miskin. Akan tetapi, teori-teori neoklasik memang bermanfaat untuk menjelaskan mengapa kegagalan-kegagalan pasar menjurus pada terciptanya alokasi sumber daya yang tidak efisien dalam perekonomian komersial yang sudah maju. Teori itu juga bisa menunjukkan cara-cara untuk mengatasi segala inefisiensi tersebut.

(hlm. 543)
Pembangunan Perkotaan dan Lingkungan Hidup
Ekologi Pemukiman Kumuh di Perkotaan
Namun, meskipun mereka menyadarinya, mereka tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa karena kondisi ekonomi yang buruk terus memaksa mereka untuk menggunakan bahan bakar yang murah dan mudah diperoleh, meskipun sangat berbahaya bila ditinjau dari segi lingkungan hidup dan kesehatan.

(hlm. 544)
Pusat-pusat kota di berbagai negara sedang berkembang akan menyerap lebih dari 80 persen lonjakan penduduk dunia. Penyebab utamanya, lagi-lagi, adalah arus migrasi yang begitu deras dari desa ke kota.

(hlm. 545)
Industrialisasi dan Pencemaran Udara di Daerah-daerah Perkotaan
Analisis cross-sectional atas sejumlah negara pada berbagai tingkat pendapatan memberikan hasil yang mirip dengan survei yang didasarkan pada koefisien Gini; studi-studi itu mengungkapkan bahwa pencemaran di daerah perkotaan pada awalnya akan terus meningkat seiring dengan kenaikan tingkat pendapatan nasional dan kemudian menurun.

(hlm. 548)
Masalah-masalah Pemukiman serta Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi
Status “pemukim liar” jelas tidak memungkinkan hadirnya jasa-jasa pelayanan pemerintah, sedangkan pihak swasta sendiri merasa terlalu riskan untuk masuk ke situ. Diperkirakan sekitar 70 persen pemukiman baru yang bermunculan di kota-kota di berbagai negara-negara Dunia Ketiga tergolong ilegal. Sebagai akibatnya, penduduk miskin di pemukiman tersebut terpaksa membeli air minum yang telah terkontaminasi, itu pun dengan harga sepuluh kali lipat lebih mahal daripada air PAM.

(hlm. 549)
Di Jakarta, sekitar $50 juta habis dibelanjakan per tahun hanya untuk merebus air. Sebenarnya, sebagian besar dari pengeluaran-pengeluaran yang tidak efisien tersebut bisa dihindari, dan pengeluaran total untuk air bisa diturunkan, seandainya semua orang bisa memperoleh air bersih.

(hlm. 550)
Perlunya Reformasi Kebijakan
Bila sumber daya yang langka tersebut diberikan kepada para penerima dengan tarif jauh di bawah harga sesungguhnya (misalnya, pada kasus penyediaan air PAM), maka berbagai kelangkaan artifisial negatif lainnya bermunculan.

(hlm. 552)
Lingkungan Hidup Global: Kerusakan Hutan Hujan dan Efek Rumah Kaca
Dampak buruk (atau baik) seperti penipisan lapisan ozon dan pemanasan global yang biayanya (atau manfaatnya) telah melampaui batas-batas negara, generasi, dan kelompok penduduk dikenal sebagai barang publik global (global public goods).

(hlm. 554)
Pilihan-pilihan Kebijakan bagi Negara-negara Maju dan Negara-negara Berkembang
Apa yang Bisa Dilakukan oleh Negara-negara Berkembang
Penentuan Harga Sumber Daya Secara Memadai
Partisipasi Masyarakat
Hak Milik dan Kepemilikan Sumber Daya yang lebih Jelas

(hlm. 556)
Program-program untuk Memperbaiki dan Meningkatkan Alternatif-alternatif Ekonomi bagi Penduduk Miskin
Peningkatan Status Ekonomi Kaum Wanita

(hlm. 557)
Kebijakan Penanggulangan Emisi Industri
Berdasarkan data-data yang ada, dari sekian kebijakan yang paling efektif adalah kebijakan yang lebih didasarkan pada kekuatan atau mekanisme pasar, yakni pengenaan tarif pajak emisi dan penerbitan surat izin emisi.

(hlm. 558)
Apa yang Bisa Dilakukan oleh Negara-negara Maju untuk Membantu Negara-negara Berkembang
Kebijakan Perdagangan Negara-negara Dunia Pertama
Pemberian Keringanan Utang

(hlm. 559)
Bantuan dari Negara-negara Dunia Pertama

(hlm. 560)
Apa yang Bisa Dilakukan oleh Negara-negara Maju untuk Menyelamatkan Lingkungan Hidup Global

(hlm. 562)
Penelitian dan Pengembangan (R & D)
Tidaklah realistis mengharapkan negara-negara berkembang yang berpenghasilan rendah untuk menerapkan standar yang dianut oleh negara-negara kaya dan maju.

(hlm. 563)
Studi Kasus Perekonomian Pakistan
Garis yang membatasi kedua negara tersebut membujur hingga sepanjang 1.600 kilometer.

(hlm. 564)
Perpindahan penduduk lantas berlangsung secara besar-besaran begitu pemisahan kedua negara tersebut ditetapkan. Perpindahan spontan ini nampaknya merupakan yang paling besar dan spektakuler sepanjang sejarah dunia.

(hlm. 565)
Dewasa ini, sumbangan dari sektor pertanian bagi GDP Pakistan mencapai 26 persen. Sektor ini sebenarnya merupakan tulang punggung perekonomian Pakistan karena kemampuannya menyerap 55 persen angkatan kerja yang ada. Jenis tanaman yang paling penting adalah kapas, disusul oleh beras dan tebu. Meskipun para petani kecil masih mengandalkan metode-metode bercocok tanam serba tradisional, namun pada kenyataannya tingkat produktivitas sektor pertanian Pakistan terus-menerus mengalami peningkatan selama 20 tahun terakhir.

(hlm. 570)
Bagian Kedua
Studi Kasus Komparatif

Bangladesh dan Nigeria: Tinjauan atas Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Jumlah penduduk Bangladesh mencapai 130 juta jiwa, sementara Nigeria mencapai 127 juta jiwa.

(hlm. 575)
Pada sejumlah wilayah, para istri (banyak pria di sana yang mempunyai empat orang istri sekaligus) bertanggung jawab atas tersedianya bahan pangan di setiap keluarga. Tenaga anak-anak juga sangat diandalkan sehingga tidak mengherankan apabila prinsip kuno yang berbunyi “banyak anak banyak rejeki” masih dianut secara luas, meskipun kapasitas untuk menghidupi mereka sangat terbatas.

(hlm. 576)
Rangkuman
Republik Demokratik Kongo (dahulu Zaire), misalnya, kondisi hidup penduduk miskinnya jauh lebih buruk lagi. Kondisi hidup kaum wanita di daerah pedesaannya bahkan lebih tragis dari yang dialami oleh kaum wanita di Bangladesh atau di negara-negara Afrika lainnya.

Artikel Terkait

Menemukan Kembali Liberalisme oleh Ludwig von Mises #3

Jalan Menuju Perbudakan oleh Friedrich A. Hayek

Problem Domestik Bruto oleh Lorenzo Fioramonti

error: Content is protected !!