Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid 2 oleh Michael P. Todaro & Stephen C. Smith

Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid 2 oleh Michael P. Todaro & Stephen C. Smith

Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.

Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga/Edisi Kedelapan, Jilid 2
Michael P. Todaro & Stephen C. Smith
11 Februari 2003

(hlm. 1)
Bagian Ketiga
Masalah dan Kebijakan: Internasional

(hlm. 2)
Globalisasi: Pengantar ke Bagian 3
Catatan untuk Mahasiswa
Seperti yang tersirat pada kata itu sendiri, globalisasi adalah proses yang menyatukan berbagai perekonomian dunia, menyebabkan terciptanya perekonomian global dan semakin banyaknya pembuatan keputusan ekonomi global, misalnya melalui berbagai lembaga internasional seperti World Trade Organization (WTO).

(hlm. 3)
Di samping itu, seperti tulisan Adam Smith pada 1776, “pembagian tenaga kerja dibatasi oleh cakupan pasar”. Semakin besar pasarnya, maka semakin besar pula manfaat yang dapat diperoleh dari perdagangan dan pembagian tenaga kerja. Demikian pula insentif untuk inovasi pun semakin besar, karena pengembalian potensialnya jauh semakin besar.

(hlm. 5)
Di Bab 15, kita akan mengetahui bahwa penanaman modal asing langsung oleh MNC dapat berkontribusi pada pembangunan, namun sebuah negara pada akhirnya juga harus mempunyai MNC-nya sendiri, atau paling tidak, harus punya suatu cara untuk menarik perusahaan internasional agar memperlakukan negaranya sebagai kantor pusat, supaya negara itu berkembang sepenuhnya.

(hlm. 6)
12
Teori Perdagangan dan Pengalaman Pembangunan

Suatu barang dapat dikatakan dibuat di salah satu negara atau lebih dari berbagai negara berikut: Korea, Hong Kong, Malaysia, Singapura, Taiwan, Mauritius, Thailand, Indonesia, Meksiko, Filipina. Tetapi, asal-usul barang tersebut yang sebenarnya tidaklah diketahui.
Integrated Circuit Label.

Perdagangan dan Keuangan Internasional: Beberapa Isu Penting
Karena pasar dan harga-harga bagi produk ekspor semacam itu tidak menentu, maka ketergantungan ekspor (export dependence) pada produk-produk primer tersebut diliputi oleh faktor risiko dan faktor ketidakpastian yang sangat tinggi. Ketergantungan itu merupakan masalah penting bagi negara-negara yang bersangkutan karena harga-harga barang primer terus menurun. Oleh karena itu, wajar-wajar saja apabila negara-negara berkembang pada umumnya tidak menghendaki ketergantungan mereka itu terus-menerus berlanjut.

(hlm. 7)
Tabel 12-1
Negara-negara Berkembang yang setidaknya 40 persen dari Total Pendapatan Ekspornya Berasal dari Satu atau Dua Produk-produk Pertanian atau Mineral Non-Bahan Bakar

(hlm. 8)
Oleh karena defisit pada pos neraca transaksi berjalan (current account)—yakni bagian dari neraca pembayaran yang khusus mencatat transaksi-transaksi dan selisih antara penerimaan devisa dari ekspor dan pembayaran devisa untuk impor—tidak bisa lagi ditutup dengan surplus pada pos neraca modal (capital account)—yakni, bagian dari neraca pembayaran yang khusus mencatat arus masuk dan keluar dana-dana pinjaman dan investasi terdahulu—maka negara yang bersangkutan terpaksa mencari tambahan utang atau pinjaman, khususnya dari luar negeri, guna menutup defisit neraca pembayarannya tersebut.

(hlm. 9)
Dengan membuka perekonomian dan masyarakat mereka kepada hubungan-hubungan komersial dan perdagangan dunia, serta dengan mulai menjalin interaksi dengan bangsa-bangsa lainnya, negara-negara berkembang tidak hanya mengundang masuknya transfer barang, jasa, dan sumber daya finansial internasional, melainkan juga segenap pengaruh—baik yang bersifat menunjang maupun yang bersifat menghambat pembangunan—yang terkandung di dalam transfer berbagai teknologi produksi; pola-pola konsumsi; pengaturan tatanan institusional dan organisasional; sistem kesehatan, pendidikan, dan sosial; serta tatanan nilai-nilai, cita-cita, dan gaya hidup pada umumnya dari negara-negara maju.

(hlm. 10)
Studi tentang perdagangan dan keuangan internasional itu sendiri merupakan salah satu cabang ilmu ekonomi yang paling tua serta sekaligus yang paling kontroversial.

Lima Pertanyaan Dasar Mengenai Perdagangan dan Pembangunan

  1. Bagaimana pengaruh perdagangan internasional terhadap kecepatan, struktur, dan karakter pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang?
  2. Bagaimana cara perdagangan internasional mengubah distribusi pendapatan dan kekayaan dalam suatu negara dan antara satu negara dengan negara-negara lainnya?
  3. Apa sajakah kondisi atau syarat yang harus dipenuhi agar perdagangan internasional dapat membantu negara-negara berkembang dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasionalnya?
  4. Bisakah negara-negara berkembang menentukan sendiri seberapa banyak mereka berdagang?
  5. Bertolak dari catatan pengalaman di masa lalu dan segenap penilaian mengenai masa-masa mendatang, haruskah pemerintahan negara-negara berkembang menerapkan suatu kebijakan yang berorientasi ke dalam (menerapkan proteksionisme dalam rangka memupuk kemandirian), ataukah mereka harus berusaha sedemikian rupa untuk mengombinasikan keduanya (misalnya, dalam bentuk pengembangan dan pelembagaan kerja sama ekonomi regional) agar mencapai hasil yang optimal?

Konsekuensinya, meskipun kita mencoba membuat generalisasi tentang prospek dan berbagai alternatif kebijakan perdagangan negara-negara Dunia Ketiga dalam konteks tipologi umum negara-negara berkembang, tetapi demi menggapai suatu pemahaman yang komprehensif kita terpaksa menggunakan sejumlah

(hlm. 12)
Generalisasi yang terlalu bersifat pukul-rata (artinya, generalisasi itu mungkin tidak berlaku untuk suatu negara tertentu pada saat tertentu). Jelas ini merupakan suatu kelemahan. Namun, cara itu bukannya tanpa keunggulan. Dengan menggunakan generalisasi itu kita berkesempatan memperoleh suatu perspektif tentang negara-negara Dunia Ketiga secara keseluruhan yang akan melebihi kerugian dalam membuat serangkaian generalisasi analitis dan kebijakan.

Arti Penting Ekspor bagi Berbagai Negara Berkembang

(hlm. 13)
Tabel 12-2
Pendapatan Ekspor Sebagai Persentase Produk Domestik Bruto (GDP), serta Pangsa Komoditi Primer dan Produk Manufaktur dalam Total Ekspor dari Sejumlah Negara-negara Maju dan Negara-negara Berkembang, 2000

NegaraEkspor sebagai Persentase dari GDPPersentase Pangsa Komoditi PrimerPersentase Pangsa Produk Manufaktur
Negara-negara berkembang
Malaysia110,02080
Indonesia40,74654
Korea Selatan37,8991

(hlm. 14)
Lebih besarnya sumbangan ekspor negara-negara berkembang dalam GDP-nya kemungkinan dikarenakan oleh harga relatif jasa-jasa yang tidak diperdagangkan jauh lebih tinggi di negara-negara maju dibandingkan di negara-negara berkembang.

Elastisitas Permintaan dan Gejolak Pendapatan Ekspor
Di sini kita juga bisa mendapatkan petunjuk penting untuk menjawab pertanyaan mengapa kinerja ekspor mayoritas negara-negara berkembang senantiasa relatif lemah bila dibandingkan dengan kinerja ekspor negara-negara kaya. Petunjuk tersebut berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai konsep elastisitas permintaan. Sebagian besar penelitian statistik mengenai pola-pola permintaan dunia untuk setiap kelompok komoditi yang berbeda telah berhasil mengungkapkan bahwa elastisitas permintaan terhadap pendapatan (income elasticity of demand) untuk komoditi-komoditi primer relatif rendah. Artinya, persentase kenaikan permintaan atas komoditi primer oleh para importir (kebanyakan adalah negara-negara kaya) akan naik dalam jumlah yang lebih kecil daripada persentase kenaikan GNP mereka.

(hlm. 15)
Hasil akhir dari rendahnya elastisitas permintaan terhadap pendapatan itu adalah kecenderungan terus menurunnya harga relatif dari berbagai komoditi primer. Selain itu, karena elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity of demand) atas (dan penawaran dari) komoditi-komoditi primer juga cenderung rendah (artinya, inelastis), maka setiap pergeseran pada kurva permintaan atau kurva penawaran akan mengakibatkan gejolak harga yang tajam.

Dasar-dasar Perdagangan dan Pemikiran Prebisch-Singer

(hlm. 16)
(Peraga 12-1)
Harga-harga komoditi terdeflasikan oleh unit nilai ekspor produk manufaktur

(hlm. 17)
(Peraga 12-2)
Teori utama yang terdapat pada Peraga 12-2 dikenal sebagai pemikiran Prebisch-Singer (Prebisch-Singer thesis); mengambil nama dua pakar ekonomi pembangunan yang mengeksplorasi dampak-dampak negatif perdagangan internasional terhadap negara-negara berkembang pada dekade 1950-an. Mereka berpendapat bahwa nilai tukar perdagangan negara-negara Dunia Ketiga akan terus menurun akibat rendahnya elastisitas permintaan komoditi primer terhadap perubahan pendapatan (pihak importir) dan harga. Dalam jangka panjang, hal tersebut mengakibatkan berlangsungnya transfer pendapatan dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya, di mana hal ini hanya bisa dicegah melalui usaha pengembangan dan perlindungan sektor manufaktur domestik di negara-negara berkembang (agar mereka punya industri manufaktur sendiri), melalui proses yang dikenal sebagai strategi industrialisasi substitusi impor (lihat uraiannya pada Bab 13).

(hlm. 19)
Harga tekstil menurun dengan tajam, begitu juga dengan harga barang-barang elektronik berteknologi rendah.

Teori Tradisional tentang Perdagangan Internasional

Keunggulan Komparatif
Mengapa manusia berdagang? Pada dasarnya, perdagangan berlangsung karena hal itu memang menguntungkan. Setiap orang memiliki kemampuan atau sumber daya yang bervariasi dan berbeda satu sama lain serta keinginan untuk mengonsumsi barang dalam proporsi yang berbeda satu sama lain.

(hlm. 21)
Prinsip keunggulan komparatif (the principle of comparative advantage) menegaskan bahwa suatu negara yang berada dalam kondisi persaingan, akan (harus) berspesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor jenis-jenis barang yang biaya relatifnya (relative cost) paling rendah.

Kelimpahan Faktor (Produksi) Relatif dan Spesialisasi Internasional: Model Neoklasik
Teori klasik perdagangan bebas yang bertumpu pada konsep keunggulan komparatif tersebut pada dasarnya merupakan model yang statis karena hanya didasarkan pada satu variabel input atau faktor produksi saja (yakni, biaya tenaga kerja). Modifikasi itu sendiri dilakukan terutama untuk melibatkan perhitungan atas pengaruh perbedaan-perbedaan pasokan faktor (produksi), khususnya faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan modal, dalam spesialisasi internasional. Pemikiran yang kemudian disebut teori perdagangan kelimpahan faktor (factor-endowment trade theory) neoklasik Heckscher-Ohlin (atau proporsi variabel) juga memungkinkan kita untuk menguraikan secara analitis dampak-dampak pertumbuhan ekonomi terhadap pola-pola perdagangan, serta dampak yang ditimbulkan oleh perdagangan terhadap struktur perekonomian nasional dan selisih imbalan (hasil) dari berbagai faktor produksi.

(hlm. 23)
Selanjutnya, teori kelimpahan faktor mengemukakan bahwa negara-negara yang kaya modal akan cenderung berspesialisasi pada aneka produk yang juga bersifat padat modal, seperti mobil, pesawat terbang, peralatan komunikasi yang canggih, serta komputer (di sini mesin modern dan teknologi maju dikategorikan sebagai modal, jadi pengertian modal di sini tidak terbatas pada dana-dana finansial semata) dibandingkan dengan yang padat karya.

Teori ini, yang memainkan peranan menonjol dalam khasanah kepustakaan awal di bidang perdagangan dan pembangunan, secara langsung atau tidak langsung telah mendorong banyak negara-negara berkembang untuk memfokuskan pengembangan aneka komoditi primer yang padat tanah dan padat karya sebagai andalan ekspor.

(hlm. 26)
Kesimpulan pokok yang lantas ditarik oleh model perdagangan bebas neoklasik adalah bahwa semua negara akan diuntungkan seandainya mereka mau melibatkan diri dalam perdagangan internasional; selain itu, kegiatan perdagangan tersebut juga bermanfaat dalam memperbesar total output dunia.

(hlm. 27)
Dengan demikian, teori kelimpahan faktor neoklasik ini berhasil mengajukan sebuah prediksi penting, yakni bahwa tingkat upah riil dan biaya modal internasional secara bertahap cenderung akan sama di semua negara.

(hlm. 29)
Kritik-kritik terhadap Teori Perdagangan Bebas Tradisional atas Dasar Pengalaman Nyata Negara-negara Dunia Ketiga
Keenam asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Segenap faktor produksi atau sumber-sumber daya produktif yang ada di setiap negara dianggap baku dan konstan (jadi, dianggap sama sekali tidak berubah-ubah baik kualitas maupun kuantitasnya).
  2. Teknologi-teknologi produksi dinyatakan baku (khususnya menurut model klasik) atau relatif seragam di semua negara, tersedia bebas untuk semua negara (khususnya menurut model kelimpahan faktor).
  3. Dalam lingkup domestik, segenap sumber daya atau faktor-faktor produksi yang ada bebas bergerak dari satu kegiatan produksi ke kegiatan-kegiatan produksi yang lain.
  4. Pemerintah nasional sama sekali tidak melakukan campur tangan dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional.
  5. Perdagangan akan selalu berada pada titik keseimbangan, dan itu terjadi di setiap negara pada setiap waktu.
  6. Keuntungan-keuntungan perdagangan yang diterima oleh suatu negara dengan sendirinya bisa dinikmati oleh seluruh warga atau pelaku ekonomi yang ada di negara tersebut.

Sumber Daya Baku, Penyerapan Faktor Produksi Secara Penuh, dan Immobilitas Modal dan Tenaga Kerja Terampil Secara Internasional

Pertumbuhan Sumber Daya dan Perdagangan: Model-model Utara-Selatan Mengenai Hubungan Perdagangan yang Timpang

(hlm. 32)
Sebagai alternatifnya, apa yang kemudian dikenal dengan sebutan model perdagangan Utara-Selatan (North-South trade model) ini terutama berfokus kepada hubungan-hubungan dagang antara negara-negara kaya (Utara) dan negara-negara miskin (Selatan), sementara model tradisional diasumsikan merangkum semua negara tanpa pandang bulu.

(hlm. 33)
Selanjutnya, terdapat model perdagangan baru yang patut kita simak. Model tersebut bisa digolongkan sebagai jenis model perdagangan internasional post-neoklasik. Pembahasan serta perumusan model perdagangan yang baru ini termuat dalam buku karangan Michael E. Porter yang berjudul Competitive Advantage of Nations. Perubahan fundamental yang dibuat Porter, dari rumusan teori standar, yaitu teori kelimpahan faktor neoklasik adalah penonjolan perbedaan kualitatif antara faktor-faktor produksi dasar dan lanjutan. Ia mengatakan bahwa teori perdagangan standar hanya berlaku untuk faktor-faktor produksi dasar (basic factors) seperti sumber daya fisik yang belum terolah dan tenaga kerja nonterampil. Sedangkan untuk faktor-faktor produksi lanjutan (advanced factors), yang lebih terspesialisasi dan termasuk di antaranya adalah tenaga kerja sumber daya pengetahuan seperti institusi riset milik pemerintah dan swasta, universitas, atau lembaga ilmiah swasta; serta sumber daya institusional seperti asosiasi bisnis yang tangguh, teori perdagangan standar itu sama sekali tidak berlaku. Selanjutnya, Porter menyimpulkan sebagai berikut:

Tugas utama yang harus dihadapi negara-negara Dunia Ketiga dewasa ini adalah melepaskan diri dari belenggu ketat keunggulan nasional yang hanya bertumpu pada faktor-faktor produksi dasar… seperti sumber daya alam, tenaga kerja yang murah tetapi tidak ahli, faktor lokasi, dan sebagainya, yang sebenarnya tidak bisa diandalkan untuk meningkatkan kapasitas ekspor negara yang bersangkutan… [serta] sangat rapuh terhadap gejolak kurs dan fluktuasi biaya-biaya faktor produksi. Sektor-sektor industri yang terlalu mengandalkan faktor-faktor produksi dasar itu, biasanya juga sulit berkembang, oleh karena kemajuan teknologi di berbagai perekonomian maju telah mampu menghemat pemakaian atas setiap bentuk faktor produksi dasar, sehingga sektor-sektor industri yang masih terus bersandar padanya akan kehilangan daya saingnya; lagi pula, struktur permintaan juga semakin canggih. Oleh karena itu, penciptaan serta pengembangan faktor-faktor produksi lanjutan agaknya merupakan prioritas utama.

(hlm. 34)
Pengangguran, Pemanfaatan Sumber-sumber Daya yang Tidak Optimal, serta Teori Perdagangan “Pengejaran Surplus”
Yang pertama adalah adanya penyerapan sumber daya yang kurang optimal, bisa dipandang sebagai peluang untuk mengembangkan kapasitas produktif dan GNP dengan sedikit atau tanpa biaya riil, yakni melalui penggarapan barang ekspor yang tidak dibutuhkan oleh para konsumen di dalam negeri. Argumen inilah yang kemudian dikenal sebagai teori perdagangan internasional yang menekankan pada pengejaran surplus (vent-for-surplus theory of international trade). Ekonom yang pertama kali merumuskannya adalah Adam Smith, yang kemudian dimodifikasi dalam konteks negara-negara berkembang oleh ekonom terkemuka berkebangsaan Birma (Myanmar), Hla Myint.

Teori ini menyatakan bahwa pembukaan pasar-pasar internasional bagi perekonomian atau masyarakat agraria yang semula terkucil akan menciptakan berbagai peluang, tetapi

(hlm. 36)
bukannya untuk merealokasikan sumber daya yang semuanya telah terdayagunakan secara penuh seperti yang dikemukakan oleh model-model tradisional, melainkan untuk menyerap segenap sumber daya yang semula belum termanfaatkan secara memadai, baik itu berupa sumber daya tanah maupun tenaga kerja, untuk mengembangkan sektor produksi ekspor yang khusus ditujukan untuk mengisi permintaan dari pasar-pasar di luar negeri.

Teknologi Baku yang Tersedia Secara Bebas dan Konsep Kedaulatan Konsumen

(hlm. 37)
Misalnya, diperkirakan bahwa di banyak negara berkembang, lebih dari 90 persen iklan ternyata berasal dari perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di pasar setempat.

Mobilitas Faktor Internal dan Persaingan Sempurna: Skala Hasil yang Semakin Meningkat, Persaingan Tidak Sempurna, dan Pasar-pasar yang Dikontrol

(hlm. 39)
Jadi, pendapat para penganjur perdagangan bebas bahwa skala ekonomis menentukan pola perdagangan memang terbukti, hanya saja hal itu bersifat negatif. Skala ekonomis raksasa membuka peluang bagi adanya kontrol monopolistik atau oligopolistik di sisi penawaran pasar-pasar dunia (hal yang sama juga berlaku di pasar-pasar domestik), dan ini bisa terjadi pada semua jenis produk.

(hlm. 40)
Tidak Adanya Kiprah Pemerintah dalam Hubungan-hubungan Perdagangan
Keberhasilan ekspor spektakuler yang dialami oleh Jepang serta, baru-baru ini, Korea Selatan dan Taiwan, banyak bertumpu pada kejelian,

(hlm. 41)
bantuan, dan dukungan pemerintahnya dalam menyusun perencanaan ekonomi dan mempromosikan sektor-sektor industri ekspor pilihan sebagai pilar perekonomian mereka.

Pemerintah sendiri masih memiliki banyak instrumen perdagangan atau kebijakan-kebijakan komersial lainnya yang secara efektif dapat mempengaruhi perdagangan antar-bangsa, yakni mulai dari kebijakan tarif (tariffs), pemberlakuan kuota (quotas) impor, subsidi (subsidies) ekspor, dan sebagainya.

(hlm. 42)
Inti pemikiran yang hendak disampaikan di sini sebenarnya sederhana saja. Yakni bahwasanya teori-teori perdagangan tradisional selama ini telah mengabaikan peranan pemerintah yang sesungguhnya sangat penting dalam arena ekonomi internasional.

(hlm. 45)
Beberapa Kesimpulan Mengenai Perdagangan dan Pembangunan Ekonomi: Keterbatasan Teori

(hlm. 47)
Jawaban bagi pertanyaan dasar keempat—yakni, apakah negara-negara berkembang bisa turut menentukan seberapa banyak mereka harus berdagang—dapat dikatakan bersifat spekulatif. Bagi kebanyakan negara-negara berkembang yang relatif kecil serta miskin, pilihan untuk tidak berdagang sama sekali (yakni, dengan menutup hubungan ekonomisnya dengan negara-negara lain), bukan merupakan suatu pilihan yang realistis, terlepas dari setimpang apa pun perdagangan itu bagi mereka.

(hlm. 49)
Memang ada segelintir negara-negara berkembang yang berhasil mencapai kemakmuran dalam kerangka atau rezim perdagangan global yang ada (yang kemudian menjadi negara-negara industri baru), tetapi yang dirugikan jauh lebih banyak, dan di antara mereka ini bahkan banyak yang perekonomiannya masih bergantung pada negara-negara maju.

(hlm. 51)
Studi Kasus
Perekonomian Taiwan

Catatan Belakang
18. Untuk memperoleh suatu analisis yang sangat baik mengenai peranan penting pemerintah dalam keberhasilan ekspor pasar bebas di Keempat Macan Asia, lihatlah karya Stephen C. Smith, Industrial Policy in Developing Countries: Reconsidering the Real Sources of Export-Led Growth (Washington D.C.: Economic Policy Institute, 1991); serta Robert Wade, Governing the Market: Economic Theory and the Role of Government in East Asian Industrialization (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1990).

(hlm. 60)
13
Perdebatan Tentang Kebijakan Perdagangan:
Promosi Ekspor, Substitusi Impor, dan Integrasi Ekonomi

(hlm. 61)
Strategi-strategi Perdagangan bagi Kepentingan Pembangunan: Strategi Promosi Ekspor versus Strategi Substitusi Impor
Menurut rumusan Paul Streeten, kebijakan-kebijakan pembangunan yang berorientasi ke luar (outward-looking development policies) adalah suatu rangkaian kebijakan yang “tidak hanya mendorong berlangsungnya perdagangan bebas tetapi juga memungkinkan pergerakan secara bebas atas faktor-faktor produksi modal, tenaga kerja, perusahaan-perusahaan dan para pelajar…, perusahaan-perusahaan multinasional, dan suatu sistem komunikasi yang terbuka”. Sebaliknya, strategi atau kebijakan-kebijakan pembangunan yang berorientasi ke dalam (inward-looking development policies) jauh lebih menekankan pada pentingnya usaha-usaha negara-negara berkembang untuk menciptakan suatu pendekatan pembangunan mandiri yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi pembangunannya agar mereka lebih mampu mengendalikan atau menentukan nasibnya sendiri.

(hlm. 62)
Dalam praktiknya, perbedaan antara kedua strategi tersebut (IS dan EP) sesungguhnya tidak begitu jelas, dan jauh lebih kecil daripada yang banyak dikatakan oleh para pendukungnya.

(hlm. 63)
Negara-negara berkembang yang paling awal menganut strategi promosi ekspor ini antara lain adalah Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong yang kini sudah berhasil menjadi pengekspor terkemuka kelas dunia.

Promosi Ekspor: Berorientasi ke Luar dan Menghadapi Hambatan-hambatan Perdagangan

Pengembangan Ekspor Komoditi Primer: Permintaan Terbatas, Pasar Terus Menyusut

(hlm. 65)
Salah satu cara yang digunakan secara luas untuk mengubah kecenderungan menurunnya harga produk-produk primer secara relatif terhadap barang-barang dagangan internasional lainnya adalah dengan mengadakan perjanjian komoditi internasional (international commodity agreements).

(hlm. 66)
Barang-barang substitusi sintetis (synthetic substitutes) bagi berbagai macam komoditi primer seperti kapas, karet, sisal, jute, kulit, dan bahkan tembaga, yang jauh lebih murah daripada aslinya itu jelas sangat menghambat terciptanya harga komoditi yang lebih tinggi dan merupakan saingan berat bagi produk asli di pasar ekspor dunia.

Contoh yang lebih memprihatinkan adalah kebijakan Uni Eropa untuk menjual daging sapi berharga murah (karena disubsidi) ke sejumlah negara di Afrika Barat dengan kedok “bantuan ekonomi”. Tujuannya ternyata adalah untuk menciptakan pasar bagi para peternak mereka sendiri, sementara itu para peternak dan pedagang sapi lokal di negara-negara

(hlm. 67)
Afrika Barat bangkrut karena tidak bisa menyaingi harga daging impor yang murah akibat rekayasa pemerintah negara-negara asalnya.

Pengembangan Ekspor Produk-produk Manufaktur: Sedikit Hasil, Setumpuk Hambatan

(hlm. 68)
Di Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura (seperti halnya Jepang di masa sebelumnya), penentuan tingkat produksi ekspor serta komposisinya tidak diserahkan kepada mekanisme pasar, melainkan direncanakan secara cermat dan langsung oleh pemerintahnya.

(hlm. 70)
Substitusi Impor: Berorientasi ke Dalam tetapi Masih Memandang ke Luar
Meskipun biaya-biaya produksi awal mungkin lebih tinggi daripada harga impor, akan tetapi alasan-alasan ekonomi yang dijadikan landasan bagi pembangunan pabrik-pabrik yang menghasilkan barang substitusi impor itu adalah bahwa pada akhirnya industri tersebut akan membuahkan keuntungan setelah berproduksi pada skala besar sehingga biaya-biaya lebih murah. Inilah yang biasanya disebut dengan argumen industri bayi (infant industry), yang dalam perkembangan selanjutnya diselewengkan oleh para pelakunya dengan terus saja meminta

(hlm. 71)
proteksi dari pihak pemerintah, antara lain dalam bentuk tarif sekadar untuk menumpuk keuntungan sendiri dan menghindarkan diri dari tekanan-tekanan persaingan.

Argumen Tarif, Industri Bayi, dan Teori Proteksi

Salah satu mekanisme pokok dalam strategi substitusi impor adalah pemberlakuan tarif (tariff) protektif (berupa pajak atau bea masuk untuk setiap produk impor) atau kuota (quota) (pembatasan jumlah atau volume produk untuk setiap kurun waktu tertentu) pada industri substitusi impor yang akan dioperasikan.

(hlm. 73)
Para konsumen domestik harus membayar harga yang lebih tinggi. Oleh karena itu, kuantitas permintaan mereka pun menurun dari Q3 menjadi Q5.

(hlm. 74)
Strategi Industrialisasi Substitusi Impor dan Hasil-hasilnya
Sebagian besar pengamat sependapat bahwa penerapan strategi industrialisasi substitusi impor di sejumlah besar negara-negara berkembang, terutama di negara-negara Amerika Latin, telah menunjukkan ketidakberhasilannya. Dampak negatif yang pertama, kedua,

Dampak negatif yang ketiga, keempat,

(hlm. 75)
Dampak kelima, dan yang terakhir. Banyaknya industri bayi yang tidak pernah tumbuh, karena terus bersembunyi di belakang proteksi tarif dan adanya keengganan pemerintah untuk memaksa mereka menjadi lebih kompetitif dengan cara menurunkan tarif.

(hlm. 77)
Ternyata memang sulit untuk mencari logika yang benar-benar rasional dan kuat bagi diterapkannya pola strategi industrialisasi substitusi impor yang pada kenyataannya telah dipromosikan dan diimplementasikan secara luas di banyak negara, baik itu yang berlangsung secara sadar maupun tidak.

Struktur Tarif dan Proteksi Efektif

(hlm. 79)
Tabel 13-2
Tingkat Proteksi Efektif di Sejumlah Negara-negara Berkembang

NegaraRata-rata Tingkat Proteksi Efektif (%)
Singapura22
Korea Selatan-1

(hlm. 81)

  1. Pungutan pajak dari transaksi-transaksi perdagangan internasional merupakan sumber penghasilan utama bagi pemerintah dari sebagian negara-negara berkembang, karena hal itu merupakan bentuk pajak yang mudah dikenakan, bahkan sangat mudah dikumpulkan.
  2. Larangan impor merupakan salah satu bentuk tanggapan atau reaksi terhadap kronisnya keseimbangan neraca pembayaran dan masalah utang.
  3. Proteksi terhadap barang-barang impor merupakan salah satu cara yang paling tepat dalam rangka menumbuhkan skala ekonomis, eksternalitas positif, serta kemandirian industri dan menanggulangi masalah ketergantungan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya.
  4. Akhirnya, dengan melaksanakan pembatasan impor, maka negara-negara berkembang dapat lebih menentukan kondisi dan masa depan perekonomiannya sendiri sambil mendorong para pengusaha asing untuk menanamkan modalnya secara langsung pada sektor-sektor industri substitusi impor di dalam negeri agar menghasilkan keuntungan yang lebih banyak, sehingga dengan demikian meningkatkan potensi tabungan domestik dan pertumbuhan ekonomi di masa-masa yang akan datang.

Nilai Tukar, Pengawasan Devisa, dan Keputusan Devaluasi

(hlm. 83)
Piranti penjatahan seperti itu biasa disebut dengan pengawasan devisa (exchange control). Kebijakan ini sangat luas digunakan di negara-negara Dunia Ketiga dan mungkin merupakan mekanisme keuangan utama yang mereka gunakan dalam rangka mempertahankan kecukupan jumlah cadangan devisa pada tingkat nilai tukar resmi (yang berlebihan itu) yang berlaku, walaupun untuk sekarang-sekarang ini kebijakan tersebut menjadi jarang digunakan.

(hlm. 85)
Devaluasi (devaluation) terhadap mata uang suatu negara adalah penetapan nilai tukar yang lebih rendah bagi mata uang tersebut terhadap valuta-valuta asing secara mendadak lewat keputusan pemerintah. Sebaliknya, depresiasi (depreciation) adalah penurunan daya beli mata uang domestik secara bertahap di pasar luar negeri relatif jika dibandingkan di pasar domestik. Lawan katanya adalah apresiasi (appreciation), yakni peningkatan daya beli mata uang domestik secara bertahap.

(hlm. 87)
Rangkuman dan Kesimpulan: Pendukung dan Penentang Perdagangan Bebas

(hlm. 88)
Argumen-argumen Para Pengecam Perdagangan Bebas
Para pengecam perdagangan cenderung memusatkan perhatian utamanya kepada tiga tema dasar, yakni: (1) terbatasnya laju pertumbuhan atas permintaan dunia terhadap ekspor primer dari negara-negara Dunia Ketiga; (2) kemerosotan dasar-dasar perdagangan atau nilai tukar perdagangan secara sepihak yang diderita oleh negara-negara berkembang penghasil komoditi primer; serta (3) terus meningkatnya “proteksionisme baru” (new protectionism) di kalangan negara-negara maju terhadap ekspor produk manufaktur dan produk-produk pertanian olahan dari negara-negara berkembang.

(hlm. 89)
Argumen-argumen Para Pendukung Perdagangan Bebas
Pendapat ini sendiri mereka lontarkan berdasarkan pada keyakinan dasar yang mereka anut, yakni bahwa pada hakikatnya perdagangan itu mengandung sejumlah keuntungan sebagai berikut:

  1. Perdagangan bebas meningkatkan persaingan, memperbaiki alokasi segenap sumber daya serta menciptakan skala ekonomis di bidang-bidang atau sektor-sektor ekonomi di mana negara-negara berkembang memiliki keunggulan komparatif. Sebagai konsekuensinya, perdagangan bebas akan dapat menurunkan biaya-biaya produksi pada umumnya.
  2. Perdagangan bebas menimbulkan tekanan-tekanan yang mengarah pada peningkatan efisiensi, perbaikan kualitas produk, serta menyempurnakan mutu teknologi-teknologi produksi. Semuanya ini akan meningkatkan produktivitas faktor-faktor produksi (input) sehingga akan semakin menghemat biaya-biaya produksi.
  3. Perdagangan bebas memacu pertumbuhan ekonomi, menaikkan nilai laba dan mempromosikan peningkatan tabungan serta investasi yang kemudian semakin memacu pertumbuhan di masa-masa selanjutnya.

(hlm. 90)
4. Perdagangan bebas akan menarik masuk modal, keahlian, dan teknologi dari luar negeri, yang kesemuanya itu merupakan sumber-sumber daya yang sangat dibutuhkan, tetapi sangat langka di negara-negara berkembang.
5. Perdagangan bebas mendatangkan devisa yang kemudian bisa digunakan untuk keperluan impor; misalnya, impor bahan pangan bila suatu saat negara yang bersangkutan mengalami masa-masa paceklik akibat musim kering yang berkepanjangan atau terjadinya bencana alam.
6. Perdagangan bebas cenderung menghapuskan setiap distorsi harga yang mahal yang diakibatkan oleh intervensi pemerintah yang salah arah, baik itu di pasar ekspor maupun pasar valuta asing, serta menyempurnakan alokasi pasar yang akan mengikis praktik-praktik korupsi dan perburuan rente nonproduktif yang seringkali timbul sebagai akibat dari intervensi pemerintah yang terlalu aktif.
7. Perdagangan bebas meningkatkan pemerataan untuk mendapatkan akses ke setiap sumber daya yang langka, serta memperbaiki kualitas alokasi sumber daya secara keseluruhan.
8. Perdagangan bebas memungkinkan negara-negara berkembang untuk mengambil keuntungan penuh dari reformasi yang dilakukan oleh WTO.

Upaya Mempertemukan Kedua Kubu Argumen: Data dan Konsensus

Jadi, tatkala perekonomian global tengah mengalami perkembangan yang pesat, seperti yang terjadi pada periode antara tahun 1960 hingga tahun 1973, negara-negara berkembang yang perekonomiannya lebih terbuka (lebih aktif terlibat dalam kegiatan perdagangan internasional memang lebih berhasil dan lebih banyak meraup keuntungan daripada rekan-rekannya yang perekonomiannya relatif tertutup. Untuk periode ini, sebagian besar pendapat kaum pendukung perdagangan bebas memang banyak terbukti. Namun, ketika perekonomian dunia mengalami kemerosotan tajam seperti yang berlangsung selama periode antara tahun 1973 hingga tahun 1977, maka perekonomian negara-negara berkembang yang lebih terbuka (kecuali keempat negara industri baru Asia) benar-benar mengalami masa yang sulit.

(hlm. 91)
Untuk periode ini, pendapat kaum penentang perdagangan bebas lebih terasakan kebenarannya.

(hlm. 93)
Perdagangan Selatan-selatan dan Integrasi Ekonomi di Antara Negara-negara Dunia Ketiga: Penetapan Orientasi ke Luar Sekaligus ke Dalam

(hlm. 97)
Blok-blok Perdagangan Regional dan Globalisasi Perdagangan
Kegagalan dan runtuhnya Masyarakat Afrika Timur (East African Community) pada dekade 1970-an menunjukkan secara jelas betapa konflik politik dan ideologi selalu menjadi ancaman—dalam kasus ini di antaranya Kenya, Tanzania, dan Uganda—karena pengaruhnya bisa melampaui logika-logika ekonomi yang terkandung dalam prinsip kerjasama regional.

(hlm. 107)
Studi Kasus
Perekonomian Korea Selatan

Sumbangan sektor pertanian bagi GDP: 5 persen (data tahun 2000)
Jika seseorang diminta untuk menyebutkan contoh yang sangat sukses tentang bagaimana perdagangan internasional dapat mentransformasikan suatu negara terbelakang dari kondisi kemiskinan yang meluas ke keadaan yang memiliki status berpendapatan-tinggi dalam waktu satu generasi, jawabannya pasti Korea Selatan.

(hlm. 108)
Korea Utara dianugerahi sumber daya alam yang lebih kaya. Sebagian besar sumber mineral berharga dan pembangkit listrik tenaga air, serta berbagai macam sarana infrastruktur industri berat yang dibangun Jepang selama periode penjajahannya ada di wilayah Korea Utara.
Atas dasar alasan-alasan itu maka Korea Selatan mengawali periode pasca perang dengan pendapatan nasional bruto per kapita yang jauh lebih rendah dari saudaranya di Utara.
Bantuan itu telah dihentikan sejak tahun 1980.

(hlm. 109)
Oleh sebab itu, hanya dalam waktu dua dasawarsa, GNP per kapita Korea Selatan dapat melonjak sebanyak dua puluh kali lipat. GNP per kapita Korea Selatan, yang pada tahun 1963 baru mencapai US$100, kini lebih dari US$10.000.

(hlm. 117)
14
Neraca Pembayaran, Utang Negara-negara Dunia Ketiga, dan Kontroversi Stabilitas Makroekonomi

(hlm. 118)
Neraca Pembayaran
Tinjauan Umum
Sebuah tabel neraca pembayaran dirancang untuk merangkum transaksi finansial penduduk (pelaku ekonomi secara keseluruhan, termasuk pemerintah) dari suatu negara dengan penduduk atau pelaku ekonomi dari negara-negara lain. Komponen pertama dari neraca pembayaran adalah neraca transaksi berjalan (current account), yaitu sebuah neraca yang berfokus pada transaksi ekspor dan impor (barang maupun jasa), pendapatan investasi, pembayaran cicilan dan pokok utang luar negeri, serta saldo kiriman dan transfer uang dari dan ke luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun kalangan swasta (individual).

(hlm. 119)
Tabel 14-1
Skema Neraca Pembayaran

Komponen Neraca PembayaranRumus
Total saldo neraca transaksi berjalanA – B + C – D + E
Total saldo neraca transaksi modalG + H – I – J

Selanjutnya, komponen neraca pembayaran kedua adalah neraca modal (capital account), mencatat antara lain nilai investasi pihak swasta asing secara langsung (foreign direct investment), terutama yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, pinjaman luar negeri yang diberikan oleh perbankan swasta internasional, serta pinjaman dan hibah dari pemerintah negara-negara lain (dalam bentuk bantuan luar negeri), serta dari lembaga-lembaga donor multilateral seperti halnya IMF dan Bank Dunia. Arus masuk dari dana-dana luar negeri itu kemudian dikurangi oleh suatu jenis transaksi yang sangat besar nilainya, terutama bagi berbagai negara pengutang terbesar di Amerika Latin dan Afrika.

(hlm. 120)
Komponen ketiga dan yang terakhir dari neraca pembayaran adalah neraca tunai (cash account) atau lebih sering disebut sebagai neraca cadangan internasional (international reserve account), yakni transaksi L dalam Tabel 14-1. Pada dasarnya, komponen ini hanya merupakan transaksi penyeimbang (sama halnya dengan transaksi M, yakni suatu transaksi yang mencatat kesalahan dan penghapusan, guna mengakomodasikan selisih-selisih statistik; bedanya, transaksi L melibatkan perubahan kekayaan, sedangkan transaksi M sekedar perubahan angka-angka di atas kertas) yang angkanya menjadi lebih kecil atau diturunkan (menunjukkan terjadinya arus keluar neto atas cadangan internasional dari negara yang bersangkutan) apabila total pengeluaran pada neraca transaksi berjalan dan neraca modal melebihi total penerimaannya.

(hlm. 121)
Sebuah Ilustrasi Hipotesis: Defisit dan Utang
Tabel 14-3
Tabel Neraca Pembayaran Hipotesis untuk Sebuah Negara Berkembang

Pos/NeracaJumlah (US$ juta)
Saldo Neraca Transaksi Berjalan-27
Saldo Neraca Transaksi Berjalan dan Neraca Modal-25
Saldo Neraca Tunai+25

(hlm. 123)
Kembali ke Tabel 14-3, kita lihat bahwa alasan utama mengalirnya dana-dana modal dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya adalah tingginya tingkat pelarian modal.

(hlm. 128)
Krisis Utang pada Dekade 1980-an
Latar Belakang dan Analisis

(hlm. 130)
Namun, masalah serius muncul ketika (1) akumulasi utang itu menjadi begitu besar sehingga tingkat kenaikannya, atau d, mulai turun sehubungan dengan meningkatnya rasio amortisasi (pelunasan bertahap) relatif terhadap tingkat arus masuk pinjaman baru; (2) sifat dan syarat pinjaman itu berubah, yakni dari pinjaman resmi berbunga rendah dan baku dengan masa pengembalian yang panjang menjadi pinjaman komersial berbunga tinggi, bersifat variabel (bisa berubah mengikuti bunga di pasar) dengan masa pengembalian yang relatif singkat, sehingga r pun cenderung meningkat; (3) pendapatan ekspor (sumber valuta asing untuk membayar kembali utang luar negeri) terus mengalami tukar perdagangannya, sehingga mengguncangkan posisi neraca pembayaran negara pengutang; (4) terjadi resesi global serta gejolak-gejolak eksternal berskala besar lainnya seperti lonjakan harga minyak, lonjakan suku bunga di Amerika Serikat yang menjadi dasar penetapan suku bunga utang-utang internasional, atau berlangsungnya perubahan mendadak atas nilai dolar Amerika Serikat yang menjadi satuan hitung (denominasi) sebagian besar utang luar negeri; (5) kepercayaan kreditor terhadap kemampuan membayar kembali negara-negara berkembang berkurang akibat terjadinya faktor (2), (3), dan (4), sehingga bank-bank internasional memotong arus pinjaman baru; serta, mungkin ini yang paling penting (6) sebagian penduduk domestik di negara-negara Dunia Ketiga melarikan dan memarkir dananya ke luar negeri (capital flight) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi atau politik mereka sendiri (misalnya, mereka khawatir pemerintahnya akan melakukan devaluasi), karena mereka merasa kondisi negaranya sendiri kurang aman, golongan masyarakat yang berada itu melarikan hartanya ke negara-negara maju untuk didepositokan pada bank-bank di luar negeri atau diinvestasikan ke dalam saham-saham atau obligasi perusahaan-perusahaan asing, atau berupa real estate dan aset-aset lainnya di luar negeri.

(hlm. 132)
Tabel 14-7
Utang dan Angsuran Utang di 20 Negara Pengutang Kelas Berat, 1999

NegaraUtang yang Belum Dilunasi (dalam US$ miliar)Angsuran Utang (Persentase dari GNI)Persentase dari EksporRasio Utang Terhadap GNI (%)Rasio Utang Terhadap Ekspor (%)
Indonesia150,013,530,3113255

(hlm. 135)
Dihadapkan pada situasi-situasi krisis seperti itu, negara-negara Dunia Ketiga memiliki dua pilihan kebijakan untuk mengatasinya. Yang pertama, mereka dapat membendung impor serta menerapkan kebijakan-kebijakan fiskal dan moneter yang serba restriktif, yang risikonya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan tidak terjangkaunya target-target pembangunan mereka. Pilihan yang kedua adalah, mereka menarik utang lebih banyak lagi untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan yang semakin besar itu.

(hlm. 137)
Upaya Penanggulangan: Instabilitas Makroekonomi, Kebijakan-kebijakan Stabilisasi IMF, serta Berbagai Kelemahannya
Program Stabilisasi IMF
Salah satu rangkaian kegiatan yang terpaksa ditempuh oleh suatu negara dalam rangka menanggulangi berbagai macam masalah pelik yang bersumber dari instabilitas makroekonomi (macroeconomic instability)—yakni, lonjakan inflasi domestik yang dibarengi pula dengan anggaran pemerintah yang memburuk dan defisit neraca pembayaran—yang acapkali masih diperparah lagi oleh tekanan-tekanan beban utang, adalah pelaksanaan renegosiasi dengan bank-bank swasta internasional.
Pada dasarnya terdapat empat komponen dasar yang terkandung dalam program stabilisasi IMF, yakni:

  1. Penghapusan atau liberasi atas kontrol pihak pemerintah terhadap lalu lintas devisa dan impor.
  2. Devaluasi nilai tukar resmi mata uang domestik negara-negara berkembang yang seringkali terlalu tinggi (overvalued).
  3. Pemberlakuan program-program anti-inflasi domestik serba ketat yang terdiri dari (a) kontrol terhadap arus kredit perbankan dalam rangka meningkatkan suku bunga dan memperketat syarat-syarat volume cadangan (reserve requirements), yakni sebagian dana yang harus disimpan di bank sentral sebelum suatu bank komersial dapat melemparkan kredit kepada nasabahnya; (b) kontrol terhadap defisit anggaran sosial bagi penduduk miskin, subsidi bahan pangan yang biasanya disertai dengan upaya-upaya peningkatan pajak, dan harga-harga produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan milik pemerintah; (c) kontrol terhadap kenaikan tingkat upah secara keseluruhan (agregat) guna memastikan bahwa tingkat upah tersebut tidak melebihi tingkat inflasi (misalnya dengan cara menghapuskan indeks upah); serta (d) menghilangkan berbagai bentuk kontrol harga serta mempromosikan beroperasinya mekanisme pasar yang lebih bebas.
  4. Peningkatan upaya untuk menarik dana investasi asing dan pembukaan perekonomian terhadap hubungan-hubungan komersial internasional.

(hlm. 141)
Strategi untuk Melepaskan Diri dari Utang
Banyak usulan yang telah diajukan untuk meringankan atau merenegosiasi beban utang negara-negara pengutang terbesar. Usulan itu sendiri sangat bervariasi, yakni mulai dari alokasi baru sejumlah DR sampai dengan program restrukturisasi (restructuring)—dengan persyaratan utang yang lebih memihak negara-negara berkembang,—atas pembayaran pokok pinjaman yang telah terlanjur jatuh tempo selama periode konsolidasi selama kurun waktu tertentu. Usulan terkenal lainnya yang dikenal sebagai Rencana Brady (Brady Plan) yang dilontarkan oleh Menteri Keuangan Amerika Serikat, Nicholas Brady, pada tahun 1989, mencantumkan sebuah klausul baru guna meredam potensi kerugian bagi bank-bank komersial. Usulan lain berikutnya adalah apa yang dikenal sebagai pertukaran utang-untuk-modal (debt-for-equity swap). Mekanisme ini meliputi penjualan surat-surat promes dari pemerintahan negara-negara berkembang—yang merupakan dokumen pinjaman komersial negara-negara berkembang—kepada investor swasta (sebagian besar adalah perusahaan-perusahaan asing) dengan potongan harga lebih dari 50 persen dalam pasar-pasar perdagangan sekunder. Perusahaan-perusahaan itu kemudian memperdagangkan surat promes negara-negara debitor tersebut untuk mendapatkan aset lokal yang dimiliki negara, seperti perusahaan peleburan baja atau perusahaan telekomunikasi. Bank-bank komersial sekarang lebih bersedia untuk melibatkan diri dalam transaksi-transaksi seperti ini karena penafsiran dan aturan perbankan yang baru di Amerika Serikat memungkinkan mereka untuk mencatat penghapusan utang itu sebagai biaya sehingga akan mengurangi kewajiban pajak mereka tanpa harus mengurangi nilai buku dari utang-utang lainnya yang dimiliki oleh negara tersebut.

(hlm. 142)
Pengaturan baru yang cukup menarik tetapi belum banyak diterapkan adalah pertukaran utang untuk lingkungan (debt-for-nature swap).
Yang lebih penting lagi, dengan tidak adanya ancaman penghapusan utang eksternal secara sepihak oleh pemerintahan negara-negara berkembang atau repudiasi utang (debt repudiation)—suatu kebijakan yang pasti merugikan pihak peminjam maupun pihak pemberi pinjaman dalam jangka pendek dan jangka panjang—maka selama itu pula sebagian besar usulan tersebut (kecuali pertukaran utang lingkungan) tidak akan mampu mengatasi masalah utang melainkan hanya menundanya saja; suatu saat masalah utang internasional tersebut akan muncul kembali dan menimbulkan krisis keuangan baru yang mungkin saja akan lebih kompleks, lebih berat, dan jauh lebih sulit diatasi daripada krisis yang sudah-sudah.

(hlm. 147)
Studi Kasus
Perekonomian Venezuela

(hlm. 148)
Venezuela terletak di posisi yang sangat strategis. Wilayahnya merupakan titik silang jalur udara dan laut antara bagian utara dan selatan Belahan Dunia Barat. Venezuela memiliki tepian pantai yang sangat panjang, yakni mencapai 2.816 kilometer, di tepi laut Karibia dan Samudera Atlantik. Dan 4 dari 5 orang Venezuela tinggal di ibu kota Caracas.

(hlm. 154)
Lampiran 14-1
Sejarah dan Analisis Singkat mengenai Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank)

Dana Moneter Internasional
Para peserta konferensi Bretton Woods menetapkan sistem nilai tukar baku di mana setiap negara diwajibkan untuk membakukan nilai tukar mata uangnya secara relatif terhadap nilai dolar Amerika Serikat, yang pada saat itu merupakan satu-satunya mata uang yang konvertibel secara langsung terhadap emas pada paritas US$35 per ons emas.

(hlm. 156)
Pada tahun 1982, total utang luar negeri negara-negara berkembang non pengekspor minyak mencapai sekitar US$600 miliar, dan lebih dari separuhnya merupakan utang komersial (berbunga tinggi dan relatif berjangka pendek).

(hlm. 157)
Bank Dunia
Pinjaman yang ditawarkan IDA biasanya lebih bersifat konsesional dan lebih ringan persyaratannya. Bantuan ini diutamakan bagi negara-negara yang pendapatan per kapitanya di bawah tingkatan kritis. Kemudahan syarat pelunasan kembali kredit dari IDA itu meliputi pola periode pembayaran yang lebih lama daripada pinjaman IBRD dan bunganya nol.
Secara bersama-sama IBRD dan IDA itulah yang kita kenal sebagai Bank Dunia.

(hlm. 158)
Perubahan Peran
Bank Dunia diharapkan akan menangani berbagai macam investasi yang akan memacu pertumbuhan makroekonomi (yang pada gilirannya memberi pengaruh positif terhadap perdagangan internasional), namun pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Bank Dunia itu lebih bersifat makroekonomi, dan hal tersebut selanjutnya masih terus berlangsung sampai dekade 1970-an.

(hlm. 159)
Kerja Sama Antara IMF dan Bank Dunia
Jadi, sementara IMF bertanggung jawab atas usaha penyeimbangan neraca eksternal melalui program penyesuaian makroekonomi, maka Bank Dunia bertugas menangani produk domestik melalui kebijakan mikroekonomi.

(hlm. 164)
15
Keuangan, Investasi, dan Bantuan Luar Negeri:
Kontroversi dan Peluang

(hlm. 165)
Penanaman Modal Asing Swasta Secara Langsung dan Perusahaan-perusahaan Multinasional
Selama beberapa dasawarsa terakhir ini, bisa dikatakan tidak ada pihak atau lembaga lain yang mampu menyamai peranan, arti penting, dan pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional (multinational corporations/MC) dalam pertumbuhan perdagangan internasional dan arus-arus permodalan global yang telah tumbuh sedemikian pesatnya.
Pertumbuhan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment/FDI) yang dilakukan oleh pihak swasta—yakni, yang dana-dana investasinya langsung digunakan untuk menjalankan kegiatan bisnis atau mengadakan alat-alat atau fasilitas produksi seperti membeli lahan, membuka pabrik-pabrik, mendatangkan mesin-mesin, membeli bahan baku, dan sebagainya (istilah ini sengaja dimunculkan untuk membedakannya dari investasi portofolio, di mana dana-dana investasinya tidak secara langsung digunakan untuk kegiatan bisnis, yakni digunakan untuk membeli saham, obligasi, dan surat berharga lainnya)—

(hlm. 166)
Di negara-negara Dunia Ketiga telah berlangsung sangat cepat selama beberapa dasawarsa terakhir.
Kita harus menyadari bahwa perusahaan-perusahaan multinasional tidak tertarik untuk menunjang usaha pembangunan suatu negara. Perhatian mereka hanya tertuju kepada upaya maksimalisasi keuntungan atau tingkat hasil finansial atas setiap sen modal yang mereka tanamkan.

Tabel 15-1
Penanaman Modal Asing secara Langsung (FDI) di Negara-negara Berkembang, 1970-1999, dan Para Penerima Utama, 1997

TahunTotal FDI Neto (dalam US$ miliar)Negara PenerimaPersentase dari total FDI yang diterima negara-negara berkembang
19703,1Cina21
1999185,4Cili5

(hlm. 167)
Itulah sebabnya mengapa lebih dari 90 persen dana investasi asing swasta (perusahaan dan perbankan internasional, khususnya dari perusahaan-perusahaan multinasional) selama ini mengalir ke negara-negara industri maju dan sebagian negara-negara berkembang yang perekonomiannya paling dinamis dan pertumbuhannya relatif pesat.
Pada umumnya, perusahaan-perusahaan multinasional itu relatif sedikit mempekerjakan tenaga kerja setempat yang sebenarnya berkembang dengan sangat cepat.

Perusahaan-perusahaan Multinasional: Ukuran, Pola, dan Kecenderungan (Tren)
Sejumlah 350 perusahaan multinasional terbesar di dunia, sekarang ini mengendalikan lebih dari 40 persen aktivitas perdagangan dunia dan mendominasi produksi, distribusi, dan penjualan dari aneka komoditi dagang di negara-negara berkembang (tembakau, barang-barang elektronik, sepatu, pakaian, dan sebagainya).

(hlm. 170)
Penanaman Modal Swasta Asing: Beberapa Pendapat Pro dan Kontra Mengenai Kehadiran Serta Peranannya dalam Pembangunan
Argumen-argumen Ekonomi Tradisional yang Mendukung Penanaman Modal Asing: Pemenuhan Kesenjangan Tabungan (Modal), Devisa, Pendapatan, dan Manajemen
Argumen yang mendukung penanaman modal asing sebagian besar berasal dari analisis teori neoklasik tradisional dan teori pertumbuhan yang baru yang memusatkan perhatiannya pada berbagai determinan (faktor-faktor penentu) pertumbuhan ekonomi.

(hlm. 172)
Argumen-argumen yang Menentang Penanaman Modal Swasta Asing: Memperlebar Kesenjangan

  1. Walaupun perusahaan-perusahaan multinasional tersebut memang menyediakan sejumlah modal, namun dalam kenyataannya mereka bisa saja justru menurunkan tingkat tabungan maupun investasi domestik di negara tuan rumah sehubungan dengan akan terciptanya aneka bentuk persaingan tidak sehat yang bersumber dari perjanjian-perjanjian produksi eksklusif antara pihak perusahaan multinasional dengan pihak pemerintah di negara tuan rumah…

(hlm. 173)
2. Walaupun dampak awal (berjangka pendek) dari penanaman modal perusahaan multinasional memang dapat memperbaiki posisi devisa negara yang menerima mereka (negara tuan rumah), tetapi dalam jangka panjang dampaknya justru negatif, yakni dapat mengurangi penghasilan devisa itu, baik dari sisi neraca transaksi berjalan maupun neraca modal.

  1. Walaupun perusahaan multinasional memang bisa memberi kontribusi bagi penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak perusahaan, tetapi dalam prakteknya nilai kontribusi tersebut jauh lebih kecil daripada seharusnya.
  2. Keterampilan dan pengalaman manajemen, semangat kewirausahaan, gagasan teknologi, dan jaringan hubungan dagang luar negeri yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ternyata tidak banyak memberi manfaat bagi pengembangan sumber daya dan keterampilan kerja yang masih tergolong langka di negara tuan rumah.

(hlm. 176)
Mempertemukan Argumen-argumen yang Pro dan yang Kontra
Pihak-pihak yang mendukung penanaman modal swasta asing biasanya merupakan pendukung keberadaan mekanisme pasar bebas, kemandirian perusahaan-perusahaan swasta, dan prinsip kebebasan berusaha (laissez-faire) yang umumnya sangat mempercayai keandalan dan kegunaan mekanisme pasar bebas, yang seringkali diartikan sebagai peniadaan/penghapusan segala bentuk intervensi pemerintah negara tuan rumah.

(hlm. 177)
Tabel 15-3
Tujuh Bidang Perdebatan Pokok Mengenai Peranan dan Dampak Kehadiran Perusahaan Multinasional di Negara-negara Berkembang

Masalah Pokok
1. Pergerakan modal-modal internasional (arus pendapatan dan neraca pembayaran)
2. Tergusurnya kegiatan produksi atau unit ekonomi (perusahaan) lokal
3. Jangkauan transfer teknologi
4. Kelayakan transfer teknologi
5. Pola-pola konsumsi
6. Stratifikasi dan struktur sosial
7. Distribusi pendapatan dan pembangunan yang dualistik

(hlm. 179)
Mungkin argumen yang paling kuat yang mendukung keberadaan perusahaan-perusahaan multinasional di negara-negara berkembang adalah bahwa mereka mentransfer pengetahuan yang dimiliki oleh negara-negara maju ke negara-negara berkembang; tempat di mana perusahaan-perusahaan multinasional tersebut berada. Dani Rodrik telah melakukan suatu penelitian kepustakaan dan menyimpulkan bahwa, sejauh ini, tidak terdapat bukti atas adanya imbasan horizontal, yaitu imbasan pengetahuan dari perusahaan-perusahaan multinasional kepada produser lokal yang memproduksi jenis produk yang sama. Namun, Garrick Blalock melaporkan bukti-bukti statistik dan manajerial dari studi langsung untuk Indonesia yang mengindikasikan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional benar-benar mentransfer teknologi kepada para pemasok setempat, walaupun hanya dengan maksud agar mereka bisa mendapatkan input berkualitas tinggi dengan biaya murah. Hal ini mengungkapkan bahwa memang terdapat suatu imbasan teknologi yang signifikan, paling tidak untuk kasus Indonesia tetap ternyata imbasan yang terjadi lebih bersifat vertikal daripada horizontal.

(hlm. 180)
Investasi Portofolio Swasta: Berkah atau Musibah bagi Negara-negara Berkembang
Pada awal dekade 1990-an, tingkat hasil tahunan di bursa-bursa efek negara baru (emerging-country stock markets) tersebut sangat tinggi (pada periode antara tahun 1988 hingga tahun 1993 mencapai 39 persen untuk kawasan Amerika Latin), tetapi frekuensi dan cakupan gejolaknya juga tinggi.

(hlm. 183)
Bantuan (Pinjaman) Luar Negeri: Perdebatan Tentang Bantuan Pembangunan

(hlm. 188)
Alasan Pihak Donor Memberikan Bantuan

(hlm. 191)
Motivasi-motivasi Politik
Motivasi politik merupakan motivasi yang paling penting apabila ditinjau dari sudut pandang negara-negara pemberi bantuan, terutama bagi negara donor yang tergolong besar, seperti halnya Amerika Serikat.

(hlm. 203)
Studi Kasus
Perekonomian Indonesia

(hlm. 204)
Pada abad kelima belas, ketika Renaisans menyebar ke seluruh Eropa, Pulau Jawa dan Sumatera telah menikmati warisan kemajuan peradaban selama 1.000 tahun, dalam dua masa kekaisaran utama. Tetapi mulai tahun 1602, Belanda secara perlahan mengukuhkan dirinya sendiri sebagai penguasa terhadap seluruh kepulauan yang sekarang merupakan negara Indonesia. Selama 300 tahun pemerintahan mereka (hanya dapat diberhentikan untuk sesaat oleh pemerintahan peralihan Inggris selama periode Napoleon), Belanda berhasil membangun sebuah negara boneka Hindia-Belanda dan kemudian menjadikannya sebagai negara koloni terkaya di dunia.
Sejak Presiden Suharto mengambil alih kekuasaan, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan secara teratur, dari GNP per kapita sebesar US$70 di tahun 1967 menjadi US$1.110 di tahun 1997. Negara ini diakui sebagai perekonomian industrialisasi baru. GDP riil tumbuh rata-rata mendekati 4,6 persen selama 35 tahun terakhir.

(hlm. 205)
Pada pertengahan dekade 1980-an, pemerintah mulai menghapuskan hambatan peraturan dalam aktivitas ekonomi. Langkah ini secara langsung diarahkan pada sektor eksternal dan keuangan dan dirancang untuk merangsang pertumbuhan ekspor nonminyak dan pendapatannya, serta menghilangkan hambatan substitusi impor.

(hlm. 223)
Bagian Keempat
Kemungkinan dan Prospek

(hlm. 225)
16
Perumusan Kebijakan Pembangunan dan Peranan Negara

Apabila sejak awal kita tahu di mana kita berada, dan tahu pula ke mana arah yang akan kita tuju, maka kita dapat memutuskan dengan lebih baik apa yang seharusnya kita kerjakan, serta bagaimana kita harus melakukannya. —Abraham Lincoln

Perdagangan tampaknya hampir menjadi bagian dari sifat inheren manusia. Pemenang Nobel, Amartya Sen menegaskan bahwa secara umum, penentangan terhadap pasar hampir sama anehnya dengan penentangan terhadap percakapan. Dia mengatakan bahwa, sejumlah percakapan memang mempunyai sisi negatif bahkan bagi orang yang melakukan percakapan itu sendiri, namun hal ini tidak dapat menjadi alasan untuk menentang pemerintah secara umum. Peran pemerintah dapat membantu pemenuhan berbagai kebutuhan manusia, dan dalam banyak hal, peran pemerintah merupakan hal yang esensial dalam upaya mencapai kebutuhan tersebut.

(hlm. 227)
Mistik Perencanaan

Dalam beberapa hal, perencanaan ekonomi secara terpusat bahkan dianggap sebagai “open sesame”, yakni sebuah kata rahasia yang dapat membuka sebuah gua yang penuh berisikan harta karun alias kata ajaib yang bisa mendatangkan pemecahan atas aneka persoalan.

Hakekat Perencanaan Pembangunan
Konsep-konsep Dasar

Perencanaan ekonomi (economic planning) bisa kita artikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan secara sengaja oleh pemerintah untuk mengkoordinasikan segenap proses pembuatan keputusan ekonomi dalam jangka panjang, serta untuk mempengaruhi, mengarahkan, dan dalam beberapa kasus tertentu, juga untuk mengendalikan tingkat dan pertumbuhan variabel-variabel ekonomi pokok dari suatu negara (pendapatan, konsumsi, penyerapan tenaga kerja, investasi, tabungan, ekspor, impor, dan sebagainya) demi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun yang disebut sebagai rencana ekonomi (economic plan) pada dasarnya adalah serangkaian target ekonomi kuantitatif yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu, dengan menerapkan strategi yang tepat untuk mencapai target-target tersebut.

(hlm. 229)
Logika Perencanaan Pembangunan

Telah diterimanya pranata perencanaan sebagai suatu instrumen pokok pembangunan secara luas itu bertolak dari sejumlah alasan atau logika ekonomi dan institusional yang bersifat mendasar. Dari sekian banyak logika, kita bisa menunjuk empat buah di antaranya yang paling sering dikemukakan, sebagai berikut:

Kegagalan Pasar

(hlm. 230)
Sayangnya, kita tidak dapat langsung menyimpulkan bahwa dalam praktik, kebijakan dapat memperbaiki kegagalan pasar, meskipun secara teori hal tersebut benar adanya! Kegagalan pemerintah juga dapat muncul dalam banyak kasus jika para politisi dan birokrat menempatkan kepentingan pribadi sebagai prioritas utama di atas kepentingan masyarakat.

(hlm. 231)
Mobilisasi dan Alokasi Sumber Daya
Dampak Perilaku atau Psikologis

(hlm. 232)
Bantuan Luar Negeri

Proses Perencanaan: Beberapa Model Dasar

Sesuai tradisi, sebagian besar rencana pembangunan pada mulanya didasarkan pada model makroekonomi yang kurang lebih dianggap formal. Secara umum, aneka model perencanaan ekonomi yang sangat luas dan bervariasi itu dapat dipilah-pilah menjadi dua kategori dasar, yaitu: (1) model-model pertumbuhan agregat, yang meliputi aneka perkiraan makroekonomis mengenai perubahan variabel-variabel ekonomi pokok yang direncanakan atau yang dibutuhkan; dan (2) model input-output multisektor dan model ekuilibrium umum yang dapat dihitung (computable general equilibrium/CGE) yang antara lain menentukan dampak dari produksi, sumber daya, tenaga kerja, dan devisa terhadap satu set target permintaan akhir tertentu dalam kerangka kerja arus produk antarindustri di suatu negara yang konsisten.

Model Pertumbuhan Agregat: Memproyeksikan Variabel-variabel Makro

(hlm. 234)
Selanjutnya, rumus tersebut dapat digunakan sebagai landasan perhitungan untuk mendapatkan jumlah tabungan yang memadai dari pendapatan yang merupakan keuntungan dan upah/gaji.

(hlm. 235)
Model Multi-Sektor dan Proyeksi Sektoral

Pendekatan lain yang jauh lebih canggih lagi terhadap perencanaan pembangunan menggunakan beberapa varian dari model antarindustri (interindustry model) atau model input-output (input-output model).

(hlm. 236)
Analisis input-output sering dikembangkan dengan menggunakan dua cara. Pertama, dengan memperhitungkan data pembayaran faktor-faktor produksi, sumber-sumber pendapatan rumah tangga, dan pola konsumsi barang oleh rumah tangga yang meliputi beragam kelompok sosial (seperti rumah tangga pedesaan dan perkotaan) maka terciptalah sebuah Matriks Akutansi Sosial (Social Accounting Matrix, SAM). SAM dapat diperoleh dengan menambahkan data dari basis data sistem saldo nasional, neraca pembayaran, dan arus dana (System of National Accounts, Balance of Payments, dan Flow of Funds data-bases), sering juga ditambah lagi dengan data hasil survei rumah tangga, kepada tabel input-output dasar. SAM, oleh sebab itu, merupakan sebuah deskripsi kuantitatif yang komprehensif dan terinci mengenai keterkaitan antarsektor dalam sebuah perekonomian pada suatu waktu tertentu, sehingga SAM dianggap sebagai perangkat yang sangat sesuai untuk mengevaluasi dampak dari berbagai alternatif kebijakan pembangunan. Untuk banyak negara, SAM kini sudah dapat ditemukan melalui internet.

Penilaian Proyek dan Analisis Biaya-Manfaat Sosial
Konsep-konsep Dasar dan Metodologi

Metodologi penilaian proyek bertumpu pada teori dan praktik analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) sosial, yang juga digunakan di Amerika Serikat dan di negara-negara maju lainnya. Gagasan dasar analisis biaya-manfaat itu sendiri sebenarnya sederhana saja: Untuk menentukan harga atau nilai proyek yang melibatkan pengeluaran pemerintah (atau, pada proyek apa kebijakan pemerintah dapat memainkan peranan penting) maka segenap keuntungan (manfaat) atau kerugian (biaya) bagi masyarakat secara keseluruhan juga harus diperhitungkan.

(hlm. 238)
Perhitungan Harga Bayangan dan Tingkat Diskonto Sosial

  1. Inflasi dan mata uang dinilai berlebihan.
  2. Tingkat upah, biaya modal, dan pengangguran.
  3. Tarif, kuota, dan substitusi impor.
  4. Keterbatasan tabungan.
  5. Tingkat diskonto sosial (social rate of discount).

(hlm. 241)
Pemilihan Proyek: Beberapa Kriteria Keputusan
Karena kebanyakan negara-negara berkembang sangat kekurangan modal, maka dalam memilih investasi proyek biasanya juga melibatkan penetapan urutan semua proyek yang memenuhi konsep NPV.

(hlm. 242)
Krisis Perencanaan: Masalah Pelaksanaan dan Kegagalan Perencanaan
Teori versus Praktek Perencanaan

(hlm. 243)
Jadi, sementara kegagalan pasar berusaha dihindari, yang terjadi justru kegagalan pemerintah (government failure) yang lebih berbahaya dan merugikan.

(hlm. 247)
Kegagalan Pemerintah dan Bangkitnya Kembali Mekanisme Pasar Bebas yang Mengungguli Perencanaan
Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, membuat sebuah ungkapan yang terkenal mengenai “keajaiban pasar”, yang diucapkan dalam pidatonya pada tahun 1981 di Cancun, Meksiko.
Beberapa negara-negara berkembang di kawasan Amerika Latin yang paling dahulu menerima mekanisme pasar antara lain adalah Cili (1973), Uruguay (1974), dan Argentina (1976), walaupun pemerintah mereka masih tetap mempertahankan peran aktifnya dalam perekonomian.

(hlm. 249)
Tabel 16-1
Beberapa Masalah Intervensi Pemerintah di Negara-negara Berkembang

Masalah Intervensi
1. Individu-individu sesungguhnya lebih banyak tahu mengenai preferensi dan kondisi-kondisinya sendiri daripada pemerintah.

(hlm. 250)
Ekonomi Pasar
Prakondisi Sosiokultural dan Syarat-syarat Ekonomi

  1. Kepercayaan
  2. Kepastian hukum dan ketertiban
  3. Perlindungan keamanan
  4. Persaingan
  5. Pembagian tanggung jawab
  6. Keluhuran sosial di masyarakat
  7. Mobilitas sosial
  8. Diakuinya nilai-nilai materialistik
  9. Kepuasan atau kecukupan massal
  10. Rasionalitas
  11. Adanya pemerintahan yang aparatnya bersih atau jujur
  12. Persaingan
  13. Kebebasan informasi
  14. Arus informasi.

(hlm. 251)

  1. Hak milik
  2. Adanya hukum perdata
  3. Kebebasan
  4. Mata uang yang nilainya stabil
  5. Pengawasan atau pengelolaan oleh pemerintah terhadap suatu monopoli alamiah
  6. Jaminan tersedianya kecukupan informasi
  7. Selera yang otonomi
  8. Fungsi manajemen oleh pemerintah atas berbagai eksternalitas
  9. Adanya instrumen-instrumen yang andal guna menstabilisasi kebijakan-kebijakan fiskal dan moneter (lihat Bab 17)
  10. Adanya jaring-jaring pengaman
  11. Adanya dorongan atau insentif bagi inovasi.

(hlm. 256)
“Konsensus Washington” tentang Negara yang Membangun dan Keterbatasannya
Tabel 16-2
“Konsensus Washington” dan Asia Timur

Elemen-elemen Konsensus WashingtonKorea SelatanTaiwan
Liberasi perdaganganTerbatas hingga dekade 1980-anTerbatas hingga dekade 1980-an

(hlm. 257)
Menuju Sebuah Konsensus Baru

(hlm. 258)
Ketika Cina menjalankan liberasi pada tahun 1978, negara tersebut memulainya dengan orang-orang dewasa yang mampu baca-tulis dan mengerti angka, dan paling tidak relatif sehat, dan hasilnya adalah pertumbuhan yang tinggi. Ketika India akhirnya mulai menjalankan liberalisasi sekitar tahun 1991 atau setelahnya—tanggal pasti liberalisasi ini masih diperdebatkan—hampir setengah dari penduduk dewasa masih buta huruf dan banyak yang masih kekurangan gizi dan kekurangan pelayanan kesehatan dasar. Seperti yang ditunjukkan oleh Amartya Sen, hal inilah yang menyebabkan hasil pertumbuhan Cina yang melakukan liberalisasi pasar lebih baik dibandingkan India.

(hlm. 259)
Ekonomi Politik Pembangunan: Teori Formulasi dan Reformasi Kebijakan

(hlm. 265)
Demokrasi versus Autokrasi: Yang Manakah yang Mempercepat Pertumbuhan?
“Hubungan antara demokrasi dengan pertumbuhan ekonomi tidak kuat.”

(hlm. 268)
Peraga 16-2
Aturan Hukum yang Lebih Baik Terkait dengan Pendapatan Per Kapita

(Peraga 16-2 hlm. 268)

(hlm. 275)
Studi Kasus
Perekonomian Ghana

(hlm. 276)
Pada saat merdeka pada tahun 1957, Ghana mempunyai infrastruktur fisik dan sosial yang cukup besar dan cadangan devisa sejumlah $481 juta.

(hlm. 279)
Studi Kasus
Perekonomian Filipina

(hlm. 280)
Mayoritas penduduk Filipina beretnis Melayu. Mereka adalah keturunan orang-orang yang semula bermukim di daerah yang kini menjadi wilayah Indonesia dan Malaysia yang bermigrasi ke pulau-pulau yang kini menjadi wilayah nasional Filipina pada ribuan tahun yang lampau.

(hlm. 288)
17
Sistem Keuangan dan Kebijakan Fiskal bagi Pembangunan

(hlm. 289)
Peran Sistem Keuangan

Umumnya, sektor riil dibedakan dari sektor keuangan. Terminologi ini sebenarnya kurang tepat, karena hal ini menyiratkan bahwa sektor keuangan tidak riil.
Mengapa masalah keuangan ini sangat penting? Sektor keuangan menyediakan enam fungsi utama yang sangat penting pada tingkat perusahaan maupun pada tingkat perekonomian secara keseluruhan.

  1. Menyediakan jasa pembayaran.
  2. Mempertemukan para penabung dan investor.
  3. Menghasilkan dan menyebarkan informasi.
  4. Mengalokasikan pinjaman secara efisien.
  5. Risiko penentuan harga, risiko pengumpulan, dan risiko perdagangan.
  6. Meningkatkan likuiditas aset.

(hlm. 296)
Peranan Bank Sentral

Peranan Bank Sentral di Negara-negara Maju
Kegiatan pokok mereka dapat dikelompokkan menjadi lima fungsi umum sebagai berikut:

  • Mencetak, mendistribusikan, serta mengawasi peredaran mata uang domestik; dan mengelola cadangan devisa nasional.
  • Bertindak dan berfungsi sebagai bankir pemerintah.
  • Bank Sentral berfungsi sebagai “bank untuk bank” (terhadap bank-bank komersial domestik).
  • Menjalankan fungsi dan kedudukan sebagai regulator terhadap seluruh lembaga keuangan domestik.
  • Bertindak selaku operator atau pelaksana kebijakan moneter dan perkreditan nasional.

(hlm. 307)

Reformasi Sistem Keuangan Negara-negara Dunia Ketiga
Liberasi Keuangan, Suku Bunga Riil, Tabungan, dan Investasi
Peraga 17-1
Dampak Penetapan Suku Bunga Maksimum Terhadap Alokasi Kredit
(Peraga 17-1 hlm. 307)
Suku bunga nominal
Dana kredit yang tersedia

(hlm. 321)
Efektivitas dan Efisiensi Administrasi Negara: Sumber Daya yang Paling Langka
Dalam semua pembahasan kita mengenai kebijakan, kita cenderung melalaikan suatu masalah yang sebenarnya merupakan kendala terbesar yang seringkali menghambat proses-proses pembangunan, yakni keandalan kemampuan administrasi.

(hlm. 324)
Badan-badan Usaha Milik Negara

(hlm. 327)
Swastanisasi: Teori dan Pengalaman Nyata

(hlm. 329)
Tabel 17-4
Transaksi-transaksi Swastanisasi yang Bernilai US$100 Juta atau Lebih
(Tabel 17-4 hlm. 329)

(hlm. 359)
Daftar Istilah

(hlm. 378)
Freedom (Kebebasan) Sebuah situasi di mana suatu masyarakat memiliki berbagai alternatif yang dapat digunakan untuk memperoleh segala sesuatu yang diinginkannya. Lihat juga penjelasan pada pembangunan (development).

Artikel Terkait

Menemukan Kembali Liberalisme oleh Ludwig von Mises #3

Jalan Menuju Perbudakan oleh Friedrich A. Hayek

Problem Domestik Bruto oleh Lorenzo Fioramonti

error: Content is protected !!