Wait What oleh James E. Ryan

Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang saya kumpulkan dari buku Wait What oleh James E. Ryan.

Tanpa harus membacanya semua, Anda mendapatkan hal-hal yang menurut saya menarik dan terpenting.

Saya membaca buku-buku yang saya kutip ini dalam kurun waktu 11 – 12 tahun. Ada 3100 buku di perpustakaan saya. Membaca kutipan-kutipan ini menghemat waktu Anda 10x lipat.

Selamat membaca.

Chandra Natadipurba

===

Wait, What?

E, BAGAIMANA?
Dan Pertanyaan mendasar lain dalam hidup

James E. Ryan

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Kompas Gramedia

Alih bahasa: Annisa Cinantya Putri        
Desain layout: Ridho Mukhlisin  
Desain Sampul: Orkha Creative

Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, 2018

ISBN: 978-602-03-8090-2

(hlm.4)

PENGANTAR

Untuk Apa Bertanya?

Dosen hukum, seperti yang mungkin Anda ketahui, rata-rata menerapkan metode Sokrates atau versi yang sudah dimodifikasi si saat mengajar. Praktiknya seorang dosen memanggil nama mahasiswanya lalu mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. Sang dosen ingin menguji apakah mahasiswa itu mampu mempertahankan jawaban, ataukah kemudian ada fakta-fakta yang berubah. Jika dilakukan dengan baik, metode ajar ini akan memaksa mahasiswa berpikir keras mengenai implikasi argumentasi mereka, kemudian mencari prinsip-prinsip umum hukum yang bisa diterapkan di sejumlah konteks berbeda.

(hlm.6)

Mengapa sistem pendidikan umum berhasil untuk sebagian anak, tetapi gagal untuk begitu banyak anak lainnya, terutama mereka yang kurang mampu?

(hlm.9)

Saran pertama: coba luangkan lebih banyak waaktu untuk memikirkan pertanyaan yang tepat.

(hlm.12)

Pemimpin yang efektif, bahkan pemimpin yang hebat, adalah sosok-sosok yang mau menerima bahwa mereka tidak selalu mengetahui segalanya. Namun, mereka tahu cara mengajukan pertanyaan yang tepat–pertanyaan yang akan memaksa dirinya dan orang lain untuk tidak terpaku pada jawaban yang itu-itu saja; pertanyaan yang mampu menguak kemungkinan-kemungkinan yang tadinya tidak terlihat.

(hlm.23)

BAB 1

Eh, Bagaimana?

“Eh” yang diperpanjang, diikuti “bagaimana” yang singkat tetapi penuh penekanan, adalah tanda si penanya memang merasa bingung dan memiliki arti sama dengan pertanyaan sopan, “Tadi itu serius?” atau “Apakah kau bercanda” sebaliknya, “eh” pendek diikuti “bagaimana” yang panjang bisa digunakan terhadap orang yang meminta kita melakukan sesuatu.

“Eh, bagaimana?” menjadi pertanyaan pertama dari lima pertanyaan mendasar karena pertanyaan ini efektif untuk meminta klarifikasi, dan klarifikasi adalah langkah pertama untuk memahami suatu hal–ide, pendapat, keyakinan, atau usulan bisnis. (Namun, dalam hemat saya, pertanyaan ini kurang cocok untuk menanggapi lamaran pernikahan.)

(hlm.25)

Bertanya “Eh, bagaimana” juga merupakan cara yang baik agar kita tidak terburu-terburu mengambil kesimpulan atau menilai sesuatu. Sering kali, kita terlalu cepat mengatakn setuju, atau tidak setuju, dengan seseorang atau terhadap Sesutu, tanpa berupaya untuk benar-benar memahami lawan bicara atau isi pembicaraan.

(hlm.26)

Kalau saja kita mau mengambil waktu sebentar untuk memahami suatu ide dan sudut pandang, terutama yang baru atau menantang, mungkin kita tidak akan secepat itu menafikan sesuatu dan justru akan merasa ingin tahu.

(hlm.27)

“Saudara Penasihat Hukum, mohon maaf menyela penjelasan Saudara, tetapi saya ingin meminta Saudara memberikan klarifikasi mengenai sesuatu.”

Dibandingkan rekan-rekannya, Hakim Stevens-lah yang cenderung mampu memecah suatu perkara dengan mengajukan pertanyaan yang tepat, persis ke jantung permasalahan.

Dalam hampir setiap kesempatan, selalu lebih baik apabila kita bertanya atau meminta penjelasan terlebih dahulu sebelum mengajukan argument.

(hlm.30)

Rakesh menunjukkan mudahnya kita berargumen dan menilai sesuatu berdasarkan anggapan yang keliru.

(hlm.35)

BAB 2

Kira-Kira…?

Rasa ingin tahu diawali dengan pertanyaan, “Kira-kira mengapa?”

(hlm.36)

Bagikan kunci, satu pertanyaan ini saja sudah bisa membuka jutaan cerita, memecahkan misteri besar dan kecil.

Sudah terlalu sering kita melihat dunia ini sebagai tempat yang statis. Akibatnya, kita tidak mampu mengenali bahwa apa yang kita lihat pada hari ini adalah hasil proses yang berlangsung di masa lalu-kjekuataan dan daya yang tak lagi terlihat.

(hlm 41)

Sistem itu dianggap melanggar konstitusi sesuai putusan dalam perkaran Brown v. Board of Education pada 1954. Namun, segregasi berlandaskan hukum hanyalah satu bentuk segregasi sekolah. Ada bentuk lain yang disebut segregasi de facto–istilah hukum untuk  segregasi “faktual”. Artinya, segregasi muncul bukan karena ada hukum yang mewajibkannya, melainkan karena sejumlah faktor lain, segregasi semacam inilah yang masih ada hingga sekarang.

(hlm.50)

Kalau saja saya tidak pernah repot bertanya “kira-kira mengapa saya diadopsi?” dan “kira-kira apakah saya bisa menemukan ibu kandung saya?” pertemuan dengan Geraldine dan keluarganya pasti tak pernah terjadi.

(hlm.54)

BAB 3

Bisakah Kita Setidaknya…?

“Bisakah kita setidaknya membicarakannya saja dulu dan mempertimbangkan apa makna anak keempat bagi keluarga kita?”

(hlm.55)

Pertanyaan ini menggiring kita untuk melihat melampaui perselihan apa pun yang kita hadapai, dan melangkah lebih dekat semacam kesepakatan, persis seperti, “Bisakah kita setidaknya setuju dulu?” Pertanyaan ini juga bisa menjadi awal dari sesuatu, meskipun kita belum yakin kapan kita akan selesai, seperti “Bisakah kita setidaknya mulai saja dulu?”

Untuk mengawali penjelasan ini, pertanyaan “Bisakah kita setidaknya setuju dulu?” adalah cara untuk mencari titik temu. Konsensus adalah kunci dari hubungan sosial yang sehat dan produktif–baik di bidang politik, bisnis, pernikahan, maupun pertemanan.

(hlm.69)

Ketika kita gagal, hal terbentuk yang akan terjadi adalah kita jadi memiliki cerita lucu diceritakan.

(hlm.74)

BAB 4

Bagaimana Saya Bisa Membantu?

Kalau saja Katie tidak bertanya kepada Nelson, dan kalau saja ia berasumsi kami sudah duduk permasalahannya, Neslon sangat mungkin meninggal di kamar hotelnya.

(hlm.78)

“Saya harus keluar dari tempat ini. mau mati rasanya, dipenjara lagi setelah susah payah datang ke sini.”

(hlm.79)

Bertanya bagaimana kita bisa membantu adalah cara yang amat efektif untuk secara halus mendorong orang lain agar mau mengenali, mengungkapkan, dan menghadapi masalah mereka sendiri.

(hlm.89)

BAB 5

Apa yang Benar-Benar Penting?

Pertanyaan mendasar kelima dan terakhir adalah, “Apa yang benar-benar penting?” pertanyaan ini bisa dipakai di segala situasi–entah itu saat rapat di kantor atau saat hendak mengambil keputusan terbesar dalam hidup.

(hlm.93)

Sebagian kesalahan itu seharusnya bisa dicegah dengan bertanya, “Apa yang benar-benar penting?” satu-satunya hal penting dalam situasi tersebut untuk Katie dan Sam adalah proses persalinan yang lancer.

Petualangan kelahiran Sam menunjukkan bahwa perhatian kita bisa dengan sangat mudah teralihkan dari hal-hal yang bersifat substansial.

(hlm.96)

Pertanyaan selalu menukik langsung pada inti permasalahan. Kami sama sekali tidak menyentuh aspek prosedural yang tidak pengaruh ada hubungannya dengan hasil akhir perkara di tingkat pengadilan terdahulu.

Harus diakui, Pak Ketua punya kemampuan yang sangat mengagumkan; ia bisa dengan cepat memilah informasi yang sangat padat dan melihat pada pertanyaan serta permasalahan terpenting.

(hlm.97)

Pandangan Pak Ketua terhadap hidup sama seperti pandangannnya diruang siding: ia jelas selalu memikirkan apa yang penting di setiap tahapan hidup.

Setiap kali mendapat undangan pertemuan, ia biasa bertanya begitu tiba di ruang rapat: “Ini rapat betulan atau rapat-rapatan?”

(hlm.98)

Namun, ia ternyata membicarakan hal yang sangat praktis dan menguraikan cara-cara menghemat waktu di kantor. Gagasan utama Profesor Pausch adalah kita harus bekerja seefisien mungkin agar masih bisa melakukan hal lain di luar pekerjaan yang sama pentingnya, seperti menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman, melakukan hobi atau minat-minta lain. Ia sama sekali tidak memberikan definisi “hal penting”, atau medikte pendengaranya mengenai apa yang seharusnya dianggap bernilai. Ia justru menyarankan kita semua untuk setaat dan sesering mungkin bertanya apa yang penting bagi diri kita.

(hlm.99)

(Saya masih ingat Ayah menggelengkan kepala mendengar saya yang naïf berkata saya ingin mendapatkan pekerjaan saya sukai. Katanya, “Ada alasan mengapa itu disebut ‘pekerjaan’.”)

(hlm.100)

“Aku memang belajar banyak, Yah. Aku belajar seperti apa menjadi Ayah yang baik.”

(hlm.101)

Apa yang saya petik dari tulisan-tulisan tersebut? Setiap tulisan biasanya menyebutkan empat aspek kehidupan yang saya singgung sebelumnya: keluarga, teman, pekerjaan, dan belaskasih.

(hlm.113)

KESIMPULAN

Pertanyaan Bonus

And did you get what you wanted from this life, even so?

(hlm.114)

“Eh, bagaimana?” adalah akar untuk memahami sesuatu.

“Kira kira…?” adalah roh rasa ingin tahu.

“Bisakah kita setidaknya…” adalah awal untuk langkah maju .

“Bagaimana saya bisa membantu” adalah landasan hubungan yang baik.

Dan “Apa yang benar-benar penting?” membantu kita melihat inti kehidupan ini.

(hlm.115)

Kata “dicintai” sangat penting karena intinya tidak sebatas disayangi orang, tetapi juga keberadaan kita dihargai dan dihormati. Merasa dicintai bukan satu-satunya parameter kehidupan yang penuh, yang utuh. Namun, saya rasa, bagi sebagian, besar dari kita, meninggal dalam keadaan dicintai, dihargai, dan dihormati adalah hal-hal yang layak kita tuju dan jadikan aspirasi.

Artikel Terkait

Cara Cepat Membaca Bahasa Tubuh oleh Joe Navarro

error: Content is protected !!